Kehidupan tenang beberapa waktu bukan berarti aku istirahat, justru aku terus di sibukkan dengan padatnya jadwal kantor. Banyak proyek dan kerjasama berdatangan dari perusahaan lain.
Untuk sementara aku tak sempat lagi memikirkan Bram. Bahkan hari pernikahan juga semakin dekat, aku sudah menghubungi Nina. Aku minta tiga hari sebelum hari bahagiaku, dia mesti hadir.
Nina sangat senang saat bertemu, di peluknya aku terus. Aku menjemputnya di bandara, bersama Pak Rudi supir pribadi. Lalu ku ajak dia pulang kerumah, berkenalan pada Mama dan Papa.
"Win, ini rumah Lo?" tanya Nina melongo.
Aku cuma terkekeh melihat ekspresi Nina. "Sudah, itu mulut jangan lupa di tutup."
Nina merasa malu, menundukkan wajahnya. Aku peluk dia dan menarik tangannya untuk masuk kedalam rumah.
"Ma ... Kemari, ini Nina sahabat Winda, sewaktu masih tinggal bersama Bram," ucapku memanggil Mama.
Mama keluar dari ruangan
Sebulan setelah resepsi pernikahan di Indonesia, Sayid memboyongku dan keluarga ke Abu Dhabi. Sebenarnya bukan juga boyong tapi memang rumah kami ada di Abu Dhabi.Untuk kedua kalinya mengadakan resepsi di sana. Aku dan Sayid tidak berbulan madu karena sekalian saja setelah selesai sana sini baru kami akan bulan madu.Aku masih mengingat jelas, usai pernikahan di malam pertama aku dan Sayid masih malu-malu kucing. Walaupun aku sudah pernah menikah tapi bila menatap wajahnya, aku merasa tersipu.Ketampanan Sayid telah membius, apalagi jika dia sudah menatapku pasti aku jadi grogi. Sayid masuk ke kamar saat aku mau membuka pakaian, aku terkejut cepat-cepat ku pakai lagi."Kenapa? Kok malu, kan kita sudah jadi suami istri!" katanya dengan menautkan alis kemudian tersenyum."Nggak apa-apa, Mas. Aku masih malu," ucapku dengan wajah memerah."Humairo ku ternyata malu di malam pertama, gimana apa kita mau bertempur sek
Rencana seusai sarapan, Sayid akan mengajakku jalan-jalan. Aku bahagia banget, baru kali ini aku di ajak jalan cuma berdua bareng suami. Dulu saat bersuamikan Bram, ibunya akan selalu minta ikut kemanapun kami pergi. Aku tidak bisa melarang, karena Bram juga sehati dengan ibunya."Ma, kami pergi dulu ya! Cari angin sebentar, Mama mau ikut nggak?" kataku sambil bersiap."Nggak ah, Mama nggak mau mengganggu. Masa iya nanti Mama lihat kalian berciuman," seloroh Mama yang membuat kami tertawa."Ish, ya nggak gitu kali Ma. Masa' di tempat umum berciuman, kan Winda juga malu," ujarku cengengesan."Kalo Mama nggak mau, apa Mbok mau ikut," tanyaku beralih ke Mbok."Aduh, tiba-tiba perut Mbok mules. Mbok kebelakang dulu, ya!" sahut Mbok berlari kecil menuju dapur.Kami semua lagi-lagi tertawa melihat tingkah Mbok, aku mengerti mereka tidak ingin ikut. Begitulah indahnya kalo hidup saling pengertian, tidak ingin men
Sebuah foto di pantai dengan Sayid dan seorang penguntit yang berdiri tidak jauh dari kami, telah membuat aku penasaran. Siapa dia dan apa maunya.Lalu tanpa sepengetahuan Sayid yang sudah tertidur, aku keluar kamar dan menuju pantai seorang diri. Mungkin kalo aku sendiri, penguntit itu akan menunjukkan dirinya.Bau pasir basah begitu khas, dengan deburan ombak. Malam juga begitu dingin, aku merapatkan jaket yang ku kenakan. Berjalan menyusuri pinggir pantai dengan kaki telanjang.Setelah capek aku duduk, dan menatap pantai ke depan. Tidak banyak orang berlalu lalang selarut ini. Hanya ada beberapa pasangan yang berdiri agak jauh dariku.Saat asyik melamun, bahuku di tepuk dari belakang. Aku menoleh, dan refleks mundur kebelakang setelah tau siapa yang menepuk tadi.Penguntit itu kini berdiri di depanku. "Jangan takut, Win," katanya.Aku terkesiap, dia tau namaku. Tunggu, aku mengenal suara itu. Bukankah d
Semburat merah menghiasi langit pagi ini, selesai salat Subuh aku segera berkemas. Memasukkan semua baju ke dalam koper, begitu juga baju suamiku, Syaid. Setelah tiga hari berlibur di hotel pantai, kami berencana pulang.Aku sudah tak sabar untuk menyampaikan kabar gembira pada Mama dan Papa juga Mbok. Mereka pasti sangat gembira karena ini merupakan cucu pertama. Aku terus tersenyum sepanjang perjalanan pulang."Win, kamu terus tersenyum. Kamu bahagia kan, humairo!" kata Sayid sembari menggenggam jari tanganku."Aku bahagia, Mas. Sudah lama aku mendambakan kehadiran anak, kini buah hati kita sudah ada dalam rahimku. Makasih ya, sayang!" ujarku sambil mengecup tangannya.Kulihat wajah Sayid juga memancarkan aura, tak dipungkiri lagi dia pasti lebih bahagia. Walaupun senyum juga menghias bibirnya, Sayid tetap konsentrasi menyetir."Mas, apa Mama dan Papa kamu sudah di kabari perihal kehamilanku?" tanyaku penasaran. 
Untuk sementara aku melupakan soal mantan pacar Sayid. Mungkin karena kami masih tinggal di Indonesia jadi aku pun tak perlu mengkhawatirkan itu.Namun, justru saat ini aku kembali dekat pada mantan suamiku, Bram. Ya, aku sudah berjanji padanya akan membantunya keluar dari penjara apabila dia menyerahkan diri.Siang itu, saat lagi santai aku dan Sayid berada di kamar untuk istirahat. Tiba-tiba ponselku berdering, kulihat di layar Bram memanggil. Aku cemas Sayid akan marah bila ku angkat, tapi bila tak di angkat penasaran karena ponsel itu terus berdering."Win, ponselnya bunyi terus. Diangkat dung, bising," keluh Sayid dengan mata masih terpejam."Iya, aku angkat. Maaf kalo sudah mengganggu," sahutku bergegas bangun dan berjalan menuju balkon kamar."Halo, ada apa Bram?" tanya ku pelan hampir berbisik."Win, sesuai janji aku sudah menyerahkan diri ke polisi. Sekarang aku sudah berada di tahanan, kemari lah
Selesai belanja dan membelikan makanan untuk Mama, kamipun pulang. Namun, saat naik eskalator di sisi sebelah aku seperti mengenal wajah wanita itu. Bergandengan tangan dengan seorang pria.Laras??Sengaja aku tidak memanggil namanya, bahkan saat kami berjalan bersebelahan di eskalator Laras juga terkejut melihatku. Namun, aku pura-pura tidak melihatnya, aku tak mau kejadian buruk yang dulu terulang lagi.Sayid lalu mengajakku bicara karena aku diam saja. "Humairo, besok nggak usah mengantar Mas ke bandara. Jaga anak kita baik-baik di kandungan mu.""Iya, Mas. Aku akan selalu menjaganya dengan baik," jawabku sambil menoleh ke arah Laras yang masih belum terlalu jauh dariku.Kemudian tanpa menoleh lagi aku meneruskan langkah keluar dari Mall. Sampai di rumah sudah malam, untung saja Mama belum tidur karena kami membelikan makanan kesukaannya.Setelah pamit pada Mama untuk masuk ke kamar, Sayid segera masukk
Sudah seminggu ini semenjak Bram bebas, aku tidak mendengar kabarnya lagi. Syukurlah, semoga dia bisa hidup baik tanpa bertemu denganku lagi.Sayid juga sudah seminggu di Abu Dhabi, aku sangat merindukannya. Rindu sentuhan dan pelukannya tiap malam, tanpa Sayid aku tidur kedinginan memeluk guling. Seperti biasa sebelum tidur, Sayid pasti akan menelepon."Assalamualaikum, humairo!""Wa'alaikumussalam ya sayang!" jawabku tersenyum sendiri."Belum tidur ya? Apa aku mengganggu?""Belum Mas, aku kangen banget sama kamu sayang. Tiap malem aku tidur kedinginan tanpa pelukanmu," kataku sedih."Bersabarlah humairo, Mas juga kangen di sini. Mas malah tak terbiasa tidur tanpa kamu, gimana anak kita sehatkan?" tanya Sayid mesra."Alhamdulillah, baik aja Mas. Kenapa Mas nggak tanya keadaanku malah terus tanya anak," ucapku merajuk."Hahahaha ... Kamu cemburu, humairo! Dasar, sama anak sendiri
Aku tersadar setelah disiram air, pelan-pelan kubuka mata mengamati dimana aku berada. Kepalaku juga terasa pusing, saat kesadaran pulih sepenuhnya aku terkejut berada di suatu tempat seperti gudang.Aku merasa tangan dan kakiku diikat, saat kucoba untuk bergerak. Terikat dengan tali di sebuah kursi yang ku dudukkan. Mencoba melepaskan diri dari ikatan, namun usahaku sia-sia.Apa dan siapa yang melakukan ini padaku, aku merasa ketakutan dan teringat Mama. Pasti Mama mencari-cari dan kehilangan diriku, tanganku segera meraih kantong. Dengan susah payah, namun sial hp ku tidak ada. Apa mungkin di ambil orang yang telah menculik ku?"Sudah sadar, Win?" Terdengar suara mengejek di hadapanku."Kau ...?" kataku kaget."Ya, aku. Kau masih mengenalku?" cibirnya tanpa embel mbak lagi."Bagaimana aku melupakanmu, perbuatan mu tak mungkin aku lupakan seumur hidup. Dasar pelak*r!" kataku mencacinya.