Jasmine berdiri di depan Ryan, hatinya berdegup kencang. Pria itu masih menatapnya, menunggu jawaban yang selama ini ia nantikan. Hujan tipis mulai turun, menyisakan embun di rerumputan taman keluarga Dirgantara. Udara yang dingin membuat napas Jasmine berembun, tetapi bukan itu yang membuat tubuhnya terasa membeku. Melainkan pertanyaan yang Ryan ajukan padanya.
“Jika semua ini tidak pernah terjadi—jika tidak ada kontrak, tidak ada tekanan dari keluargamu atau Noah—apakah kau akan memilihku?”
Jasmine menutup matanya sejenak. Seakan mencoba mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Ia telah mengajukan pertanyaan itu berkali-kali dalam pikirannya, dan sekarang, saat ia harus mengatakannya dengan lantang, dadanya terasa sesak.
Ryan tetap menunggu, tidak mendesak, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat menginginkan jawaban yang berpihak padanya.
Jasmine mengangkat wajahnya, menatap Ryan lurus-lurus. “Ryan... jika se
Noah mencium pucuk kepala Jasmine dengan lembut. “Aku nggak janji bakal jadi sempurna. Tapi aku janji, aku akan tetap ada.”Dalam dekapan yang tak banyak kata itu, Jasmine menutup matanya. Ia tahu, badai belum selesai. Tapi untuk malam ini, ia ingin percaya bahwa cinta bisa menjadi pelindung sementara dari dunia yang terlalu keras.Dan Noah, dengan semua luka dan ketidaksempurnaannya, berjanji dalam hati untuk menjaga satu hal yang paling berharga dalam hidupnya: wanita yang kini bersandar di bahunya.Angin malam membawa aroma tanah basah ke halaman belakang, tempat Jasmine berdiri diam, memeluk dirinya sendiri. Ranting-ranting pohon berdesir pelan, seolah ingin membisikkan sesuatu yang tak bisa dipahami. Di dalam rumah, lampu-lampu sudah meredup, tapi pikirannya justru semakin terang, penuh bayangan-bayangan dari masa lalu dan kekhawatiran masa depan.Langkah Noah mendekat pelan. Ia sempat ragu—apakah Jasmine ingin sendiri atau sedang m
"Apa yang dia bilang?" tanya Jasmine akhirnya. Suaranya terdengar datar, tapi sorot matanya tajam—ia ingin tahu, tapi ia juga takut akan jawabannya.Noah menatap Jasmine lama sebelum menjawab. "Dia diutus Oma."Jasmine menegang. Ia sudah menduganya, tapi mendengarnya langsung dari mulut Noah membuatnya merasa ada gempa kecil di dalam dadanya."Untuk apa?"Noah menarik napas panjang, lalu mengusap wajahnya. "Untuk meragukan kamu. Untuk memisahkan kita. Dia bicara seolah tahu segalanya, Jas. Tentang masa lalu kamu, tentang... status kamu di keluarga ini."Jasmine mengepal tangannya di pangkuan. "Dan kamu... kamu percaya?"Noah menatapnya. “Aku sempat goyah. Tapi saat dia bicara seolah kamu itu musuh, aku sadar… dia nggak tahu siapa kamu sebenarnya. Aku yang tahu.”Jasmine mengalihkan pandangan, menatap hujan di luar. "Lucu ya. Setelah semua yang kita lewati... orang-orang masih saja menganggap aku ancaman. Bahka
Siang itu, Jasmine berdiri di ruang kerja, menata beberapa dokumen yang terbengkalai. Buku catatan, kertas laporan medis, dan surat-surat yang menumpuk sejak beberapa bulan lalu. Salah satu laci terkunci. Ia mengeluarkan kunci kecil dari dalam dompet dan membukanya.Di dalamnya ada buku harian. Bukan miliknya, bukan juga milik Noah. Tapi milik mereka berdua—buku yang dulu mereka isi saat merencanakan rumah tangga, impian, bahkan nama-nama calon bayi.Tangannya gemetar saat membukanya. Di halaman pertama, ada tulisan tangan Noah:"Untuk hari-hari ketika kita lupa bahwa kita saling memilih, semoga kata-kata ini mengingatkan kita: cinta adalah kerja yang tak pernah selesai."Air mata jatuh tanpa Jasmine sadari. Ia menutup buku itu perlahan dan mendekapnya. Luka-luka itu belum sembuh, tapi hari ini... ia merasakan sesuatu yang pelan-pelan menyentuh hatinya: keberanian untuk berharap.Sore harinya, hujan kembali turun. Bukan hujan deras,
Noah mendekat sedikit, mencoba membaca nada dalam suaranya.“Aku juga capek hidup dalam penyesalan, Jas.”Mereka terdiam lama. Hujan seperti menegaskan kebekuan di antara mereka. Tapi, di balik keheningan itu, ada gerak kecil—seperti akar yang perlahan tumbuh di tanah yang sebelumnya tandus.“Kamu masih tidur di kamar tamu?” tanya Jasmine tiba-tiba, tanpa menoleh.Noah mengangguk. “Kecuali kalau kamu...”“Enggak. Tetap di sana.” Jasmine menghembuskan napas pelan. “Tapi kalau kamu bangun lebih pagi, tolong jangan bikin kopi terlalu kuat. Aku nggak suka aromanya memenuhi dapur.”Noah tersenyum kecil. “Baik. Aku akan ingat.”Lalu ia melangkah pelan ke pintu, namun sebelum keluar, ia menoleh. “Selamat malam, Jasmine.”Jasmine memejamkan mata. “Selamat malam, Noah.”Pintu tertutup perlahan. Jasmine berdiri di sana, memeluk tubuhnya sendiri. Di luar, hujan masih turun. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, rasa hampa di hatinya sedikit berkurang.Di kamar tamu, Noah duduk di tep
“Noah,” panggilnya, suara nyaris berbisik.Noah mendekat. Di hadapan mereka, ada foto yang nyaris sama dengan foto dalam amplop putih itu. Wanita yang sama. Bayi yang sama. Tapi kali ini, ada tulisan kecil di bawah foto:“Dahlia Kartika dan anaknya, 1999.”Noah membaca pelan. “Dahlia Kartika... D. K. Jadi itu maksudnya.”“Nama tengahku... juga Kartika,” bisik Jasmine. “Dan tahun itu... itu tahun aku lahir.”Noah menatap istrinya. “Kamu... pikir kamu anak dari wanita ini?”“Aku nggak tahu, Noah. Tapi... Mama angkatku dulu bilang aku diadopsi dari keluarga jauh. Tapi nggak pernah bilang siapa.” Jasmine menyentuh foto itu. “Dan wajah ini... entah kenapa terasa familiar. Kayak... kayak bagian dari aku.”Noah terdiam. Seolah dunia mendadak membeku di sekeliling mereka. Jika benar Jasmine adalah anak dari Dahlia Kartika... lalu siapa ayahnya? Kenapa foto itu bisa sampai ke tangan Noah? Dan apa hubungan semua ini dengan Oma Dursila?Langit di luar mulai gelap, dan petir bergemuruh di kejauha
Jasmine ikut tertawa. Tawanya kecil, tapi tulus. Hujan masih turun di luar, tapi di dalam ruangan itu, ada kehangatan yang perlahan muncul dari celah-celah retakan.“Kita mulai dari situ lagi, ya?” kata Jasmine. “Dari hal-hal kecil. Dari tawa, dari saling mengejek tanpa menyakiti. Dari duduk bareng tanpa harus bicara.”Noah mengangguk. “Dari rasa asin yang keterlaluan dan kamu yang tetap manis meski panik.”Jasmine menatapnya, kali ini dengan senyum yang lebih nyata. “Tapi kamu jangan berharap aku masak lagi malam ini. Aku capek banget.”“Kita pesan makanan aja. Yang nggak asin.” Noah menggoda.“Kecuali kamu yang pesen, nanti salah alamat.” Jasmine menyikut pelan.Tawa mereka pelan, masih ragu, tapi itu adalah tawa yang nyata. Meski ringan, tawa itu membawa napas baru ke antara mereka. Sebuah langkah kecil yang terasa seperti awal.Namun, saat Noah menuju dapur untuk mengambil ponsel, matanya menangkap sesuatu di lantai dekat pintu masuk. Sebuah amplop putih. Ia membungkuk dan mengamb