"Mereka bisa saja memakai nama baru, struktur baru. Tapi motifnya tetap sama," ujar Evan. "Dan jika kita tidak bongkar sekarang, mereka bisa menyusup lebih dalam ke dalam dewan."
Jasmine mengangguk. "Aku ingin kalian bentuk tim investigasi internal. Rahasiakan. Kita beri nama proyek ini: Project V. Hanya kita berlima yang tahu."
"Kalau begitu, izinkan aku pakai jaringan audit independen di luar negeri yang pernah bekerja sama denganku," kata Andrew. "Kami bisa lacak pemilik sebenarnya dari akun-akun pendanaan Levara."
"Dan aku akan siapkan narasi komunikasi seandainya berita ini bocor ke media," tambah Dira. "Kita tak bisa biarkan opini publik dimanfaatkan lagi."
Kiara menutup map rapat. "Dan aku akan siapkan jalur hukum untuk memblokir akumulasi saham di atas lima persen dalam waktu 72 jam. Kalau mereka melanggar, kita bisa tarik ke pengadilan internasional."
Jasmine berdiri. Aura kepemimpinannya begitu nyata hingga tak perlu suara tinggi.
Sementara itu, Jasmine sedang berada di ruang pertemuan media, menerima tamu dari redaksi besar majalah bisnis nasional yang ingin mengangkat profilnya sebagai pemimpin perempuan inspiratif.Wawancara berjalan mulus. Jasmine tetap anggun, percaya diri, dan tak memberi celah untuk pertanyaan yang terlalu pribadi. Tapi begitu acara selesai, Dira masuk ke ruangan sambil membawa ponsel dengan layar menyala."Ini darurat. Mereka menemukan nama Gunawan Prasetya di sistem. Dia masih aktif dan punya akses pengadaan."Wajah Jasmine menegang. Ia segera bangkit dan meninggalkan ruang media, diikuti oleh Dira.Di ruang kendali, Jasmine masuk bersama Kiara dan Andrew. Evan segera menunjukkan hasil temuannya."Gunawan mengarahkan pengalihan dana dari akun strategis menuju entitas bernama Verde Nova, yang secara legal masih tercatat sebagai mitra logistik. Tapi kalau dilacak lebih dalam, Verde Nova adalah anak perusahaan dari Levara Group."Jasmine mengepalkan tangan. "Itu artinya mereka sudah mulai
Sementara itu, di sebuah ruang kerja mewah dengan pemandangan Pegunungan Alpen yang diselimuti salju, seorang pria tua berdiri menghadap jendela tinggi. Jas hitamnya rapi, rambutnya putih perak dengan sorot mata tajam dan dingin. Di mejanya terbuka tablet yang menampilkan berita yang sama."Akhirnya... mereka menyadari," gumam pria itu. "Sudah waktunya aku muncul."Leonhart Vasmer. Nama yang sempat tenggelam dalam dokumen lama dan kenangan kelam keluarga Jorse, kini muncul kembali ke permukaan.Ia menekan tombol interkom.“Hubungi tim hukum. Jadwalkan konferensi pers. Aku ingin dunia tahu... bahwa aku bukan hanya bayangan masa lalu.”Beberapa asisten pribadi di sekitarnya segera bergerak. Suasana ruang itu berubah menjadi pusat komando, dengan layar-layar digital menampilkan nama-nama perusahaan investasi, akun dummy, dan laporan saham minor yang tersebar."Jorse Corp tidak akan tahu dari mana aku akan datang. Tapi saat badai tiba... mereka akan memohon untuk berlindung," katanya samb
Leonhart membuka pernyataannya dengan bahasa Inggris yang fasih, suaranya serak tapi berwibawa."Hari ini, saya berdiri bukan sebagai bayangan masa lalu, melainkan sebagai suara dari mereka yang disingkirkan oleh kekuasaan sepihak."Ia menatap tajam ke arah kamera."Levara Group bukanlah organisasi gelap. Kami adalah korban dari narasi tunggal yang dijalankan oleh Ardian Kartika Jorse dan penerusnya. Bertahun-tahun kami dituduh tanpa diberi kesempatan menjelaskan. Hari ini, saya di sini untuk membuka semua fakta."Leonhart lalu menampilkan grafik dan dokumen yang menunjukkan keterlibatan mantan eksekutif Jorse Corp dalam transaksi yang dulu dianggap ilegal. Beberapa nama yang telah meninggal bahkan disebut secara gamblang, termasuk mitra Ardian di masa awal."Kami tidak datang untuk menyerang. Tapi kami juga tidak akan tinggal diam saat reputasi kami dilukai tanpa dasar hukum."Wartawan mulai bersuara, mikrofon berebut diarahkan. Salah satu bertanya:"Apakah Anda menyatakan bahwa Jors
Noah meraih tangannya. “Bukan mencoba. Kamu melakukannya. Dan kita belum selesai.”Jasmine menatap langit. “Leonhart belum menunjukkan semua kartunya. Tapi dia tidak tahu satu hal…”“Noah mengangkat alis. “Apa itu?”Jasmine tersenyum. “Dia sedang berhadapan dengan seorang ibu, seorang pewaris, dan seorang wanita yang tidak akan membiarkan bayang-bayang menguasai masa depan anaknya.”Mereka duduk berdua dalam keheningan yang penuh kekuatan. Panggung di Zurich sudah dibuka. Kini giliran Dirgantara dan Jorse membalas di atas panggung yang lebih tinggi.Dan Jasmine… siap menulis sejarahnya sendiri.Tiga hari setelah konferensi Leonhart Vasmer mengguncang panggung bisnis internasional, Jasmine duduk di ruang kerja pribadinya dengan setumpuk dokumen tua. Bukan laporan keuangan, bukan strategi korporat—melainkan surat-surat pribadi, memo, dan catatan tangan mendiang ibunya, Sylvia.“Jika aku ingin membalas Leonhart, aku harus tahu kenapa Ayah dan Ibu menolaknya dulu,” gumam Jasmine pada diri
Langit Eresia diselimuti kabut pagi ketika pesawat pribadi yang ditumpangi Jasmine, Kiara, dan tim hukum mendarat di bandara internasional kota tersebut. Meski Eresia dikenal sebagai kota pelabuhan yang sibuk, pagi itu terasa seperti menyimpan rahasia yang siap terbongkar.“Selamat datang kembali di tempat masa lalu ayahmu pernah bergema,” bisik Kiara saat mereka menuruni tangga pesawat.Jasmine mengangguk pelan. “Dan semoga kita pulang membawa kebenaran yang selama ini dikubur.”Tim mereka langsung menuju kantor hukum independen yang sebelumnya bekerja sama dengan Ardian Kartika Jorse. Pria yang menyambut mereka adalah Lucian Velmar, mantan asisten hukum Ardian dua dekade lalu, kini kepala penasihat hukum di Eresia International Law Institute.“Jasmine Jorse…” ucapnya dengan nada emosional saat melihat wajah Jasmine. “Kau mewarisi mata ibumu, dan ketegasan ayahmu.”“Terima kasih, Pak Lucian. Aku datang untuk mengungkap apa yang belum sempat Ayah dan Ibu ungkapkan,” jawab Jasmine.Mer
Pagi menyelimuti Eresia dengan cahaya keemasan yang lembut, tapi di dalam ruang rapat kantor hukum internasional EILI, ketegangan menyatu dengan antusiasme. Jasmine duduk di kursi utama, diapit oleh Kiara dan penasihat hukum Eresia. Di hadapan mereka, berkas-berkas hasil investigasi yang telah diperkuat oleh pernyataan saksi Grego Marven dan dokumen asli dari arsip Ardian Jorse tersusun rapi, siap diserahkan ke otoritas hukum Eresia.“Dengan ini, kami menyerahkan semua bukti sebagai dasar pembukaan kembali kasus tertutup tahun 2005 atas nama Lucas Greif dan Leonhart Vasmer,” ucap Jasmine dengan tegas.Dokumen itu diterima oleh perwakilan Kejaksaan Eresia, Tuan Adelric Norell, seorang pria muda dengan reputasi bersih yang dikenal gemar menindak kasus korupsi lintas negara. Ia membaca sekilas, lalu mengangguk.“Materi ini cukup kuat untuk membuka jalur hukum formal. Dalam waktu 48 jam, kami akan keluarkan surat penyelidikan resmi. Jika terbukti valid, nama Leonhart akan masuk daftar pen
Pagi di Eresia tiba dengan udara dingin dan kabut tipis yang menyelimuti gedung-gedung tinggi kota pelabuhan itu. Tapi suasana kantor Kejaksaan Tinggi justru panas sejak dini hari. Setelah pernyataan resmi dibuka untuk publik, penyelidikan atas Leonhart Vasmer dan Lucas Greif berubah dari rumor menjadi aksi nyata.Media lokal dan internasional berkumpul di depan gedung, berebut tempat terbaik untuk mendapatkan gambar pertama dari dokumen penyitaan yang sudah ditandatangani. Wartawan menggali lebih dalam, memunculkan artikel-artikel investigatif yang selama ini terkubur, kini mendapat perhatian kembali.Di ruang kerja Jasmine, yang sementara dipinjam dari kantor hukum EILI, Kiara datang membawa berita besar."Lucas Greif ditangkap tadi pagi di perbatasan selatan Valmora," ucapnya cepat, napas sedikit terengah.Jasmine bangkit dari kursi. “Benarkah?”Kiara mengangguk. “Dia mencoba kabur ke wilayah netral, tapi ditahan setelah surat penangkapan internasional keluar malam tadi.”Suasana r
Noah, yang melihat semua itu, langsung menghubungi Jasmine.“Aku tahu ini menyakitkan. Tapi jangan biarkan hal-hal itu mengalihkanmu.”“Aku tidak akan mundur,” sahut Jasmine tegas. “Tapi aku tidak bisa bohong, ini melelahkan.”“Aku akan ke Eresia besok,” kata Noah. “Kamu tidak harus hadapi ini sendirian lagi.”Jasmine terdiam sejenak, lalu suaranya melunak. “Terima kasih. Mungkin kali ini... aku memang butuh bahumu lebih dari sekadar kata-kata.”Sore itu, Jasmine duduk sendiri di taman kecil belakang kantor EILI. Suara burung camar terdengar samar. Ia menutup mata sejenak.Langkah kaki menghampiri. Noah datang, lebih cepat dari yang dijanjikan. Pria itu berdiri di depannya, dengan senyum penuh kehangatan.“Aku tahu kau bilang besok,” kata Jasmine, sedikit terkejut.“Aku tahu kau butuh hari ini.”Jasmine berdiri. Mereka saling mendekat, lalu tanpa banyak kata, Noah menariknya ke dalam pelukan. Pelukan itu lama. Lama sekali. Seolah seluruh dunia menjadi latar belakang bisu.Saat Jasmine
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat b
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan