Chalista beberapa kali memeriksa kalender menstruasinya, memastikan kalau ia tidak salah hitung. Namun, hasilnya tetap sama. Ia sudah telat haid selama dua minggu.
“Gak! Gak mungkin!” Chalista komat kamit sepanjang perjalanannya keluar kantor.
‘Ini pasti gara-gara aku stres aja, makanya telat bulan ini,’ gumam Chalista meyakinkan dirinya sendiri.
Walaupun dia berusaha berpikir positif, tapi Chalista tetap memutuskan untuk pergi ke apotek di dekat kantornya untuk membuktikan dugaannya salah.
Setelah membeli testpack, gadis itu langsung berjalan menuju ke area kantornya dan mencari toilet di lantai 1. Chalista seakan tak bisa tenang memikirkan semuanya jika tak memastikan sekarang.
Dengan cepat, ia masuk ke toilet dan memakai testpack itu sesuai petunjuk.
Jantungnya berdebar sangat kencang, ditambah kondisinya yang memang tidak fit. Seluruh tubuh Chalista seperti dipukuli dua puluh orang.
‘Kumohon… kumohon… kumohon….’
Chalista terus berdoa sambil menunggu hasil testpack itu. Ia tidak mau ketakutannya itu menjadi nyata. Ia tidak mau membenci dirinya sendiri.
Dan, napasnya tercekat. Tatapannya jatuh ke dua garis merah yang ada di benda yang dia pegang.
‘Aku… hamil….’ tangan Chalista bergetar. Kejadian kelam malam itu meninggalkan benih pahit di rahimnya.
“Aku pasti salah liat gara-gara sakit!” Chalista masih berusaha menyangkal sambil mengusap air matanya yang entah sejak kapan merembes itu.
Penampilan sudah sangat kacau itu. Peluh menetes di dahinya dan tatanan rambutnya sudah rusak. Chalista terus menggoyangkan dan memukul-mukul testpack itu, berharap kalau benda itu rusak.
‘Ini bohong kan! Benda ini pasti rusak!’
Namun, hasilnya tetap tidak berubah.
Chalista menutup mulutnya, berusaha agar suara isakannya tidak terdengar sampai luar bilik toilet. Ia tidak mau orang-orang tahu ada wanita yang hamil anak kakak angkatnya sendiri, sedang menangis di sini.
“Bagaimana bisa ini terjadi padaku?” lirih Chalista, kini berganti menjadi tangis yang langsung meledak.
Chalista menyandarkan tubuhnya yang lemas itu di toilet itu sambil menjambak rambutnya frustasi.
Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Alasan kenapa akhir-akhir ini Chalista sering kelelahan dengan mood yang sering berubah-ubah, mual-mual, dan bahkan datang bulannya pun sudah terlambat.
Semua bukti ini benar-benar menampar Chalista.
Chalista tidak pernah punya pacar ataupun dekat dengan siapapun seumur hidupnya. Semua ucapannya kepada Rafael saat itu hanya kebohongan. Ia hanya tidak mau hubungan mereka berubah.
Dan membuat Chalista melanggar janjinya kepada sang papa angkat.
Tok! Tok! Tok!
“Apa ada orang di dalam?” Suara seorang wanita membuat Chalista terperanjat kaget.
Buru-buru Chalista merapikan penampilannya sendiri dan memasukkan testpack itu sembarang ke dalam tas kecil berisi peralatan make up dan uang, yang selalu ia bawa. Chalista langsung mengusap air matanya dan mengatur ekspresinya.
Chalista keluar dari toilet dan tersenyum canggung kepada wanita yang ingin memakai toilet itu. Ia melihat sekeliling. Sebelumnya, toilet itu sangat sepi. Entah sejak kapan jadi ramai begini.
Setelah mencuci tangannya, Chalista pun keluar dari toilet. Ia sengaja menata rambut panjang bergelombangnya itu sedikit menutupi sisi wajahnya. Ia tidak mau terlihat habis menangis.
Saat berdiri di depan lift yang ramai, tanpa sadar Chalista menyentuh perutnya sendiri. Pandangannya hanya nanar menatap orang-orang di depan sana. Bagaimana hidupnya setelah ini?
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia hamil anak Rafael, dan pria itu baru saja menikah.
Kemudian, terdengar sedikit keriuhan dari arah lobi. Pandangan karyawan di sana, termasuk Chalista, langsung tertuju pada Rafael yang berjalan beriringan dengan Monika. Sepertinya Rafael habis makan siang dengan istrinya.
Chalista semakin menekan perutnya dengan mata tidak terlepas dari Rafael. Ia melihat Monika pamit setelah memberikan satu kecupan di pipi Rafael. Pria itu pun tersenyum tipis setelahnya.
‘Mereka terlihat bahagia,’ gumam Chalista dalam hati. ‘Bagaimana bisa kamu muncul ketika ayahmu bahagia dengan wanita lain?’ lanjutnya, tertuju pada janin kecil di perutnya.
Chalista buru-buru mengalihkan pandangannya saat melihat Rafael menyadari keberadaannya. Ia kembali menatap lurus ke depan, dan berharap lift itu cepat terbuka.
Namun, tidak mungkin. Rafael sudah tiba di sebelahnya, bahkan sebelum lift itu terbuka.
“Datang ke ruanganku setelah ini, ada hal yang ingin kubicarakan,” ucap Rafael dengan gaya khas mode CEO nya.
“Baik, Pak,” jawab Chalista dengan suara serak. Lantas, matanya pun membulat, tidak menyangka kalau efek tangisannya tadi masih tersisa.
Ia melirik Rafael, takut kalau pria itu menyadarinya. Dan benar saja, pria itu tengah menatapnya dengan dahi mengernyit bingung. Buru-buru Chalista memalingkan wajah, tidak ingin Rafael melihat wajahnya yang sembab.
“Kamu—”
Belum sempat Rafael bertanya, pintu lift sudah terbuka. Chalista melupakan etikanya dan masuk lebih dulu ke lift itu setelah mencari celah di antara orang-orang itu.
Entah bagaimana caranya, Rafael sekarang bisa berdiri di sebelah Chalista kembali. Itu membuat Chalista tak bisa bernapas dengan tenang. Pria itu seakan-akan menyerap semua energinya, sampai Chalista tak bisa berkutik.
“Jika kamu sakit, jangan bekerja hari ini,” ucap Rafael pelan dengan nada dinginnya.
Chalista tanpa sadar terus meremas tas kecil yang dia bawa. Perjalanan menuju ke lantai 30 itu terasa begitu lama.
“Apa kamu tidak menjawabku, Chalista?” Rafael kembali berucap.
Suaranya yang dalam dan dingin itu membuat suasana di lift terasa menegangkan. Para karyawan yang tidak sengaja di situasi canggung itu hanya bisa menunduk. Dan ketika satu per satu mereka sampai di lantai masing-masing, terlihat jelas kelegaan itu.
Sekarang, tinggal Chalista dan Rafael berdua di sana, menuju lantai 30.
“Pulanglah. Kamu tidak perlu bekerja hari ini,” ucap Rafael berikutnya, tanpa menatap Chalista kali ini.
Chalista menelan ludahnya. “Saya baik-baik saja, Pak.”
Terdengar Rafael mendengus kesal.
Ting!
Chalista menarik napas dalam-dalam, merasa lega kalau mereka sudah sampai di lantai 30. Namun, baru saja ia keluar dari lift, kepalanya tiba-tiba terasa pening. Penglihatannya mulai kabur.
Bruk!
Chalista hampir pingsan di sana. Ia sudah jatuh, tapi kesadarannya masih tersisa setengah.
“CHALISTA!”
Chalista bisa mendengar Rafael berteriak memanggil namanya. Namun, tenaganya seperti sudah terkuras. Ia hanya bisa memegang perutnya yang terasa menegang.
‘Oh, tidak!’ Chalista menyadari sesuatu, dan berusaha meraih tas kecilnya yang ikut terjatuh. Ia melihat isi tas itu sudah berserakan.
‘Tidak, Kak Rafael tidak boleh melihatnya,’ gumam Chalista, tapi sungguh ia sudah tidak kuat. Tangannya hanya bisa menggapai, tidak bisa meraih benda itu.
Sebelum pandangannya menggelap, hal terakhir yang Chalista lihat adalah sosok Rafael yang memegang benda kecil berwarna putih-pink itu.
“SIAL!” desis Rafael.
“Lepaskan aku, Rafael,” cicit Chalista yang persis seperti anak kucing ketika ditindih oleh tubuh besar Rafael.3 tahun lalu, tubuh Chalista cukup berisi karena dia baru habis melahirkan namun sekarang karena pekerjaannya Chalista paling menjaga bentuk tubuhnya hingga menjalani diet ketat dan berhasil menjadi selangsing ini sekarang.Sementara Rafael sudah jauh lebih matang dari sebelumnya. Chalista dapat melihat otot otot lengan dan dadanya terdesak di kemeja yang dia pakai. Sepertinya Rafael memang menyalurkan semua kemarahannya melalui olahraga.Saat di posisi intim itu, Rafael benar benar menenggelamkan seluruh tubuh mungil Chalista hingga dia hanya bisa menelan ludah susah payah. Chalista tidak ingin berdekatan dengan pria ini untuk waktu yang lama.Ini bukan hanya sulit bagi Rafael tapi bagi dirinya juga.Namun Rafael hanya menatapnya dengan ekspresi dingin, seolah tidak terganggu sedikit pun oleh perlawanan itu. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, menciptakan jarak yang hampi
Malam itu, ruang makan keluarga Marone terasa begitu mewah. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memancarkan kilauan lembut di atas meja makan panjang yang diisi hidangan mahal nan menggoda. Chalista duduk di sebelah mamanya, sementara Rafael berada di sisi kanan Daddy—posisi yang cukup strategis untuk pembicaraan serius."Bagaimana perjalanan kalian dari Singapura?" tanya Tuan Marone sambil menyisip anggur merah di gelas kristalnya. Suaranya tenang, berwibawa seperti biasanya.Rafael, dengan sikap dinginnya, menoleh sekilas. "Tidak buruk. Saya selalu menikmati perjalanan udara, terutama di kelas utama."Chalista meliriknya diam-diam, mengingat percekcokan kecil di pesawat tadi. Wajah Rafael tetap tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya mengandung sesuatu yang sulit diartikan."Ah, perjalanan udara memang melelahkan," sahut Nyonya Marone lembut. "Kau tampak lebih kurus, Sayang. Kau pasti terlalu sibuk bekerja."Chalista hanya tersenyum tipis. Rasanya aneh duduk di meja makan
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena