“Pak, saya ucapkan selamat, istri anda hamil. Sudah 2 minggu,” ucap dokter itu sambil tersenyum kepada Rafael dan Chalista.
Deg!
Peluh menetes di wajah Rafael, yang berdiri di samping Chalista yang baru saja sadar dari pingsannya. Seluruh tubuh Rafael rasanya mati rasa saat mendengar ucapan dokter itu.
Setelah melihat Chalista pingsan di depan lift, Rafael langsung menggendongnya ke rumah sakit. Adegan itu dilihat beberapa orang karyawan, tapi Rafael tidak peduli. Ia hanya mengkhawatirkan keadaan Chalista, apalagi setelah melihat testpack itu.
Ketakutannya menjadi nyata.
“Apa?" tanya Rafael memastikan dia tak salah dengar.
Dokter itu langsung mengangguk sambil tersenyum. “Benar, Pak. Tapi, kondisi kehamilan istri anda perlu diperhatikan dengan lebih karena sepertinya dia stres akhir-akhir ini dan ini mempengaruhi kondisi janinnya.”
Sementara itu, Chalista yang terbaring lemah di brankar rumah sakit hanya menahan tangisnya. Ia melihat Rafael hanya diam, seperti tak tau harus mengucapkan apa.
Kejadian itu terjadi 1 bulan yang lalu atau lebih, dan umur kandungan Chalista sudah 2 minggu. Anak siapa lagi kalau bukan anak Rafael.
“Baik, terima kasih, Dok," ucap Rafael, berusaha berpikir tenang di tengah-tengah krisis yang ada. "Dan, bisakah saya bicara dengan Anda setelah ini?"
Rafael membawa Chalista ke rumah sakit keluarganya karena panik, dan ini sungguh keputusan paling bodoh. Namun beruntung, dokter yang menanganinya ini masih baru. Walaupun pasti gosip jika Chalista masuk rumah sakit akan menyebar, setidaknya Rafael harus mengurus yang satu ini dulu.
Dokter itu pasti tidak tau kalau Chalista bukanlah istri Rafael yang baru dia nikahi.
"Baik, Pak," jawab dokter itu.
Rafael melirik sekilas ke arah Chalista sebelum mengajak dokter itu ke luar dari ruangan. Mereka membicarakan hal tersebut tanpa sepengetahuan Chalista. Namun, Chalista tentu tahu apa yang akan Rafael bahas.
Rafael pasti akan meminta dokter itu menyembunyikan faktanya. Dia pasti malu dan jijik karena menghamili adik angkatnya sendiri.
Lima belas menit kemudian, Rafael kembali masuk. Pria itu menutup pintu rapat-rapat. Untung saja mereka ada di ruangan VVIP sehingga Rafael bisa berbicara sepuasnya dengan Chalista tentang masalah ini.
“Cha, kenapa kamu merahasiakannya dariku?” Suara berat Rafael semakin membuat tangis Chalista semakin keras. Tubuhnya sampai bergetar saking kerasnya Chalista menangis.
Rafael yang melihat itu menjadi tak tega, dengan lembut Rafael menepuk pelan punggung gadis itu agar membuatnya tenang, tapi itu tak berhasil karena Chalista langsung menatapnya dengan kilatan amarah dan mata merahnya.
“Ini semua salah kamu, Kak!!” lirih Chalista dengan suara seraknya. Air mata kembali menetes kala Chalista mengingat kejadian pahit yang menimpanya malam itu.
Tak henti-hentinya Chalista berandai-andai jika Chalista mau saat salah satu pelayan hendak mengantarnya ke kamarnya, jadi Chalista tidak akan berakhir di kamar yang salah dan melakukan hal itu bersama Rafael.
Jika saja Rafael tidak mabuk-mabukan malam itu, maka semua ini tidak akan terjadi. Oh, andai saja Chalista bisa melawan tenaga pria itu malam itu maka dia akan bisa kabur dari jerat masalah ini.
Sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Chalista hamil dan Rafael sudah menikah dengan istri yang sangat sempurna. Apa yang akan Chalista lakukan dengan janinnya ini?
Sungguh! Kali ini hidup benar-benar mempermainkan Chalista.
“Aku… benar-benar merasa bersalah dengan kejadian itu, tapi apa itu bisa memperbaiki keadaan sekarang?” tanya Rafael.
Chalista semakin menangis saat mendengar itu. Laki-laki memang seperti itu, tak akan pernah mengerti perasaan wanita, pikirannya selalu berdasarkan logika bukan perasaan. “Aku akan menggugurkan kandungan ini,” ucap Chalista sambil mengusap air matanya.
Benar! Itu satu-satunya jalan yang harus dia lakukan agar bisa keluar dari masalah ini.
“Jika kamu lupa, itu bukan hanya anakmu, tapi anakku juga. Apa kamu tega melakukan itu, Cha?” lirih Rafael dengan wajah yang sama kacaunya dengan Chalista. Biasanya Rafael selalu tenang dan rapi tapi kali ini dia terlihat sangat kacau.
Chalista sontak menatap Rafael. “Kamu gila, Raf? Bagaimana bisa aku mengandung anakmu saat kamu sudah menikah, Hah?” bentak Chalista denga nada tinggi. Dia sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran Rafael.
Rafaelpun sama bingungnya dengan Chalista. Dia berpikir sangat keras dengan kejadian ini. Segila apapun Rafael dengan reputasi dan segalanya, dia tetap masih punya hari nurani dengan tidak membunuh bayi dalam kandungannya.
Walau bagaimana pun bayi itu adalah anak pertama Rafael.
“Apapun itu, aku tidak akan membiarkanmu membunuh anak kita,” ucap Rafael.
Chalista langsung bangun dan menatap wajah Rafael dengan penuh luka yang dalam tersirat di wajahnya. “Anak kita, kamu bilang?” desis Chalista dengan tangan bergetar. “Kau bisa menganggap bayi ini anakmu, saat aku di sini berdiri sebagai adikmu, hah?” bentak Chalista sambil memukul-mukul dada Rafael dengan putus asa.
Rafael diam!
“Kamu jahat, Raf!! Kamu jahat!” tangis Chalista.
Rafael membiarkan Chalista menyalurkan semua emosi yang terpendam di dalam pikirannya. Chalista seperti orang kesetanan dengan memukul dada Rafael dengan tanaga yang tak seberapa itu, hingga Rafael berhasil menggenggam tangannya dan membuat Chalista berhenti.
Tatapan mereka bertemu dan dengan lembut Rafael langsung menarik Chalista ke dalam pelukan hangatnya. Chalista berhenti memukul Rafael dengan otomatis, saat kedua tangan pria itu merengkuh tubuh Chalista membiarkan gadis itu menenangkan pikirannya.
“Cha, aku akan menikahimu.”
Deg!
Ucapan Rafael sontak membuat Chalista menegang. Apa? Menikahinya? Saat Rafael sudah punya istri?
“Lepaskan aku, Rafael,” cicit Chalista yang persis seperti anak kucing ketika ditindih oleh tubuh besar Rafael.3 tahun lalu, tubuh Chalista cukup berisi karena dia baru habis melahirkan namun sekarang karena pekerjaannya Chalista paling menjaga bentuk tubuhnya hingga menjalani diet ketat dan berhasil menjadi selangsing ini sekarang.Sementara Rafael sudah jauh lebih matang dari sebelumnya. Chalista dapat melihat otot otot lengan dan dadanya terdesak di kemeja yang dia pakai. Sepertinya Rafael memang menyalurkan semua kemarahannya melalui olahraga.Saat di posisi intim itu, Rafael benar benar menenggelamkan seluruh tubuh mungil Chalista hingga dia hanya bisa menelan ludah susah payah. Chalista tidak ingin berdekatan dengan pria ini untuk waktu yang lama.Ini bukan hanya sulit bagi Rafael tapi bagi dirinya juga.Namun Rafael hanya menatapnya dengan ekspresi dingin, seolah tidak terganggu sedikit pun oleh perlawanan itu. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, menciptakan jarak yang hampi
Malam itu, ruang makan keluarga Marone terasa begitu mewah. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memancarkan kilauan lembut di atas meja makan panjang yang diisi hidangan mahal nan menggoda. Chalista duduk di sebelah mamanya, sementara Rafael berada di sisi kanan Daddy—posisi yang cukup strategis untuk pembicaraan serius."Bagaimana perjalanan kalian dari Singapura?" tanya Tuan Marone sambil menyisip anggur merah di gelas kristalnya. Suaranya tenang, berwibawa seperti biasanya.Rafael, dengan sikap dinginnya, menoleh sekilas. "Tidak buruk. Saya selalu menikmati perjalanan udara, terutama di kelas utama."Chalista meliriknya diam-diam, mengingat percekcokan kecil di pesawat tadi. Wajah Rafael tetap tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya mengandung sesuatu yang sulit diartikan."Ah, perjalanan udara memang melelahkan," sahut Nyonya Marone lembut. "Kau tampak lebih kurus, Sayang. Kau pasti terlalu sibuk bekerja."Chalista hanya tersenyum tipis. Rasanya aneh duduk di meja makan
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena