Selama beberapa detik, Ajeng hanya diam di tempatnya. Mencerna perkataan Evan yang terdengar seperti dialog dalam sebuah drama.
"Apa kamu tuli?" Bentakan Evan menyadarkan Ajeng. Dia sedikit mundur ketika melihat tatapan Evan yang dipenuhi dengan kebencian dan amarah. "Cepat tandatangani perjanjian pranikah ini dan kita menikah. Aku nggak mau menunda-nunda pengobatan istriku lagi." "Kamu gila, Van? Kalian memang pasangan gila. Kenapa kamu malah setuju dengan permintaan Ella?" cecar Ajeng. "Kamu pikir aku mau menikahi kamu? Kalau bukan karena Ella yang mengancam akan membiarkan bayi kami celaka karena penyakitnya nggak diobati, aku nggak akan sudi menikahi kamu." Ajeng tahu Evan sangat mencintai Ella. Bahkan pria itu begitu setia dan tidak mencari wanita lain hanya karena berbulan-bulan tidak dilayani di atas ranjang seperti kata Ella. Tapi tetap saja, perkataan itu menyakiti hatinya. Seolah-olah Ajeng sengaja menawarkan diri dan memaksa Ella agar Evan mau menikah dengannya. Kalau saja dia bisa membayar hutang itu, dia akan membayarnya. Masalahnya, usaha orangtuanya lama-lama sepi karena sering tutup dan uangnya habis untuk biaya pengobatan jantung ayahnya. "Cepat tandatangani. Jangan buang-buang waktu! Pekerjaanku sangat banyak, nggak seperti kamu," perintah Evan ketus. Menggertakkan gigi, Ajeng menghampiri Evan dan menyambar selembar kertas A4 yang sudah berisi tulisan-tulisan hasil ketikan komputer. Keningnya mengernyit ketika membaca perjanjian pranikah itu. Dia akan dinafkahi 50 juta per bulan, dibelikan 1 unit rumah dan mobil, harus melayani Evan dan mengasuh bayi mereka setelah lahir. "Kalian benar-benar pasangan gila. Aku bukan pelacur ya," sergah Ajeng geram. Dia tidak masalah dengan mengasuh bayi. Tapi yang lainnya membuat dia seolah-olah menjadi wanita panggilan. Atau lebih tepatnya wanita simpanan. Evan mengedikkan bahu. "Itu permintaan Ella. Sebenarnya dia minta kamu diberi nafkah 100 juta per bulan. Tapi aku ubah." Ajeng menatap Evan dengan kening mengernyit. Dia kembali melanjutkan membaca surat perjanjian itu. Pernikahan mereka akan berakhir setelah Ella sembuh. "Aku akan membawa Ella berobat ke Singapura setelah kita menikah. Aku yakin dia masih bisa disembuhkan. Setelah itu kamu bisa bebas." Ya, itu adalah solusi terbaik. Mereka hanya harus menuruti Ella, setelah itu fokus pada kesembuhan wanita itu. Tidak perlu drama. "Aku akan mengembalikan uang Ella dengan cara dicicil," ujarnya. "Tidak perlu. Kamu nggak akan mampu." Lagi, Ajeng merasa hatinya seperti tersengat. Menjadi orang kurang mampu memang sudah pasti dipandang remeh oleh orang-orang kaya seperti Evan. Ella yang dia kira adalah sahabat yang tulus berteman dengannya, ternyata malah menjebaknya. "Kalau nggak ada yang ditanyakan lagi, silahkan ditandatangani. Setelah itu kamu cari kerabatmu yang bisa menjadi wali nikah. Ayahmu harus secepatnya berangkat ke Singapura, kan?" "Kalau aku nggak mau menikah dengan kamu gimana?" tanya Ajeng, mencoba peruntungan. Evan menghentikan gerakan tangannya di atas dokumen dan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Terlihat meremehkan Ajeng. "Bayar uang 21 milyar itu dalam waktu satu bulan. Sekaligus waktu yang terbuang sia-sia karena Ella menolak untuk melakukan kemoterapi gara-gara kamu." Evan mendengkus dan membanting pulpennya dengan kasar. "Kalian sungguh merepotkan." Dengan sangat terpaksa, Ajeng menandatangani surat perjanjian pranikah itu di atas materai. Siapa yang mampu membayar hutang sebanyak itu dalam waktu satu bulan? Orang kaya memang selalu seenaknya. "Sekarang, cepat keluar dari sini. Aku nggak mau diganggu." Evan benar-benar menyebalkan. Dulu, pria itu tidak seperti ini meskipun tetap dingin. Sekarang, Evan memperlakukan Ajeng seperti kotoran. Dengan kesal, dia membanting surat perjanjian itu dan keluar dari ruangan sambil membanting pintu. Laki-laki di mana pun memang sama saja. Entah miskin entah kaya, mereka suka berbuat seenaknya. Sekarang, dia harus menghubungi sang ibu untuk mencari wali nikah. Tidak mungkin meminta ayahnya jauh-jauh datang ke kota ini hanya untuk menjadi wali nikah. Sementara ayahnya harus secepatnya berangkat ke Singapura untuk melakukan serangkaian pemeriksaan. "Nasibku benar-benar sial!" *** [Maafkan ayah ya, Jeng. Gara-gara ayah, kamu harus berada di situasi yang sulit.] "Ayah ngomong apa sih? Yang penting ayah bisa mendapatkan jantung yang baru. Kapan mulai operasi?" Sebisa mungkin Ajeng menahan air matanya agar tidak tumpah. Matanya mengerjap berkali-kali. Meskipun sang ayah sudah tahu dia menahan tangis, tapi mereka sama-sama saling berpura-pura tidak tahu. [Nanti malam baru berangkat ke Singapura. Doakan operasi ayah berjalan dengan lancar biar bisa mencari uang lagi. Siapa tahu kita bisa menyicil hutang kita pada Ella.] Kali ini, air mata Ajeng sudah tidak bisa lagi dibendung. Dia tersenyum sambil mengusap wajahnya, sedangkan sang ayah sudah menangis. Mereka akhirnya sama-sama menangis. Ajeng bahkan bisa mendengar ibunya ikut menangis. Wajah yang dulu begitu tampan khas orang dari negara penjajah itu kini terlihat rapuh dan tua. [Maafkan ayah, Nak. Seandainya ayah nggak dikasih penyakit seperti ini, kamu nggak harus ada di posisi sekarang.] Ajeng mencoba untuk tersenyum. Suaranya serak. "Nggak apa-apa, Yah. Memang sudah jalan takdir Ajeng seperti ini. Mungkin setelah Ella sembuh nanti, Ajeng mau pulang kampung saja. Uang nafkah dari Evan bisa untuk menambah modal." Lagi, ayahnya menangis. Ajeng hanya bisa menjauhkan wajahnya dari kamera ponsel agar tidak perlu memperlihatkan tangisannya yang semakin keras. Seandainya mantan ibu mertuanya tahu, wanita itu pasti tertawa terbahak-bahak karena menertawakan nasibnya. Sudah dicerai karena mandul, sekarang harus menjadi istri simpanan suami sahabatnya sendiri. Tapi melihat bagaimana sikap Evan tadi, Ajeng mendadak mendapatkan secercah harapan. Evan sangat mencintai Ella. Tidak mungkin pria itu akan mengkhianati sang istri dengan menyentuh Ajeng. Ya, dia sangat yakin akan hal itu. Mereka hanya perlu menikah di depan Ella, setelah itu sahabatnya tidak perlu tahu dengan kehidupan rumah tangga Ajeng dan Evan. Ah, kenapa juga Ajeng harus berpikir terlalu keras? Padahal tidak akan ada yang tahu tentang pernikahan keduanya nanti. Yang tahu hanya Ella, Tante Dahlia, dan Om Albert. Serta paman Ajeng satu-satunya. [Biar mamamu yang menelpon Om Dennis. Dia kebetulan ada di kota dekat tempatmu tinggal.] Ajeng mengangguk. "Cepat sembuh ya, Yah. Ajeng sayang sama ayah." Setelah sambungan video call terputus, Ajeng menghela nafas panjang. Entah kenapa ia merasa gugup. Padahal seharusnya biasa saja, toh hanya menikah secara siri. Bahkan kebaya yang akan dipakainya pun dibeli secara dadakan di butik. Ponselnya kembali berbunyi. Panggilan dari Ella. Ajeng menghela nafas panjang. Dengan malas dia menerima panggilan itu. [Akhirnya kamu mau menikah dengan Evan. Sekarang aku menang.] "Hah? Maksud kamu apa El?"H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi