Sophia melangkah masuk ke dalam ballroom dengan anggun, tangannya menggenggam lengan ayahnya, Robert, yang berjalan di sisinya. Ballroom itu sudah dipenuhi tamu-tamu dari berbagai kalangan. Pria-pria berjas rapi berdiri dengan wibawa, sementara para wanita mengenakan gaun-gaun mahal. Namun, tidak ada yang lebih memukau di ruangan itu selain Sophia. Gaun putih gadingnya dirancang sempurna, membalut lekuk tubuhnya dengan anggun. Kainnya jatuh menjuntai dengan elegan, dihiasi payet-payet kristal yang berkilauan setiap kali ia bergerak. Di sudut ruangan, Daniel berdiri tegak dengan segelas whiskey di tangannya. Saat pertama kali melihat Sophia, ia terdiam. Jantungnya berdebar cepat. Pandangannya tak bisa lepas dari sosok wanita yang selama ini memenuhi pikirannya. Cantik. Bahkan kata itu saja terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan betapa mempesonanya Sophia saat ini. Namun, seiring langkah Sophia yang semakin mendekat ke altar, sesuatu di dalam dirinya terasa han
Aroma itu. Begitu familiar. Sophia mengerutkan keningnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat indera penciumannya menangkap wangi yang sudah terpatri dalam ingatannya—aroma khas perpaduan woody musk yang selalu melekat pada seseorang di masa lalunya. Minyak wangi dengan sentuhan cedarwood dan amber yang maskulin, yang dulu sering menyelimuti dirinya dalam pelukan seseorang. Bukan, itu bukan aroma David. Itu aroma Daniel. Kesadaran itu membuat tubuhnya menegang. Ia tidak mungkin salah. Meski sebelumnya ia tidak mengenal wangi khas David, ia tahu pasti siapa pemilik aroma ini. Dengan suara yang bergetar, ia berbisik, “Daniel .…” Lelaki itu tak langsung menjawab. Namun, dari balik kegelapan, suara rendah dan beratnya terdengar begitu dekat di telinga Sophia. “Kenapa kau memanggilku, hm?” Mata Sophia membelalak. Seketika, ia mendorong tubuh lelaki itu agar segera menjauh darinya. Dadanya naik turun, napasnya juga sudah memburu hebat. Kenapa Daniel bisa masuk ke kamarny
“Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu masih memikirkan David?” Daniel berbaring di belakang Sophia, kedua lengannya melingkar erat di perut rata wanita itu, seolah tak ingin membiarkannya pergi. Ia bisa merasakan denyut jantung Sophia yang tenang, napasnya yang pelan, dan kehangatan kulitnya yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Sophia tidak langsung menjawab. Hanya ada helaan napas panjang sebelum ia akhirnya berucap, “Tidak. Aku hanya berpikir ... bagaimana aku bisa pergi darimu.” Berulang kali Sophia mengatakan ingin pergi dari hidup lelaki itu, tapi pada akhirnya, ia kini malah terjerat dalam dekapan hangat Daniel lagi. Mereka berdua kini masih berada di tempat tidur. Rambut panjang Sophia berantakan, sebagian terurai di bantal, sebagian lagi tersangkut di bahu Daniel. Aroma samar dari tubuh wanita itu masih melekat di kulitnya, mengingatkannya pada malam yang baru saja mereka lewati—malam yang penuh gairah, tetapi juga dipenuhi kekosongan yang tak terucap. Tempat tidur
“Sophia.” Suara berat itu menyusup ke telinga Sophia, membuat tubuhnya membeku di tempat. Ia baru saja melangkah ke luar dari kamar mandi, saat itu juga mendapati sosok pria jangkung sudah berdiri di sana—begitu tiba-tiba, begitu diam, hingga membuat napasnya tersangkut di tenggorokan. Mata Sophia membulat. “David? K-kamu ada di sini?” Ia menelan ludah dengan susah payah. Hawa di ruangan ini mendadak terasa lebih dingin, menusuk ke tulang. Jantungnya berdegup liar saat bertemu tatapan tajam David yang seolah menembus ke dalam dirinya, menelanjangi segala rahasia yang ia coba sembunyikan. Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan pandangannya menyapu seisi kamar dengan teliti. Tempat tidur yang seharusnya rapi kini berantakan; selimut terjatuh ke lantai, seprei kusut dengan lipatan tak semestinya. Kelopak mawar yang semula tertata indah kini berserakan, kehilangan keanggunannya. Gaun pengantin putih teronggok begitu saja di lantai, separuhnya terjunta
David duduk di sofa empuk suite hotel mewah, menyandarkan kepalanya di satu tangan. Kemeja putihnya sudah terbuka beberapa kancing, memperlihatkan sebagian kulit dadanya yang berdenyut tegang. Ia tidak bisa berhenti berpikir. Di sampingnya, Anne menyilangkan kaki dengan anggun. Gaun satin merah membalut tubuhnya dengan sempurna, kilaunya berpendar samar di bawah lampu kamar. Jemari lentiknya bergerak perlahan di sepanjang lengan David, seperti seekor kucing yang menggoda tuannya. Lelaki itu tidak langsung merespons. Pikirannya masih tertuju pada Sophia—atau lebih tepatnya, pada percakapan terakhir mereka sebelum ia pergi. ‘Apa tadi malam ada orang lain yang datang ke kamar ini?’ Pertanyaan itu bergema di kepalanya. Tatapan Sophia yang bergetar, gerak tubuhnya yang kaku—semuanya seolah meneriakkan sesuatu yang ia belum bisa pecahkan. Anne memperhatikan perubahan ekspresi David, lalu tersenyum miring. “Kau akhirnya berhasil kabur dari istrimu, hmm?” David menghela napas panjang s
Sophia menyipitkan matanya, mencoba mengingat lebih dalam. Ada sesuatu tentang Anne yang terasa begitu familiar, seolah ia pernah melihat wajah itu sebelumnya, tapi di mana? “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” selidiknya, sembari menatap lekat wanita yang ada di hadapannya itu. “Ini pertama kalinya kita bertemu, Nona Sophia.” Anne tersenyum tipis, tapi ada ketajaman dalam tatapan matanya. “Oh … mungkin aku yang salah ingat.” Sophia menghela napas, mencoba mengabaikan firasat aneh yang menggelayuti benaknya. Meski Anne berkata demikian, tapi entah mengapa ia seakan tak asing pada wajah wanita yang ada di hadapannya kini. Mencoba meredam semua keraguannya, Sophia hanya menatap wanita itu yang perlahan berjalan ke arah ranjang. Tangannya menyentuh meja rias, lalu berpindah ke ranjang berukuran king size, seolah ia sedang menilai sesuatu. “Ini kamar yang indah,” katanya, lalu berbalik menatap Sophia. “Apa Anda menyukainya?” “Ini sudah lebih dari cukup.” Anne tersenyum ke
“Anne mendengar perkataan kita,” suara Sophia bergetar, matanya membulat sempurna, ia begitu cemas saat Anne menguping pembicaraan mereka. Ia pikir, Anne sudah pergi sedari tadi, tapi ternyata wanita itu masih di luar kamarnya. Sebenarnya apa yang ingin wanita itu lakukan? Seakan pergerakan Sophia di mansion ini selalu dalam pengawasannya. Dan tentu saja, hal itu membuat Sophia tak tenang. Tetapi beda lagi dengan Daniel, wajah lelaki itu tetap tenang, matanya tak lepas dari wajah Sophia yang mulai gelisah. “Kau tidak perlu takut,” katanya santai. “Semua ruangan di mansion ini kedap suara.” “Tapi bagaimana jika dia mendengar semuanya?” Sophia tetap bersikukuh, ia masih merasa tidak tenang, pikirannya dipenuhi kemungkinan buruk yang mungkin saja bisa terjadi. Daniel menatapnya sejenak sebelum mendekat, suaranya lebih rendah, tapi terlihat begitu yakin. “Kalau pun dia mendengar, itu hanya akan membuatnya lebih waspada. Dan itu bukan sesuatu yang buruk.” Sophia menelan ludah, menco
Sophia melangkah cepat di lorong rumah sakit, sepatu hak rendahnya berdetak pelan di atas lantai marmer yang dingin. Bau khas antiseptik bercampur dengan aroma obat-obatan sudah menyusup ke dalam hidungnya, membuat perutnya terasa mual. Panik sudah ia rasakan ketika mendengar ayahnya mengalami kecelakaan, dan ia hanya berharap tidak terjadi apa-apa dengan ayahnya itu. Begitu sampai di depan ruang perawatan, matanya langsung menangkap sosok Rose yang duduk di kursi panjang dengan wajah cemas. Tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya, dan matanya tampak sembab, seperti habis menangis. “Bu!” Sophia segera menghampiri dan berjongkok di hadapan ibunya. “Bagaimana keadaan Ayah?” Rose mengangkat wajahnya perlahan, menarik napas panjang sebelum menjawab, “Dokter bilang dia mengalami benturan keras di kepala dan beberapa tulang rusuknya patah,” jawabnya dengan suara lirih. “Mereka sudah melakukan operasi darurat, tapi ayahmu masih belum sadar.” Dada Sophia terasa sesak.
Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi
Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.
"Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau
Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa
Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L
Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den
Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur
"Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha
Daniel menghembuskan napas panjang saat langkahnya sampai di depan pintu apartemen. Hari ini begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya yang terus dipenuhi oleh sosok Sophia. Ada banyak hal yang harus ia pikirkan, tetapi semua terasa begitu buntu. Dengan sedikit enggan, ia merogoh kunci dari saku celananya, memasukkannya ke dalam lubang kunci, lalu memutar kenop pintu. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang sudah berkali-kali ia lihat kembali menyambutnya. Laura berdiri di ambang kamar, bersandar di dinding dengan pakaian minim yang jelas dirancang untuk menggoda. Sebuah lingerie sutra berwarna merah melekat di tubuhnya, memperlihatkan kulitnya yang mulus. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, beberapa helai jatuh ke bahunya dengan cara yang tampak natural, seolah tanpa usaha. Seharusnya pemandangan itu bisa menggoda siapa pun—tapi tidak bagi Daniel. "Welcome home, darling," suara Laura terdengar lembut, mengandung nada genit yang sudah sangat familiar di