Mentari telah muncul dari peraduan, setiap insan manusia kini siap memulai aktivitas. Begitu juga dengan seorang gadis berambut panjang diikat gaya ekor kuda. Sebuah apron telah melekat di tubuhnya, bersiap untuk membuka warung makannya.
Berbagai makanan telah ia susun rapi di steling makanan, kemudian ia beranjak untuk melap semua meja dan merapikan kursi, menyusun kotak-kotak tisu di atas meja. Ia memindai semua sudut warung makannya, setelah merasa semua rapi ia pun beranjak ke arah stelling untuk bersiap menyambut para pelanggannya.
Hari ini sang asisten tidak bisa menemaninya karena sedang sakit. Ia sendiri yang harus bekerja melayani para pelanggan.
"Satu piring nasi uduk, Mbak Ayu sekalian dengan teh hangatnya."
"Baik, Mas," ucap Ayu sopan.
Ia pun mempersiapkan pesanan dengat cekatan dan mengantarnya ke meja yang ditempati pelanggan tersebut.
"Silahkan dimakan, Mas," ucapnya setelah meletakkan sepiring nasi uduk dan teh hangat di atas meja.
"Terima kasih, Mbak Ayu. Sediri aja nih?" tanyanya sembari mengedarkan pandangan seperti mencari-cari sesuatu.
Ayu menggangguk sebagai jawaban. "Ati kemana emang?" tanya pria itu.
"Lagi sakit, Mas. Dari semalam sudah minta izin buat kerja hari ini," jawab Ayu dan meninggalkan pria itu.
Satu persatu pelanggannya telah bermunculan, Ayu dengan cekatan mengantar pesanan ke setiap meja pelanggan. Peluh mulai bercucuran dari dahinya. 'Seharusnya gue minta tolong anak Bu Sapri buat bantuin gue hari ini' bathin Ayu.
Ia sangat kewalahan di pagi ini, tanpa ia sadari seorang pria mengangkat piring-piring kotor dari atas meja dan memindahkannya ke dapur. Lengan kemeja digulung sampai ke siku, hingga menampilkan otot-otot kekar di lengannya.
"Kalau kamu capek, istirahat saja dulu. Biar saya yang melayani mereka."
Suara bariton mengagetkannya dan membuat ia harus membalikkan badan ke arah sumber suara. Sontak ia mengerjapkan matanya berulang kali, memastikan penglihatannya tidak salah.
"Bang A-dam?" Ayu terbata tak percaya dengan pria tinggi tegap di hadapannya.
"Benar ini Bang A-dam?" tanyanya lagi memastikan apakah pria itu benar-benar Adam yang ia kenal. Abang kelasnya sewaktu ia duduk di bangku SMA.
"Iya, ini Abang kesayangan kamu," jawab pria yang bernama Adam itu.
"Dari mana Abang tahu, kalau Ayu ada di sini?"
"Kamu istirahat saja dulu. Duduk sebentar mumpung belum ada yang beli. Piring kotornya biar Abang yang bereskan," ucap Adam sembari berlalu hendak mengambil piring kotor, tapi langkahnya terhenti ketika Ayu memanggilnya.
"Bang!" panggil Ayu dan Adam pun berbalik.
"Ada apa?" tanya Adam dengan lembut. Ternyata pria yang penuh rajaman di sekujur tubuhnya bisa selembut ini.
"Kangen," ujar Ayu dengan manja dan mendekat untuk memeluk tubuh Adam. Namun, sebelum memeluknya ia memasang apron pada tubuh pria itu dan mengikatnya denga rapi. Ia memeluk tubuh Adam dengan erat dan Adam mengelus punggung Ayu yang sudah ia anggap seperti adik sendiri.
Pemandangan di hadapannya membuat seorang pria mengeratkan kepalan tangannya, rahangnya mengeras, napasnya memburu, dan dadanya naik turun. Netranya menatap tajam seolah siap untuk menghunus dua insan yang sedang berpelukan itu. Giginya bergemelutuk ketika netranya bertatapan sekilas dengan pria yang memeluk Ayu.
Dito belum menyadari perasaan bosnya, ia melangkah dan memasuki warung dan berdehem agar dua insan itu saling melepaskan pelukan.
"Ehm."
Ayu segera melepaskan pelukan dari Adam dan membalikkan badan, sementara Adam ia langsung kembali menyimpan piring-piring kotor ke dapur dan mencucinya.
"Mau pesan apa Pak Dito?" tanya Ayu ramah. Capeknya sudah hilang dan wajahnya kini kembali bersemangat.
"Saya pesan lontong saja, Mbak Ayu. Jangan lupa teh hangatnya, Mbak," ucap Dito memperingatkan. Ia pun menoleh dan mendapati bosnya masih mematung yang padangannya tertuju entah kemana.
"Ren!" panggil Dito. "Lo kok masih bengong di situ? Lo jadi makan gak?" lanjutnya sambil menghampiri Rendra.
Ia pun mengibaskan tangan di depan wajah pria yang mengenakan kemeja berwarna abu-abu itu. Sontak Rendra mengerjapkan mata dan ia terkejut.
"A-apa?" ucap Rendra terbata.
"Lo mau pesan makan apa?" tanya Dito sekali lagi.
"Samain sama pesanan lo," jawab Rendra dan melangkah masuk ke warung tanpa menoleh pada Ayu.
"Mbak, Yu, jadi dua ya!" seru Dito dan melangkah mendekati Rendra.
"Siap Pak Dito," jawab Ayu dengan senyuman di wajah putihnya.
Ayu mengantar pesanan ke meja di mana Dito dan Rendra duduk dengan jantung berdebar. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya guna mengurangi debaran jantung. Entah kenapa asal ia melihat pria berkemeja abu-abu itu jangtungnya seolah ingin melompat dari rongganya. Apalagi semenjak kejadian di kebun kopi tempo lalu.
"Ini pesanannya Pak," ucap Ayu sembari meletakkan dua piring lontong ke hadapan Dito dan Rendra, tak lupa ia letakkan 2 gelas teh hangat.
"Terima kasih," ucap Rendra.
Dito memalingkan wajah menatap sang bos, keningnya mengkerut dan bola matanya hampir melompat keluar. Ia tak percaya atas apa yang didengarnya.
"Ia mengucapkan terima kasih?" gumannya lirih hampir berbisik.
Bersambung.
"Ternyata hidupmu baik-baik saja sampai saat ini."Wanita itu mengepulkan asap dan menjetikkan abu rokok ke asbak. Ia mengamati lawan bicaranya yang masih tak bergeming kala diajak berbicara. Kemudian ia meneguk minuman dari beer mug, kembali ia mengisap rokok dan mengepulkan asap membentuk bulatan-bulatan."Apa selama ini dia tak pernah mencarimu?" tanya wanita berambut pendek itu lagi. Ia menatap wajah lawan bicaranya dengat lamat-lamat."Dia tak akan pernah mencariku," jawabnya sembari meneguk bir. Ia memanggil bartender untuk menambah bir ke gelasnya yang isinya telah habis ia teguk."Wahhh, kau benar-benar hebat." Wanita berambut pendek itu bertepuk tangan. "Setelah kau melarikan diri dan membawa kabur uangnya. Kau sangat terlihat santai saat ini," lanjutnya lagi. Ia juga memberi kode kepada bartender agar menambahkan bir ke gelasnya."Kau juga menikmati hasilnya!"***"Kemana saja kau selama ini?"Ayu baru saja dari dapur membawa dua gelas kopi dan meletakkan di meja. Mengambil
Setelah Adam pamit, Ayu segera mambasuh wajah dan gosok gigi. Setelahnya masuk kamar, tetapi sebelum merebahkan diri di kasur yang menemani selama lima tahun ini. Ia melakukan ritual malam terlebih dahulu. Mengaplikasikan krim malam ke seluruh wajah.Awal ia tinggal di desa ini merasa kedinginan karena suhu udara pada malam hari hampir mencapai 20° Celcius. Bahkan setiap malam ia harus menyalakan perapian agar ruangan tetap hangat. Namun, seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa dengan suhu udara di desa ini dan bahkan ia hanya menggunakan sweater rajut dan selimut. Tidak seperti di awal ia tinggal, memakai kaos kaki, sarung tangan, topi kupluk, jaket tebal, dan selimut tidak cukup satu. Ia memakai sampai tiga selimut sekaligus.Mungkin satu-satunya rumah yang menggunakan penghangat ruangan hanya villa pemilik perkebunan. Kepala desa di tempat ini saja, masih sama dengan penduduk lainnya. Hanya menggunakan jaket dan selimut seadanya ketika tidur.Ayu menatap lamat-lamat langit kama
Setelah Ayu menutup warung ia bergegas pulang. Rencananya ia akan bertemu pemilik ruko di ibukota. Ruko yang ditawarkan lumayan murah karena pemilik sangat butuh uang saat ini juga. Mudah-mudahan pemilik ruko tidak berubah pikiran. Lokasi ruko sangat dekat dengan gedung perkantoran dan cocok untuk membuka cafe.Secepat kilat Ayu mandi dan berpakaian, ia tidak boleh terlambat bertemu dengan pemilik ruko. Ditakutkan akan ada yang terlebih dahulu untuk membeli. Siapa cepat dia dapat. Ia akan bertemu sekitar jam 1 siang, selepas makan siang. Jika tidak terjadi kemacetan dipastikan Ayu akan sampai setengah jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan.Ayu menunggu di salah satu warung depan ruko, mereka janji bertemu di tempat itu. Sambil menunggu ia memesan es teh manis dingin dan membuka ponselnya. Berselancar di dunia maya guna mengusir kebosanan. Selama ini dia jarang membuka media sosialnya dan ternyata teman-teman SMA nya dulu sudah banyak yang menikah."Sudah lama menunggu Bu Ayu?"Sap
"Apa? Ada yang membeli ruko bapak dengan harga yang lebih tinggi?"Netra Ayu membola mendengar suara di seberang, selalu begini setiap dia akan membeli ruko. Ini sudah yang ketiga kali, ia terduduk lesu di kursi teras kost Roma. Meski pemilik akan mentransfer uang Ayu kembali dan tentunya dengan dua kali lipat dari harga awal. Tetap saja membuat Ayu tidak suka dan mencurigai orang lain, tapi siapa?Entah siapa yang melakukan hal itu, tentunya ada orang lain yang tidak suka dengan Ayu. Selama ini Ayu merasa tidak memiliki musuh, lima tahun tinggal di desa ia selalu ramah dan tak pernah membenci orang lain. Ia juga tak pernah berbuat jahat, hidupnya selau lurus-lurus saja.Jika ruko yang pertama dan kedua gagal ia miliki, ia tidak ambil pusing dan tidak mempermasalahkan karena lokasi tidak strategis dan banyak yang perlu di renovasi. Untuk yang ketiga ia tidak terima, ia sudah membayar meski sebagian. Ruko itu juga sangat ia suka karena lokasinya berdekatan langsung dengan gedung perka
"Kau kembali, Son!"Bayu merangkul putra sulungnya kemudian melangkah bersama ke ruang keluarga. Duduk secara berhadapan, netra tuanya berpendar. Bahagia akan kehadiran putranya di rumah utama.Selama lima tahun terakhir, putra sulungnya hanya tinggal di apartemen tanpa sekalipun pernah pulang ke rumah. Meski mereka sering bertemu di ruangannya, anaknya lebih banyak menutup diri dan hanya bekerja dibalik layar. Itu sebabnya ia sangat bahagia ketika putranya kembali, ia seperti menemukan anaknya yang hilang."Ayah senang kamu mau kembali ke rumah kita," ucap Bayu menatap lekat pada wajah putra sulungnya."Aku telah memikirkah semuanya, tidak ada gunanya aku mengurung diri. Malah semakin membuatku terpuruk dan jatuh ke jurang yang dalam. Beruntung aku masih mempunyai kalian yang mau menopangku saat aku sudah jatuh terlalu dalam.""Bagus, itu baru namanya putra ayah!" Seorang pelayan masuk dan membawa teh dan kue kering. Setelah meletakkan di atas meja, pelayan itu pun permisi."Terima
Seharusnya Rendra yang menjemput ibunda dan adiknya ke bandara karena banyaknya pekerjaan yang harus ia selesaikan, akhirnya ia meminta supir pribadinya untuk menjemput. Dito menyerahkan semua dokumen pada Rendra untuk diperiksa. Yang biasanya ia hanya perlu menandatangani saja karena semua sudah pasti beres dibuat sang asisten.Namun, kali ini sang asisten seakan sengaja membuat ia sibuk. Padahal pria itu tahu bahwa akan menjemput ibunda dan adiknya yang baru kembali dari Jerman. Lagi-lagi sang asisten tak peduli, toh ada supir yang bisa menjemput. Seandainya pun, ia yang menjemput toh supir juga yang akan menyetir."Ada lagi yang perlu diperiksa?" tanya Rendra pada Dito dengan nada datar."Tidak ada, itu yang terakhir," jawab Dito santai seakan tak merasa bersalah telah membuat sang bos bekerja seharian penuh.Mereka hanya istirahat saat makan siang saja. Pagi ada rapat dengan para investor, setelah itu ada meeting dengan klien dari Jepang dan sorenya harus memeriksa dokumen yang ha
Ayu memutuskan untuk ke kebun kopinya setelah ia selesai merapikan warung makan. Sudah dua minggu ia tak pernah ke kebun. Mengingat bagaimana sibuknya ia harus pulang-pergi ke Jakarta hanya untuk bertemu pemilik ruko, yang pada akhirnya secara sepihak membatalkan pembeliannya. Betul saja, sesampainya di kebun, kopi sudah banyak berjatuhan dan sebagian sudah dimakan luwak. Tanpa menunggu lama ia langsung memetik kopi karena dari rumah ia sudah berpakaian dinas yaitu baju lengan panjang dan celana training, juga memakai kerudung. Tak lupa ia memakai caping sebagai penutup kepala guna menghindari sinar matahari yang langsung menerpa wajah yang telah ia olesi bedak dingin. Lebatnya buah kopi membuat ia bersemangat untuk memetik, tak terasa ember cat 25kg itu telah terisi penuh. Ia berencana memindahkan kopi kedalam goni, saat ia telah memindahkan setengah isi ember ke goni, ia terkejut mendengar suara mengaduh. "Aduh!" "Kamu tidak apa-apa?" Ayu bergegas menghampiri anak kecil yang ter
"Om!" seru Ober dengan girang begitu melihat pemuda berpakaian santai berdiri tegak tidak jauh darinya.Dengan langkah kecilnya Ober berlari menghampiri pemuda tinggi tegap dan pemuda itu dengan sigap menggendong."Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Rendra. Ober menggeleng sebagai jawaban.Rendra menurunkan Ober dari gendongan dan memeriksa setiap jengkal tubuhnya."Lututnya lecet, ia terjatuh tadi," ujar Ayu dengan gugup. Ia tahu, pria yang sedang dihadapinya, pria yang membuat dia sampai terlambat masuk kerja."Lutut sebelah kiri," beritahu Ayu. "Saya sudah mengobatinya," lanjut Ayu lagi."Terima kasih," ucap Rendra tulus.Rendra yang pertama kali menemukan Ober, ia sudah pernah ke pondok Ayu sebelumnya. Karena saat mengitari perkebunan, ia iseng ingin melihat Ayu. Karena seharian ia tak melihat dan warung Ayu juga tutup.Ia berkeliling kebun kopi Ayu dan melihat ada sebuah pondok. Ia pun memutuskan untuk duduk di pondok, karena matahari bersinar sangat terik. Wangi pondok Ayu yang