Malam ini, Olivia diminta oleh Willson untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Tuan Liam. Sebenarnya, Olivia enggan untuk pergi. Karena mereka baru saja berduka atas kepergian Clara.
Namun, Willson memohon pada Olivia untuk dapat mewakilinya. Kesehatan Willson juga akhir-akhir ini kurang baik. Kesehatannya mulai menurun sejak fokus merawat Clara dalam masa-masa sakitnya kemarin. Bahkan, Perusahaan pun sudah terbengkalai.
"Pergilah, Nak. Hanya kau satu-satunya harapanku saat ini. Aku tidak mungkin lagi mengurus semuanya, usiaku sudah senja. Sudah waktunya aku istirahat dari segala urusan pekerjaan." ucap Willson dengan suara lirih.
"Tapi, Yah. Aku sedang tidak ingin kemana-mana. Tristan juga pasti sedang melepas rindu dengan keluarganya." jawab Olivia malas.
"Keluarga Tuan Liam sudah banyak membantu kita di masa lampau. Rasanya tidak baik jika kita mengabaikan undangan dari keluarga mereka."
"Mereka tentu paham, kita sedang dalam suas
Saat tiba di gedung mewah tempat perayaan hari jadi itu berlangsung, Olivia sudah sedikit terlambat. Dengan langkah besar ia mencoba setengah berlari memasuki aula pesta. Tepat saat ia masuk, keadaan sedang hening karena Tuan Liam baru saja akan memotong kue ulang tahunnya. Semua mata memandang pada Olivia. Para lelaki menatap dengan tatapan terpesona dan tak sedikit yang berhasrat dan berhalusinasi bisa membawa tubuh indah itu ke dalam pelukannya. Sementara, para wanita menatap dengan rasa iri dan was-was, takut pasangannya tergoda dan berpaling darinya. Di antara kerumunan itu, ada sepasang mata yang terbakar api cemburu tengah menatapnya dalam. Lucy. Wanita itu menatap Olivia dengan tatapan tak suka, mungkin lebih tepatnya benci. Karena, sejak ia masuk tadi, mata Albert tak berkedip memandang ke arahnya. Sementara di samping pria angkuh itu, Lucy sudah berdiri dan berusaha menggoda cukup lama dengan penampilannya yang cukup seksi malam ini. "Wah, Nona. Kau
Seminggu sudah berlalu, sejak Olivia pulang ke rumah orang tuanya. Dan ia berencana untuk pulang ke Desa sore ini. Tapi, ia belum membicarakannya dengan Ayahnya, Willson. Kebetulan, siang ini Tristan datang kembali untuk mengunjungi Zacky dan Zahra. Jadi, ia ingin sekaligus berpamitan pada Willson. "Ayah, ada yang ingin kukatakan." ucap Olivia saat melihat Willson duduk di kursi goyangnya, tengah menatap foto kekasihnya dengan sendu. Willson memang masih sulit menerima kenyataan bahwa Clara telah tiada. Meski pun di luar ia tak terlihat bersedih, siapa sangka di dalam hatinya terluka sangat parah. Kehilangan yang ia rasakan, sungguh tak pernah ia bayangkan akan sesakit ini rasanya. "Ayah..." ulang Olivia, membuyarkan lamunan Willson pada bingkai foto berisi gambar dirinya dan Clara sedang menggendong putri kecil berusia dua tahun. Siapa lagi kalau bukan Olivia. "I-iya. Ada apa? Apa kau sejak tadi berdiri di sana?" tanya Willson seraya menghapus
Di mansion mewah miliknya, Albert sedang berkutat di depan laptop kerjanya. Tiba-tiba ponselnya berdering. "Ada apa, Mike?" Albert to the point pada si penelpon yang tak lain dan tak bukan adalah orang kepercayaannya, Mike. "Tuan, hasil tes DNA sudah keluar. Aku sedang dalam perjalanan ke mansion untuk mengantarkannya padamu." jawab Mike di ujung telepon, sambil mengemudikan mobilnya. "Baik, segeralah. Aku menunggumu di ruang kerja." Albert mengatakan itu, kemudian menutup panggilan sepihak. Albert sudah tidak fokus lagi memeriksa pekerjaannya. Perasaannya tak tenang saat ini, pikirannya tak karuan. Ia tak sabar lagi menunggu kedatangan Mike. Tepat pukul lima kurang dua puluh menit, terdengar suara ketukan pintu di luar ruangan kerjanya. "Masuk," jawab Albert dengan wajah tegang. Pintu terbuka dan muncullah orang yang sudah di tunggu-tunggunya sejak tadi. Mike masuk dan langsung menyodorkan amplop putih itu di depan wajah Alber
Albert masih terdiam dan merenungi semua ucapan yang dilontarkan Olivia tadi. Hal itu mengingatkan dirinya pada saat-saat pertama pertemuan dan pernikahannya dengan Olivia. Gadis itu sangat galak. Dia selalu saja berbicara dengan nada marah dan menentang Albert. Tapi, karena sikapnya itulah Albert akhirnya menjadi luluh dan jatuh cinta padanya. 'Apakah kata maaf saja, cukup untuk menebus semua kesalahanku di masa lalu? Andai dulu aku mendengarkan penjelasanmu. Akan terlalu banyak mungkin yang terucap untuk semua waktu yang kulewati tanpa dirimu. Maafkan aku!' lirih Albert dengan tatapan sendu pada sebuah gambar di dalam bingkai kaca kecil di atas meja kerjanya. Saat mengetahui tentang identitas Zacky dan Zahra, Albert juga mengetahui cerita sebenarnya tentang kejadian empat tahun silam. Semua gara-gara Monica. Wanita licik itu telah merubah banyak hal dalam hidup Albert dan Olivia. Tapi kini, Monica sedang berada di pusat rehabilitas karena kecanduan narkoba.
Tak lama mereka berjalan, sampailah mereka di dalam hutan yang lebat dan mencekam. Tidak tampak satu pun binatang yang melintas di sekitar mereka. Chris melihat ke kiri dan kanan, menatap pada Brian dan Gery. Mereka saling melirik satu sama lain. "Bagaimana ini? Tidak ada satu pun hewan yang leeat sejak tadi. Sepertinya kita harus masuk lebih jauh," ucap Crish dengan nada sedikit mengeluh. "Kau benar, ayo kita berjalan lagi. Mungkin, karena ini terlalu dekat dengan pemukiman, jadi hewan-hewan itu tidak berani mendekat," timpal Brian membenarkan. "Tapi, kita akan terlambat pulang jika berjalan lebih jauh. Apalagi tadi kita tidak meminta izin pada seorang pun anggota keluarga. Mereka pasti cemas jika kita terlambat pulang," Albert enggan mengikuti saran para sepupunya. "Al, apa kau takut?" tanya Chris dengan nada mengejek. "Kalau kau takut masuk hutan pada malam hari, bagaimana kau bisa melindungi keluarga besar kita suatu saat nanti?" Gery turu
Dua hari sudah Albert berada dalam rumah kosong yang menyeramkan itu. Saat malam tiba, suasana akan sangat menakutkan. Apalagi, tidak ada satu lun cahaya yang masuk ke dalam ruangan tempatnya di ikat. Albert sudah putus asa. Tidak ada yang mungkin bisa menolongnya. Terlebih lagi, mitos yang membuat masyarakat di sana enggan untuk mendekati rumah tua yang kosong itu. Saat ini, tubuhnya sudah semakin lemah. Jangankan makan, minum sana dia tak ada barang setetes pun selama dua hari ini. Wajahnya pucat, bibirnya pecah-pecah. Sepertinya sudah dehidrasi berat. Saat ini, hanya berdoa dalam kepasrahan yang bisa Albert lakukan. Masih berharap ada keajaiban datang menghampirinya yang malang. ***** Di sebuah desa yang cukup jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota, tinggallah sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan yang sangat cantik dan lucu. Namun, anak mereka ini terlihat sangat tomboy dan berani di bandingkan dengan anak perempuan lainnya
Lama Olivia terdiam di tempatnya berdiri. Seorang remaja laki-laki sedang sekarat di dalam sana. Dengan tangan dan kaki yang terikat. Wajah yang memar dan sangat pucat. Ingin rasanya Olivia menolong, tapi tak tau harus berbuat apa. Sesekali ia berpikir untuk meninggalkannnya saja, karena takut jika nanti dirinya atau orang tuanya malah terkena masalah. "Hai, Adik kecil...tolong aku..." ucap Albert dengan sisa-sia tenaga yang ia punya. Olivia masih tak bergeming. Perasaan iba menyerang sisi kemanusiaannya saat melihat bibir anak laki-laki itu kering dan terluka. 'Mungkin, dia haus.' batin Olivia. Lalu dengan perlahan mencoba melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. "Apakah kau manusia? Atau hantu penunggu rumah kosong ini?" tanya Olivia saat berada tak jauh dari posisi Albert terduduk lemas. Albert tersenyum di sela rasa sakit yang dirasakannya. 'Dasar, anak kecil yang bodoh!' ucap Albert dalam hatinya. "Aku...manusia...aku, hau
Albert masih berusaha keras memapah kakinya sendiri setelah tiga jam berjalan. Perjalanan yang harusnya hanya dua jam, menjadi sangat lama karena kondisi tubuhnya saat ini. Langkahnya terseok-seok, tapi semangatnya tetap tinggi. Tak tau entah berapa kali sudah ia berhenti untuk mengistirahatkan badan. Beberapa kali pula ia memakan buah yang jatuh dari pohon-pohon di dalam hutan. Cukup lumayan untuk mengganjal perut dan mengisi tenaganya, meski tak seberapa. Namun, di saat seperti ini, sekecil dan sedikit apapun makanan dan minum itu sangat berarti untuk penunjang kehidupannya. Hari sudah mulai gelap, dari kejauhan tampak atap mansion bewarna biru yang megah dan sangat besar. Albert tersenyum bahagia. "Akhirnya, sedikit lagi aku sampai di mansion. Ayah, Ibu, Kakek, tunggu aku sebentar lagi." ucap Albert penuh semangat. Dengan segenap sisa tenaga yang ia punya, Albert telah sampai di halaman mansion. Para pengawal dan penjaga kaget bukan m