Saat Olivia mengangkat wajahnya, ia membuat gerakan terkejut yang dibuat-buat. Olivia menutup mulutnya dengan telapak tangan, lalu membulatkan matanya.
"Ya ampun, maaf! Aku tidak tau kalau suamiku sedang ada tamu." Olivia memasang wajah polosnya. Tentu saja hal itu membuat Albert merasa lucu, namun ia berusaha menahan tawanya.
"Suamimu? Albert maksudmu? Dia suamiku, aku wanita pertama yang dia nikahi!" Hardik Monic geram.
"Sayang, benarkah dia isterimu?" Olivia melirik Albert dengan tatapan imut, jelas sekali ia berusaha mempermainkan Monica kali ini.
"Sampai saat ini, ya." Jawab Albert singkat, padat dan jelas.
"Ya Tuhan, kenapa kau tak mengundangnya saat kita menikah, Sayang? Ayo kita berkenalan, Kakak. Apa boleh aku memanggilmu Kakak? Tentu saja, karena kita ini sama-sama isteri Al." Olivia tersenyum dan mengulurkan tangannya.
Terang saja, perkataan itu membuat Monic semakin marah. Karena Albert hanya diam saat Olivia menyebut
Waktu terlalu cepat berlalu, seminggu sudah sejak kejadian panas di ruangan kerja Albert itu. Kini, hubungan Albert dan Olivia semakin dekat. Olivia bahkan tak segan-segan untuk bermanja dan merengek pada Albert. Olivia sudah lebih terbuka pada suaminya itu, dan mulai menunjukkan sifat aslinya. Meski ia bisa dibilang tomboy, tapi Olivia tetap lah gadis manja yang suka merengek dan merajuk. Seperti pagi ini, sebelum berangkat ke tempat kesibukannya masing-masing, Albert ke kantor dan Olivia ke kampus. Olivia merajuk karena tidak di izinkan untuk mengikuti kegiatan akhir kampusnya, yaitu berkemah di sekitar laut yang terletak tidak jauh dari kaki Gunung Heart. Alasan Albert cukup klasik, ia tak ingin terjadi apa-apa pada Olivia saat berkemah nanti. Karena perkemahan itu memakan waktu dua hari. "Apa dia tidak pernah muda? Apa dia tidak pernah kuliah? Aku heran, bagaimana dulu menghabiskan waktunya bersama teman-temannya. Aku hanya minta izin untuk berkemah, bisa-bisanya
Siang ini, Olivia sudah berada di tepi laut bersama dengan rekan-rekannya. Mereka sedang bersiap-siap mendirikan tenda. Saling berbagi tugas antara pria dan wanita, dan saat ini Olivia kebagian tugas untuk menyiapkan makan malam untuk anggota teamnya. Dalam acara yang di adakan kampus kali ini, ada lima team yang turun langsung ke lapangan. Masing-masing team memiliki sepuluh anggota di dalamnya. Olivia sedang menyiapkan bahan-bahan masakan dibantu oleh seorang teman wanitanya bernama Gladis. Sebenarnya Olivia lebih suka memasak sendiri, tapi karena Gladis terus memaksa ingin membantu terpaksa Olivia mengiyakan. Dari pada ia di cap sebagai orang yang tidak bersosialisasi, mau tak mau Olivia mencoba bersikap ramah. "Olive, ini sayurnya udah aku iris-iris." Gladis menyodorkan irisan kangkung dalam sebuah panci kecil. "Eh, em iyaaa... Terima kasih." Jawab Olivia gugup. Karena Olivia teringat tentang hubungan Gladis dan Tristan dulu. Tristan dan Gladis dulu adala
"Eh, iya..." Jawab Olivia singkat dengan senyum yang canggung, lalu memalingkan muka. Dan memain-mainkan makanan di dalam piringnya dengan sendok. "Kenapa kalian jadi canggung dan kaku begitu? Apa ada masalah?" Tanya Gladis pura-pura tak memahami suasana saat ini. "Tidak, kami... Kami biasa saja. Betulkan Liv?" Tanya Tristan pada Oliva dengan nada yang terdengar jelas kecanggungannya. "I-iya..." Lagi, Olivia hanya menjawab singkat. "Jangan canggung-canggung, kalian kan pasangan serasi di Kampus kita. Karena itu, anak-anak mengusulkan nama kalian sebagai pemain gitar dan pembaca puisi cinta malam ini." Kata Gladis, membuat Tristan dan Olivia serentak kembali saling berpandangan. "Ih, kalian ini kenapa? Seperti ada yang aneh. Biasanya kalian selalu romantis dan mesra. Sekarang, kalian terlihat seperti orang yang baru saja putus cinta. Hahaha..." Tawa Gladis pecah, seiring dengan kepalsuan sikapnya di depan Tristan. Gladis sengaja m
Sesamapainya di mansion, Albert terlihat tak tenang. Ia berjalan mondar mandir di dalam ruang kerjanya. Mike yang memperhatikan gelagat majikannya itu merasa iba sekaligus lucu. Iba karena, Mike tau bagaimana rasanya saat ini membayangkan orang yang dicintai sedang bersama pria lain. Dan lucu karena, baru sekali ini Mike melihat Albert bertingkah layaknya anak remaja yang dimabuk cinta. Mike terus memperhatikan gerak-gerik Albert. Terkadang ia meletakkan tangannya di pinggang, terkadang ia duduk di kursinya. Berdiri dan mondar mandir lagi. Terakhir, Mike kaget saat Albert menggosok kasar kepalanya dan berteriak keras. "Oliviaaaa..." teriak Albert frustasi. "Tuan, apa sebaiknya saya jemput Nona Muda saja?" saran Mike pada Albert. "Kau benar! Cepat kau jemput gadis kecil itu dan bawa dia kembali ke mansion ini!" titah Albert pada Mike dengan tegas. "Baik, Tuan. Aku akan berangkat sekarang." jawab Mike pamit undur diri. Albert menat
Di sekitaran pantai, penuh dengan tenda-tenda mahasiswa dari berbagai Universitas Negri maupun Swasta. Karena memang, acara kali ini adalah gabungan antar beberapa kampus dalam menjalin silaturahmi dan saling mendukung kegiatan ekstrakurikuler. Sampai tengah hari, para mahasiswa masih tampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Jika sesuai dengan yang direncanakan sejak awal, perkemahan akan di lanjutkan malam ini. Dan akan pulang pada esok pagi. Olivia dan Gladis tampak keluar bersamaan dari dalam tenda. Tristan yang sedang memanaskan air untuk menyeduh kopi/teh, memandang pada kedua wanita itu tanpa berkedip. Sehingga tanpa sadar, air panas itu menyiram sebelah kaki Tristan. "Aaww..." teriak Tristan kaget. Sontak beberapa orang yang ada di sekitar Tristan mendekat, melihat apa yang terjadi. Tak terkecuali Gladis. Gladis dengan raut wajah cemas berjalan cepat ke tempat Tristan terduduk. Sementara Olivia, tetap berdiri pada tempatnya. Meski awal
Karena mood yang tiba-tiba memburuk, Olivia izin untuk pulang lebih awal. Dia beralasan sakit kepala dan tak sanggup lagi ikut serta dalam acara malam ini. Olivia terlalu malas berurusan dengan orang-orang yang menatapnya sinis dan tajam, karena mengabaikan Tristan terluka tadi. Olivia menghubungi ponsel Mike. Saat ini, Mike sedang menikmati waktu tidurnya di apartemen miliknya. Saat ponselnya berdering, Mike menjangkau ponsel di atas nakas itu tanpa melihat nama pemanggil. "Hallo, Tuan. Bukankah Anda sudah mengizinkanku istirahat pagi ini? Mataku masih mengantuk, semalaman begadang memantau dan menjaga Nona Muda," ucap Mike tanpa jeda. Olivia yang baru saja membuka mulut ingin mengatakan sesuatu langsung memikirkan makna perkataan Mike. Olivia mematikan telpon itu dan segera menelpon Albert. "Hmm..." jawab pria dingin di seberang sana. "Apa kau sibuk?" "Tidak," "Kalau begitu, apa kau bisa menjemputku ke perkemahan?" "A
Sampai di mansion, Albert masih terus menggendong Olivia dengan kedua tangannya hingga menaiki anak tangga dan menjatuhkannya di atas kasur yang besar dan sangat empuk itu. Albert heran, karena sejak tadi Olivia terus saha tersenyum menatapnya. "Apa yang membuatmu tersenyum terus sejak tadi? Apakah aku setampan itu hingga membuatmu tak bisa berhenti menatapku?" Albert bertanya dengan penuh percaya diri. Olivia yang tadinya hanyalah tersenyum, sekarang malah tertawa mendengar kenarsisan suaminya itu. "Ternyata, kau bisa juga narsis," jawab Olivia kemudian mengambil posisi duduk di atas ranjang itu. "Kenapa? Apakah aku betul? Sekarang kau sudah bisa mengakui bahwa aku adalah pria tampan yang akan selalu membuat hatimu berbunga-bunga setiap kali menatapku." "Ya, anggap saja begitu!" "Kenapa kau mengatakan dengan tidak rela?" "Tidak rela? Apa maksudmu?" "Kau... Ah, sudahlah. Kenapa kau ingin pulang? Apa kau sudah puas bertemu
Albert kembali mengangkat tubuh kecil itu ke masuk ke kamar tanpa menutup pintu balkon yang masih terbuka lebar. Albert sepertinya sudah tak sabar ingin menyantap sarapannya pagi ini. Tanpa melepaskan tubuh Olivia dari tangannya, ia tak berhenti mencumbui wajah dan leher Olivia. Dengan lembut, Albert membaringkan Olivia di atas ranjang. Di sinilah tempat peraduan cinta mereka. Yang tanpa terasa, sudah bersemi dan tumbuh di dalam hati masing-masing. Terlebih Albert, dengan sikap dan sifatnya yang jauh bertolak belakang dengan Albert yang di kenal oleh orang-orang di luaran sana. "Akh... Jangan berhenti, teruskan!" pinta Olivia, saat Albert berhenti mengecup leher dan belakang telinganya. "Apa kau sangat menginginkan lebih dari ini?" tanya Albert sengaja mengulur waktu. "Hmm..." jawab Olivia dengan mata tertutup. Sungguh, Albert sudah membuatnya benar-benar terlena dan lupa diri. Olivia mulai suka dan menikmati percintaannya dengan Albert. Bahka