LOGINTiga tahun aku kuliah di luar negeri. Tapi saat kembali, aku menemukan kekasihku menikahi kakakku sendiri. Karena patah hati, aku menjadi dekat dengan sepupuku. Jatuh cinta pada pria minim ekspresi itu. Tapi bagaimana kami bisa bersatu? Sementara dalam agama kami, aku adalah wanita yang tak boleh dinikahinya.
View More"Saya terima nikahnya Aluna Kinanti binti Rendy Wijaya dengan mas kawin…."
Suara yang tak asing itu terdengar sangat jelas saat aku memasuki ruang tamu rumahku.
Suasana rumah yang berbeda menyambut kepulanganku dari luar negeri yang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Sofa dan perabot lainnya entah di mana, berganti karpet marun yang membentang di atas lantai rumah.
Di tengah ruangan beberapa orang duduk melingkar.
"Sah?"
"Sah!"
Suara riuh menggema seisi ruangan. Detik berikutnya berganti doa yang diamini oleh semua orang.
Degup jantungku berdetak semakin kencang saat langkahku semakin mendekat. Tatapanku terkunci pada dua sosok yang menjadi pusat acara sakral itu.
Bruk!
Tanganku gemetaran sampai koper yang kubawa terlepas.
"Mas Arka?!" pekikku dengan mata membelalak, menatap tak percaya pada sosok pria dengan jas hitam di depan sana.
Dia Arka Mahesa, kekasihku. Dan apa ini? Di sampingnya duduk Mbak Aluna yang nampak cantik dengan kebaya putih.
Tidak … ini tidak mungkin. Dua orang yang paling aku cintai tidak mungkin mengkhianatiku. Kugelengkan kepala yang sudah mulai terasa pening.
"Kinara?"
Dari kerumunan itu Mama berdiri. Dia terlihat panik, lalu bergegas mendekatiku. "Nara, kenapa kamu tiba-tiba pulang? Ayo ikut Mama, nanti Mama jelaskan."
Wanita yang telah melahirkanku itu menarik lenganku. Namun segera kutepis. "Ada apa, Ma? Kenapa Mas Arka dan Mbak Aluna…." Aku tak bisa melanjutkan ucapanku. Dadaku terasa sangat sakit sampai membuatku tak sanggup menahan tangis.
"Sayang... dengerin Mama, kita bicara di dalam," bujuknya namun tak sedikit aku ingin menurut.
Kualihkan tatapanku pada dua sosok di depan sana. "Mas Arka apa maksudnya ini? tanyaku meminta penjelasan.
Namun pria itu malah membuang muka. "Seperti yang kamu lihat, aku dan Aluna sudah menikah."
Deg!
Serasa dihantam gada besar, dadaku terasa sesak dan sakit luar biasa.
Tidak! Tidak mungkin! Apa dia sudah lupa janjinya yang akan menikahiku setelah aku lulus kuliah?
"Mas, jangan bercanda. Ini gak lucu!" sentakku sudah tak bisa lagi menahan amarah.
Kulihat semua orang menatapku iba. Dan itu membuatku merasa semakin terluka.
"Nara, aku bisa jelaskan," ujar Mbak Aluna tenang sembari bangkit dari duduknya. Seperti biasa, wanita itu selalu anggun dan lemah lembut.
"Biarkan saja, tidak usah pedulikan dia!" Mas Arka memegangi tangan Mbak Aluna. Ia lalu menatapku dengan tatapan dingin dan penuh kebencian. "Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Jika kamu masih punya harga diri, pergilah jangan mengganggu acaraku dan Aluna."
Aku terkesiap. Demi Tuhan, rasanya sakit sekali mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Mas Arka. Kenapa pria yang sudah menjadi kekasihku selama empat itu bisa setega ini?
"Jadi kamu mengkhianatiku, Mas? Kenapa? Apa salahku?"
Pria itu melengos, tak sudi menatapku. Aku melangkah maju, aku ingin jawaban dari mulut pria itu. Namun, tiba-tiba Papa sudah berdiri menghadang di depanku.
"Jangan bikin onar. Cepat masuk!" katanya dengan suara tertahan. Tatapannya tajam dan mengintimidasi.
"Ak—" Baru hendak menjawab tanganku sudah ditarik masuk ke dalam.
Begitu sampai di dalam kamar, tubuhku didorong dengan kasar sampai aku tersungkur di atas lantai.
"Dasar anak tidak tahu diri! Bisanya cuma bikin malu orang tua!" cerca Papa sambil menudingkan jarinya ke arahku.
Aku bingung, juga kaget. Melihat sikap Papa yang tiba-tiba berubah. Sebelumnya, meski tegas tapi Papa tidak pernah kasar. Entah apa yang sudah terjadi selama aku berada di luar negeri.
"Pa, bicarakan semuanya baik-baik," kata Mama membujuk Papa.
"Apa yang mau dibicarakan baik-baik?! Semua sudah hancur! Anakmu itu sudah tidak bisa diperbaiki!"
"Maksud Papa apa? Apa yang sudah kulakukan?" Bingung aku menatap Papa.
"Masih berani bertanya kamu!? Selama tiga tahun ini apa yang kamu lakukan di luar negeri, hah?! Bikin malu orang tua!" bentaknya dengan tangan yang sudah terangkat.
"Pa, cukup." Mama menghadang di depanku.
Seketika tubuhku membeku di tempat. Tak menyangka Papa hendak memukulku.
"Memangnya apa yang sudah aku lakukan, Pa?" Aku sudah tak tahan lagi, kudorong pelan tubuh Mama dari hadapanku. Setelahnya aku maju selangkah, berdiri tepat di hadapan pria itu.
"Apa Papa tidak bisa melihat dengan jelas? Saat ini di ruang tamu rumah ini, putri kesayangan Papa sudah merebut calon suami adiknya sendiri. Bukankah dia yang lebih mempermalukan keluarga kita?"
Plak!
Aku kembali tersungkur. Rasa panas dan kebas menjalar di sebagian wajahku. Perlahan rasa nyeri ikut menyerang membuatku pusing.
"Apa pantas bicara seperti itu pada orang tua yang telah membesarkanmu? Di mana sopan santunmu?!" bentak Papa yang aku yakin pasti terdengar sampai keluar kamar.
"Pa, sudah!" Mama memenangi lengan papa. Berusaha menjauhkannya dariku.
"Kamu itu perempuan tapi tidak bisa menjaga marwah dan kehormatanmu. Mau ditaruh di mana muka Papa punya anak seperti kamu?"
Papa terus mengomel meluapkan amarahnya. Sementara aku hanya diam menahan rasa sakit di pipi dan hatiku. Ya... luka di wajah tak sebanding dengan luka di hatiku.
"Pa, sudah... kasihan Nara."
"Ini juga salahmu. Sebagai ibu kamu sudah gagal mendidiknya!"
Aku yang tadinya hanya diam, seketika mendongak. Menatap pria yang berdiri dengan angkuhnya itu.
Dia boleh memarahiku, tapi jangan menyalahkan Mama atas kesalahanku. Namun, kulihat Mama menatap memelas. Sorot matanya seolah memintaku untuk diam.
"Panggil Dimas," perintah Papa.
Tanpa menunggu, Mama berlari keluar. Tak sampai dua menit sudah kembali bersama Om Dimas, adik kandung Papa.
"Ada apa, Mas?" tanya pria dengan atasan batik itu.
"Bawa Nara pergi. Dia hanya boleh pulang ke rumah ini setelah merenungi semua kesalahannya dan meminta maaf."
Ucapan Papa seperti pisau tajam yang menyayat hatiku yang sudah dipenuhi luka.
"Papa mengusirku?"
“Terserah kamu menganggapnya apa. Yang pasti ini hukuman untukmu!” ujar Papa sengit. Tatapannya penuh peringatan. “Dan satu lagi, jangan pernah berpikir untuk merebut Arka dari Aluna. Mereka sudah menikah dan itu semua karena kesalahanmu sendiri!”
***
Keyra menarik paksa Nara masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya mendekati Tristan menjelaskan sesuatu, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. "Sebenarnya ada apa sih?" tanya Nara sambil mengeritkan dahi. Sikap Keyra membuatnya bingung juga takut. "Ini darurat. Kamu harus ikut aku ke rumah sakit, kalau kamu gak mau menyesal nantinya." Nara menatap sepupunya itu tajam. "Kamu itu kalau bicara yang jelas! Jangan bikin orang takut dan panik gara-gara tingkahmu yang mendadak aneh. Sekarang jelasin siapa yang sakit?" omelnya. Ceritanya nanti saja di rumah sakit. Sekarang pasang sabuk pengamanmu. Aku mau ngebut," jawab Keyra menatap lurus ke depan. Jalanan pagi ini cukup ramai. Dia butuh konsentrasi penuh untuk bisa sampai lebih cepat. Detik berikutnya mobil pun melaju. Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di rumah sakit kota. Keyra turun lebih dulu. Lalu menggandeng Nara masuk. "Tunggu!" Nara menahan tangannya. Dan seketika langkah keduanya terhenti. "Kamu belum jawab, sebenarnya
"Mana Mama, Pa?" tanya Nara saat melihat papanya sarapan seorang diri. "Sudah berangkat duluan," jawab Rendy di sela-sela mengunyah makanannya. "Kamu mau keluar?" lanjutnya memandang putri bungsunya yang sudah rapi. Nara mengurai senyum tipis sambil mengangguk. Tanganya menarik sandaran kursi dan mendudukkan dirinya. "Mau nambah, Pa?" tanyanya basa basi sembari menyendok nasi goreng ke atas piringnya. "Sudah cukup," tolak Rendy. Pria paruh baya itu menelan makanannya lalu menyesap jus jeruknya. Sementara Nara menikmati sarapannya sambil memainkan ponselnya. "Kamu mau kemana?" Nara mengangkat kepalanya sebentar lalu kembali fokus dengan benda pintar di tangannya. "Mau fitting baju sama Tristan," jawabnya. Senyum lebar seketika muncul di bibir Rendy. Ada kelegaan di wajah yang sudah mulai keriput itu. "Papa lega, kamu memilih menikah dengan Tristan. Papa lihat dia benar-benar mencintaimu," Ucapan Rendy mengusik Nara. Ada rasa tak percaya mendengar kalimat yang kelua
"Bun, anterin ke rumah temanku," pinta Raka tiba-tiba merengek sambil menarik ujung jilbab bundanya yang sedang mencuci piring di dapur. "Mau apa ke rumah temanmu? Besok sekolah. Belajar sana," ujar Ratih masih sambil mlanjutjan pekerjaannya. "Buku aku kebawa temenku. Besok ada PR. Nanti aku kena hukum kalau gak ngumpulin." Raka menghentakkan kakinya. "Kok bisa kebawa teman kamu?" Ratih menghentikan kegiatannya. Mendelik pada putra bungsunya. "Kan Bunda sudah bilang kalau mau pulang buku-buku diberesin dimasukkan tas. Diperiksa ada yang ketinggalan nggak?" omel Ratih kesal. Sejak siang moodnya sudah rusak karena putra pertamanya. Dan sekarang putra bungsunya. "Maaf, Bundaku sayang.... Adek salah. Sekarang anterin ya Bun, nanti gak keburu ngerjain PR-nya," ucap Raka memelas. Bocah itu memegangi tangan bundanya sambil sesekali mencium punggung tangan yang basah itu. "Maaf ya Bun, besok gak lagi...." mohonnya yang membuat hati Ratih luluh. Putra bungsunya itu lebih pinta
"Bun, berikan ponselku," pinta Dirga menatap Bundanya tajam. Rasa kecewa di hatinya sudah tak terbendung lagi. Entah karena hasutan siapa wanita yang dulunya tak pernah berbohong itu kini malah mendukung kebohongan. Kalau bukan karena Raka, adiknya yang mengadu. Mungkin Dirga tidak akan tahu bundanya itu bersekongkol dengan Nirmala membohongi Nara. Ratih seperti menulikan diri. Tak sekalipun menyahut. Pandangannya lurus kedepan tanpa menghiraukan putra sulungnya yang sejak tadi menatapnya tajam. "Bun, kesabaranku juga ada batasnya. Tolong berikan ponselku. Aku harus menjelaskan semuanya pada Nara," katanya lagi dengan nafas yang sudah memburu karena menahan amarah yang berkumpul di dadanya. Rasa sakit ditubuhnya tak dihiraukannya. Baru semalam Dirga dibebaskan oleh ayahnya dan diizinkan pulang ke rumah. Dan itu karena penyakit tipes Dirga kambuh. Putra sulung Dimas itu menolak makan selama berhari-hari. Pagi tadi dia dibawa ke rumah sakit di kecamatan dan saat pulang Raka m












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore