“Ah!” Desahan dan erangan terus keluar dari bibir manis Rhea tiap kali Maven mendorong pinggulnya. Maven memperhatikan wanita yang membungkuk di atas tempat tidur dengan lututnya tanpa berkedip. Sebelumnya Rhea masih kuat menahan tubuhnya sendiri dengan tangannya. Namun lama-kelamaan setengah tubuhnya hingga wajah sudah menempel ke kasur. Dengan wajah Rhea yang menoleh ke samping, Maven bisa melihat fitur wajah Rhea walau ruangan cukup gelap. Matanya yang basah diliputi kesenangan. Rambut panjangnya menyebar berantakan di kasur tampak liar dan menampakkan punggung telanjangnya yang awalnya bersih kini penuh dengan tanda cinta darinya. Pelipisnya sudah berkeringat dengan bibir setengah terbuka. Dan tangan ringkihnya mencengkram erat seprai. Godaan seperti itu mana mungkin tidak membuat Maven menjadi lebih bersemangat? Hasratnya berkobar hebat. Dengan posisi membelakangi dan tetap menahan pinggang wanita itu agar tidak jatuh, gerakannya menjadi lebih kasar dan cepat.“Oh Lord.” Lagi,
Bunyi dentingan sendok saling bersahutan pelan. Di ruang makan, baik Rhea maupun Maven makan dalam diam. Sambil menguyah sesekali Rhea akan melirik Maven yang duduk di depannya.Maven lebih tenang dari yang Rhea bayangkan. Jika mereka makan seperti ini, tampak jelas kesenjangan di antara mereka seakan mereka tidak memiliki hubungan apapun. Tapi kenapa ketika mereka bersatu di tempat tidur, Maven sangat berbeda? Pria itu tampak aktif dan … bersemangat. Apakah itu tindakan alami para pria?“Katakan saja jika ada yang perlu kamu katakan.”Menangkap basah dia, Rhea sontak saja kaget. Padahal pria itu tidak menatap Rhea sama sekali. Apa dia memiliki mata di dahinya?“Aku pikir kamu tidak suka berbicara ketika makan.”“Aku tidak pernah mengatakan itu.” “Aku … tidak ingin kamu membuat tanda di leherku.”Maven melirik Rhea tanpa menggerakkan kepalanya.Tidak menatap Maven karena malu, Rhea menambahkan, “Di sana susah hilang. Dan aku tidak punya waktu untuk menutupinya.”“Padahal itu area s
“Kamu ingat hari itu? Hari pertama kita bertemu di kampus. Kamu tersenyum lebar dan banyak wanita yang mengelilingimu.” Enzo merapikan rambut Rhea yang berantakan karena angin laut. “Saat itu aku menyadari aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama ketika melihat senyuman indahmu.” Gombalan itu membuat Rhea tertawa. Enzo menggenggam tangannya kemudian. “Aku serius. Kamu sangat bersinar.” “Ya, aku tahu.” “Apa aku sudah mengatakan itu?” “Sering kali.” Rhea menatapnya dengan tawa geli. Enzo menyeringai. “Aku akan mengatakannya berulang kali.” Tunggu … kenapa kenangan lama muncul? “… Kamu pikir aku akan menikahi wanita dari keluarga yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi?” Enzo menatapnya di dalam kamar pria itu. “Aku akan mengaku, aku dan Andini sudah menjalin hubungan diiam-diam di belakangmu. Dan rencananya kami sepakat akan mengumumkan hubungan kami padamu besok. Aku tahu, kamu pasti bingung sekarang, tapi aku sudah selesai denganmu, Rhe. Aku mulai menyadari bahwa di mataku,
Mobil yang dikendarai Maven melaju di jalan yang sepi. Dia menoleh ke samping di mana Rhea memiringkan kepalanya menghadap ke kaca mobil dengan mata terpejam dan tersenyum. Kembali menatap ke depan, Maven berujar, “Aku pikir kamu akan merasa sangat senang setelah dari acara itu.” “Aku sedang tersenyum.” Maven tidak menanggapi membuat Rhea membuka matanya. Kemudian membuang napas perlahan. “Apakah terlihat jelas di wajahku?” “Tidak juga. Tapi sesuatu mengganggumu, benar?” Rhea terdiam. Dia kembali mengingat permintaan maaf Enzo sebelumnya dan hampir saja memaafkannya. Ketika dia menebak asal maksud permintaan maaf tersebut yang ternyata benar, Rhea kembali mengeraskan hatinya. Rhea sungguh tidak habis pikir dengan pria itu. Menjawab pertanyaan Maven, Rhea hanya bergumam pelan. “Aku pikir kau akan puas dengan hasilnya.” “Aku senang dengan hasilnya. Tapi terlalu berlebihan jika aku puas terlalu dini. Namun,” Kembali menatap ke luar jendela mobil, Rhea kembali tersenyum. “Aku bisa
Di dalam lift bersama dua direktur induk, Enzo menatap pintu lift dengan sabar. Lift tersebut sedang membawa mereka ke lantai atas kantor. Sambil menunggu, dia mendengar pembicaraan dua orang tersebut yang berdiri di sebelahnya. “… Aku melihat proposalnya. Perusahaan finansial itu dalam kondisi yang bagus. Cuma, memang beberapa minggu ini nilai sahamnya turun karena kesehatan pemiliknya. Aku dengar adiknya ingin mengambil alih maka jadi perebutan di sana dengan direksinya.” “Pantas saja Pak Maven ingin mengakuisisinya. Ngomong-ngomong kau sudah membeli saham di sana?” "Tentu saja. Sahamnya turun drastis, itu kesempatanku membelinya." Temannya mengeluarkan ponsel sambil berdecak. "Jangan bilang sekarang sudah naik." "Tenang saja, menurut perkiraanku jika sudah melewati formalitas dan mengumumkannya ke publik, saat itulah nilainya akan kembali dan lebih tinggi." "Aku harus membelinya juga kalau begitu." Pembicaraan yang sudah sering dia dengar seperti itu hanya masuk dan keluar be
Bantuan? Bayaran? Atau apa? Di luar gedung kantor, Enzo mengeluarkan salah satu rokok dari bungkusnya kemudian menyalakannya dengan pemantik. Dahinya berkerut dalam mencoba untuk mencari tahu apakah ada maksud tersembunyi dari Maven yang mengakuisisi Raya Finance. Apa karena dia kasian dengan istrinya? Takut perusaan itu diambil alih oleh pamannya? Tapi bagaimana jika bukan itu? Menatap pohon rindang di depannya, Enzo menghembuskan asap sekali. “Bagaimana jika bukan?” Enzo tanpa sadar menggumamkan isi pikirannya. Enzo kemudian merogoh saku celananya dan menghubungi Andini. Dan tak butuh waktu lama, wanita itu segera mengangkat panggilannya. “Ya, Sayang? Kamu melupakan sesuatu?” “No. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu. Kamu baik-baik saja ‘kan di tempat kerjamu?” “Tentu saja!” Andini di seberang telepon tersenyum lebar. Suaminya sangat perhatian dengannya padahal mereka baru berpisah tidak sampai 2 jam. “Bagaimana denganmu?” Menjentikkan abu rokoknya, Enzo menjawab singkat, “Y
“… Di Celadon, saya ingin para penjual terobsesi dengan pelanggan daripada fokus dengan pesaing, semangat untuk penemuan, komitmen untuk keunggulan operasional, dan pemikiran jangka panjang mereka. Karena itu, saya memiliki strategi baru yang didasarkan pada satu tujuan ambisius: untuk memenuhi setiap kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan pengalaman yang unggul.” Enzo berbicara sangat penuh percaya diri dan lancar di ruang rapat. Di ruang tersebut, sudah ada dewan direksi beserta Maven yang menjabat sebagai CEO dan Tony selaku Komisaris Utama TW Group. Semua orang memandang layar panel datar interaktif di depan sambil mengangguk. Akan tetapi tidak untuk Maven. Pria itu dengan tenang hanya menatap agenda di depannya. Itu sudah biasa. Enzo sering kali melihat Maven seperti ini. Pria itu bukannya tidak suka dengan presentasi karyawannya, hanya saja bagi pria itu membaca dari makalah rapat secara langsung lebih efektif agar mempersingkat waktu. Ketika pria itu membalikkan lembar ber
Hari sudah sangat malam ketika Maven kembali. Begitu dia masuk ke rumah, kepala pelayan yang seorang wanita paruh baya segera menghampirinya dengan langkah lebar dan cepat. Namanya Yana.“Anda pulang cukup larut malam ini, Pak.” “Hm.” Maven memberikan jasnya kepada Yana.“Apa Anda ingin makan malam atau kopi?” Yana sudah tahu kebiasaan Maven. Tiap hari Maven pulang, pria ini tidak akan langsung istirahat melainkan mengurung dirinya di ruang kerja seolah pekerjaannya tidak pernah ada habisnya. “Aku sudah makan malam dengan klien. Kopi saja.” Maven kemudian melihat arloji di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 10 malam lalu bertanya, “Rhea sudah tidur?”“Bu Rhea ada di ruang santai lantai atas, masih bekerja saya rasa.”Maven mengangguk singkat. “Bawakan kopiku ke sana.”Yana tersenyum dan menunduk sopan kepada Maven yang menaiki anak tangga. “Baik.”Di lantai 3, sesuai perkataan Yana, Rhea ada di ruang santai yang posisinya berada di antara kamar Rhea dan kamarnya. Kedua kak