"Bobo sini, Mommy ... Bobo sini peluk Raccel." Dalena naik ke atas ranjang dan memeluk putri kecilnya yang merengek terbangun dari tidurnya. Baru saja ia beranjak usai menidurkan Raccel, ternyata anak ini kembali bangun dan merengek menahan Dalena. "Ssshhhttt... Jangan menangis Sayang, ini Mommy sudah di sini." Dalena mengusap kening Raccel dengan pelan. "Jangan pulang pokoknya. Mommy harus di sini sama Raccel!" Anak itu memeluk Dalena erat-erat. Helaan napas pelan terdengar di bibir Dalena. Wanita itu ikut memejamkan kedua matanya perlahan-lahan. Tak terdengar pintu kamar terbuka, Damien berjalan masuk ke dalam kamar Raccel dan memperhatikan putri kecilnya yang tertidur mendusal dalam pelukan Dalena. Senyuman Damien terukir tipis. "Kalian... Sangat cantik," ucapnya lirih tak bersuara. Damien menelisik paras ayu Dalena yang begitu persis dengan Raccel saat tertidur. Meskipun ia tidak mengetahui siapa dan sosok seperti apa pengasuh putrinya ini. Perhatian Damien teralihkan pad
"Mom, Raccel minta buatin sandwich, boleh?" Raccel memegangi tangan Dalena dan mereka berdua berada di dapur. Dalena mengangguk memberikan senyuman manisnya. "Boleh dong. Raccel duduk di sini sebentar ya, Sayang..." "Iya Mommy!" Raccel bertepuk tangan kesenangan. Barulah Dalena membuka pintu lemari es, dia mengambil beberapa bahan dan membuatkan sandwich seperti yang Raccel inginkan. Namun Dalena malah termenung diam di sana, sandwich buatannya adalah makanan kesukaan Cassel. Semalam Dalena tidur memeluk Raccel bersama Damien, sedangkan Cassel belum pernah merasakan posisi itu. "Cassel," lirih Dalena mengusap air matanya tiba-tiba. "Aku akan pulang sebentar lagi." "Dalena, kau tidak papa?" tanya Bibi Mery mengusap pundak Dalena tiba-tiba. "Tidak papa Bi," jawab Dalena menoleh dan tersenyum manis. "Syukurlah. Aku tidak pernah melihat Tuan Damien semarah itu pada para pelayan, pagi tadi benar-benar menakutkan." Bibi Mery mengusap dadanya. Hanya senyuman tipis yang menjadi tan
"Papi, kita mau ke mana? Kenapa tidak ajak Raccel juga buat jalan-jalan sama kita?" Cassel memeluk leher Damien saat mereka masuk ke dalam sebuah rumah sakit. Jelasnya rumah sakit ini cukup jauh, dan bukan tempat Heins bekerja. Damien ingin melakukan test DNA dengan Cassel. Hanya itu yang terus mengusik benaknya kini, apapun hasilnya, Damien harus melakukan ini. Hatinya begitu tak sabaran. "Ada sesuatu yang harus Papi lakukan, Cassel katanya ingin ikut dengan Papi, hem?" Damien mengecup pipi anak itu. "Heem, iya! Kak Lizi juga ditinggal di cafe, biar apa coba?""Biar tidak genit sama Papi, kan Papi hanya untuk Mami!" jawab Damien dengan santainya. Mendengar jawaban dari Papinya, Cassel tertawa geli dan mengangguk antusias. Mereka berdua masuk ke dalam sebuah ruangan. Cassel sangat panik saat melihat seorang dokter mendekat membawa peralatan. "Papi, Cassel takut!" pekik anak itu keras-keras. "Tidak papa, Sayang. Nanti Papi juga akan disuntik," bisik Damien merangkul Cassel. "E
"Jangan bilang kalau kau mencoba menggoda calon suamiku dengan mendekati Raccel, hah?!" Sabrina meneriaki Dalena dengan kesal dan marah. Lancang baginya seorang pelayan seperti Dalena seolah ingin menghentikannya. Di dalam gendongan Dalena, Raccel langsung membalikkan badannya dan memeluk leher Dalena dengan erat. "Mom, Raccel takut!" pekik anak itu menyembunyikan wajahnya. Dalena mengusap punggung Raccel dengan lembut. "Tidak papa Sayang, Mommy ada di sini," bisik Dalena menenangkan."Kau bukan Mommy-nya! Kau hanya seorang pengasuh. Apa kau butuh cermin untuk melihat siapa dirimu, hah?! Lancang sekali dirimu, Dalena!" berang Sabrina. "Jangan mendekat!" Dalena berucap dingin saat Sabrina hendak mendekatinya dan Raccel. Sorot mata Dalena teramat tak terima begitu Sabrina memakinya dan Raccel. Wanita ini, belum apa-apa sudah berani menunjukkan sisi buruknya. "Jangan berteriak di depan Raccel, Sabrina!" desis Dalena, kali ini tidak lagi menoleransi. "A-apa katamu barusan?! Kau b
"Ya Tuhan... Kepalaku pusing sekali. Ini jam berapa?" Dalena memijit kepalanya pelan dan membuka kedua matanya perlahan. Wanita itu bangun dan melirik jam yang menunjukkan pukul sebelas malam. Dalena langsung panik, ia menyibak selimut dengan cepat dan berjalan keluar dengan menahan sakit kepala juga tubuhnya yang menggigil. Wanita muda itu, masih dengan mantel milik Damien yang dia pakai. 'Cassel pasti menungguku pulang, aku berjanji akan membelikan roti panggang hangat malam ini. Kenapa aku bisa teledor seperti ini? Apa yang sudah kulakukan, Ya Tuhan!' Dalena memaki dirinya sendiri. Langkahnya tergopoh-gopoh menuruti anak tangga. Sungguh Dalena benar-benar tak mampu menghentikan kekhawatirannya pada Cassel saat ini. Sampai-sampai kini Damien yang tengah duduk di sofa ruang tamu, laki-laki itu duduk memangku laptopnya, ia terkejut melihat Dalena berlari terburu-buru. Lantas Damien lekas beranjak. "Dalena," panggilnya. "Tuan Damien, Tuan saya pamit pulang sekarang." "Ini sudah
"Mami sakit ya? Kalau Mami sakit lebih baik di rumah saja, tidak usah kerja." Cassel memeluk Dalena yang terbaring di atas ranjang dengan tubuhnya yang kini panas dan lemas.Perhatian manis putranya ini membuat wanita itu tersenyum haru. Dalena mengusap pipi gembil Cassel. "Mami tidak papa, Sayang... Mami hanya pusing biasa," jawab Dalena sebelum akhirnya dia terbatuk-batuk. "Mami tidak boleh sakit..." Cassel memeluk Dalena semakin erat. "Manja sekali Sayangnya Mami," ujar Dalena mengecup pipi putranya dengan manis. Anak itu mengerjapkan kedua matanya sedih, Cassel sejak semalam tidur bersama Delana dan dia sangat menantikan kepulan Maminya. Cassel memamerkan banyak sekali mainan baru yang Damien belikan, namun anak itu bilang kalau mainan itu semua adalah oleh-oleh yang Lizi bawakan dari London, meskipun sebenarnya bukan. 'Mami sakit, badan Mami panas, Cassel harus bilang ke Papi, biar Papi bantu Mami ke rumah sakit,' batin anak itu. Cassel melepaskan pelukannya pada Dalena.
Damien datang ke kediaman Dalena tanpa menghubungi wanita itu. Kata-kata sedih yang Cassel katakan tentang Maminya yang sakit, membuat Damien khawatir. Laki-laki itu membuka pintu rumah, dia melihat beberapa mainan milik Cassel yang tertata rapi. Namun di dalam rumah itu tidak ada satu foto pun milik Dalena dan Cassel. "Di mana kamar Dalena?" gumam Damien sebelum dia mendengar suara batuk dari lantai dua. "Di atas?" Singkatnya seraya bergegas naik. Damien mendengar suara batuk-batuk dari dalam kamar, ia membuka pelan pintu kamar tersebut. Nampak Dalena duduk di tepi ranjang menyandarkan kepalanya di tiang kanopi. "Akhhh, dadaku sesak!" Dalena memukuli dadanya. Wanita itu berdiri perlahan dengan napas berat. Kedua kakinya sangat lemas, tubuhnya panas karena demam. "Dalena!" Suara Damie membuat Dalena menatap ke arah pintu dan melihat siapa yang datang. Wanita itu mundur perlahan, namun kalau cepat dengan langkah lebar kaki Damien. Laki-laki itu menyahut satu lengan Dalena dan
"Itu Tayo-nya sudah datang, Raccel!" Cassel memekik antusias menunjuk ke arah bus berwarna biru yang selalu berhenti di depan halte. "Wahhh... Asik! Naik Tayo! Naik Tayo!" seru Raccel lompat-lompat kesenangan. Bus itu akhirnya berhenti di depan mereka. Sopir Bus pun terkejut melihat dua anak kecil berwajah mirip berdiri di depan pintu. "Loh, kalian mau ke mana? Kalian sama siapa?" tanya sang sopir khawatir. "Kita mau ke rumah sakit Ibu Kota Pak, Maminya Cassel dibawa ke rumah sakit. Boleh antarkan ke sana? Cassel nanti kasih uang!" seru Cassel menjelaskan. "Iya. Raccel juga bawa uang, kalau kurang nanti minta ke Daddy!" sahut Raccel. Laki-laki berambut putih itu menoleh pada kondektur yang kini mengangguk. "Ayo naik, hati-hati nak... Awas jatuh," ujar sang kondektur membantu mereka naik. Kedua bocah manis itu duduk di samping sopir. Cassel merasa panas telinganya saat mendengar Raccel yang berkali-kali bersorak kesenangan. Untuk kali pertama dia naik bus. "Bisa diam tidak, k