Siang hari.Eliza berjalan pelan menyusuri bibir pantai dengan kaki telanjang. Ombak kecil datang silih berganti, menyapu kakinya.Zavier berjalan tak jauh di belakangnya, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang dilipat hingga siku, serta celana khaki santai. Keringat mulai membasahi pelipisnya, tapi sorot matanya tetap tajam mengawasi Eliza, bukan karena tugasnya semata, tapi karena hatinya sendiri yang tak bisa berpaling.Setelah kejadian tadi pagi, lihat tanti-hentinya menatap Eliza. Sepertinya dia memang menyukai wanita itu. Tak berselang lama ...Eliza menunduk, membungkuk, dan mengambil cangkang kosong lalu memeriksanya. Dia melemparnya kembali saat tak menemukan kelomang. Sesekali dia tertawa kecil sendiri, tertarik dengan suara alam, lalu kembali mencari binatang mungil itu seperti anak kecil yang melupakan segala beban.Namun, lama-lama dia merasa tatapan itu membakar punggungnya. Dia berhenti, menoleh cepat ke belakang, dan menangkap basah Zavier yang sedang menatapnya.
Keesokan harinya.Drrrttt Drrtt!Zavier terbangun saatendemgar ponselnya bergetar di meja kecil samping ranjang. Setelah berhari-hari tanpa sinyal, akhirnya ada koneksi.Ia meraba ponsel itu dan langsung mengangkat.“Halo, Ibu?”Suara di seberang ternyata bukan ibunya.“Zavier, ini aku, Ruby.”“Oh … Bibi. Ada apa?”“Aku hanya memastikan keadaan Nyonya Eliza. Dia baik-baik saja, kan?”Zavier melirik ke jendela, cahaya matahari menerobos tipis dari sela tirai putih.“Dia aman bersamaku.”“Dan kau? Sedang apa sekarang?”Zavier tertawa kecil, sambil mengusap wajahnya yang masih mengantuk.“Aku? Di tempat tidur … belum bangun sepenuhnya.”Namun sebelum Ruby sempat menjawab, terdengar suara teriakan dari kamar sebelah.“Akkhhh tolooong!”Suara Eliza.Mata Zavier langsung membelalak.“Bibi, aku harus pergi!” ucapnya tergesa sebelum menutup panggilan.Ia meloncat turun dari tempat tidur, buru-buru menarik jaket yang tergantung, sebab semalam tidur bertelanjang dada, lalu berlari ke luar kamar
“Nyonya, makan malam sudah saya siapkan,” ucap Zavier perlahan dari balik pintu, kepalanya tertunduk seperti biasa, suaranya terdengar datar, tapi dalam dadanya terasa gemuruh yang tak menentu.Di dalam kamar, Eliza sedang duduk di depan meja rias, memulas lipstik nude ke bibirnya yang sudah indah tanpa polesan apa pun. Ia menoleh ke arah Zavier melalui pantulan cermin, lalu berdiri anggun sambil merapikan gaun tipis berwarna putih.“Hm, tunggu sebentar.”Zavier diam di tempat, nyaris tak berani menatap langsung. “Baik, saya tunggu di luar saja.”“Hmm.”Beberapa menit kemudian, Eliza keluar, langkahnya pelan tapi mantap.“Hmm, sepertinya enak, makan malam di tepi pantai. Aku ingin mendengar suara ombak sambil makan.”Zavier mengangguk dan segera berjalan mendahuluinya, memastikan jalan menuju meja makan luar aman. Pihak vila sudah menyiapkan semuanya seperti perintah Eliza tadi. Meja bundar kecil di balkon kayu menghadap langsung ke laut malam. Lilin-lilin kecil menyala tenang di ten
Setelah keramas dan merasa lega, Zavier keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk saja, dia segera membuka koper dan menaruh pakaiannya di dalam lemari, saat Zavier memakai celana dalamnya tiba-tiba pintu terbuka ...Brak!“Zavier, bisa tolong ak—” suara Eliza terpotong oleh jeritan kecil. “Aaaah!”Zavier membeku sejenak, dia segera meraih handuk dan melilitkan langsung ke pinggangnya. Wajahnya memerah, napasnya tercekat. Eliza, yang sudah membalikkan badan dengan cepat, berdiri kaku di depan pintu, punggungnya tegak dan kedua tangannya menutup wajahnya sendiri.“Maaf, Nyonya!” seru Zavier panik, buru-buru meraih kaos dan celana di atas tempat tidur. Dengan gerakan tergesa, ia memakainya, jari-jarinya sampai gemetar karena malu. Bagaimana mungkin sang Nyonya masuk saat dia telanjang, dan melihat senjatanya.“A-aku … aku kira kau sudah berpakaian,” ucap Eliza cepat, masih membelakangi.“Sudah, sekarang sudah. Maafkan saya, Nyonya. Saya seharusnya mengunci pintunya tadi,” jawab Zavie
Sore hari.Mobil hitam mewah keluar dari gerbang Mansion keluarga Willson, meluncur menuju kawasan pantai pribadi milik keluarga Mark di selatan. Di dalamnya, suasana terasa canggung. Zavier duduk kaku di kursi belakang, sementara Eliza bersandar santai di sebelahnya, mengenakan gaun santai berwarna putih tipis yang membentuk tubuhnya. Rambut panjangnya dikuncir rendah, dan kacamata hitam menutupi mata tajamnya.Tadinya Zavier ingin menyetir—tapi Eliza menolak mentah-mentah.“Biarkan sopir yang menyetir, kau duduk di belakang bersamaku,” ucapnya tadi dengan nada datar tapi tak bisa ditolak.Sekarang, Zavier hanya bisa diam, mencoba tidak mencuri pandang ke arah wanita yang duduk terlalu dekat di sisinya. Eliza menikmati musik dari headset, sesekali bibirnya bergerak mengikuti lirik. Angin AC lembut menyapu rambut halus di pelipisnya, membuatnya tampak manis.Zavier mencuri pandang sekilas. Tapi cukup membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Sinar matahari senja menembus kaca,
Prok! Prok! Prok!Suara tepuk tangan menggema dari arah pintu.“Woah, bagus, luar biasa.”Zavier sontak memutar tubuhnya. Jantungnya hampir berhenti seketika.Di sana, berdiri seseorang di ambang pintu. Siluetnya tegak, anggun, dan memancarkan wibawa.Nyonya Eliza ...?Dengan tangan masih terangkat setengah, wanita itu menatap Zavier dengan senyum kecil menghias bibirnya.“Bagus,” ucap Eliza pelan. “Hebat sekali.”Zavier mundur satu langkah, panik. “N-nyonya, saya ... saya tidak bermaksud melanggar ...”“Tutup mulutmu,” potong Eliza lembut namun tajam. Ia berjalan masuk, langkahnya ringan tapi pasti. Setiap gerakan tampak terkontrol, seolah ia sedang memasuki arena pertunjukan.“Kau pikir aku tak tahu semua pelayan di rumah ini?” tanyanya sambil mendekat. “Tapi kau ... berbeda.”Zavier menunduk dalam. Napasnya terengah, bukan karena lelah, tapi karena malu dan takut. “Maafkan saya, Nyonya ... Saya hanya penasaran.”“Tidak apa-apa Zavier, aku tidak marah.”Eliza berhenti hanya satu met