Terjerat pesona Nyonya Muda keluarga Willson membuat Zavier dilema. Apalagi saat sang nyonya memintanya menjadi teman kehangatan ranjang. Awalnya terpaksa, lama-lama muncul perasaan yang tak seharusnya. Hingga suatu hari, nasib sial menimpa Zavier, Mark murka sehingga memberinya hukuman 100 kali cambukan. Akankah Eliza membela Zavier dan menyelamatkannya, atau mempertahankan posisinya sebagai Nyonya Willson? Baca kisah Terjerat Hasrat Nyonya Muda selengkapnya di GoodNovel, tayang setiap hari ....
View More“Aku akan bekerja di kota, Bu.”
Zavier berdiri di samping ranjang kayu tua yang sudah mulai berderit tiap disentuh. Suaranya berat, tapi mantap. Di hadapannya, Susan--ibunya, sedang terbaring dengan selimut tipis menutupi tubuh kurus yang mulai melemah. Wajah wanita paruh baya itu pucat, tapi matanya menyimpan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Uhukk! Uhukk! Ia terbatuk keras, membuat bahunya terguncang, sebelum akhirnya menatap putranya dengan mata basah. “Kau yakin?” tanyanya lirih, seakan tak rela melepaskan anak satu-satunya pergi jauh. Zavier mengangguk perlahan. “Aku harus pergi hari ini, Bu. Aku akan mencari uang agar Ibu cepat sembuh.” Ia menunduk sejenak, menahan gejolak emosi yang nyaris pecah. “Siapa tahu ... di sana aku bisa bertemu dengan ay—” “Sstt ...” Susan segera memotong. “Jangan bahas dia. Ayahmu sudah tiada.” Tidak pernah pulang membuat Susan yakin Ferdian sang suami, sudah tiada. “Fokuslah pada tujuanmu, Zavier,” sambungnya. Zavier terdiam. Ia paham. Nama itu masih menyisakan luka dalam bagi ibunya. Ayahnya telah lama pergi tanpa jejak, meninggalkan mereka dalam kesulitan yang tak kunjung usai. Kini, ibunya terbaring sakit dan biaya berobat tidak bisa ditanggung dengan sekadar menjadi buruh tani di desa. *** Beberapa jam kemudian ... Setelah menaiki bus dan sampai terminal. Zavier mendapat telpon dari Ruby sang bibi, dia memberi alamat tempat yang harus dikunjungi Zavier. Kini, taksi yang ditumpangi Zavier, mulai memasuki kawasan elite, dengan pagar besi tinggi dan penjagaan ketat. Di ujung jalan, tampak gerbang besar dengan tulisan: [WILLSON MANSION – Ravenhurst Avenue] Taksi berhenti perlahan. Zavier keluar, berdiri menatap gerbang itu dengan napas memburu. “Selamat datang di dunia mereka,” ucap sang sopir. “Terima kasih, Pak. Ini uangnya.” Zavier merogoh kantong dan menyerahkan uang terakhir yang dia punya. Sopir taksi itu tersenyum, “Tidak usah, untukmu gratis.” Zavier mengernyitkan kening. “Hah? Gratis?” “Iya, baiklah. Kalau begitu, saya pergi dulu.” Zavier mengangguk. “Hm, sekali lagi, terima kasih Pak.” Sopir taksi itu mengangguk, lalu melajukan kendaraan. Zavier berdiri terpaku di depan gerbang hitam menjulang yang terbuat dari besi dengan ukiran klasik. Di baliknya, Willson Mansion berdiri megah, luas, berarsitektur Eropa tua dengan sentuhan modern. Namun, justru bukan kemewahannya yang membuat Zavier menelan ludah. Ada sesuatu yang aneh. Di samping pagar, banyak sekali tengkorak manusia yang dijadikan hiasan. Tangan kanannya secara refleks mengusap tengkuknya sendiri, seolah ingin mengusir perasaan tak nyaman yang tiba-tiba datang. “Apa ini ... tempat orang tinggal? Atau museum berhantu?” batinnya. Langkah Zavier terasa berat saat mendekat ke pintu gerbang. Tangannya yang hendak menekan bel sempat gemetar. Tapi sebelum sempat disentuhnya ... Puk! Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “T-tolong jangan hukum aku!” pekik Zavier spontan sambil berjingkat dan menoleh dengan napas memburu. Namun, bukan sosok mengerikan atau majikan galak yang ia temui. Wajah ramah seorang perempuan paruh baya tersenyum kecut di hadapannya. “Bibi?” Zavier menghela napas lega. “Astaga ... aku kira siapa.” “Ternyata kau di sini? Sudah Bibi tunggu dari tadi,” ujar perempuan itu dengan nada setengah kesal. “Bibi Ruby ... Huh! Ternyata kau.” Zavier nyaris tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Ini tempatnya besar sekali.” Tatapannya kembali menyapu bangunan megah itu. Pilar-pilar putih menjulang seperti penjaga, dan taman depan terlalu sunyi untuk disebut hidup. “Memang besar.” Ruby mengangguk singkat. “Dan bukan cuma besar, tapi juga penuh aturan.” Glek! Zavier menelan ludah. Ia mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, Ruby langsung menggamit lengan Zavier dan membawanya masuk. Begitu melewati pintu utama yang besar dan berat, Zavier nyaris menahan napas. “Ini lorong utama. Jangan berisik kalau lewat sini. Di sebelah kanan ada ruang tamu keluarga, dan itu ruang kerja Tuan Willson. Jangan pernah masuk ke sana tanpa izin,” ujar Ruby cepat, nyaris seperti hafalan militer. Zavier mengangguk sambil terus memperhatikan sekeliling. Kesan pertama: rumah ini terlalu besar untuk ditinggali. Terlalu sunyi untuk rumah yang katanya dihuni banyak orang. Mereka melewati tangga meliuk dengan pegangan kayu jati yang mengkilap. Lantai beralaskan karpet merah marun menyerap suara langkah mereka. Setiap lukisan di dinding tampak seperti memandangi mereka saat lewat. Wajah-wajah bangsawan berbusana klasik yang entah kenapa terlihat ... hidup. Zavier mulai merasa dadanya sesak. “Ini dapur,” ucap Ruby sambil membuka pintu ke arah ruang besar di sisi kiri lorong. Aroma rempah, kaldu, dan daging panggang langsung menyeruak keluar. Suasana sedikit lebih hidup di sini, meski tetap tak terlalu ramai. Ruby menunjuk beberapa pintu di sisi lorong panjang. “Di sana kamar-kamar pelayan, termasuk kamarmu nanti.” Zavier mengangguk cepat. Ruby berjalan lagi, membawa Zavier ke arah pintu kayu tua dengan kaca buram. “Ruangan ini biasa digunakan untuk ...” Namun, belum sempat Ruby menjelaskan, suara perempuan dari dapur memanggil dengan lantang, “Ruby! Cepat ke dapur! Masakan untuk makan siang belum selesai!” Ruby menghela napas dengan ekspresi tergesa. Ia menoleh ke Zavier. “Maaf, Bibi harus kembali. Banyak yang belum selesai.” Ia lalu menunjuk sebuah pintu kecil di ujung lorong gelap. “Zavier, tempatmu di sana. Itu ruang pelayan baru. Kau masuk, bereskan dirimu. Nanti akan ada yang menjemputmu.” Zavier mengangguk pelan. “Terima kasih, Bibi.” “Jangan banyak tanya dulu, jangan sok ramah dengan siapa pun, dan jangan keluyuran. Dengarkan kata Bibi.” Wajah Ruby terlihat lebih serius. Lalu ia berbalik dan menghilang ke dalam dapur, langkahnya cepat, menyisakan aroma tumisan dan bunyi panci dari kejauhan. Zavier kini berdiri sendiri. Lorong di sekitarnya hening. Lampu temaram di langit-langit menyala redup, nyaris tak mengusir kegelapan yang menempel di sudut-sudut. Tangannya terulur, menyentuh gagang pintu yang dingin. Pintu berderit pelan saat Zavier mendorongnya. Ruangan di baliknya ternyata jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Zavier menelan ludah. Matanya sempat berhenti pada sebuah pintu yang setengah terbuka—kamar pelayan pria, mungkin. Ia berjalan perlahan menuju arah itu. Belum sempat ia menyentuh gagang pintu, terdengar suara lantang dari luar, “SEMUA PELAYAN PRIA BERKUMPUL! SEKARANG!” Deg! Suara itu nyaring, bernada perintah. Zavier sontak membeku. Naluri bertahannya langsung bekerja. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke balik pilar kayu di dekat lemari, bersembunyi sambil menahan napas. Suara langkah kaki bergegas terdengar dari arah luar. Puluhan langkah mendekat, kemudian menjauh, menuju ke halaman belakang. Zavier mengintip hati-hati. Dari celah tembok, ia bisa melihat beberapa pelayan pria sedang berbaris rapi di halaman belakang. Mereka semua mengenakan seragam yang sama, kemeja putih dan celana hitam, wajah mereka tertunduk, disiplin. Zavier menarik napas lega. Tapi saat ia hendak bergerak mundur, sikunya menyenggol sesuatu. Crash! Sebuah vas bunga kristal yang berada di atas meja kecil terguling dan jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Suara benturan kerasnya menggema di antara lorong sunyi. Zavier membeku. Wajahnya langsung pucat. “Siapa itu?!” Suara perempuan yang sama, tajam dan mendominasi, menggema dari arah luar. Deg! Jantung Zavier seperti dihantam palu. Ia hanya bisa berdiri kaku saat langkah kaki mendekat cepat. Seorang wanita berdiri di sana, anggun tapi berbahaya. Rambutnya lurus, panjang sebahu dan tertata rapi. Mata hazel-nya tajam seperti pisau, dan bibir ranumnya tampak mengatup tegas. Zavier hanya sempat memandang sesaat, karena detik berikutnya ... Ceklak! Ujung pisau lipat dingin sudah menempel di lehernya. Zavier nyaris tak bisa bernapas. Ia menegakkan tangan, matanya membelalak. Pisau itu menekan kulit lehernya sedikit, terasa perih, darah mulai mengalir tipis. “Siapa kau?” tanya wanita itu, suaranya tajam dan penuh kecurigaan. “Penyusup? Mata-mata dari keluarga Anderson? Katakan!” “A-aku ... aku pelayan baru,” jawab Zavier tergagap. Wanita itu menyipitkan matanya, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. “Pelayan baru, ya?” bisiknya dingin. Zavier mengangguk cepat, meskipun rasa perih di lehernya makin terasa. “Hmph.” Wanita itu perlahan menurunkan pisaunya, tapi masih menatap Zavier dengan waspada. Namun dari jarak sedekat itu, Zavier justru bisa mencium aroma tubuh wanita itu, wangi vanilla yang manis. Mata birunya secara tak sengaja bertemu dengan mata hazel wanita itu. Detik itu juga, waktu seperti berhenti. Ada sesuatu dalam tatapan itu, dingin, kuat, tapi memikat. Kecantikannya begitu nyata. Wajah tajam, hidung mancung, dan bibir merah alami yang tampak seperti terukir sempurna. Untuk sesaat Zavier terpesona. “Siapa namamu?” Suara Eliza terdengar pelan namun tajam, seolah satu kata darinya bisa menebas udara. Zavier menunduk sopan, menahan getaran suaranya. “Zavier, Nona.” “Nona?” Eliza menyipitkan mata. Zavier mengangkat pandangannya, dan detik itu juga ia tahu, dia baru saja mengucapkan kata yang salah. “Panggil aku Nyonya! Nyonya Eliza!” ucap Eliza lantang, nada suaranya seperti cambuk yang mencambuk udara di antara mereka. Zavier terdiam sejenak. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia memandang wajah Eliza yang berdiri angkuh di hadapannya. Wanita itu tampak lebih muda darinya. “B-baik ... Nyonya.” Eliza menyunggingkan senyum tipis, “Dengar Zavier, aku tidak suka pelayan yang terlambat. Aturan di rumah ini bukan sekadar aturan biasa. Kau pelayan baru dan sudah membuat kesalahan. Maka dari itu, kau harus mendapatkan hukuman.” Hah? “Hukuman, Nyonya?” suaranya bergetar. “Iya.” Eliza tak perlu menjelaskan panjang. Ia hanya mengangkat kembali pisau lipat yang tadi sempat ia simpan. Pisau itu dibuka perlahan, mengeluarkan bunyi klik yang menggema. Langkahnya maju perlahan. Mata Eliza tertuju lurus ke arah wajah Zavier. “Hukuman akan mengajarkanmu batas. Dan dalam rumah ini ... aku adalah batas itu.” Pisau itu terangkat tinggi. Ujungnya mengilap. Wajah Zavier tegang. Tubuhnya tak bergerak. “Ja-jangan, Nyonya ... ampuni aku,” bisiknya pelan. Tapi Eliza tak berhenti. Tangan kanannya siap mengayun. Ujung pisau itu diarahkan tepat ke wajah Zavier.“Aku mencintaimu, Zavier …”Zavier menggertakkan gigi, rahangnya mengeras. Tangannya bergetar, dia memejamkan mata, dan kemudian …DOR!Suara tembakan meledak.Dentuman tembakan masih terngiang di telinga Zavier. Asap tipis mengepul dari moncong pistol yang baru saja dia lepaskan ke udara. Melihat zavier menembakkan pistol ke udara bukan ke arahnya, membuat Eliza terhuyung, tubuhnya limbung, lalu jatuh pingsan di tanah. Bruk!Zavier panik.“Eliza!” serunya, segera meraih tubuh wanita itu.“Kenapa dia pingsan? Peluru itu tidak mengenainya?”Ferdian tersenyum sinis, kemudian mendekat. “Kau menolak membunuhnya, Zavier? Sudah ayah duga kau memang masih mencintainya.”“Ayah, cukup!” Zavier mendesis. “Aku tidak bisa. Biar bagaimanapun, dia sedang mengandung. Aku tidak akan jadi pembunuh bayi tak berdosa.”Tanpa menunggu jawaban, Zavier mengangkat Eliza dan berlari ke mobil. Ferdian hanya terdiam, lalu memberi isyarat pada Prass dan pasukan untuk ikut.***Rumah Sakit.Setiba di rumah saki
Zavier melangkah mendekat, setiap jejak kakinya seperti dentuman palu di dada Eliza. “Kau pikir bisa mengelabui aku dengan bersembunyi di lemari? Kau salah besar, El.”Eliza mundur perlahan, punggungnya membentur dinding. “Jangan … jangan sentuh aku …” suaranya bergetar.Tatapan Zavier semakin tajam, senyumnya kejam. “Kau takkan bisa pergi dariku, El. Kau harus mempertanggungjawabkan semuanya. Malam ini, kau milikku.”“Ayo keluar!” suara Zavier membentak tajam, tangannya mencengkeram pergelangan Eliza dengan kasar. Ia menyeretnya keluar kamar, langkahnya lebar dan tergesa, membuat Eliza terseok-seok, hampir terjatuh. Nafas Eliza terengah, tubuhnya bergetar menahan sakit di pergelangan tangan. Mata Zavier menyala penuh dendam, setiap gerakannya seperti ingin segera menuntaskan misi—membawa Eliza ke hadapan ayahnya.“Zavier, lepaskan! Aku bisa jalan sendiri,” Eliza memberontak, mencoba menepis genggaman itu. Namun cengkeraman Zavier justru semakin keras.“Zavier … pelan-pelan, aku sedan
Tawa tuan Willson menggema di ruangan rahasia itu, suaranya nyaring dan penuh kemenangan, seakan-akan tidak peduli meskipun pistol Ferdian sudah diarahkan tepat ke kepalanya. “Hahahaha! Kalian pikir bisa mengalahkanku? Kalian semua hanyalah bidak kecil dalam permainan besar ini!” ejeknya merasa puas.Namun kesabaran Ferdian telah habis. Wajahnya mengeras, jemarinya menarik pelatuk tanpa ragu.“Dasar tidak berguna!”DOR!DOR!DOR!Peluru menghantam tepat di dada Willson, menembus jantungnya. Tubuh tua itu terhuyung, matanya membelalak tak percaya, lalu ambruk tak berdaya ke lantai. Darah merembes cepat, mengotori marmer mahal di ruangan itu. Suasana hening seketika, hanya tersisa napas berat Ferdian yang bergetar menahan amarah bercampur lega.Zavier, yang sedari tadi menahan diri, segera bergegas keluar. Langkahnya cepat, tatapannya fokus. Di luar, dia menemukan Prass yang sudah menunggunya sambil memantau pergerakan musuh melalui perangkat kecil di tangannya.“Paman, di mana Mark pe
Napas Tuan Willson tersengal-sengal, dadanya naik turun cepat. Setiap langkahnya terasa berat, tubuhnya sudah tidak sekuat dulu, namun tekad di matanya masih menyala. Anderson tidak ada di sana—itu artinya musuh besarnya sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar. Dengan sisa tenaganya, Willson segera pergi dari sana, menahan nyeri di pinggang, lalu keluar dari arena pertempuran.Mark yang masih dihajar oleh pengawal-pengawal Anderson menoleh cepat, matanya melebar saat melihat ayahnya pergi. “Dad! Tunggu aku!” teriaknya, mencoba melepaskan diri. Namun lengahnya dimanfaatkan oleh Zavier. Dengan kecepatan kilat, Zavier melayangkan pukulan keras ke rahang Mark.Bugh!Tubuh Mark terhuyung lalu terhempas ke lantai. Pandangannya berkunang-kunang, dunia berputar liar, dan sebelum sempat bangkit, kegelapan menelannya. Ia tergeletak tak sadarkan diri, darah menetes dari sudut bibirnya.Zavier tersenyum tipis. “Kau sangat lemah, Mark,” desisnya lirih. Alih-alih menolong, ia segera berbalik. L
Keesokan harinya, sesuai dengan skenario yang sudah disusun Ferdian Anderson, berita tentang kondisi Darisa yang masuk rumah sakit meledak di berbagai media. Tajuk-tajuk besar bertebaran: “Istri Tuan Besar Willson Kritis di Rumah Sakit”, “Racun Misterius, Darisa dalam Kondisi Koma”. Foto-foto Darisa saat dibawa masuk dengan kursi roda tersebar luas, menimbulkan spekulasi liar dari publik.Kabar itu cepat menyebar, bahkan sampai ke para pengusaha pesaing. Sebagian menunggu kejatuhan keluarga Willson, sebagian lagi khawatir akan terjebak dalam pusaran konflik besar. Namun satu hal jelas: ini adalah pukulan telak untuk kehormatan keluarga Willson.Di ruangannya, Tuan Willson meremas koran hingga berkerut, wajahnya merah padam. “Anderson... brengsek itu!” suaranya bergema. Dengan kasar, ia membanting koran ke meja marmer. Mark yang duduk di samping hanya bisa mengepalkan tangan, menahan amarah yang sama.“Daddy, mereka sudah terlalu jauh. Menghina kita di depan publik dengan cara ini sama
Mark menghempaskan napas kasar, matanya menyala merah saat genggaman di lengan Eliza mengencang. “Ah, Mark, lepaskan!” Amarahnya memuncak. “Kau memberitahu orang lain kode rahasia mansion ini, hah?” tanyanya, matanya menatap tajam. Eliza menunduk, napasnya tercekat. “A-aku tidak … tidak.” Suaranya nyaris tak terdengar; tangan kecilnya meremas ujung gaun, kuku-kukunya menekan kain sampai terasa sakit. Mark menatapnya semakin tajam. “Tidak apa? Beraninya kau, El. Aku sudah bilang jangan keluar mansion! Kau bertemu siapa, hah?” Sejenak, keheningan memadat. Dari bibir Eliza yang bergetar keluar nama yang membuat ruangan itu seakan beku. “Za-zavier …” APAH? “Brengsek! Jadi kau memberitahu Zavier?” Detik berikutnya, Mark mendorong tubuh Eliza sampai hampir terhuyung. “Maafkan aku, Mark …” gumam Eliza, menunduk menahan rasa bersalah dan malu. “Maaf katamu. Kau memang harus diberi pelajaran.” Kata-kata itu seperti palu yang siap menghantam. Sebelum tangan Mark sempat melayang ke w
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments