Zavier menunduk, menahan gejolak yang tak seharusnya tumbuh. Tapi suara lembut Nyonya Eliza selalu berhasil menembus dinding logika yang ia bangun. "Aku kesepian, Zavier. Jadilah teman berbagiku. Dalam canda, tawa ... bahkan kehangatan malamku," ucap Eliza lirih. Zavier menghela napas pelan. Jantungnya berdetak lebih cepat, namun mulutnya tetap berusaha menolak. "Tapi, Nyonya ... aku hanya pelayan di rumah ini. Rasanya tidak pantas berada di sampingmu, bahkan untuk sekadar berbagi malam." Namun Eliza tersenyum. Senyum yang membuat Zavier semakin bimbang. "Hanya teman, Zavier. Tidak lebih dari itu. Saat suamiku berubah, hubungan ini pun berakhir."
View More“Aku akan bekerja di kota, Bu.”
Zavier berdiri di samping ranjang kayu tua yang sudah mulai berderit tiap disentuh. Suaranya berat, tapi mantap. Di hadapannya, Susan--ibunya, sedang terbaring dengan selimut tipis menutupi tubuh kurus yang mulai melemah. Wajah wanita paruh baya itu pucat, tapi matanya menyimpan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Uhukk! Uhukk! Ia terbatuk keras, membuat bahunya terguncang, sebelum akhirnya menatap putranya dengan mata basah. “Kau yakin?” tanyanya lirih, seakan tak rela melepaskan anak satu-satunya pergi jauh. Zavier mengangguk perlahan. “Aku harus pergi hari ini, Bu. Aku akan mencari uang agar Ibu cepat sembuh.” Ia menunduk sejenak, menahan gejolak emosi yang nyaris pecah. “Siapa tahu ... di sana aku bisa bertemu dengan ay—” “Sstt ...” Susan segera memotong. “Jangan bahas dia. Ayahmu sudah tiada.” Tidak pernah pulang membuat Susan yakin Ferdian sang suami, sudah tiada. “Fokuslah pada tujuanmu, Zavier,” sambungnya. Zavier terdiam. Ia paham. Nama itu masih menyisakan luka dalam bagi ibunya. Ayahnya telah lama pergi tanpa jejak, meninggalkan mereka dalam kesulitan yang tak kunjung usai. Kini, ibunya terbaring sakit dan biaya berobat tidak bisa ditanggung dengan sekadar menjadi buruh tani di desa. *** Beberapa jam kemudian ... Setelah menaiki bus dan sampai terminal. Zavier mendapat telpon dari Ruby sang bibi, dia memberi alamat tempat yang harus dikunjungi Zavier. Kini, taksi yang ditumpangi Zavier, mulai memasuki kawasan elite, dengan pagar besi tinggi dan penjagaan ketat. Di ujung jalan, tampak gerbang besar dengan tulisan: [WILLSON MANSION – Ravenhurst Avenue] Taksi berhenti perlahan. Zavier keluar, berdiri menatap gerbang itu dengan napas memburu. “Selamat datang di dunia mereka,” ucap sang sopir. “Terima kasih, Pak. Ini uangnya.” Zavier merogoh kantong dan menyerahkan uang terakhir yang dia punya. Sopir taksi itu tersenyum, “Tidak usah, untukmu gratis.” Zavier mengernyitkan kening. “Hah? Gratis?” “Iya, baiklah. Kalau begitu, saya pergi dulu.” Zavier mengangguk. “Hm, sekali lagi, terima kasih Pak.” Sopir taksi itu mengangguk, lalu melajukan kendaraan. Zavier berdiri terpaku di depan gerbang hitam menjulang yang terbuat dari besi dengan ukiran klasik. Di baliknya, Willson Mansion berdiri megah, luas, berarsitektur Eropa tua dengan sentuhan modern. Namun, justru bukan kemewahannya yang membuat Zavier menelan ludah. Ada sesuatu yang aneh. Di samping pagar, banyak sekali tengkorak manusia yang dijadikan hiasan. Tangan kanannya secara refleks mengusap tengkuknya sendiri, seolah ingin mengusir perasaan tak nyaman yang tiba-tiba datang. “Apa ini ... tempat orang tinggal? Atau museum berhantu?” batinnya. Langkah Zavier terasa berat saat mendekat ke pintu gerbang. Tangannya yang hendak menekan bel sempat gemetar. Tapi sebelum sempat disentuhnya ... Puk! Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “T-tolong jangan hukum aku!” pekik Zavier spontan sambil berjingkat dan menoleh dengan napas memburu. Namun, bukan sosok mengerikan atau majikan galak yang ia temui. Wajah ramah seorang perempuan paruh baya tersenyum kecut di hadapannya. “Bibi?” Zavier menghela napas lega. “Astaga ... aku kira siapa.” “Ternyata kau di sini? Sudah Bibi tunggu dari tadi,” ujar perempuan itu dengan nada setengah kesal. “Bibi Ruby ... Huh! Ternyata kau.” Zavier nyaris tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Ini tempatnya besar sekali.” Tatapannya kembali menyapu bangunan megah itu. Pilar-pilar putih menjulang seperti penjaga, dan taman depan terlalu sunyi untuk disebut hidup. “Memang besar.” Ruby mengangguk singkat. “Dan bukan cuma besar, tapi juga penuh aturan.” Glek! Zavier menelan ludah. Ia mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, Ruby langsung menggamit lengan Zavier dan membawanya masuk. Begitu melewati pintu utama yang besar dan berat, Zavier nyaris menahan napas. “Ini lorong utama. Jangan berisik kalau lewat sini. Di sebelah kanan ada ruang tamu keluarga, dan itu ruang kerja Tuan Willson. Jangan pernah masuk ke sana tanpa izin,” ujar Ruby cepat, nyaris seperti hafalan militer. Zavier mengangguk sambil terus memperhatikan sekeliling. Kesan pertama: rumah ini terlalu besar untuk ditinggali. Terlalu sunyi untuk rumah yang katanya dihuni banyak orang. Mereka melewati tangga meliuk dengan pegangan kayu jati yang mengkilap. Lantai beralaskan karpet merah marun menyerap suara langkah mereka. Setiap lukisan di dinding tampak seperti memandangi mereka saat lewat. Wajah-wajah bangsawan berbusana klasik yang entah kenapa terlihat ... hidup. Zavier mulai merasa dadanya sesak. “Ini dapur,” ucap Ruby sambil membuka pintu ke arah ruang besar di sisi kiri lorong. Aroma rempah, kaldu, dan daging panggang langsung menyeruak keluar. Suasana sedikit lebih hidup di sini, meski tetap tak terlalu ramai. Ruby menunjuk beberapa pintu di sisi lorong panjang. “Di sana kamar-kamar pelayan, termasuk kamarmu nanti.” Zavier mengangguk cepat. Ruby berjalan lagi, membawa Zavier ke arah pintu kayu tua dengan kaca buram. “Ruangan ini biasa digunakan untuk ...” Namun, belum sempat Ruby menjelaskan, suara perempuan dari dapur memanggil dengan lantang, “Ruby! Cepat ke dapur! Masakan untuk makan siang belum selesai!” Ruby menghela napas dengan ekspresi tergesa. Ia menoleh ke Zavier. “Maaf, Bibi harus kembali. Banyak yang belum selesai.” Ia lalu menunjuk sebuah pintu kecil di ujung lorong gelap. “Zavier, tempatmu di sana. Itu ruang pelayan baru. Kau masuk, bereskan dirimu. Nanti akan ada yang menjemputmu.” Zavier mengangguk pelan. “Terima kasih, Bibi.” “Jangan banyak tanya dulu, jangan sok ramah dengan siapa pun, dan jangan keluyuran. Dengarkan kata Bibi.” Wajah Ruby terlihat lebih serius. Lalu ia berbalik dan menghilang ke dalam dapur, langkahnya cepat, menyisakan aroma tumisan dan bunyi panci dari kejauhan. Zavier kini berdiri sendiri. Lorong di sekitarnya hening. Lampu temaram di langit-langit menyala redup, nyaris tak mengusir kegelapan yang menempel di sudut-sudut. Tangannya terulur, menyentuh gagang pintu yang dingin. Pintu berderit pelan saat Zavier mendorongnya. Ruangan di baliknya ternyata jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Zavier menelan ludah. Matanya sempat berhenti pada sebuah pintu yang setengah terbuka—kamar pelayan pria, mungkin. Ia berjalan perlahan menuju arah itu. Belum sempat ia menyentuh gagang pintu, terdengar suara lantang dari luar, “SEMUA PELAYAN PRIA BERKUMPUL! SEKARANG!” Deg! Suara itu nyaring, bernada perintah. Zavier sontak membeku. Naluri bertahannya langsung bekerja. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke balik pilar kayu di dekat lemari, bersembunyi sambil menahan napas. Suara langkah kaki bergegas terdengar dari arah luar. Puluhan langkah mendekat, kemudian menjauh, menuju ke halaman belakang. Zavier mengintip hati-hati. Dari celah tembok, ia bisa melihat beberapa pelayan pria sedang berbaris rapi di halaman belakang. Mereka semua mengenakan seragam yang sama, kemeja putih dan celana hitam, wajah mereka tertunduk, disiplin. Zavier menarik napas lega. Tapi saat ia hendak bergerak mundur, sikunya menyenggol sesuatu. Crash! Sebuah vas bunga kristal yang berada di atas meja kecil terguling dan jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Suara benturan kerasnya menggema di antara lorong sunyi. Zavier membeku. Wajahnya langsung pucat. “Siapa itu?!” Suara perempuan yang sama, tajam dan mendominasi, menggema dari arah luar. Deg! Jantung Zavier seperti dihantam palu. Ia hanya bisa berdiri kaku saat langkah kaki mendekat cepat. Seorang wanita berdiri di sana, anggun tapi berbahaya. Rambutnya lurus, panjang sebahu dan tertata rapi. Mata hazel-nya tajam seperti pisau, dan bibir ranumnya tampak mengatup tegas. Zavier hanya sempat memandang sesaat, karena detik berikutnya ... Ceklak! Ujung pisau lipat dingin sudah menempel di lehernya. Zavier nyaris tak bisa bernapas. Ia menegakkan tangan, matanya membelalak. Pisau itu menekan kulit lehernya sedikit, terasa perih, darah mulai mengalir tipis. “Siapa kau?” tanya wanita itu, suaranya tajam dan penuh kecurigaan. “Penyusup? Mata-mata dari keluarga Anderson? Katakan!” “A-aku ... aku pelayan baru,” jawab Zavier tergagap. Wanita itu menyipitkan matanya, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. “Pelayan baru, ya?” bisiknya dingin. Zavier mengangguk cepat, meskipun rasa perih di lehernya makin terasa. “Hmph.” Wanita itu perlahan menurunkan pisaunya, tapi masih menatap Zavier dengan waspada. Namun dari jarak sedekat itu, Zavier justru bisa mencium aroma tubuh wanita itu, wangi vanilla yang manis. Mata birunya secara tak sengaja bertemu dengan mata hazel wanita itu. Detik itu juga, waktu seperti berhenti. Ada sesuatu dalam tatapan itu, dingin, kuat, tapi memikat. Kecantikannya begitu nyata. Wajah tajam, hidung mancung, dan bibir merah alami yang tampak seperti terukir sempurna. Untuk sesaat Zavier terpesona. “Siapa namamu?” Suara Eliza terdengar pelan namun tajam, seolah satu kata darinya bisa menebas udara. Zavier menunduk sopan, menahan getaran suaranya. “Zavier, Nona.” “Nona?” Eliza menyipitkan mata. Zavier mengangkat pandangannya, dan detik itu juga ia tahu, dia baru saja mengucapkan kata yang salah. “Panggil aku Nyonya! Nyonya Eliza!” ucap Eliza lantang, nada suaranya seperti cambuk yang mencambuk udara di antara mereka. Zavier terdiam sejenak. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia memandang wajah Eliza yang berdiri angkuh di hadapannya. Wanita itu tampak lebih muda darinya. “B-baik ... Nyonya.” Eliza menyunggingkan senyum tipis, “Dengar Zavier, aku tidak suka pelayan yang terlambat. Aturan di rumah ini bukan sekadar aturan biasa. Kau pelayan baru dan sudah membuat kesalahan. Maka dari itu, kau harus mendapatkan hukuman.” Hah? “Hukuman, Nyonya?” suaranya bergetar. “Iya.” Eliza tak perlu menjelaskan panjang. Ia hanya mengangkat kembali pisau lipat yang tadi sempat ia simpan. Pisau itu dibuka perlahan, mengeluarkan bunyi klik yang menggema. Langkahnya maju perlahan. Mata Eliza tertuju lurus ke arah wajah Zavier. “Hukuman akan mengajarkanmu batas. Dan dalam rumah ini ... aku adalah batas itu.” Pisau itu terangkat tinggi. Ujungnya mengilap. Wajah Zavier tegang. Tubuhnya tak bergerak. “Ja-jangan, Nyonya ... ampuni aku,” bisiknya pelan. Tapi Eliza tak berhenti. Tangan kanannya siap mengayun. Ujung pisau itu diarahkan tepat ke wajah Zavier.“Ah, sebaiknya aku pulang. Itu bukan urusanku,” gumam Zavier sambil menggeleng pelan.Langkahnya kembali menuju mansion Willson terasa berat. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih dipenuhi bayangan kota: gedung tinggi, jalanan padat, dan Mark yang mengomel sepanjang jalan. Hatinya gamang. Seumur hidup ia hanya mengenal tenangnya desa, suara jangkrik malam, dan aroma tanah basah. Kini, dia seperti dilempar ke dunia yang serba cepat, dingin, dan kejam.Setibanya di mansion, dua pengawal kepercayaan Mark membuka gerbang. Zavier melangkah masuk, napasnya yang belum sepenuhnya tenang, dia malah mendapati kepala pelayan laki-laki, Pak Gustav, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi mengintimidasi.“Hei, kau ke mana saja?” suara berat itu menyambutnya, seperti palu godam.“Saya baru saja mengantar Tuan Marck ke kantor,” jawab Zavier, mengatur napasnya.“Bagus, sekarang bantu bersihkan halaman belakang. Seluruh pelayan sedang bekerja menyiapkan mansion untuk tamu penting malam ini. Nyonya El
Ruangan makan mendadak sunyi. Zavier masih berlutut dengan tisu di tangan, sedangkan Eliza duduk anggun dengan kaki terjulur, seolah tak terjadi apa-apa.Mark mendekat dengan langkah berat. Dia menatap tajam ke arah Zavier, lalu berpindah ke Eliza.“Kau tahu peraturannya, Eliza. Tidak ada pelayan yang boleh menyentuh istri pemilik rumah ini. Apalagi seperti ini.” Nada suara Mark dingin dan penuh ancaman.Eliza mengangkat bahu, senyumnya tak bergeming.“Tenanglah, sayang. Dia hanya membersihkan sup di kakiku.” Eliza berdiri perlahan, memiringkan kepalanya, membelai dada suaminya yang bidang. “Aku yang memintanya. Lagipula kau tahu sendiri … pelayan-pelayan tua di rumah ini lambatnya seperti siput.”Mark tidak langsung merespons. Tatapannya tetap menusuk Zavier yang masih berlutut.Zavier buru-buru berdiri, menunduk dalam. “Maaf, Tuan. Saya ... hanya mengikuti perintah Nyonya.”Huh!Mark mendengus pelan. Namun kilatan curiga di matanya mulai surut karena sikap tenang Eliza.“Lain kali,
Zavier berdiri mematung. Napasnya tercekat.Suara dari balik kamar mandi tadi, terlalu intim untuk didengar oleh telinga seorang pelayan. Ia menunduk, jantungnya berdegup kencang.“Jangan bodoh, Zavier. Cepat keluar,” batinnya.Namun rasa penasaran menguasai logika. Pelan-pelan, dia melangkah maju. Celah pintu kamar mandi sedikit terbuka.Zavier mendekat. Lehernya seperti kaku, namun kepalanya tetap menoleh. Mata birunya mengintip melalui celah kecil.Deg!Matanya melebar.Di dalam sana, Eliza sedang berendam dalam bathtub marmer putih, rambutnya tergelung asal, bahunya yang mulus, buah dada, serta area terlarang terlihat jelas dari balik buih sabun yang mengambang.Namun yang membuat Zavier melongo bukan hanya itu, Eliza sedang menonton film semi dari tablet yang tersandar di rak kecil di dekat bathtub. Suara lembut dan adegan sensual dari film itu berpadu dengan gemericik air.“Ya ampun ...” bisik Zavier dengan wajah memerah. “Ternyata cuma nonton film, aku kira tadi ...”Ia buru-bu
Cahaya lampu gantung kristal di ruangan kerja Mark memantul di permukaan meja kayu mahoni yang luas. Di atasnya, berserakan berkas-berkas dan map bisnis yang tertata rapi. Suara jam dinding berdetak pelan, menghitung detik dalam keheningan tegang.Kriet!Pintu terbuka pelan tanpa ketukan.Eliza masuk.Tubuhnya masih berbalut gaun satin hitam, rambutnya digelung rapi. Aroma vanilla segera mengisi ruangan.Mark duduk di balik meja besar, mengenakan kemeja putih tergulung hingga siku. Tangan kekarnya memegang pena, matanya fokus pada lembaran laporan keuangan.Tanpa sepatah kata, Eliza melangkah ringan ke arah pria itu, lalu merangkul pundaknya dari belakang. Lembut, perlahan.“Aku sibuk, El,” gumam Mark datar, tanpa menoleh.“Kau selalu saja sibuk, padahal aku ingin bermanja,” balas Eliza dengan nada lembut yang dibuat-buat, suaranya mengalun genit. “Tidak rindukah kamu padaku?”Tangannya yang halus menyusuri bahu Mark, lalu turun ke pipinya, membelai pelan. Jari-jarinya menyusuri garis
Langkah kaki Zavier terasa berat saat mengikuti Eliza menaiki tangga spiral menuju lantai dua mansion. Gaun wanita itu berkibar lembut setiap kali angin dari jendela panjang berembus.Tanpa berkata sepatah kata pun, Eliza berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna maroon tua. Ia membuka pintu itu pelan, dan dari balik celahnya, tampak kamar tidur yang begitu mewah. “Masuk.”Perintahnya singkat, tak memberi ruang untuk penolakan.Zavier menelan ludah dan melangkah masuk. Kakinya sedikit bergetar saat menginjakkan kaki ke kamar sang Nyonya. Eliza menutup pintu dan berjalan ke arah meja rias. Ia membuka sebuah kotak perhiasan terbuat dari berlian mengkilap, lalu menghela napas panjang.“Ada satu yang hilang,” ucapnya pelan, namun tegas. “Anting peninggalan ibuku.”Zavier menoleh.“Maksud Nyonya … aku harus mencarinya?”Eliza berbalik perlahan. Tatapannya menusuk, tapi bibirnya melengkung sedikit.“Ya. Kau akan mencarinya untukku, malam ini juga. Dan kau tidak akan keluar dari kamar
Setelah makan malam selesai dan ruang makan kembali sunyi, Zavier kembali ke kamarnya yang sempit dan pengap. Ia duduk di ujung ranjang, membuka ranselnya dan menarik keluar ponsel jadulnya. Layar kecil itu masih menyala samar dalam gelap. Ia menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak kecil.Tuuut ... tuuutt!klik!“Halo?”Suara itu langsung menggetarkan dadanya. Suara ibunya terdengar lemah tapi hangat di seberang.“Zavier, kau sudah sampai di kota? Kenapa tidak mengabari ibu? Ibu sangat khawatir sejak tadi.”Zavier mengusap wajah, menyembunyikan raut letihnya. Ia berbaring sebentar, lalu menjawab pelan, “Sudah, Bu. Aku sekarang di tempat kerja.”“Kau ... betah, Nak?”Pertanyaan itu terdengar polos. Tapi bagi Zavier, seperti ditusuk dari dalam.Matanya melirik dinding kamar yang dingin. Ia masih bisa mengingat tatapan tajam Eliza tadi, kata-katanya yang mengancam, dan sikap semua pelayan lain yang seperti boneka hidup.“Iya, Bu, betah kok.”Zavier memaksa senyum yang tak bisa dilihat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments