Darisa melangkah anggun memasuki butik ternama di pusat kota. Aroma parfum mewah bercampur dengan kilauan lampu kristal menambah kesan glamour yang melekat padanya. Dengan gaun elegan dan perhiasan berkilau, ia tampak seperti pusat perhatian, bahkan para pengunjung lain menoleh sekilas penuh kagum pada wanita paruh baya yang masih tampak segar tersebut.Sambil menunggu teman-teman sosialitanya yang ia hubungi sejak tadi, Darisa melihat-lihat beberapa koleksi terbaru yang ditawarkan pelayan butik. Namun, suasana mendadak berubah ketika pelayan itu secara ceroboh menjatuhkan gaun mahal yang sedang dipilih Darisa.BRUK!“Bagaimana bisa kau menjatuhkan baju ini?!” bentaknya dengan suara lantang, wajahnya memerah karena kesal. “Gaun ini harganya ratusan juta! Apa kau buta?”Pelayan itu langsung menunduk, meminta maaf berkali-kali, wajahnya pucat pasi karena takut menghadapi amarah istri dari keluarga paling berpengaruh di kota itu.Tepat saat Darisa masih marah-marah, seorang pria misteriu
Keesokan harinya.Tuan Ferdian duduk di kursi belakang dengan wajah serius, tangannya menggenggam map berisi laporan keuangan terbaru. Dalam pikirannya hanya ada satu tujuan: memastikan Anderson Corporation berjalan sebagaimana mestinya setelah beberapa hari ini dipercayakan pada Zavier.Meski ia bangga dengan kecerdasan putranya, Ferdian tahu dunia bisnis tidak pernah ramah. Penuh tipu muslihat, perang licik, dan permainan kotor yang bisa menjerat siapa saja yang lengah. Zavier harus terus diawasi. Jika tidak, satu langkah salah saja bisa membuat Anderson hancur, batinnya.Namun, di tengah perjalanan, rasa nyeri tiba-tiba menjalar dari pelipis ke seluruh kepalanya. Ferdian mengerutkan dahi, tangannya refleks memijat sisi kanan kepalanya. Rasa pusing itu semakin kuat, hingga membuat penglihatannya sedikit kabur.“Pak, apakah Anda baik-baik saja?” tanya sopir yang sesekali menoleh lewat kaca spion.Ferdian menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tangannya hampir saja meraih po
Horis akhirnya sampai di sebuah gedung rahasia yang dari luar tampak biasa saja, namun di dalamnya menyimpan aset yang bisa membeli seluruh isi dunia.Ia turun dari mobil, menoleh ke kanan dan kiri dengan tatapan tajam. Ada hawa aneh yang sempat membuat bulu kuduknya meremang.“Hanya perasaanku saja,” gumamnya sambil menepuk dada.Setelah memastikan benar-benar aman, ia meraih sebuah tombol kecil tersembunyi di dinding. Begitu ditekan, pintu besi tebal bergeser perlahan dengan suara berat, lalu menutup otomatis di belakangnya. Tidak ada seorang pun bisa masuk tanpa mengetahui tombol rahasia itu.Di dalam, suasananya hening. Hanya suara langkah kakinya dan nyala api korek saat ia menyalakan sebatang rokok. Asap tipis mengepul di udara, menemaninya menelusuri rak-rak besi yang penuh dengan berkas dan kotak penyimpanan. Jemarinya menyusuri map satu per satu dengan sabar.“Aha!” serunya akhirnya, menemukan Dokumen Saham & Kepemilikan Perusahaan Offshore yang dicari. Ia menepuk map itu den
“Bibi?” suara itu lirih namun tegas, keluar dari mulut Zavier yang belakangan ini dingin.Ruby yang semula terpejam perlahan membuka matanya. Cahaya lampu jalan menyingkap wajahnya yang dulu gempal, kini jauh lebih kurus, pucat, dan penuh keriput. Sekilas, dia seperti tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tatapannya kabur, namun begitu menancap pada sosok pria muda berpakaian formal dengan jas mewah di hadapannya.“Za … Zavier … kau masih hidup?” Ruby terperanjat, suaranya bergetar, tubuhnya ikut gemetar. Dia terduduk, matanya melebar tak percaya. “Ini benar-benar kau? Bibi pikir … kau sudah tiada, semua orang bilang kau mati di dalam ruang bawah tanah itu.”Zavier menunduk sedikit, menatap lekat wajah lusuh bibinya. Ada gurat kesedihan dan kasih yang tak pernah hilang dari sorot mata itu. “Iya, Bibi. Aku masih hidup. Tuhan … belum mengizinkanku mati.” Napasnya tercekat, lalu tatapannya beralih pada tubuh Ruby yang kotor, baju lusuh, tangan gemetar. “Kenapa Bibi bisa
“Apa kau menyukainya, hem?” Ferdian mencondongkan tubuh, matanya menyipit mengamati putranya. Zavier menelan ludah, menutup mata sejenak seolah menenggelamkan sesuatu yang sakit pada masa lalu. Saat dia berbicara, suaranya rata dan terkendali. “Itu hanya bagian dari masa lalu, sekarang tidak penting lagi.”Ferdian mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. “Oh iya.”Zavier mengangkat bahu, matanya kembali menyala oleh tekad. “Iya. Sekarang tujuanku hanya satu. Menghancurkan seluruh keluarga Willson tanpa terkecuali.”Di sudut ruangan, skema dan foto-foto yang menempel tampak seperti peta medan perang. Ferdian menghisap cerutunya, asapnya berputar lembut ke atas seakan menambah dramatis suasana.“Hmm, bagus. Wanita sepertinya banyak sekali di muka bumi. Ayah akan carikan satu yang terbaik untukmu,” ia berujar setengah bercanda.Suasana kembali serius. Ferdian menepuk meja, lalu menunjuk foto-foto. “Mari kita bicarakan urutan,” ucapnya. “Kau bilang ingin menghancurkan mereka semua. Kita
“Siapa yang kau panggil pelayan?” tanya Zavier datar, suaranya dalam dan tenang, tapi sorot matanya menusuk tajam seperti bilah pisau yang siap menebas kapan saja.Mark maju setengah langkah, wajahnya menegang. “Tentu saja dirimu. Kau tidak perlu berpura-pura lagi. Aku tau kau si pelayan.” Nada suaranya penuh ejekan, seolah ingin menginjak harga diri Zavier di hadapan Eliza.Zavier menahan napasnya sejenak, lalu perlahan mengangkat dagu, senyum dingin tersungging di bibirnya. “Maaf, Tuan Mark,” ucapnya tenang namun penuh tekanan, “tapi aku tidak mengenalmu. Oh ya … mungkin kenal, tapi aku benar-benar tidak ingat. Aku mengalami kecelakaan parah yang membuatku lupa sebagian ingatan.”Kata-kata itu membuat lorong hotel yang sepi seolah membeku. Eliza terbelalak, kedua tangannya menutup mulut. Pandangannya menelusuri wajah Zavier, berusaha menemukan kebenaran di balik ucapannya. Lupa ingatan? Jadi itu sebabnya dia terlihat begitu berbeda … pikirnya, hatinya bergetar antara lega dan sed