Publik gempar saat Emily Harper menolak lamaran dari Brandon, pengusaha muda idaman semua wanita. Lelah menghadapi komentar orang-orang, pewaris Savior Group itu nekat kabur ke negara lain. Tanpa satu pun pengawal, tanpa satu pun orang yang menjaganya. "Jangan bertingkah seperti anak-anak, Emily. Berhentilah menunggu Cayden. Bocah dari 23 tahun yang lalu itu pasti sudah lupa padamu. Sekarang juga cepat pulang! Jangan sampai musuh kita mengambil kesempatan ini untuk menculikmu!" Gawatnya, Emily tidak mengindahkan peringatan itu. Ia mengira dirinya aman hingga akhirnya ia sadar. Seseorang telah memasukkan obat tidur ke dalam minuman yang baru saja dihabiskannya itu! Bagaimana nasib Emily selanjutnya? Adakah seseorang yang bisa menyelamatkannya dari situasi genting tersebut?
View More"Jadi kau rela mempertaruhkan nyawa? Demi cinta pertamamu?" Sosok itu tertawa mengerikan. "Emily Harper, ternyata kau hanya gadis bodoh biasa!"
Kerongkongan Emily tersekat. Matanya gemetar melihat pria yang memain-mainkan pisau di hadapannya. “K-kamu bukan Cay—” Ucapan Emily tertahan oleh kilatan mata pisau yang meluncur menuju perutnya. Ia berusaha menghindar, tetapi tubuhnya terlalu tegang. Ia malah terdiam. Detik berikutnya, darah mulai menetes mengotori lantai. Emily hanya bisa terkesiap, ternganga dengan tatapan nanar. Kilasan memori bergulir cepat dalam benaknya. Ketika terhenti, sebuah pertanyaan bergema. Tepatkah keputusannya untuk mempertahankan cinta yang mendatangkan petaka? Beberapa saat yang lalu .... Breaking news! “Emily Harper, nona pewaris dari Savior Group, dikabarkan telah menghilang. Sejak menolak lamaran Brandon Young pada Sabtu malam lalu, ia tidak lagi terlihat.” “Banyak pihak berspekulasi bahwa ia kabur untuk menghindar dari publik. Ada juga yang menduga-duga bahwa ia telah diculik. Namun, hal itu disanggah dengan tegas oleh keluarga Harper. Mereka mengatakan bahwa sang nona pewaris sedang butuh waktu untuk menenangkan diri.” “Hingga kini, para wartawan masih bersiaga di sekitar kediaman Harper dan kantor Savior. Mereka menantikan pernyataan dari Emily Harper terkait keputusannya menolak lamaran pewaris Young Company.” Emily menghela napas tak percaya. Dengan tatapan sinis, ia mengamati wajah si penyiar. "Apakah mereka kehabisan bahan? Untuk apa menyiarkan berita tidak berguna semacam ini? Astaga .... Kenapa juga Louis membiarkan kabar ini beredar? Dia seharusnya mengendalikan media. Kalau seperti ini, aku jadi harus ekstra waspada." Tiba-tiba, nama saudara kembarnya muncul di ponsel. Melihat itu, Emily langsung melirik sekeliling. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pengawal Louis di sekitarnya. Merasa situasi aman, ia akhirnya menjawab panggilan. “Emily Harper, kau pikir boleh kabur begitu saja setelah kekacauan yang kau buat?” hardik Louis dari seberang benua. Emily spontan menjauhkan ponsel dari telinga. Bukannya merasa bersalah, ia malah menyeruput cokelat hangatnya. "Bisakah kau pelankan suaramu, Louis? Kau membuatnya terkesan seperti sebuah masalah besar." "Ini memang masalah besar. Kau tahu seberapa banyak media yang menyoroti ulahmu? Semuanya! Media sosial, telepon kantor, bahkan email kerja pun ramai dengan orang-orang yang menanti penjelasan darimu. Kau sudah menyimak breaking news yang kukirim, kan?" Emily mengurut pelipis tiga kali. Setelah mendesah samar, ia bersandar pada kursi. "Sekarang kau membuatnya terkesan seperti hal baru. Ayolah, jangan membesar-besarkan masalah. Perusahaan sudah pernah menghadapi hal yang lebih besar dari ini. Kau ingat skandalmu empat tahun lalu?" "Jangan mengalihkan pembicaraan, Emily. Kita sedang membahas kelakuanmu. Jadi berhentilah mengelak dan akui kesalahanmu!" Pangkal alis Emily mulai berkerut. "Aku tidak bersalah." "Ya, kau melakukan kesalahan dan itu sangat fatal. Kenapa kau menolak lamaran Brandon? Kau masih normal, kan? Dia itu pria yang paling banyak diidamkan oleh wanita! Nomor dua setelah aku." Emily mendengus tipis. "Itu bukan salahku. Dia yang terlalu bodoh. Sudah berulang kali kukatakan kalau aku tidak punya perasaan terhadapnya, tapi dia malah melamarku di tempat umum, di depan banyak media." "Itu karena dia sangat mencintaimu. Brandon laki-laki yang baik, Emily. Sejauh ini, dia yang terbaik untukmu. Kalian bisa menjadi pasangan yang sempurna." "Kau mengatakan itu karena dia sahabatmu," sela Emily ketus. "Dan juga sahabatmu," pungkas Louis, tiba-tiba melunak. "Bukalah matamu, Em. Kita sudah mengenalnya sejak kecil. Semua sifat dan kebiasannya sudah kita ketahui. Keluarganya juga kita kenal. Apa lagi yang kurang darinya?" Emily terdiam. Ia hanya bisa menggertakkan geraham. Sebelah tangannya meremas siku yang menopang ponsel. Dengan sikapnya yang menjadi kurang awas, ia tidak sadar bahwa tiga orang di meja lain mulai memperhatikannya. "Apakah karena Cayden? Kau masih menunggu bocah itu?" Louis memecah hening. Emily mengerjap. "Cayden bukan bocah. Dia satu tahun lebih tua dari kita," koreksinya, terdengar seperti menggerutu. "Tapi dia hanyalah bocah berumur 5 tahun saat dia mengucapkan janji itu. Dan sekarang, kau bukan anak 4 tahun lagi." Emily membuang napas cepat. Matanya kini terpejam. Ia sadar bara dalam hatinya telah kembali menyala. “Sadarlah, Emily,” sambung Louis. “Dia bisa saja sudah melupakanmu. Atau mungkin, dia sama sekali tidak mengingatmu.” "Cayden sudah berjanji padaku," gumam Emily pelan. "Untuk menemuimu dalam 20 tahun. Sekarang? Umurmu sudah 27 tahun, Emily. Berpikirlah realistis. Tidak ada gunanya kau menunggu seseorang yang tidak pasti." Emily menelan ludah pahit. "Tidak ada gunanya kau menghasutku. Aku tidak akan terpengaruh. Aku yang lebih mengenal Cayden. Aku yang lebih tahu." "Aku mengingatkanmu karena aku peduli padamu. Aku tidak mau kau kecewa, Emily. Bagaimana kalau ternyata dia sudah menikah? Atau yang lebih buruk, bagaimana kalau dia sudah di alam yang berbeda?" "Louis!" Mata Emily membulat. Alisnya berkerut tak senang. "Bagaimana kalau saat kalian bertemu nanti, dia tidak sesuai dengan ekspektasi? Mungkin saja, sekarang dia jelek dan tidak mengurus diri. Dia pengangguran, jorok, tidak punya masa depan—" "Berhenti sekarang atau aku tidak akan menjawab panggilanmu lagi," tegas Emily, tidak main-main. Louis mendesah pasrah. "Baiklah. Kalau kau tidak mau mendengarkan aku, terserah. Tapi kau harus kembali secepatnya. Kau tahu seberapa cemas Mama dan Papa memikirkanmu?" Bibir Emily mengerucut. Egonya kembali bergejolak. "Aku sudah dewasa. Aku bisa mengurus diriku sendiri." "Ini masalah keamanan, Emily. Tidakkah kau memikirkan ancaman yang mengintai di luar sana? Kau lupa seberapa banyak musuh yang kita punya? Kalaupun bukan perusahaan pesaing, laki-laki hidung belang atau penggemar fanatikmu bisa saja berbuat sesuatu yang gila. Kau tidak takut diculik?" Emily menggeleng samar. Tepat saat itulah, seorang wanita tua berjalan terhuyung-huyung dan menabrak mejanya. Seketika, Emily berdiri mengamankan tas dan ponsel. “Maaf,” ujar wanita itu. Wajahnya yang penuh keriput tampak lelah dan gusar. “Saya sedang tidak enak badan. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda.” Emily berkedip-kedip mencerna keadaan. Merasa bahwa wanita tua itu bukan ancaman, ia mengangguk samar. “Ya, tidak apa-apa.” Tiba-tiba, pria di meja sebelah menutup majalah dan menghampiri mereka. “Madame, apakah Anda butuh bantuan?” “Oui, Merci.” Sementara dua orang itu berlalu, Emily kembali ke kursi. Ia terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Ia tidak peduli jika Louis memanggil-manggil hingga frustrasi. “Apakah Madame itu baik-baik saja? Dia tampak begitu ketakutan. Mungkinkah dia baru saja menerima kabar buruk tentang keluarganya?” gumamnya. Selang satu kedipan, mata Emily melebar. Cokelat panas yang belum sempat dinikmatinya telah tumpah sebagian. “Oh, cokelatku!” Emily cepat-cepat menarik tisu dan membersihkan cangkir. Kemudian, tanpa sedikit pun rasa curiga, ia menyeruputnya sedikit. Ia tidak tahu bahwa wanita tua tadi telah memasukkan sesuatu ke dalam minumannya.Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments