Share

13

last update Last Updated: 2021-04-09 19:47:48

Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.

“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”

Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.

 “Sendika, Gusti Pangeran!”

Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.

Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, atau nyawa menjadi taruhannya. Sekali waktu dua pembantu salah memperkirakan tempat duduk. Akibatnya Candrakumala terjengkang. Para pembantu naas itu pun mati dengan kepala dan badan terpisah.

“Nah, nah, mana dia?” tanya Candrakumala kemudian, setelah duduk dengan nyaman di singgasananya. “Sudah kauantar ke kaputrenku?”

Di depan Senopati Natpada yang tegap, Candrakumala sepintas terlihat seperti kucing kurus yang baru saja tercemplung sungai. Tubuhnya cenderung kecil mungil dan sedikit bungkuk pada bagian punggung dekat tengkuk. Keseluruhan penampilannya tertolong oleh busananya yang tak pernah tidak mewah. Sore itu ia mengenakan blangkon hijau, baju lurik lengan panjang, kain yang dilipat sebatas lutut, serta celana hitam, dan semuanya bersulamkan benang emas.

Senopati Natpada lalu menyembah. Kedua tangannya gemetar.

“Mohon ampun! Hamba gagal menjalankan tugas...!”

Alis Candrakumala berkernyit. Mata mencorong menatap kepala pasukan pengawalnya itu.

“Bagaimana bisa begitu? Kau tidak terkalahkan. Aku mengirimmu secara khusus untuk tugas ini karena tahu kau tak terlawan. Kau pasti bisa. Dan mereka tidak akan berada dalam kedudukan untuk menjawab tidak.”

Senopati Natpada kembali menyembah. “H-hamba terhalang Lintang Abyor...!”

“Lintang Abyor? Apa yang terjadi?”

“Seseorang menghalangi tugas hamba, dan ia memiliki ilmu itu, Gusti Pangeran.”

“Siapa dia? Kakangmas Wiratmaka? Adimas Ranggajaya?”

“Namanya Jaladri, Gusti, putra sulung Ki Somanagara, pedagang beras dari Karang Bendan.”

Candrakumala terpaku. “Bagaimana mungkin dia bis...?”

“Maaf, hamba menyela. Dan biar soal ini kuambil alih, Senopati.”

Kedua pria itu menoleh kaget. Tumenggung Mertalaya yang bertubuh kurus tipis seperti lidi dan selalu mengenakan jubah warna pekat melangkah mendaki telundakan pendapa dari arah pringgitan rumah utama Dalem Kepangeranan Candrakumala.

“Loh, bukannya Paman masih di Telaga Wilis bersama 100 bidadari?” Candrakumala menatap sang tumenggung dengan mata tak berkedip.

“Hamba menggunakan Aji Sepi Angin sehingga bisa berada di dua tempat pada saat yang bersamaan. Dan ini diri hamba yang satunya lagi. Hamba yang asli masih berada di telaga, berenang bersama 20 bidadari.”

Mertalaya kemudian duduk bersila tepat di sisi Senopati Natpada. Matanya melirik tajam ke arah senopati itu sesudah memberikan sembah kepada Candrakumala.

“Sudah kubilang, urusan ini kuambil alih. Kau bisa kembali ke rumahmu, dan terhindar dari hukuman Gusti Pangeran karena kebijaksanaanku.”

Senopati Natpada mengangguk, lalu menyembah dengan tubuh merunduk.

“Mohon izin meninggalkan tempat ini, Gusti.”

Candrakumala berkacak pinggang dalam duduknya. Bagaimanapun ia belum puas, dan gatal sekali menjatuhkan hukuman. Namun kehadiran dan kata-kata Tumenggung Mertalaya selalu berarti banyak untuknya.

Ia membuang napas.

“Ya, ya, pergilah!” tangannya mengibas.

Senopati Natpada merunduk makin dalam, sebelum perlahan berjongkok melangkah mundur, dan baru berani berbalik sesudah tiba di tanah.

Lalu sunyi. Tumenggung Mertalaya menerawang menatap arah lain sambil menghela napas.

“Mohon Gusti untuk tidak gegabah menghadapi persoalan satu ini...” katanya kemudian, menggunakan hak istimewa yang ia terima, yaitu menjadi di antara segelintir manusia di muka Bumi yang dapat mendului berkata-kata tanpa perlu ditanyai terlebih dulu oleh Pangeran Candrakumala.

“Soal Jaladri dari Karang Bendan ini?”

Mertalaya mengangguk. “Benar sekali.”

“Dan mengapa begitu?”

“Ada sesuatu yang dulu hanyalah gunjingan. Dan mungkin ini saatnya untuk membuktikan hal itu.”

“Gunjingan? Soal apa?”

Tumenggung Mertalaya menarik napas. “Semua akan dapat kita ketahui dengan pasti jika berhasil membawa mereka kemari.”

“Mereka siapa?”

“Keluarga Jaladri. Dia memiliki seorang adik perempuan, yang juga cantik. Dan mereka kaya raya, sehingga tubuh dan wajah gadis itu pasti lebih bersih terawat daripada si kembang desa itu.”

Candrakumala ternganga. “Benarkah?”

“Ya. Gusti Pangeran bisa memintanya untuk menjadi istri Gusti Pangeran, dan keluarga Ki Soma akan dengan senang hati menerima. Itu akan sepadan sebagai pengganti perbuatan Jaladri menghalangi tugas Senopati Natpada mengambil gadis Brabo itu. Anggap saja itu hukumannya. Sekaligus nanti saya bisa bertanya pada Ki Soma untuk memastikan kebenaran gunjingan itu.”

“Secantik apa dia?”

“Jauh lebih cantik daripada semua selir Gusti Pangeran saat ini. Hamba akan mengirimkan utusan atas nama Gusti Pangeran ke Karang Bendan untuk memanggil mereka kemari. Dengan demikian Gusti dapat menyaksikan secara langsung seperti apa kecantikan adik Jaladri itu. Selanjutnya tentu, seperti biasa, semua terserah Gusti Pangeran.”

Candrakumala tersenyum, mengangguk-angguk.

“Gagasan bagus. Para utusan harus berangkat pagi-pagi subuh esok!”

Mertayala menyembah. “Kehendak Gusti akan segera terlaksana.”

“Dan untuk merayakannya, aku ingin makan daging sapi. Perintahkan orang untuk menyembelih sapi!”

Mertalaya membungkuk.

Sendika, Gusti Pangeran.”

***

Matahari sudah jauh bergulir ke barat ketika Wisnumurti membelokkan kudanya mengikuti ruas jalan setapak. Ia mendengar debur ombak di kejauhan memecah pantai. Pada belokan berikutnya, ia langsung tahu telah berada pada tujuan yang tepat sebagaimana ancar-ancar yang diberikan Ki Gede Nipir tadi.

Betul ini tempatnya. Ia melompat turun dari kuda. Di depan sana, lima ekor kuda terlihat ditambatkan pada sebuah pohon besar. Lebat hutan seketika berakhir. Di depannya terbentang padang yang cukup terbuka, berakhir pada bibir tebing karang tepat di tepi samudera laut selatan. Dan di ujung kejauhan sana, hanya beberapa tombak dari tepian tebing, berdiri sebuah pondok kayu berukuran kecil yang terlihat memang sangat cocok digunakan untuk menyepi.

Dengan cepat ia menuntun kudanya ke arah kuda-kuda itu, yang pasti merupakan kendaraan Ki Sembada dan keluarganya dalam pelarian menghindari Tanpa Aran.

Setelah menambatkan kudanya, ia bergegas mendekati pondok kecil itu. Matanya menatap tajam penuh kewaspadaan. Hingga ia agak jauh maju menapak, tak ada apa pun yang terlihat di sana. Pintu pondok tertutup rapat. Sedikit terlalu sunyi. Harusnya ada yang berjaga di sekeliling rumah.

Dan rasa gatal yang menggelitik tengkuk membuat pemuda itu kemudian melesat berlari. Jantung berdegupan saat ia masuk tidak dengan cara biasa, melainkan dengan menendang pintu sampai jebol terlepas dari engselnya.

“Ki Semb...?”

Seruannya terpotong. Wisnumurti berdiri terpaku di ambang pintu dengan napas memburu.

Mata nanar. Sejenak kaku tak bisa berbuat apa pun.

Bagian dalam pondok kecil yang hanya terdiri atas satu ruangan tunggal itu seperti terkena banjir. Bukan air, melainkan darah. Merah pekat kehitaman ada di mana-mana, terutama di sekeliling delapan jenazah yang terbaring kaku dalam posisi tak beraturan di dekat amben bambu. Empat mayat tergolek di balai-balai. Sepasang pria dan wanita berbusana bagus serta dua anak remaja perempuan. Mereka pastilah Ki Sembada sekeluarga.

Empat lainnya adalah pria-pria berbadan kekar. Agaknya murid sekaligus pengawal Ki Sembada. Mereka tergeletak tepat di pusat kolam darah.

Wisnumurti tak merasa perlu memeriksa. Ia langsung melihat bekas luka sayatan di leher mereka, yang tepat berkedudukan di titik yang persis sama—juga dengan para korban di Jati dan Srumbung kemarin.

Dan sesuatu menarik perhatiannya. Darah masih mengalir pada salah satu jenazah. Peristiwanya belum terjadi lama berselang!

Wisnumurti keluar lagi, menoleh ke segala arah dengan tenaga dalam terpusat di kedua tangan. Lalu mata yang tajam seketika melihatnya.

Di kejauhan sana, pada jarak sekitar 25 atau 30 tombak dari tempatnya berdiri, tepat di bibir tebing tertinggi, sesosok bayangan berdiri dengan kaki kangkang dan menghunus pedang berwarna pekat. Seluruh pakaiannya berwarna hitam, termasuk kain yang tak digunakan di pinggang melainkan membebat leher untuk menahan hawa dingin. Ia mengenakan caping lebar, dan menunduk, sehingga wajahnya sama sekali tak terlihat.

Hawa kematian bergolak. Wisnumurti merinding. Itu manusia sungguhan apa hantu?

“Jangan ikut campur! Ini bukan urusanmu.”

Jelas dan jernih. Pesan itu dikirimkan lewat Aji Pameling, menandakan betapa sosok itu memiliki tataran kemampuan bela diri yang menyeramkan.

Apalagi kemudian sosok bayangan hitam itu menjejakkan kaki, ke arah belakang. Kain berkibar saat ia melayang dan menghilang di balik tebing. Sekuat tenaga Wisnumurti berlari ke tempat itu, lalu menengok ke balik dinding karang.

Tak ada apa-apa, selain ombak raksasa yang bergulung dahsyat menggempur bebatuan 10 tombak di bawah sana.

Napasnya memburu, masih mencoba mencari bayangan itu tadi di arah lain. Tapi tetap tak ada apa pun.

Ia terlambat hanya beberapa detik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menuju Matahari   79

    Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den

  • Menuju Matahari   78

    Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta

  • Menuju Matahari   77

    “Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai

  • Menuju Matahari   76

    “Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi

  • Menuju Matahari   75

    Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya

  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status