Share

13

Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.

“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”

Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.

 “Sendika, Gusti Pangeran!”

Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.

Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, atau nyawa menjadi taruhannya. Sekali waktu dua pembantu salah memperkirakan tempat duduk. Akibatnya Candrakumala terjengkang. Para pembantu naas itu pun mati dengan kepala dan badan terpisah.

“Nah, nah, mana dia?” tanya Candrakumala kemudian, setelah duduk dengan nyaman di singgasananya. “Sudah kauantar ke kaputrenku?”

Di depan Senopati Natpada yang tegap, Candrakumala sepintas terlihat seperti kucing kurus yang baru saja tercemplung sungai. Tubuhnya cenderung kecil mungil dan sedikit bungkuk pada bagian punggung dekat tengkuk. Keseluruhan penampilannya tertolong oleh busananya yang tak pernah tidak mewah. Sore itu ia mengenakan blangkon hijau, baju lurik lengan panjang, kain yang dilipat sebatas lutut, serta celana hitam, dan semuanya bersulamkan benang emas.

Senopati Natpada lalu menyembah. Kedua tangannya gemetar.

“Mohon ampun! Hamba gagal menjalankan tugas...!”

Alis Candrakumala berkernyit. Mata mencorong menatap kepala pasukan pengawalnya itu.

“Bagaimana bisa begitu? Kau tidak terkalahkan. Aku mengirimmu secara khusus untuk tugas ini karena tahu kau tak terlawan. Kau pasti bisa. Dan mereka tidak akan berada dalam kedudukan untuk menjawab tidak.”

Senopati Natpada kembali menyembah. “H-hamba terhalang Lintang Abyor...!”

“Lintang Abyor? Apa yang terjadi?”

“Seseorang menghalangi tugas hamba, dan ia memiliki ilmu itu, Gusti Pangeran.”

“Siapa dia? Kakangmas Wiratmaka? Adimas Ranggajaya?”

“Namanya Jaladri, Gusti, putra sulung Ki Somanagara, pedagang beras dari Karang Bendan.”

Candrakumala terpaku. “Bagaimana mungkin dia bis...?”

“Maaf, hamba menyela. Dan biar soal ini kuambil alih, Senopati.”

Kedua pria itu menoleh kaget. Tumenggung Mertalaya yang bertubuh kurus tipis seperti lidi dan selalu mengenakan jubah warna pekat melangkah mendaki telundakan pendapa dari arah pringgitan rumah utama Dalem Kepangeranan Candrakumala.

“Loh, bukannya Paman masih di Telaga Wilis bersama 100 bidadari?” Candrakumala menatap sang tumenggung dengan mata tak berkedip.

“Hamba menggunakan Aji Sepi Angin sehingga bisa berada di dua tempat pada saat yang bersamaan. Dan ini diri hamba yang satunya lagi. Hamba yang asli masih berada di telaga, berenang bersama 20 bidadari.”

Mertalaya kemudian duduk bersila tepat di sisi Senopati Natpada. Matanya melirik tajam ke arah senopati itu sesudah memberikan sembah kepada Candrakumala.

“Sudah kubilang, urusan ini kuambil alih. Kau bisa kembali ke rumahmu, dan terhindar dari hukuman Gusti Pangeran karena kebijaksanaanku.”

Senopati Natpada mengangguk, lalu menyembah dengan tubuh merunduk.

“Mohon izin meninggalkan tempat ini, Gusti.”

Candrakumala berkacak pinggang dalam duduknya. Bagaimanapun ia belum puas, dan gatal sekali menjatuhkan hukuman. Namun kehadiran dan kata-kata Tumenggung Mertalaya selalu berarti banyak untuknya.

Ia membuang napas.

“Ya, ya, pergilah!” tangannya mengibas.

Senopati Natpada merunduk makin dalam, sebelum perlahan berjongkok melangkah mundur, dan baru berani berbalik sesudah tiba di tanah.

Lalu sunyi. Tumenggung Mertalaya menerawang menatap arah lain sambil menghela napas.

“Mohon Gusti untuk tidak gegabah menghadapi persoalan satu ini...” katanya kemudian, menggunakan hak istimewa yang ia terima, yaitu menjadi di antara segelintir manusia di muka Bumi yang dapat mendului berkata-kata tanpa perlu ditanyai terlebih dulu oleh Pangeran Candrakumala.

“Soal Jaladri dari Karang Bendan ini?”

Mertalaya mengangguk. “Benar sekali.”

“Dan mengapa begitu?”

“Ada sesuatu yang dulu hanyalah gunjingan. Dan mungkin ini saatnya untuk membuktikan hal itu.”

“Gunjingan? Soal apa?”

Tumenggung Mertalaya menarik napas. “Semua akan dapat kita ketahui dengan pasti jika berhasil membawa mereka kemari.”

“Mereka siapa?”

“Keluarga Jaladri. Dia memiliki seorang adik perempuan, yang juga cantik. Dan mereka kaya raya, sehingga tubuh dan wajah gadis itu pasti lebih bersih terawat daripada si kembang desa itu.”

Candrakumala ternganga. “Benarkah?”

“Ya. Gusti Pangeran bisa memintanya untuk menjadi istri Gusti Pangeran, dan keluarga Ki Soma akan dengan senang hati menerima. Itu akan sepadan sebagai pengganti perbuatan Jaladri menghalangi tugas Senopati Natpada mengambil gadis Brabo itu. Anggap saja itu hukumannya. Sekaligus nanti saya bisa bertanya pada Ki Soma untuk memastikan kebenaran gunjingan itu.”

“Secantik apa dia?”

“Jauh lebih cantik daripada semua selir Gusti Pangeran saat ini. Hamba akan mengirimkan utusan atas nama Gusti Pangeran ke Karang Bendan untuk memanggil mereka kemari. Dengan demikian Gusti dapat menyaksikan secara langsung seperti apa kecantikan adik Jaladri itu. Selanjutnya tentu, seperti biasa, semua terserah Gusti Pangeran.”

Candrakumala tersenyum, mengangguk-angguk.

“Gagasan bagus. Para utusan harus berangkat pagi-pagi subuh esok!”

Mertayala menyembah. “Kehendak Gusti akan segera terlaksana.”

“Dan untuk merayakannya, aku ingin makan daging sapi. Perintahkan orang untuk menyembelih sapi!”

Mertalaya membungkuk.

Sendika, Gusti Pangeran.”

***

Matahari sudah jauh bergulir ke barat ketika Wisnumurti membelokkan kudanya mengikuti ruas jalan setapak. Ia mendengar debur ombak di kejauhan memecah pantai. Pada belokan berikutnya, ia langsung tahu telah berada pada tujuan yang tepat sebagaimana ancar-ancar yang diberikan Ki Gede Nipir tadi.

Betul ini tempatnya. Ia melompat turun dari kuda. Di depan sana, lima ekor kuda terlihat ditambatkan pada sebuah pohon besar. Lebat hutan seketika berakhir. Di depannya terbentang padang yang cukup terbuka, berakhir pada bibir tebing karang tepat di tepi samudera laut selatan. Dan di ujung kejauhan sana, hanya beberapa tombak dari tepian tebing, berdiri sebuah pondok kayu berukuran kecil yang terlihat memang sangat cocok digunakan untuk menyepi.

Dengan cepat ia menuntun kudanya ke arah kuda-kuda itu, yang pasti merupakan kendaraan Ki Sembada dan keluarganya dalam pelarian menghindari Tanpa Aran.

Setelah menambatkan kudanya, ia bergegas mendekati pondok kecil itu. Matanya menatap tajam penuh kewaspadaan. Hingga ia agak jauh maju menapak, tak ada apa pun yang terlihat di sana. Pintu pondok tertutup rapat. Sedikit terlalu sunyi. Harusnya ada yang berjaga di sekeliling rumah.

Dan rasa gatal yang menggelitik tengkuk membuat pemuda itu kemudian melesat berlari. Jantung berdegupan saat ia masuk tidak dengan cara biasa, melainkan dengan menendang pintu sampai jebol terlepas dari engselnya.

“Ki Semb...?”

Seruannya terpotong. Wisnumurti berdiri terpaku di ambang pintu dengan napas memburu.

Mata nanar. Sejenak kaku tak bisa berbuat apa pun.

Bagian dalam pondok kecil yang hanya terdiri atas satu ruangan tunggal itu seperti terkena banjir. Bukan air, melainkan darah. Merah pekat kehitaman ada di mana-mana, terutama di sekeliling delapan jenazah yang terbaring kaku dalam posisi tak beraturan di dekat amben bambu. Empat mayat tergolek di balai-balai. Sepasang pria dan wanita berbusana bagus serta dua anak remaja perempuan. Mereka pastilah Ki Sembada sekeluarga.

Empat lainnya adalah pria-pria berbadan kekar. Agaknya murid sekaligus pengawal Ki Sembada. Mereka tergeletak tepat di pusat kolam darah.

Wisnumurti tak merasa perlu memeriksa. Ia langsung melihat bekas luka sayatan di leher mereka, yang tepat berkedudukan di titik yang persis sama—juga dengan para korban di Jati dan Srumbung kemarin.

Dan sesuatu menarik perhatiannya. Darah masih mengalir pada salah satu jenazah. Peristiwanya belum terjadi lama berselang!

Wisnumurti keluar lagi, menoleh ke segala arah dengan tenaga dalam terpusat di kedua tangan. Lalu mata yang tajam seketika melihatnya.

Di kejauhan sana, pada jarak sekitar 25 atau 30 tombak dari tempatnya berdiri, tepat di bibir tebing tertinggi, sesosok bayangan berdiri dengan kaki kangkang dan menghunus pedang berwarna pekat. Seluruh pakaiannya berwarna hitam, termasuk kain yang tak digunakan di pinggang melainkan membebat leher untuk menahan hawa dingin. Ia mengenakan caping lebar, dan menunduk, sehingga wajahnya sama sekali tak terlihat.

Hawa kematian bergolak. Wisnumurti merinding. Itu manusia sungguhan apa hantu?

“Jangan ikut campur! Ini bukan urusanmu.”

Jelas dan jernih. Pesan itu dikirimkan lewat Aji Pameling, menandakan betapa sosok itu memiliki tataran kemampuan bela diri yang menyeramkan.

Apalagi kemudian sosok bayangan hitam itu menjejakkan kaki, ke arah belakang. Kain berkibar saat ia melayang dan menghilang di balik tebing. Sekuat tenaga Wisnumurti berlari ke tempat itu, lalu menengok ke balik dinding karang.

Tak ada apa-apa, selain ombak raksasa yang bergulung dahsyat menggempur bebatuan 10 tombak di bawah sana.

Napasnya memburu, masih mencoba mencari bayangan itu tadi di arah lain. Tapi tetap tak ada apa pun.

Ia terlambat hanya beberapa detik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status