Share

12

“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”

Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.

“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”

“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”

Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.

“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”

Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota kademangan di wilayah Karang Bendan. Jaraknya 30 pal, di sebelah timur laut Kenipir, tepat di lereng Pegunungan Dieng yang berhawa dingin sepanjang tahun.

“Dia dikejar seseorang, hendak dibunuh,” kata Ki Gede Nipir. “Sembada cerita, beberapa hari lalu dia didatangi seseorang yang mengatakan bahwa ada yang menghendaki Sembada untuk menyerahkan nyawanya. Orang itu juga membawa potongan-potongan tubuh dan kepala beberapa murid Sembada. Katanya, dia juga akan dibikin seperti itu. Karena takut, dia lalu mengungsi kemari, minta perlindungan padaku. Sepanjang jalan, dia mengaku bernama Ki Jalung, pedagang gerabah, agar tidak mudah dikenali.”

Alis Wisnumurti berkerut. “Dia pesilat tangguh, kenapa takut pada ancaman pembunuhan?”

“Aku juga tak paham. Sepertinya, ini berkait dengan satu urusan yang amat khusus. Tapi urusan apa? Sembada itu kan suka judi. Paling-paling dia berhutang dalam jumlah besar gara-gara itu dan tidak bisa melunasi.”

“Sekarang dia ada di mana?”

“Pondok penyepianku di dekat Karangbolong. Dia akan aman di sana untuk sementara waktu, bersama anak istri dan beberapa pengawal terdekatnya.”

“Memangnya siapa orang itu? Dia menghabisi dua desa dalam rangka mengejar Ki Sembada. Saya tak menceritakan ini di depan tadi biar tidak membuat takut Nyai Gede dan Pratiwi, karena cara mereka mati benar-benar sangat mengenaskan. Dan semuanya mati, termasuk perempuan dan bayi-bayi.”

Punggung Ki Gede tegak. “Apa? Menghabisi dua desa? Di mana saja?”

“Jati dan Srumbung. Salah satunya masih termasuk dalam wilayah perlindungan Kenipir, bukan?”

Wisnumurti mengisahkan secara rinci apa saja yang ia temui bersama Jaladri dan Bajul di kedua desa itu. Ia juga mengatakan bahwa urusan pemakaman sudah ditangani oleh para warga Brabo yang merasa berterimakasih atas bantuan ketiganya dalam kekacauan kemarin sore terkait Senopati Natpada dan Sarni.

“Demi Tuhan...!” Ki Gede termangu, mengelus janggut dan sejenak lupa pada arak. “Aku akan kirim orang untuk memeriksa keadaan terkini di sana.”

“Permasalahannya pasti sangat gawat, sampai orang itu melakukan pembantaian yang sekejam itu. Dan ilmu bela dirinya kelihatannya sangat mengerikan. Ia membunuh semuanya hanya dengan satu sayatan kecil, tepat di urat darah di leher yang paling mematikan. Semua korban punya luka yang sama, dan tepat di titik yang sama. Pembunuh ini cerdas sekali. Tahu bagaimana melakukan pembunuhan secara ringkas dan cepat.”

“Kata Sembada, orang itu memperkenalkan diri sebagai Tanpa Aran.”

“Tanpa Aran? Konyol. Itu bukan perkenalan sama sekali.”

Tentu saja, karena Tanpa Aran sama saja dengan Tanpa Nama. Tak menjelaskan apa pun.

“Dan baru sekarang, setelah mendengar ceritamu, aku jadi berpikir bahwa urusannya mungkin tak sesederhana utang-piutang karena judi.”

“Masih ada satu pembunuh lagi.”

Wisnumurti menceritakan soal sepak terjang sosok berjuluk Pangeran Langit yang menghabisi Kiai Sangkrah dan Ki Saradipa, dua tokoh pesilat yang berada pada tataran kemampuan di atas Ki Sembada.

“Mungkinkah Tanpa Aran dan Pangeran Langit itu sebenarnya orang yang sama?” gumam Ki Gede Nipir. “Dia hanya menggunakan nama julukan beda di hadapan orang yang berbeda.”

“Saya juga berpikir begitu, karena senjata mereka sama, yaitu pedang. Satu hal jelas, tingkat keahliannya memang sangat mengerikan. Andai kita harus berhadapan dengan orang ini, urusannya bakal gawat. Dia seperti bisa membunuh orang dengan enteng dan gampang, termasuk yang setara Kiai Sangkrah.”

Ki Gede Nipir mendadak termangu dengan raut wajah menyiratkan kecemasan yang amat sangat.

“Kau mau membantuku tidak?” gumamnya.

“Sudah pasti. Membantu soal apa?”

“Tapi kau harus berangkat sekarang, agar masih sempat ikut acara makan-makan nanti malam.”

“Baik. Ke mana?”

“Karangbolong. Ajak Sembada dan orang-orangnya kemari, sebelum tempat persembunyiannya ketahuan Tanpa Aran! Awalnya kupikir, karena hanya dikejar tukang tagih utang, dia cukup kuungsikan saja ke sana sepekan dua pekan. Tapi sekarang, setelah tahu urusannya mungkin memang sangat gawat, rumahku yang itu malah jadi seperti ladang pembantaian yang empuk bagi Tanpa Aran.”

Wisnumurti mengangguk. “Baik. Saya berangkat sekarang juga.”

“Ajak Bajul, atau beberapa orangku! Kau mungkin perlu bantuan andai Tanpa Aran benar-benar muncul.”

“Ah, tidak perlu. Ki Sembada kan bukan orang lemah juga. Saya bisa berangkat sendiri, malah lebih cepat nyampainya karena saya suka ngebut. Tapi sebelum pergi, ada sesuatu yang mau saya tanyakan pada Paman Gede.”

“Apa itu?”

“Apakah Paman Gede tahu soal Lintang Abyor?”

Ki Gede Nipir termangu heran.

“Maksudmu yang semacam ilmu kesaktian atau pukulan pemunah dalam pencak silat?”

“Ya, seperti itu.”

“Nanti dulu! Mengapa kau tanya soal itu?”

“Panjang ceritanya. Nanti saja saya cerita sesudah balik lagi kemari.”

Jakun Ki Gede bergerak oleh ludah yang ia telan.

“Sebab itu adalah salah satu ilmu paling rahasia dari Keraton Pasir. Hanya boleh dipelajari Sinuwun Sultan dan para putra terdekat.”

Wisnumurti melongo. Dagunya seperti hendak runtuh ke lantai.

***

“Dibuang di sungai saja ini, Kang?”

“Iya. Buang aja. Aku ke sana sebentar. Mau pipis.”

Suwung Saketi membawa panci besar berisi jeroan dan usus ayam dan kambing ke arah sungai. Semua isinya ia buang ke situ, sembari mata masih sempat mengawasi ke mana pelayan dapur bernama Kendi itu tadi berada.

“Lancar, kan?”

Saketi tak perlu menoleh. Ia sudah sangat hapal bau dan suara Remak.

“Nyai Gede terpesona saat mencicipi kari ayam buatanku. Sepertinya mulai besok aku akan diminta untuk menjadi juru masak tetap di sini.”

Remak terkekeh pelan. “Besok bahkan tempat ini sudah tak akan ada lagi.”

“Kau yakin kita berdua cukup untuk memberesi mereka semua? Kulihat dia dikawal sekitar 30 orang.”

“Kau bereskan dia, aku pengawal-pengawalnya. Sesudah pekerjaanku beres, aku bisa membantumu. Di sekitar sini kan hanya dia yang perlu diwaspadai. Lainnya tidak penting.”

“Sepertinya ada tamu tadi. Siapa mereka? Jangan-jangan pesilat teman dekat si Nipir.”

“Bukan. Itu rombongan keponakannya dari Karang Bendan. Bocah kencur kaya raya, anak dari Somanagara pedagang beras.”

Suwung Saketi berdiri setelah mencuci pancinya sampai bersih.

“Hanya perlu bahan mentah untuk hidangan khusus.”

Remak menggoyang dagunya ke arah lain. “Itu bisa. Cukup berisi.”

Saketi menoleh. Kendi muncul lagi. Tubuh pemuda itu memang cukup gempal berlemak. Ia tersenyum ke arah Remak.

“Wah, kau ada di sini juga,” katanya. “Sudah selesai memandikan kuda?”

Remak menggeleng. “Belum. Masih ada dua lagi. Aku hanya istirahat sebentar.”

Kendi lalu menoleh pada Saketi. “Ayo, balik ke dapur! Kamu punya banyak pekerjaan habis ini!”

“Sebentar! Aku mau kasih tahu sesuatu,” sahut Saketi.

“Kasih tahu apa?”

“Tolong nanti kalau namamu kupanggil, kedipkan mata ya!”

Kendi melongo. “Memangnya kenapa, kok pakai berkedip?”

“Soalnya mau ada ini.”

Telapak tangan Suwung terentang mendatar ke arah leher Kendi. Dengan sekali ayun, telapak tangan datar itu memotong semudah pisau mengiris pisang. Darah muncrat menyembur dan kepala Kendi terpisah dari badan. Remak berlarian mengikuti benda itu, yang jatuh bergulir menuruni lereng sungai dan baru berhenti setelah membentur batu cukup besar.

“Ndi! Kendi!”

Sepasang mata itu berkedip.

Suwung Saketi ikut merubung melihat.

“Kendi! Hai!”

Mata kembali berkedip, sebelum kemudian tak memberikan gerakan apa pun. Terbuka dan tak menutup lagi. Seterusnya.

“Oo... ternyata kepala masih hidup beberapa saat setelah terlepas dari badan,” Suwung mengangguk-angguk, berkacak pinggang.

“Aku juga sudah lama penasaran akan hal ini, dan belum pernah mencobanya langsung.”

“Sekarang kau tahu,” Suwung lalu menoleh ke arah jasad Kendi yang tak lengkap. “Dan karena kerjaanku banyak, menjadi tugasmu untuk mengatur bagaimana baiknya dia. Yang penting bentuk utuhnya tak terlihat saat masuk dapur nanti untuk dikuliti. Kalau sudah berupa potongan-potongan kecil kan siapapun tak tahu itu sebenarnya daging apa. Paling dikiranya sapi, atau kerbau.”

Remak berlalu, mendatangi jenazah Kendi. Ia membuang napas dengan jengkel.

“Selalu aku yang kebagian tugas tidak enak...!”

“Tapi kau kan bisa mencicipi mentahannya.”

“Oh, betul juga.”

Dengan santai Remak menghunus golok, dan mulai mengayunkannya sekuat tenaga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status