Share

12

last update Last Updated: 2021-04-09 19:44:19

“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”

Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.

“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”

“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”

Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.

“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”

Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota kademangan di wilayah Karang Bendan. Jaraknya 30 pal, di sebelah timur laut Kenipir, tepat di lereng Pegunungan Dieng yang berhawa dingin sepanjang tahun.

“Dia dikejar seseorang, hendak dibunuh,” kata Ki Gede Nipir. “Sembada cerita, beberapa hari lalu dia didatangi seseorang yang mengatakan bahwa ada yang menghendaki Sembada untuk menyerahkan nyawanya. Orang itu juga membawa potongan-potongan tubuh dan kepala beberapa murid Sembada. Katanya, dia juga akan dibikin seperti itu. Karena takut, dia lalu mengungsi kemari, minta perlindungan padaku. Sepanjang jalan, dia mengaku bernama Ki Jalung, pedagang gerabah, agar tidak mudah dikenali.”

Alis Wisnumurti berkerut. “Dia pesilat tangguh, kenapa takut pada ancaman pembunuhan?”

“Aku juga tak paham. Sepertinya, ini berkait dengan satu urusan yang amat khusus. Tapi urusan apa? Sembada itu kan suka judi. Paling-paling dia berhutang dalam jumlah besar gara-gara itu dan tidak bisa melunasi.”

“Sekarang dia ada di mana?”

“Pondok penyepianku di dekat Karangbolong. Dia akan aman di sana untuk sementara waktu, bersama anak istri dan beberapa pengawal terdekatnya.”

“Memangnya siapa orang itu? Dia menghabisi dua desa dalam rangka mengejar Ki Sembada. Saya tak menceritakan ini di depan tadi biar tidak membuat takut Nyai Gede dan Pratiwi, karena cara mereka mati benar-benar sangat mengenaskan. Dan semuanya mati, termasuk perempuan dan bayi-bayi.”

Punggung Ki Gede tegak. “Apa? Menghabisi dua desa? Di mana saja?”

“Jati dan Srumbung. Salah satunya masih termasuk dalam wilayah perlindungan Kenipir, bukan?”

Wisnumurti mengisahkan secara rinci apa saja yang ia temui bersama Jaladri dan Bajul di kedua desa itu. Ia juga mengatakan bahwa urusan pemakaman sudah ditangani oleh para warga Brabo yang merasa berterimakasih atas bantuan ketiganya dalam kekacauan kemarin sore terkait Senopati Natpada dan Sarni.

“Demi Tuhan...!” Ki Gede termangu, mengelus janggut dan sejenak lupa pada arak. “Aku akan kirim orang untuk memeriksa keadaan terkini di sana.”

“Permasalahannya pasti sangat gawat, sampai orang itu melakukan pembantaian yang sekejam itu. Dan ilmu bela dirinya kelihatannya sangat mengerikan. Ia membunuh semuanya hanya dengan satu sayatan kecil, tepat di urat darah di leher yang paling mematikan. Semua korban punya luka yang sama, dan tepat di titik yang sama. Pembunuh ini cerdas sekali. Tahu bagaimana melakukan pembunuhan secara ringkas dan cepat.”

“Kata Sembada, orang itu memperkenalkan diri sebagai Tanpa Aran.”

“Tanpa Aran? Konyol. Itu bukan perkenalan sama sekali.”

Tentu saja, karena Tanpa Aran sama saja dengan Tanpa Nama. Tak menjelaskan apa pun.

“Dan baru sekarang, setelah mendengar ceritamu, aku jadi berpikir bahwa urusannya mungkin tak sesederhana utang-piutang karena judi.”

“Masih ada satu pembunuh lagi.”

Wisnumurti menceritakan soal sepak terjang sosok berjuluk Pangeran Langit yang menghabisi Kiai Sangkrah dan Ki Saradipa, dua tokoh pesilat yang berada pada tataran kemampuan di atas Ki Sembada.

“Mungkinkah Tanpa Aran dan Pangeran Langit itu sebenarnya orang yang sama?” gumam Ki Gede Nipir. “Dia hanya menggunakan nama julukan beda di hadapan orang yang berbeda.”

“Saya juga berpikir begitu, karena senjata mereka sama, yaitu pedang. Satu hal jelas, tingkat keahliannya memang sangat mengerikan. Andai kita harus berhadapan dengan orang ini, urusannya bakal gawat. Dia seperti bisa membunuh orang dengan enteng dan gampang, termasuk yang setara Kiai Sangkrah.”

Ki Gede Nipir mendadak termangu dengan raut wajah menyiratkan kecemasan yang amat sangat.

“Kau mau membantuku tidak?” gumamnya.

“Sudah pasti. Membantu soal apa?”

“Tapi kau harus berangkat sekarang, agar masih sempat ikut acara makan-makan nanti malam.”

“Baik. Ke mana?”

“Karangbolong. Ajak Sembada dan orang-orangnya kemari, sebelum tempat persembunyiannya ketahuan Tanpa Aran! Awalnya kupikir, karena hanya dikejar tukang tagih utang, dia cukup kuungsikan saja ke sana sepekan dua pekan. Tapi sekarang, setelah tahu urusannya mungkin memang sangat gawat, rumahku yang itu malah jadi seperti ladang pembantaian yang empuk bagi Tanpa Aran.”

Wisnumurti mengangguk. “Baik. Saya berangkat sekarang juga.”

“Ajak Bajul, atau beberapa orangku! Kau mungkin perlu bantuan andai Tanpa Aran benar-benar muncul.”

“Ah, tidak perlu. Ki Sembada kan bukan orang lemah juga. Saya bisa berangkat sendiri, malah lebih cepat nyampainya karena saya suka ngebut. Tapi sebelum pergi, ada sesuatu yang mau saya tanyakan pada Paman Gede.”

“Apa itu?”

“Apakah Paman Gede tahu soal Lintang Abyor?”

Ki Gede Nipir termangu heran.

“Maksudmu yang semacam ilmu kesaktian atau pukulan pemunah dalam pencak silat?”

“Ya, seperti itu.”

“Nanti dulu! Mengapa kau tanya soal itu?”

“Panjang ceritanya. Nanti saja saya cerita sesudah balik lagi kemari.”

Jakun Ki Gede bergerak oleh ludah yang ia telan.

“Sebab itu adalah salah satu ilmu paling rahasia dari Keraton Pasir. Hanya boleh dipelajari Sinuwun Sultan dan para putra terdekat.”

Wisnumurti melongo. Dagunya seperti hendak runtuh ke lantai.

***

“Dibuang di sungai saja ini, Kang?”

“Iya. Buang aja. Aku ke sana sebentar. Mau pipis.”

Suwung Saketi membawa panci besar berisi jeroan dan usus ayam dan kambing ke arah sungai. Semua isinya ia buang ke situ, sembari mata masih sempat mengawasi ke mana pelayan dapur bernama Kendi itu tadi berada.

“Lancar, kan?”

Saketi tak perlu menoleh. Ia sudah sangat hapal bau dan suara Remak.

“Nyai Gede terpesona saat mencicipi kari ayam buatanku. Sepertinya mulai besok aku akan diminta untuk menjadi juru masak tetap di sini.”

Remak terkekeh pelan. “Besok bahkan tempat ini sudah tak akan ada lagi.”

“Kau yakin kita berdua cukup untuk memberesi mereka semua? Kulihat dia dikawal sekitar 30 orang.”

“Kau bereskan dia, aku pengawal-pengawalnya. Sesudah pekerjaanku beres, aku bisa membantumu. Di sekitar sini kan hanya dia yang perlu diwaspadai. Lainnya tidak penting.”

“Sepertinya ada tamu tadi. Siapa mereka? Jangan-jangan pesilat teman dekat si Nipir.”

“Bukan. Itu rombongan keponakannya dari Karang Bendan. Bocah kencur kaya raya, anak dari Somanagara pedagang beras.”

Suwung Saketi berdiri setelah mencuci pancinya sampai bersih.

“Hanya perlu bahan mentah untuk hidangan khusus.”

Remak menggoyang dagunya ke arah lain. “Itu bisa. Cukup berisi.”

Saketi menoleh. Kendi muncul lagi. Tubuh pemuda itu memang cukup gempal berlemak. Ia tersenyum ke arah Remak.

“Wah, kau ada di sini juga,” katanya. “Sudah selesai memandikan kuda?”

Remak menggeleng. “Belum. Masih ada dua lagi. Aku hanya istirahat sebentar.”

Kendi lalu menoleh pada Saketi. “Ayo, balik ke dapur! Kamu punya banyak pekerjaan habis ini!”

“Sebentar! Aku mau kasih tahu sesuatu,” sahut Saketi.

“Kasih tahu apa?”

“Tolong nanti kalau namamu kupanggil, kedipkan mata ya!”

Kendi melongo. “Memangnya kenapa, kok pakai berkedip?”

“Soalnya mau ada ini.”

Telapak tangan Suwung terentang mendatar ke arah leher Kendi. Dengan sekali ayun, telapak tangan datar itu memotong semudah pisau mengiris pisang. Darah muncrat menyembur dan kepala Kendi terpisah dari badan. Remak berlarian mengikuti benda itu, yang jatuh bergulir menuruni lereng sungai dan baru berhenti setelah membentur batu cukup besar.

“Ndi! Kendi!”

Sepasang mata itu berkedip.

Suwung Saketi ikut merubung melihat.

“Kendi! Hai!”

Mata kembali berkedip, sebelum kemudian tak memberikan gerakan apa pun. Terbuka dan tak menutup lagi. Seterusnya.

“Oo... ternyata kepala masih hidup beberapa saat setelah terlepas dari badan,” Suwung mengangguk-angguk, berkacak pinggang.

“Aku juga sudah lama penasaran akan hal ini, dan belum pernah mencobanya langsung.”

“Sekarang kau tahu,” Suwung lalu menoleh ke arah jasad Kendi yang tak lengkap. “Dan karena kerjaanku banyak, menjadi tugasmu untuk mengatur bagaimana baiknya dia. Yang penting bentuk utuhnya tak terlihat saat masuk dapur nanti untuk dikuliti. Kalau sudah berupa potongan-potongan kecil kan siapapun tak tahu itu sebenarnya daging apa. Paling dikiranya sapi, atau kerbau.”

Remak berlalu, mendatangi jenazah Kendi. Ia membuang napas dengan jengkel.

“Selalu aku yang kebagian tugas tidak enak...!”

“Tapi kau kan bisa mencicipi mentahannya.”

“Oh, betul juga.”

Dengan santai Remak menghunus golok, dan mulai mengayunkannya sekuat tenaga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menuju Matahari   79

    Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den

  • Menuju Matahari   78

    Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta

  • Menuju Matahari   77

    “Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai

  • Menuju Matahari   76

    “Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi

  • Menuju Matahari   75

    Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya

  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status