Midsommar pun tiba. Sebuah perayaan meluapkan kegembiraan karena mentari menyinari hampir sepanjang hari. Momen ini juga merupakan penanda dimulainya liburan musim panas yang berlangsung selama 5 minggu.
Di hari ini, kota-kota besar beristirahat sejenak dari segala aktivitasnya, beralih ke kota kecil dan pedesaan. Tradisi perayaan ini sengaja terus dipertahankan agar tidak punah, baik dalam keluarga maupun perkumpulan masyarakat yang lebih luas. Meskipun rakyat Swedia tidak terlalu religius, tetapi mereka meyakini bahwa alam memiliki kekuatan khusus, terutama pada saat midsommar.
Setelah makan siang, orang-orang yang berdomisili di sekitar rumah Thomas mulai berkumpul di Per Säves Park. Beberapa warga memakai kostum tradisional Swedia, termasuk Edda. Blomsterkrans atau mahkota bunga menghiasi kepala para perempuan, bahkan beberapa lelaki pun turut meny
"Apakah kamu akan lari pagi, Jo?" tanya Marco saat Jovita keluar dari pondoknya. "Ya," sahut Jovita. Spontan ia melihat ke arah rumah Joseph. Biasanya pukul 7 pagi pria itu sudah terlihat di depan rumah, tapi kali ini tidak terlihat batang hidungnya. "Tadi Joe pergi dengan mengendarai mobilnya," ujar Marco yang bisa melihat gerakan mata Jovita. Jovita tersipu malu, tak menyangka Marco menangkap basah impulsivitasnya. "Kita lari bersama?" Marco menawarkan diri. Jovita tidak menolak. Berlari bersama jauh lebih baik daripada sendirian. Lagi pula, Marco adalah sosok yang menyenangkan. Setelah dua minggu lebih berada di Gotland, Jovita sudah terbiasa lari pagi dengan jarak te
Jovita baru saja keluar dari pagar rumah Thomas hendak menuju rumah Ronja ketika melihat Joseph turun dari mobilnya sambil menggendong Filippa. Jovita bergegas menghampiri. "Apa yang terjadi, Joe?" tanyanya cemas. Dilihatnya Filippa terkulai lemas di gendongan Joseph. "Ia demam dan terkena influenza, untuk menghindari penularan ke anak-anak lain, lebih baik dikarantina di sini," jawab Joseph sambil membuka kunci rumahnya. Jovita menyentuh tubuh Filippa, teramat panas. "Silakan masuk," ucap Joseph kepada Jovita. Jovita mengiakan lalu melangkah masuk. Ini kali pertama ia memasuki rumah Joseph. Begitu pintu dibuka, terdapat foyer¹ yang menghubungkan pintu masuk ke ruang kel
Jovita mengembalikan buku "Captain's Verses" karya Pablo Neruda ke tempat semula dengan perlahan. Pembicaraan mengenai tawa bersama Marco tadi pagi mendistorsi persepsinya. Ada keingintahuan yang menyeruak tentang siapa pemilik tawa, bersamaan dengan sebuah asumsi yang mendesak logika. Helaan napas panjang terdengar dari hidung Jovita. Matanya menatap punggung dan rambut cokelat Joseph. Pikirannya melayang ke semua rangkaian percakapan mereka sejak di Melbourne hingga saat ini. Pria di hadapannya itu butuh kendali untuk mengungkap diri. Bukan sosok yang akan dengan sukarela menjawab rentetan pertanyaan ranah personal. Menggali informasi pribadi darinya adalah sebuah seni, perlu strategi yang pasti akan menguras energi. "Done!" ujar Joseph. Ia mencopot kacamata, meregangkan badan, melemaskan otot lehernya. Terkirim sudah ulasannya atas jurnal yang ditulis oleh tiga orang peneliti dari negara lain. Jovita segera kembali menghadap ke rak buku.
"Bagaimana keadaan Filippa?" tanya Ronja saat Joseph mengambil pakaian ganti untuk anak itu. "Panasnya sudah turun. Dia juga sudah mau makan," jawab Joseph. "Syukurlah. Sejak kemarin aku kesulitan membujuknya makan. Mungkin kerongkongannya terasa perih untuk menelan. Apa yang kamu lakukan sehingga dia mau makan?" Ronja penasaran. "Aku tidak melakukan apa pun." Ronja memandangi Joseph, lalu tertawa kecil. "Tidak mungkin. Pasti kamu mengiming-imingi sesuatu," tukasnya. "Sungguh. Aku tidak melakukan apa pun," sahut Joseph, "tapi Jovita. Ia memanjakannya, bahkan mau menemani Filippa tidur malam ini di rumahku." "Kehadirannya pasti membuat Filippa senang," - Ronja tersenyum jahil - "dan juga membuat dirimu senang tentunya," godanya. "Mana pakaian Filippa?" Joseph mencoba untuk tidak menggubris Ronja. Ronja tergelak. Ia menaiki tangga, Joseph mengikuti dari belakang. Mereka berjalan menuju kamar Filippa. "Kamu sudah m
Joseph bergegas menuju pintu rumahnya yang diketuk oleh seseorang berulang kali. Ia mendengkus kesal ketika melihat Fabiana berdiri dengan pakaian olahraga di balik pintu. "Ada apa?" tanya Joseph ketus. "Ini hari terakhirku di sini, aku ingin kita berolahraga bersama," pinta Fabiana kenes. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Semoga perjalanan pulangmu lancar," sahut Joseph hendak menutup pintu kembali. Fabiana tidak menyerah. Ia menahan pintu, segera menyeruak masuk. "Hey!" tegur Joseph atas kelancangan Fabiana. Ia tidak menduga gerakan tiba-tiba dari perempuan Brasil ini yang menyelonong masuk. "Joe, mengapa kamu begit
Dari Stora Torget, perjalanan dilanjutkan ke reruntuhan lainnya yang berjarak sekitar 150 meter, reruntuhan Gereja Drottens. "Kapan gereja-gereja yang sekarang menjadi reruntuhan itu tadinya dibangun?" tanya Jovita. "Sekitar tahun 1200-an. Reruntuhan ini sekarang juga sering digunakan untuk berbagai kegiatan, salah satunya acara perkawinan," jawab Joseph. "Oh ya? Pasti mengesankan sekali." Jovita membayangkan upacara sakral bercampur gaya gotik berpadu menjadi sebuah acara pernikahan yang syahdu. Usai melihat reruntuhan Gereja Drottens, mereka kembali menyusuri jalan berlapis pavling block menuju reruntuhan lainnya. Joseph menjelaskan berbagai bangunan bersejarah yang mereka lewati dan kunjungi.
Hari yang teramat ditunggu oleh keenam anak asuh Ronja dan Lukas pun tiba. Liburan musim panas. Ronja dibantu oleh Jovita telah merancang liburan yang merupakan kombinasi antara edukasi dan bersenang-senang. Tujuan pertama adalah Lummelunda grottan atau gua Lummelunda. Tempat wisata yang hanya berjarak 15 kilometer dari kediaman mereka ini terletak di sisi barat pulau Gotland. Selain gua sepanjang 4 kilometer yang dapat dijelajahi sebagai daya tarik utama, di Lummelunda juga terdapat bekas pabrik penggilingan dengan kincir air terbesar di Eropa utara, sebuah rumah bangsawan kuno yang mewah, dan taman dengan aroma daun bawang yang menyebar di seluruh penjuru. Keenam anak diikutkan pada tur khusus anak-anak untuk mengeksplorasi dunia bawah tanah yang dikemas dengan menyenangkan, tetapi tetap menomorsatukan keamanan. Sambil menu
Kabin penginapan yang dimaksud oleh Ronja adalah rumah kayu berbentuk segitiga yang terdapat di kompleks museum Bläse Kalkbruk. Rumah kayu berkapasitas 2 orang dewasa ini disewakan untuk umum. Penyewa hanya perlu membawa alas tidur. Setelah selesai meletakkan perlengkapan di dalam kabin, semua berkumpul di halaman. Beberapa permainan - baik individual, berpasangan, maupun berkelompok - telah disiapkan oleh Ylva dan Alfred. Permainan pertama adalah moving on up. Permainan individual ini mewajibkan pemain yang memegang setumpuk gelas memindahkan gelas dari atas ke bawah. Pemenangnya adalah yang terlebih dahulu bisa menggeser gelas terbawah bertanda spidol pada bibir gelas hingga ke posisi paling atas. Di kelompok anak-anak, Karl menjadi pemenangnya. Sementara di kelompok dewasa, Lukas keluar sebagai juara pertama.