Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Masih dalam suasana yang terik dan cerah.
Eveline dan Linda pulang dari sekolah lebih awal. Karena para guru mengadakan rapat dadakan untuk membahas Hari Pendidikan Nasional, terpaksa siswa-siswi segera dipulangkan tanpa melanjutkan pelajaran yang lain.
Tentu hal itu merupakan kesenangan yang dahsyat pagi para peserta didik.
Sepulang sekolah, Eveline dan Linda berencana untuk tidak langsung pulang ke rumah. Mereka pergi ke sebuah warung internet (warnet) untuk memecahkan rasa penasaran yang berputar di benak mereka sejak beberapa waktu ke belakang.
Tanpa memikirkan hal lain, tempat yang mereka tuju setelah keluar dari lingkungan sekolah adalah warung internet.
Tempat itu hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari sekolah mereka.
“Eve, nulisnya bener di sini? Namanya menstruasi, kan?” tanya Linda. Tangannya mengetik huruf-huruf di papan keyboard komputer dengan dua jari telunjuk. Gerakan jarinya masih ragu-ragu.
Maklum, Linda dan Eveline adalah anak yang jarang menyetuh perangkat-perangkat mahal seperti komputer, laptop, maupun handphone keluaran terbaru.
“Iya, Lin! Coba ketik “Kenapa kita harus menstruasi”..,” jawab Eveline.
Eveline dan Linda serius menatap monitor komputer. Tangan Linda mengetik berbagai kata kunci yang diperintahkan oleh Eveline.
Klik ..
Hingga akhirnya, mereka menemukan banyak website dan artikel-artikel yang membahas tentang menstruasi di laman browser.
Dalam tampilan pertama pun mereka sudah dapat melihat definisi-definisi dengan berbagai macam sumber.
Dari yang valid, hingga yang meragukan.
“Menstruasi adalah proses keluarnya darah dari organ kewanitaan. Siklus ini merupakan proses organ reproduksi wanita mempersiapkan kehamilan,” Linda membaca kalimat yang terpampang di depan matanya.
Eveline tertegun.
“Hamil? Berarti.. Setelah menstruasi, perempuan baru bisa hamil?” mata Eveline terbelalak. Dia mengelus perutnya. Membayangkan bagaimana rasanya jika ada bayi di dalam tubuhnya.
“Iya, Eve. Itu artinya, kamu sekarang udah bisa hamil!” sahut Linda. Tatapannya kecut ke arah Eveline.
“Hmm.. Tapi.. Gimana caranya perempuan bisa hamil? Kalau di film-film, perempuan pegangan tangan sama laki-laki, mereka pacaran dan sering berpelukan. Eh, tahu-tahu si perempuan hamil. Apa aku nggak boleh bersentuhan sama laki-laki lagi?” tanya Eveline lagi. Mengingat dirinya sering bercanda dengan beberapa teman laki-laki sejak sekolah dasar.
Tanpa menjawab pertanyaan Eveline, jari jemari Linda sudah dengan sigap mengetik kata-kata yang ingin mereka ketahui jawabannya di kolom pencarian.
“BAGAIMANA AGAR WANITA BISA HAMIL?”
Klik
Klik
Klik
Informasi muncul kurang dari tiga detik. Kecepatan internet di warnet begitu memuaskan. Bisa berkali-kali lebih cepat dibandingkan internet di provider telepon genggam.
“Pertama, mengenali masa subur. Dua, mengenali tanda ovulasi. Tiga, mencapai orgasme,” baca Linda kata demi kata.
Mendengar apa yang dibaca Linda, sontak rasa bingung mendera benak Eveline lagi.
“Duh, apa itu? Aku nggak tahu apa maksudnya!!” omel Eveline.
“SAMA! Aku jadi makin pusing!!! Bukannya dapat pemahaman, aku malah jadi semakin nggak ngerti apa maksudnya!” tukas Linda kesal.
Keduanya saling bertatapan.
Ovulasi?
Masa subur?
Mereka baru pertama kali mendengar kata itu. Masih terdengar sangat asing dan aneh.
Dalam keseharian, mereka tidak pernah mendengar kata-kata itu disebutkan.
“Lin, coba klik bagian video. Itu! Yang dipojok kanan! Kotak warna merah,” usul Eveline. Jari telunjuknya mengarah pada layar monitor.
Klik
Klik
Linda mengarahkan kursor tepat di sebuah tanda unik bertuliskan “video”. Jari telunjuknya dengan cepat menekan mouse yang ada di genggamannya.
Klik
Layar monitor seketika hanya menampilkan warna putih polos. Tanpa ada tulisan atau keterangan apa pun.
Seperti, ada kerusakan internal.
“Eve! Kok ... Kok malah webnya berubah? Kok tampilannya berubah?” Linda panik.
Tiba-tiba, laman yang mereka kunjungi menuntun mereka untuk berpindah ke sebuah website asing. Sebuah website dari luar negeri. Laman itu didominasi dengan warna biru tua dengan banyak tumbnail yang mencengangkan.
“Linnn!! Kamu tadi klik apa?! Kok yang muncul jadi kayak gini?!" sentak Eveline.
“Aduh ... Nggak tau, Eve. Seingatku, aku cuma klik bagian video kok. Apa aku salah klik, ya?! Jangan-jangan, aku tadi klik salah satu iklan yang sering muncul di layar,” wajah Linda tegang.
Mereka takut komputer yang mereka gunakan akan rusak dan mati mendadak karena kecerobohan Linda. Mereka takut melakukan kesalahan dan dimarahi oleh penjaga warung internet.
Linda dan Eveline masih menahan rasa paniknya. Berharap apa yang kini ditampilkan layar adalah sesuatu yang tidak menyebabkan masalah.
Tapi, perkiraan mereka meleset setelah melihat apa yang ada di depan mata mereka.
“Eve ... Ini ... apa?” tanya Linda.
Sebuah situs mengejutkan mereka berdua. Situs yang seluruh isinya adalah manusia-manusia tanpa busana yang saling berinteraksi. Beraneka ras dan warna kulit. Semuanya melakukan hal yang serupa. Berbeda, tapi hampir sama.
“Lin ... Apa ini ada hubungannya sama menstruasi?” tanya Eveline lirih. Raut wajahnya menegang.
Klik
Linda membuka salah satu video yang disediakan. Video yang menimbulkan rasa penasaran tak tertahankan.
Tubuh molek ...
Pria dewasa ...
Saling bersenda gurau ...
Pelukan lembut ...
Rintihan ...
Jeritan ...
Manusia tanpa busana ...
Tempat tidur ...
Ruangan yang mewah ...
Bahasa asing ...
Permainan yang aneh ...
Suara-suara manja ...
Area privasi ...
Sentuhan-sentuhan ...
Wajah lelah ...
Sebuah cairan berwarna putih ...
Selesai.
“Lin, kita nggak salah lihat, kan?” bisik Eveline.
Linda hanya melongo menatap layar monitor. Mereka berdua tercengang kaget mengingat apa yang baru saja mereka tonton.
“Jadi ... Kayak gitu cara kerjanya?” lanjut Eveline melotot.
“Beneran kayak gitu?” timpal Linda lagi.
Mereka terkejut dan canggung. Video singkat yang baru saja mereka saksikan, cukup membuat mereka syok. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengerubungi isi kepala mereka. Sebenarnya, adegan apa itu? Kenapa mereka baru mengetahui hal-hal semacam itu?
“AKU MASIH PENASARAN!” tukas Linda sembari menggerakkan jarinya pada mouse untuk memutar video lain yang tersedia di sana.
Adegan yang sama! Kali ini, dimainkan oleh satu orang wanita berkulit putih dengan rambut berwarna pirang bersama lima orang pria berkulit hitam. Kemungkinan, mereka berasal dari negara yang berbeda.
“Eve, aku nggak ngerti mereka ngapain,” tukas Linda heran. Matanya masih terpaku pada video yang masih dimainkan.
“Aku juga, Lin. Sakit nggak, ya? Kenapa kakak cantik itu teriak-teriak terus dari tadi? Kenapa dia nggak pulang aja kalau memang kesakitan? Eh, malah dilanjutin,” sambung Eveline.
Mata mereka tetap tertuju ke monitor. Menonton adegan-adegan dewasa yang sendirinya belum mereka pahami dengan jelas. Bagai terhipnotis, mereka bahkan sampai lupa berkedip.
“Banyak tanya kamu, Eve! Memangnya kamu kira aku tahu perkara begituan? ENGGAK LAH! Tapi, asik juga nggak sih?” tukas Linda.
“Ya aku penasaran aja, Lin. Apa harus seheboh itu kalau mau hamil? Ngeri! Pasti sakit banget!” sahut Eveline.
TOK ...
TOK ...
TOK ...
Saat kedua anak itu serius menyaksikan film biru yang tak senonoh, pintu bilik warnet mereka diketuk oleh seseorang berkali-kali.
“Dek .. Dek .. Ayo keluar dulu!” panggil orang di luar pintu.
Linda dan Eveline panik seketika. Mereka berpandangan dengan was-was dan cemas.
Tapi, bagaimana pun juga, salah satu di antara mereka harus tetap membukakan pintu untuk seseorang yang ada di luar bilik warnet.
Krett ..
Eveline membuka pintu bilik dengan perlahan. Dengan secepat kilat pula, Linda arahkan kursor ke tanda silang (exit) yang ada di bagian ujung.
Agar tidak ketahuan.
“Ada apa, Bang?” tanya Eveline pelan.
Di depan pintu, Bang Rano si penjaga warnet pun sudah berdiri tegak dengan tangan dilipat di depan.
“Kalian habis nonton apa? Hayoo.. Ngaku aja sama abang!” ucap Bang Rano tegas. Menatap Eveline dan Linda secara bergantian.
Bang Rano adalah laki-laki pekerja keras yang terkenal hampir di seluruh desa. Yang rumahnya tak jauh dari Eveline dan Linda. Bisa dibilang, mereka bertiga masih tinggal di satu desa yang sama.
Bang Rano seringkali ke SMP CIPTA BANGSA untuk menitipkan dagangan risolnya di kantin sekolah. Maka dari itu, banyak siswa-siswi yang mengetahui sosok Bang Rano meski pun tidak pernah saling bertegur sapa.
“Eh! Mmm ... Enggak kok, Bang. Kita nggak ngapa-ngapain. Nggak nonton apa-apa,” jawab Linda panik. Wajahnya menegang.
“Abang tahu lho kalian buka apa aja. Abang bisa lihat semuanya dari komputer depan,” celetuk Bang Rano lagi.
Eveline dan Linda saling bertatap mata sembari menelan ludah. Mereka sadar bahwa ada tanda-tanda kalau mereka ketahuan menonton video yang berbahaya.
“Kalian itu masih di bawah umur. Kalian masih anak SMP. Nggak boleh buka-buka situs dewasa kayak gitu. Kalian belum bisa mencerna video-video dewasa. Orang dewasa aja belum tentu bisa mengendalikan diri setelah nonton video itu. APALAGI KALIAN BERDUA!” kata Bang Rano dengan tegas.
“Iya, Bang. Maaf ... Kami nggak tahu kalau tontonan itu nggak baik. Tadi kami penasaran aja, Bang. Jadi kami tonton dulu biar tahu maksudnya apa,” ucap Linda.
Bang Rano menggelengkan kepalanya.
“Video kaya gitu nggak ada maksudnya. Nggak ada manfaatnya! Nggak boleh ditonton! Intinya, BAHAYA!” Bang Rano keluarkan suara galaknya. Sama sekali tak sama dengan keseharian Bang Rano yang humoris dan ramah tamah.
Jika Bang Rano sampai marah begini, dunia serasa sedang tidak baik-baik saja.
“Kalau kalian nonton video kayak gitu lagi, nanti abang laporin ke orang tua kalian, lho! Kalau perlu, Abang juga bakal laporin kalian ke sekolah. Biar dihukum sama kepala sekolah!” ancam Bang Rano. Walau pun Bang Rano tidak bersungguh-sungguh, tapi dia ingin membuat Eveline dan Linda tidak terjerumus ke pergaulan dewasa di usia mereka yang masih remaja awal.
“I ... Iya Bang. Maaf ya, Bang. Kami tadi penasaran aja. Tadi Linda juga salah klik, kok,” Eveline berusaha meyakinkan Bang Rano.
“Tadi aku salah klik kok, Bang. Tolong jangan laporin kami. Nanti kami bisa dimarahin habis-habisan sama keluarga kami. Please ya, bang,” rengek Linda pula.
Melihat kedua gadis kecil di hadapannya mulai pucat pasi, luluhlah hati Bang Rano.
“Udah ... Udah. Kalian pulang aja sekarang. Hari ini, Abang kasih gratis buat kalian. Yang penting, kalian jangan ulangi hal yang tadi," perintah Bang Rano.
Walau pun terlihat garang, jiwa kebapakan Bang Rano memang patut diacungi jempol. Dia bukan laki-laki yang kaya, tetapi kebijaksanaannya melebihi orang-orang kelas atas. Mungkin karena kehidupannya yang keras, membuat mental Bang Rano menjadi lebih dewasa dari teman-teman seusianya.
Bagaimana pun juga, Bang Rano adalah contoh yang baik bagi generasi di bawahnya.
“Eve, aku tinggal masuk ke kelas dulu, ya. Kamu sendirian dulu nggak apa-apa, kan? Nanti kalau udah waktunya pulang sekolah, aku ke sini lagi,” ucap Anastasia, si ketua kelas. Anastasia juga merupakan teman yang cukup akrab dengan Eveline. Eveline menganggukkan kepalanya dengan uluran senyuman kecil. Menginsyaratkan bahwa dia baik-baik saja dan Anastasia bisa kembali ke kelas untuk mengikuti pembelajaran yang tengah berlangsung. Hari ini, bukan hari yang menyenangkan bagi Eveline. Tapi, bukan juga hari yang menyedihkan. Pelajaran baru berjalan 30 menit. Sayangnya, penyakit maag Eveline mendadak kambuh untuk yang kesekian kalinya dan membuatnya harus beristirahat di ruang UKS. Di sisi lain, Eveline cukup lega. Penyakitnya tahu kapan waktu yang tepat untuk kambuh. Yaitu, saat ini! Saat mata pelajaran Pak Setya sedang dilakukan di kelasnya. “Ah, pelajaran matematikanya aja udah susah setengah mati. Ditambah lagi, Pak Setya orangnya aneh. Kenapa s
“Pak.. Kenapa Pak Setya ada di sini?” tanya Eveline gugup. Keringat dingin yang membasahi kulit kepalanya sudah mulai terasa. Ada rasa panik dan takut yang tiba-tiba menggerayangi kulit Eveline. Eveline penasaran mengapa tiba-tiba gurunya menghampiri siswi yang sakit. Karena apa yang dilakukan Pak Setya adalah bukan hal yang biasa. “Kenapa memangnya? Kalau murid saya ada yang sakit, apa saya nggak boleh jenguk? Penyakit maag kamu kambuh saat pelajaran saya. Tentu saja secara nggak langsung saya juga bertanggung jawab,” jawab Pak Setya ringan. Kedua kakinya mulai membawanya berkeliling ruangan UKS yang luasnya hanya setengah dari ruang kelas. Langkah kakinya tenang dan lamban. Diperhatikannya satu persatu poster kesehatan dan alat-alat kesehatan yang di tata rapi di sebuah almari kecil. Tangannya mulai memeriksa apakah setiap alat berfungsi dengan baik atau tidak. “Terima kasih, Pak. Tapi, Pak Setya nggak perlu repot-repot. Sebentar lag
“Loh, Eve? Kok kamu udah balik ke kelas? Bukannya perut kamu masih sakit, ya?" Anastasia menatap Eveline yang baru saja memasuki kelas. "Tapi tenang aja, dua jam lagi kita pulang kok. Masih ada pelajaran seni rupa. Gampang lah ya. Kita nggak usah mikir keras. Nggak usah mikirin rumus-rumus,” sambung Anastasia santai. Eveline hanya menganggukkan kepalanya. Dia sama sekali tidak keberatan dengan pelajaran seni rupa yang akan segera dimulai. Di samping materinya yang ringan, guru seni rupa dirasa tidak terlalu rewel dan cukup santai dengan para siswa-siswi. “Iya, Nas. Mumpung lagi jam istirahat, nih. Tadi aku udah izin sama Bu Latri buat balik ke kelas. Kepalaku malah jadi pusing kalau tiduran terus,” jawab Eveline. Eveline berjalan tertatih sambil memegangi perutnya yang masih sedikit perih. Ternyata, terlalu lama di ruang UKS juga membuatnya teramat jenuh. Tidak ada teman yang bisa ia ajak bicara. Hanya Bu Latri yang sesekali menanyai k
Beberapa hari berlalu.. Hari berjalan normal seperti biasanya. Seperti biasa pula, Eveline dan Linda berangkat sekolah bersama-sama. Mereka suka bertukar cerita sembari melangkahkan kaki-kaki kecil mereka. “Lin, aku pengen nabung deh buat beli handphone. Temen-temen di kelasku udah punya handphone semua. Kayaknya seru deh kalau punya handphone sendiri,” celetuk Eveline. Eveline dan Linda tengah melalui sebuah jembatan besi yang menjadi rute harian mereka untuk berangkat ke sekolah. Rute yang menjadi favorit Eveline karena di bawah jembatan itu terpampang sebuah sungai panjang yang indah. Tepi jembatan itu biasa menjadi tongkrongan anak-anak berandalan dengan sepeda motor yang dimodifikasi sebagian rupa hingga menyerupai sebuah gerobak hajatan. Para anak lelaki yang berkumpul seperti rombongan pawai. Ketika motor itu lewat, otomatis akan mengundang tawa orang-orang yang menyaksikannya. “Tapi kan harga handphone mahal banget, Eve. Kalau
"Ciyeee ... Ada yang dianter sama preman jalanan, nih! Nggak malu ya? Hahaha,” ejek Vidia dengan nada bicara yang menyebalkan. Gadis ber-ego tinggi itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun perlahan seperti seekor burung bangau. Pergerakannya diikuti oleh dua sahabat segerombolannya. “Dia itu orang baik, Vi. Jangan menghakimi dia karena penampilannya. Kamu sendiri nggak kenal sama dia, kan?” jawab Eveline halus. Dibanding membantah, ucapan Eveline lebih terdengar seperti sebuah nasehat. Waktu istirahat berjalan kurang menyenangkan untuk Eveline. Saat Eveline, Linda, dan Anastasia tengah asyik menikmati soto ayam pesanan mereka di kantin sekolah, muncullah tiga monster pengganggu yang merusak pemandangan. “Kalau nggak ada Bang Lucas, aku sama Eveline udah telat ke sekolah, tau! Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mending tutup mulut kotormu itu!” sahut Linda dengan nada bicara yang tinggi. "Bacot!! Mulutmu itu yang kotor!" bentak Vidia
“Kenapa bawa aku kesini, Mas? Aku balik ke kelas ya, lima menit lagi kan bel masuk,” ucap Eveline gugup. Baku hantam yang terjadi di kantin mereda berkat kedatangan Mas Sagara. Kalau saja dia tidak datang, pasti kericuhan itu akan berlangsung jauh lebih lama. “Nggak apa-apa, Eve. Aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma mau menjauhkan kamu dari tiga perempuan psikopat itu. Bukan cuma kamu kok yang muak. Aku juga muak! Setiap hari di telepon sama Marsha sampai aku terpaksa harus mengganti nomorku berkali-kali,” ucap Mas Setya. Terlihat bahwa dia juga resah dengan Marsha yang terus mengincarnya. Dari sekian banyak lokasi yang dapat dituju, entah kenapa Mas Sagara mengajak Eveline untuk ngobrol berdua di dekat gudang sekolah. Lokasinya berada di bagian belakang sekolah. Tempat itu sangat sepi dan jarang ada siswa-siswi yang berlalu lalang di area tersebut. “Mas Sagara nggak perlu nolong aku lagi,” jawab Eveline singkat. Semenjak mereka sampai di tempat itu
Tap ... Tap .. “Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi. Tap ... Tap ... Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka. “Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya. “Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi. Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti. “Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini d
“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat. “Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya. Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat. “Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-en