Share

MAS SAGARA

“Eve, aku tinggal masuk ke kelas dulu, ya. Kamu sendirian dulu nggak apa-apa, kan? Nanti kalau udah waktunya pulang sekolah, aku ke sini lagi,” ucap Anastasia, si ketua kelas. Anastasia juga merupakan teman yang cukup akrab dengan Eveline.

Eveline menganggukkan kepalanya dengan uluran senyuman kecil. Menginsyaratkan bahwa dia baik-baik saja dan Anastasia bisa kembali ke kelas untuk mengikuti pembelajaran yang tengah berlangsung.

Hari ini, bukan hari yang menyenangkan bagi Eveline. Tapi, bukan juga hari yang menyedihkan.

Pelajaran baru berjalan 30 menit. Sayangnya, penyakit maag Eveline mendadak kambuh untuk yang kesekian kalinya dan membuatnya harus beristirahat di ruang UKS.

Di sisi lain, Eveline cukup lega. Penyakitnya tahu kapan waktu yang tepat untuk kambuh. Yaitu, saat ini! Saat mata pelajaran Pak Setya sedang dilakukan di kelasnya.

“Ah, pelajaran matematikanya aja udah susah setengah mati. Ditambah lagi, Pak Setya orangnya aneh. Kenapa sih dia suka diem-diem ngelihatin aku. Nggak mungkin lah kalau dia suka sama anak SMP,” gumam Eveline sesaat setelah Anastasia meninggalkannya.

Dalam renungannya, sebuah suara ketukan seketika membuyarkan apa yang Eveline lamunkan.

Tok ...

Tok ...

Tok ...

Pintu UKS diketuk berirama. Begitu lembut terdengar, sebagaimana sosok yang tengah berdiri di depan pintu dengan paras yang lembut pula.

Sosok itu mendekati Eveline supaya parasnya bisa terlihat jelas. Supaya Eveline bisa menatap balik ke arah matanya.

“Eveline ... Kamu sakit? Udah ngerasa mendingan? Masih ada yang sakit, nggak? Nggak parah, kan?” sosok itu membuka percakapan.

Sekantong pertanyaan diluncurkan begitu saja untuk mengurangi kekhawatiran di hatinya. Kakinya melangkah mendekati Eveline yang masih terbaring lemas. Dia duduk tepat di kursi samping ranjang Eveline.

“Eh ... Mas Saga. Aku nggak apa-apa kok, Mas. Perutku masih agak perih, tapi aku udah minum obat maag, kok. Tadi temenku juga udah ngasih roti sobek buat mengganjal perut,” jawab Eveline lembut.

Laki-laki berhati lembut itu menghembuskan napas lega.

“Syukurlah ... Aku  khawatir kalau kamu kenapa-kenapa. Tadi waktu kamu dianter temenmu ke UKS dan lewat depan kelasku, perasaanku langsung nggak tenang,” lanjut Mas Saga dengan wajah iba.

Lagi-lagi, Eveline memberikan senyuman manis. Menanggapi kebaikan hati Mas Saga.

“Kamu tadi belum sarapan, ya? Kenapa bisa kambuh penyakit maagnya?” tanya Mas Saga lagi.

“Iya, Mas. Tadi ibuku masak cumi-cumi. Padahal kan aku alergi makanan laut. Sayangnya, ibuku hobi banget masak seafood. Jadinya, aku jarang sarapan di rumah. Tapi nggak apa-apa kok, Mas. Ini bukan pertama kalinya maagku kambuh,” jelas Eveline.

Sagara.

Laki-laki yang lebih akrab dipanggil Mas Saga. Dia adalah kakak kelas Eveline yang sudah duduk di kelas tiga SMP.

Perkenalannya dengan Eveline dimulai ketika masa orientasi atau ospek berjalan. Sebuah acara yang Sagara urus bersama beberapa temannya.

Kebetulan, Mas Saga adalah salah satu panitia ospek yang diam-diam mulai tertarik dengan Eveline. Tidak heran, paras Eveline memang teramat cantik. Apalagi, wajahnya terlihat seperti gadis jepang yang menawan. Siapa yang tidak tertarik dengan kecantikan dan kepolosan Eveline?

Perawakan Mas Sagara begitu tinggi dengan kulit kecoklatan yang eksotis. Kulitnya juga bersih. Tatapan matanya teduh. Rambut jabriknya menjadi ciri khas sosok Sagara. Rambut khas yang bagian bawahnya sudah menutupi telinga dan selalu menjadi incaran para guru untuk digunting secara asal. Menggunting rambut yang menjadi hukuman turun-temurun.

Tapi, selalu saja Sagara lolos dari hukuman itu.

“Hari ini aku bawa motor, Eve. Aku titipin di warung samping sekolah. Nanti mau aku antar pulang? Nanti aku ajak makan sekalian. Biar kamu cepet sembuh,” Mas Saga menawarkan.

Mendengar ajakan Mas Saga, tentu tidak ada lonjakan perasaan apa pun. Eveline yang baru memahami apa itu menstruasi, belum pernah merasakan sesuatu yang khusus kepada lawan jenis.

Sejauh ini, semua laki-laki seusianya adalah teman dan sahabat seperjuangan. Tidak kurang dan tidak lebih. Kepada Mas Saga sekali pun, Eveline tidak pernah menganggapnya lebih dari sekadar kakak kelas yang selalu berbaik hati menawarkan bantuan kepada Eveline.

“Aku pulang sama temenku kok, Mas. Sama Linda. Pasti Mas Saga udah tahu Linda, kan? Selama ospek dulu kan dia sering sama aku,” jawab Eveline.

Mas Saga mengangguk.

“Tapi ... Tapi aku khawatir kalau kamu semakin kesakitan di jalan. Kamu beneran kuat? Nanti kalau kamu tiba-tiba pingsan gimana? Pasti Linda juga kerepotan,” sanggah Mas Saga lagi. Tangannya mulai menyentuh jemari Eveline.

Seketika itu juga, ditampiknya tangan Mas Saga. Eveline terang-terangan menolak laki-laki itu menyentuh tangannya. Tapi, Mas Saga berusaha untuk mengerti.

“Aku nggak apa-apa, Mas. Setelah minum obat maag, biasanya du jam lagi sakitnya udah hilang. Kalau nanti sembuhnya cepet, aku bakal ikut pelajaran di kelas lagi, kok,” ucap Eveline menenangkan. Matanya yang sayu seakan ikut berusaha membuat Mas Saga tenang.

Mas Saga tidak bisa memaksa Eveline lagi. Yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha mengerti dan menyanggupi apa yang Eveline katakan.

Tiba-tiba, Mas Saga memasukkan telapak tangan kanannya ke dalam saku celana. Menggapai sesuatu yang sudah ia simpan di dalamnya sedari tadi.

Sejekap kemudian, laki-laki baik hati itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

“Ini ... Biar kamu cepet sembuh, dan bahagia selalu. Walau pun kamu nggak suka sama aku, aku seneng kamu masih mau bersikap baik ke aku. Walau pun baru beberapa minggu yang lalu aku kenal kamu dan langsung suka sama kamu, rasanya udah kayak kenal lama sama kamu,” Mas Saga meletakkan sebatang cokelat di atas ranjang UKS. Tepat di samping lengan Eveline.

Sontak mata Eveline memperhatikan cokelat yang diletakkan oleh Mas Saga.

“Mas ... Ini kan ... Cokelat yang jadi harapan aku. Aku jadi nggak enak sama Mas Saga,” ucap Eveline lirih.

Eveline kembali mengingat sepotong masa lampau.

Cokelat dengan campuran kacang almond adalah salah satu keinginan Eveline yang menjadi nyata. Saat masa ospek, Eveline pernah menyebutkan bahwa dia sangat ingin makan cokelat almond suatu hari nanti. Eveline menyebutkan keinginannya saat seluruh peserta ospek diminta untuk menceritakan keinginan terbesar mereka satu persatu.

Tidak disangka, Mas Saga memperhatikan hal itu dan mengingatnya sampai sekarang.

Dan kini, laki-laki itu mewujudkannya.

“Nggak apa-apa. Sebagai hadiah! Aku tahu kamu belum siap untuk jadi pacar aku. Kamu juga belum adaptasi sepenuhnya sama sekolah ini. Tapi, tetep kayak gini sama aku ya, Eve. Aku suka sikap terbuka kamu,” sambung Mas Saga. Tubuhnya mulai beranjak dari kursi.

Semuanya memang berjalan terlalu cepat. Eveline masih terlalu polos untuk menjalani sistem kehidupan yang lebih dewasa di SMP. Eveline sama sekali belum pernah punya pacar. Apalagi melakukan hal-hal yang lebih dari pacaran.

Tapi, masa ini adalah masa untuk Eveline bertransformasi. Menjadi Eveline yang bukan anak kecil lagi.

“Aku balik ke kelas dulu, ya. Nanti bisa dimarahin sama guru. Aku tadi bilangnya cuma mau ke toilet sebentar, hehehehe,” celetuk Mas Saga.

Eveline tertawa kecil.

“Makasih ya, Mas. Sampai ketemu lagi,” ucap Eveline.

Eveline melambaikan salah satu tangannya sembari mengiringi kepergian Mas Saga. Hingga laki-laki itu sampai di ambang pintu dan menjauh dari ruang UKS.

"Mas Saga ada-ada aja idenya. Kenapa dia bisa inget cokelat ini, ya," tukas Eveline sembari menyentuh cokelat yang masih tergeletak di sisinya.

Baru beberapa detik Mas Saga hilang dari tatapan Eveline, tiba-tiba ketukan pintu yang sama terdengar untuk yang kedua kalinya.

Tok ..

Tok ..

Tok ..

“Apalagi sih, Mas? Kok ngetuk-ngetuk lagi? Kan tadi udah. Mas Saga juga udah mampir kesini,” omel Eveline dengan sedikit kencang.

Tapi, tidak ada suara jawaban dari Mas Saga. Tidak ada jawaban dari siapa pun.

Tap ..

Tap ..

Tap ..

“Mas? Mas Saga? Kenapa masuk lagi?” tanya Eveline. Matanya belum bisa menggapai sosok yang masuk ke ruang UKS karena posisinya yang terbaring.

Tap ..

Tap ..

Eveline baru menyadari bahwa suara langkah kaki yang mendekatinya terdengar berbeda dengan langkah Mas Saga tadi. Langkah kakinya terdengar lebih nyaring karena hentakan sepatu yang berbeda.

Seperti ... bukan sepatu anak sekolah.

“Mas Saga, kan? Mas, jawab dong!” ucap Eveline gugup namun tetap lantang.

Perlahan, ujung kepala orang itu mulai terlihat dari posisi Eveline.

Ya! Bukan rambut Mas Saga!

Sosok itu berjalan mendekati ranjang Eveline.

“Kamu nyariin pacar kamu? Dia udah keluar. Tadi papasan sama saya di depan pintu," sahut orang itu yang kini sudah berdiri tepat di samping Eveline. Berdiri tegak hingga Eveline bisa melihatnya dengan sangat jelas.

“P .. Pak Setya?” wajah Eveline seketika tegang dan takut.

Ternyata, yang muncul adalah Pak Setya, guru matematika yang mengajar di sekolah Eveline. Khususnya, beliau mengajar di kelas satu. Kelas Eveline.

Dan saat ini, pria dewasa itu seharusnya masih mengajar di dalam kelas Eveline. Bukan di ruang UKS.

Jantung Eveline berdegup lebih kencang dari biasanya. Gugup dan penasaran akan tujuan Pak Setya mendatanginya. Seperti sosok malaikat pencabut nyawa yang hendak menjemput roh Eveline.

“Bapak, ada perlu apa?” tanya Eveline panik.

Pak Setya hanya diam tak menjawab apa-apa. Meneliti keadaan sekitar dengan wajah santai dan tenang. Bahkan, senyuman tipisnya nampak sesekali.

“Apa dia marah karena aku nggak ikut pelajarannya, ya? Tapi kan, aku emang lagi sakit," batin Eveline panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status