Bab 17Aku tidak akan mengekang dirimu, Mas. Semua ini kembali kepada kesadaranmu, kalau memang merasa menyesal dan bersalah kamu pasti berubah. Aku tidak akan memaksa, sekuat apapun masalah yang mendera jika memang kita berjodoh, semua ini akan terlewati dengan mudah. Terkadang aku merasa bodoh, karena memaafkan Mas Lukman berulang kali padahal aku berjanji pada diriku sendiri tidak sudi bersama dengannya karena sudah terbukti berbohong. Mungkin orang yang melihatku seperti ini akan mengakui jika aku ini memang bodoh karena berulang kali disakiti masih setia menemani. Aku memang bodoh, tapi aku memiliki alasan untuk melakukan semua ini. Ternyata jadi orang baik tidak semudah itu!Suara derap langkah kaki terdengar jelas menuruni tangga, aku melihat Lana yang menjinjing tas besarnya. Berbarengan dengan ibu mertua yang keluar dari kamar dan Tiwi berjalan di belakangnya membawakan koper milik wanita paruh baya itu. Ibu mertua melewatimu begitu saja, tidak ada sepatah katapun yang ia uca
Bab 18"Naya!" Aku langsung menoleh mendengar suara cempreng yang sangat familiar. Senyum dengan otomatis merekah melihat Risma berjalan dengan langkah lebar mendekat padaku. Langsung aku berhambur memeluknya dengan erat, saking lama tidak bertemu. Aku bahkan lupa kapan terakhir bertatap muka dengan wanita berambut pirang ini."Nggak nyangka akhirnya kita bisa ketemu juga. Gue udah kangen banget tau!" seru Risma. Ia menarik kursi dan duduk di hadapanku. Memesan minuman kesukaannya dan lanjut berbincang ringan. Ia kini menanyakan padaku mengenai kebenaran yang ada. Tidak memiliki pilihan lain, akhirnya aku menceritakan semuanya pada Risma.Bisa kulihat wajah Risma terlihat tidak percaya, ia bahkan mengumpat, menyalahkan Mas Lukman. Risma memang salah satu teman dekatku yang dulu sempat tidak setuju aku menikah dengan Mas Lukman. "Lo gak usah nyakitin diri sendiri deh, Nay. Lo tuh cantik, mandiri. Masih bisa cari cowok yang lebih baik daripada si Kuman itu!" Risma berujar dengan bersun
Bab 19“Apa Bapak sering pulang telat?” Aku melayangkan pertanyaan, menatap serius pada Jumi. Aku percaya ia tidak akan pernah membohongiku, Jumi terlihat menarik nafas dalam,jarinya memilin ujung baju yang dikenakannya. Jika sudah seperti ini, Jumi sedang menyembunyikan sesuatu.“Maaf, Bu. Jumi nggak kasih tahu Ibu karena Jumi takut kerjaan Ibu jadi terganggu disana,” sesalnya.Jumi menceritakan semuanya, semenjak kepergianku ke Malaysia Mas Lukman sering pulang telat. Jumi yang hanya seorang asisten rumah tangga tentu tidak ada hak untuk bertanya pada Mas Lukman, ia hanya memilih diam saat melihat Mas Lukman selalu pulang tengah malam. Aku berdecak kesal saat mengingat ponselku mati total karena insiden di bandara tadi, aku jadi tidak bisa melihat hasil rekaman cctv beberapa hari ke belakang. Bodohnya aku karena hanya menyambungkannya ke ponsel, harusnya sekalian disambungkan ke laptop juga. Apa lagi yang kamu lakukan dibelakang aku, Mas?Langkah ini terasa berat saat akan menaiki t
Bab 20“Kemarin, orangtuanya Indah ada dateng ke rumah buat ketemu Trisha,” seru Mas Lukman yang kini duduk di hadapanku.“Mas ketemu sama mereka?” tanyaku.“Nggak, Mas ‘kan di kantor. Kemarin Jumi yang ngasih tahu, katanya dia nggak mau ganggu kamu kerja makanya nggak bilang apa-apa ke kamu,” jawab Mas Lukman.“Mas, kamu tahu kalau Ibu … punya hutang sama orang lain?” Aku langsung melayangkan pertanyaan itu pada Mas Lukman. Lelaki di hadapanku itu langsung memasang wajah terkejut. mungkinkah ia juga tidak tahu mengenai ini.“Kamu tahu dari mana? Emang Ibu pinjam uang ke siapa?” Mas Lukman balik bertanya.Aku menjelaskan semuanya pada suamiku ini, mengenai ibu mertua yang meminjam uang pada ibunya Risma dan mengatas namakan diriku agar bisa diberikan pinjaman.“Biasanya juga Ibu bakalan minta uang sama Mas loh.” Mas Lukman masih terlihat tidak percaya.Orang yang memiliki perilaku seperti ibu mertua memang bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, tidak peduli
Bab 21Aku merasa terganggu saat mendengar suara seseorang berteriak memanggil namaku, itu suara Mas Lukman. Aku tidak sengaja tertidur saat sedang memilih barang-barang yang ingin dibeli tadi, tubuh ini memang rasanya masih lelah setelah pulang dari Malaysia kemarin. Pintu kamar terbuka dengan keras, menampakkan Mas Lukman dengan wajahnya yang sudah memerah seperti menahan amarah. Ia kini berjalan mendekatiku, membuatku dengan terpaksa harus bangkit dari empuknya ranjang.“Kenapa kamu kasih Trisha gitu aja ke orang tuanya Indah? Gimana kalau mereka nggak bisa urusin Trisha dengan benar?!” seru Mas Lukman dengan suara meninggi, dadanya naik turun karena emosi. Aku tidak menyangka ia akan semarah ini mengetahui Trisha kuserahkan pada Orangtua Indah.“Mereka itu kakek sama neneknya Trisha, pasti bisa merawat Trisha. Kalau kamu nggak bisa jauh dari Trisha, kamu ikut aja tinggal disana. Aku nggak mau menyiksa diri dengan membiarkan Trisha disini terlalu lama,” jelasku menatap sengit ke da
Bab 22“Nggak ada yang mau jual rumah Ibu kok. Risma cuman menawarkan diri aja, daripada disita ‘kan, apalagi Mas Lukman nggak punya uang buat lunasin semua hutangnya Ibu,” jelasku. Wajah Ibu mertua kini terlihat kaget, ia bahkan meninggalkan kopernya di ambang pintu dan berjalan mendekati Mas Lukman.“Man, apa maksud istrimu itu? Dia bohong ‘kan, mana mungkin rumah Ibu disita,” seru Ibu mertua dengan tawanya yang terlihat dipaksakan. Mas Lukman hanya diam, ia mengeluarkan bukti-bukti jika rumah ibu mertua telah disita karena tiga kali tidak membayar cicilan uang yang dipinjamnya dari sebuah bank.“Cukup, Bu! Jangan pura-pura nggak tahu, Ibu nggak lupa ‘kan pernah pinjem uang seratus juta ke bank?” selidik Mas Lukman yang membuat ibu mertua kini gelagapan, ia seperti tidak bisa membela diri. Risma yang merasa tidak enak langsung pamit dan akan kembali lagi nanti, aku hanya mengiyakan apalagi ini sudah malam.“I–itu … Ibu–”“Buat apa sih Ibu pinjem uang sebanyak itu, apa uang yang Lukm
Bab 23“Kamu tega sama Ibu, Man! Harusnya kamu berusaha cari pinjaman bukannya jualin semua barang-barang Ibu!” bentak ibu mertua dengan wajah merah padam, tangannya mengepal karena marah. Aku bahkan tidak ingin ikut campur mengenai ini karena aku saja tidak tahu Mas Lukman telah menjual semua barang-barang ibu mertua. Entah kapan Mas Lukman melakukan itu.“Harusnya Ibu bersyukur bisa lepas dari hutang termasuk hutang ke Mamanya Risma, bukannya malah marah-marah. Lukman ngelakuin ini juga buat kebaikan Ibu,” kata Mas Lukman.“Ibu nggak mau tahu, kamu harus ganti semua barang Ibu yang udah kamu jual!” tegas ibu mertua lalu berjalan masuk ke kamarnya, menutup pintu dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Bukannya bersyukur tapi ibu mertua berbicara seolah-olah ia yang terzalimi di sini.Aku berjalan mendekati Mas Lukman dan menanyakan mengenai ini padanya. Mas Lukman mengatakan jika Risma menghubunginya tadi pagi dan langsung menawarkan diri untuk membeli semua barang milik
Bab 24Sebelum pergi, aku sudah memastikan jika kamarku benar-benar terkunci. Semua barang berharga sudah aku amankan termasuk kunci mobil milikku dan Mas Lukman. Jumi dan Tiwi aku suruh untuk pulang ke rumah mereka masing-masing untuk sementara waktu sebelum aku dan Mas Lukman kembali. Ya, Mas Lukman memutuskan untuk mengambil cuti selama seminggu dan akan ikut denganku yang akan melakukan tugas kantor di Bali. Bu Margaretha mengutusku untuk langsung memantau proyek disana karena beliau memang sedang tidak sehat dan akan segera menyusul saat kondisinya sudah membaik.Rencana Mas Lukman kali ini memang tidak salah, hanya ada ibu mertua dan Lana yang akan berada di rumah seminggu kedepan. Aku sudah menghubungi Risma untuk membantu menyelidiki tempat yang biasa didatangi oleh Mas Lukman. Karena kurasa Mas Lukman terlihat lebih tegas dan lebih dewasa setelah aku berangkat ke Malaysia kala itu. Tanpa memberitahu ibu mertua, kami pergi secara diam-diam. Aku ingin tahu apa ia sanggup hidup