Eh, tiba-tiba Ratna Sari nyelonong memalangkan kereta anginnya, menghalangi laju kereta anginku dan kereta angin Indra Kesuma tepat di pertigaan Jalan Budi Kemenangan dekat sekolah kami. Lantas, Aku dan Indra Kesuma pun terpaksa segera menghentikan laju kereta angin dan turun. Berturut-turut di belakang Ratna Sari ada Yan Utama, Zulbrito, Suheng, Arif Budiman, Zainab Maria dan Elfi Zahara berjalan kaki. Mereka langsung menghampiri kami bertiga.
“Masya Allah!” teriak Ratna Sari begitu dia turun dari kereta anginnya dan lihat muka Enda Kiebo yang babak-bunyak. Dia langsung membombardir, “Apa yang terjadi padamu Enda? Siapa yang tega memukulimu hingga babak belur begitu?”
Aku hanya tersenyum kecut lihat Ratna Sari begitu terperanjat lihat apa yang aku alami. Aku diam, Indra Kesuma pun bungkam.
Begitu sampai di hadapanku, Yan Utama pun terperangah lihat kondisiku. Dia jadi penasaran.
“Iya Enda, ada apa denganmu? Kau b
Aku terdiam. Ucapan Ratna Sari itu langsung menohok ulu hatiku. Maknanya dalam banget. Pasrah, serba menerima, budaya orang lemah, budaya orang putus asa terus terngiang-ngiang di telingaku. Pikiranku melayang jauh, menembus potret di balik bilik-bilik barak di afdeeling warisan Jacobus Nienhuijs. Dalam bilik, dalam bedeng-bedeng, pada hamparan padang pohon uang, di sela-sela pohon karet, pohon sawit, pohon cokelat, pohon teh berisi barisan orang-orang terjongkok, orang-orang yang tak berdaya, orang-orang lemah, bahkan orang-orang putus asa. Orang-orang yang pasrah menerima nasibnya…papah, tulang miskin urat miskin. Mungkin bukan hanya ada di barak-barak atau bedeng-bedeng afdeeling atau onderneming saja, tapi juga ada di rumah kotak-kotak di sekitar pabrik-pabrik sepanjang Jalan Yos Sudarso menuju Belawan atau pabrik-pabrik kawasan industri Medan (KIM) di daerah Mabar atau pabrik-pabrik di kawasan lainnya, gubuk-gubuk kam
Aku jadi terharu mendapat simpati dan dukungan penuh para sahabatku ini.“Bagus! Kalian sudah berani membantah ya?!” ancam Pak Beresman.“Kami merasa tidak pernah membantah Bapak. Tapi kami hanya ingin tahu saja, apa kesalahan Enda Kiebo seperti yang Bapak tuduhkan padanya barusan, hingga Bapak memberi poin minus 50 padanya. Bapak ini tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba langsung memvonis bersalah. Itu namanya diktator Pak,” sanggah Ratna Sari dengan berani.Pak Beresman langsung memelototi Ratna Sari yang telah berani menentangnya.“Kalian apa tidak lihat muka si Enda Kiebo ini yang berantakan kayak preman pasar yang habis berkelahi? Apa kalian tidak baca aturan tata-tertib sekolah yang jelas-jelas melarang keras siswa ber-ke-la-hi…”Aku hanya bisa menggigit bibirku, tak tahu apa yang harus kukatakan untuk membela diri. Posisiku memang lagi terjepit. Aku hanya bisa menundukkan kepala sebagai orang pesakitan
Aku jadi terharu lihat sikap solider teman-temanku ini. Sikap teman-temanku ini memberi pelajaran yang berharga padaku untuk meniti hidupku. Jangan ragu untuk mengatakan yang benar dan memperjuangkan kebenaran, walau risikonya sangat pahit sekalipun, tapi jika punya keyakinan dan keberanian diri yang kuat, kebenaran pasti dapat ditegakkan. Kebatilan akan goyah.“Terima kasih atas pembelaan kalian ya!” seruku pada teman-temanku, sambil berjalan perlahan-lahan menuju kantor Pak Beresman melintasi tengah lapangan sekolah.Teman-temanku menyambut ucapanku dengan senyum dan memberi semangat. Siswa-siswa lain pun banyak yang simpati padaku dan perjuangan teman-temanku. Mereka jadi kagum pada kegigihan Ratna Sari, Zainab Maria, Yan Utama, Indra Kesuma, Zulbrito, Suheng, Arif Budiman dan Elfi Zahara untuk berani mengatakan hal yang benar. Mereka pun turut menyemangatiku dengan bertepuk-tangan. Hal ini membuatku berbesar hati, aku pun mengucapkan terima kasihku atas
Setelah beberapa lama menanti, terdengar suara ketukan pada daun pintu. Kami pun berharap orang yang dinanti segera tiba. Semua mata jatuh memandang pintu masuk.“Masuk!” sambut Pak Beresman tajam.Sesaat kemudian, pintu terbuka dan nongollah kepala Jafar, yang ditugaskan Pak Beresman untuk menjemput Benhart Cs. Jafar tanpa basa-basi langsung menyuruh Benhart, Bogeld dan diikuti Liem Bok segera memasuki ruang kantor. Benhart masuk dan sempat melirikku dengan sinis dan kebetulan aku juga memandangnya dan kami pun sempat beradu mata sesaat. Kulihat sinar kebencian memancar dari sorot mata Benhart itu. Namun, aku tetap menatapnya tanpa berkedip dan tanpa ekspresi perasaan dendam sama sekali padanya tepat di sudut dalam mata kirinya. Wow! Setelah aku dewasa baru tahu kalau sudut dalam mata kiri merupakan titik kelemahan setiap orang. Jika sudut dalam mata kiri seseorang dipandang dengan tanpa berkedip, maka bagaimana pun keras hatinya, tentu akan melumer. Atau
Siapa yang tidak galau? Jika banyak orangtua omong, bahkan di media koran, majalah, bahkan TV mengungkap nada sumbang, “Produk bangku sekolah di Indonesia tidak siap pakai…” ungkapan itu tentu membuat hatiku gundah dan kecil hati, atau boleh dibilang hampir mematahkan spiritku untuk sekolah. Padahal, aku sangat berharap banyak setelah aku punya kesempatan untuk sekolah. Apalagi, sering kudengar di kedai-kedai, di warung-warung, di sawah, di pondopo, di pos ronda, di tempat keramaian ada saja yang memperbincangkan, membenarkan fakta yang terjadi di dunia pendidikan di tanah air. Fakta memang yang terjadi hampir begitu karena banyak siswa yang mengalami kefrustrasian begitu keluar sekolah, jadi pengangguran. Mereka mengalami kegamangan ketika memasuki dunia kerja, ternyata kecakapan-kecakapan yang dimilikinya belum memadai untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.Sudah tentu, fakta-fakta ini tidak jarang menimbulkan s
Pak M. Manurung tersenyum lihat gaya Suheng dan Indra Kesuma yang menghibur itu.“Inilah korban dari sistem klasikal yang tidak ideal. Di antara kalian tidak sedikit yang jadi korban. Idealnya dalam setiap kelas hanya antara 15 - 20 anak saja yang belajar, sehingga setiap anak mendapat pelayanan penuh dalam belajar. Tapi kelas kalian ini yang lebih dari 50 anak, bagaimana mungkin semua anak dapat dilayani oleh seorang guru. Guru itu dihadapkan pada keterbatasan kompetensi dan waktu dalam mengajar. Bahkan, yang membuat guru tidak maksimal dalam mengajar karena penghasilan yang minim hingga kurang fokus dalam mengajar. Pikiran guru terganggu oleh urusan-urusan di luar seperti masalah kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, kegiatan lain di luar dan sebagainya.”“Lantas, solusinya bagaimana Pak? Sudah tentu, kami tidak ingin jadi korban dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki guru,” timpal Yan Utama.Pak M. Manurung merasa gembira dengar
“Ah, kau ini ada-ada saja, Enda!” sanggah Yan Utama. “Enggak ada itu.”“Aku penasaran aja, Yan,” tukasku. “Habis tiada soal yang sulit bagimu setiap ulangan tuh. Semuanya kau lalap dengan mudah. Ya-enggak teman-teman?”“Akur sekaliii…!” sambut teman-temanku bersamaan.“Betul tuh Yan!” sambut Indra Kesuma kemudian tidak mau ketinggalan.“Atau Yan beguru nih? Kasih taulah siapa gurumu itu?! Aku kan ingin pintar juga kayak kau,” timbrung Suheng membanyol.Yan Utama langsung monyongkan mulutnya dengar banyolan Suheng, cemberut.“Ah Yan, takut kali disaingi nih gak mau kasih tau siapa guru danghyangnya pada kita,” ledek Suheng kembali. (Danghyang = sang pemilik kekuatan ghaib).“Ini gurunya Suheng!” jawab Yan Utama dengan mengacungkan bogemnya, balas banyolan Suheng.Elfi Zahara, Ratna Sari, Zain
Wow! Pulang sekolah. Jika dilihat dari udara anak-anak yang berhamburan keluar ruang kelas sekolah tampaklah panorama konfigurasi putih-putih nan indah bergegas beriring-iring menuju satu muara, yaitu gerbang sekolah. Wajah-wajah ceria dan lega laksana habis melepas himpitan beban derita sepanjang hari dominan menghiasi konfigurasi dan berbaur dengan wajah-wajah letih bagi kaum calon cendikia. Ada yang langsung bergegas menuju gerbang sekolah dengan setengah berlari, melangkahkan kaki, sambil mengobrol dan ada yang menyerbu tempat parkir kereta angin dahulu, termasuk diriku.“Enda ini bungkusan apa?” tanya Yan Utama begitu dilihatnya ada bungkusan plastik menggantung di stang kereta anginku, saat kami berjalan sejajar menuju gerbang sekolah.“Oh, itu baju Sundari yang baru selesai dijahit Emakku,” sahutku ringan.Mata Yan Utama terbelalak, berbinar-binar begitu nama Sundari kusebutkan. Sebuah nama yang telah menggetarkan senar jiwanya, me