Ketika aku mendekat, aku jadi tertegun, lapat-lapat dengar keluhan pilu Bibi Sumirah, ibunya Sundari.
“Sun, Emak itu gak mau lihat dirimu turut menderita kayak Emak ini. Cukup Emak ajalah yang mengalaminya. Sakittt…Sun jadi buruh, buruh apapun namanya!’’ keluh Bibi Sumirah lirih. Terbayang di pelupuk matanya, bagaimana derita buruh petik daun duit di perkebunan Sampali tempatnya menggantung harapan hidup. Dirinya dibayar dengan upah yang murah yang tak adil untuk kehidupan yang layak hingga tak memiliki harkat, apalagi martabat. Sementara, suaminya sudah sakit-sakitan dan tidak bisa banyak diharap. Subuh-subuh buta, dirinya bersama-sama buruh lainnya sudah harus meninggalkan rumah menuju tanah perkebunan daun duit. Seharian tenaga mereka diperas habis-habisan untuk menyiapkan lahan, menanam, merawat maupun memetik daun duit. Setelah jam kerja berakhir, dirinya juga masih harus kerja lembur untuk mendapatkan premi (uang tambahan), sebagai cara untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Lantas, baru petang harilah sampai kembali di rumah. Memang, dari sejarah pembukaan perkebunan Tobacco di tanah Deli ini oleh Jacobus Nienhuijs, yang namanya mandor kebun, centeng, bahkan pengelola perkebunan kerap kali memperlakukan para kuli-kontrak semena-mena, dibayar murah dan sudah jadi kultur. Apalagi yang namanya umpatan, bentakan maupun makian itu sudah menjadi hal biasa, mereka itu walau namanya buruh atau pekerja, tapi tak ubahnya seperti budak belian. Beginilah nasib buruh kecil, rakyat jelata yang hanya dapat mengandalkan tenaga saja.
Setelah menghela nafas panjang, Bibi Sumirah menyambung ucapannya yang setengah merintih, “Apalagi, Emak itu nggak tega kalau lihat dirimu nanti dipermainkan para mandorrr… Lihat itu Dirah, Ayu, mereka pada bunting nganggur, tak ada yang mau bertanggung-jawab. Makanya, Emak berharap kau bisa makan sekolahan. Biar pintar, gak jadi buruh kebun kayak Emak!”
“Mau bagaimana lagi, Mak?! Buktinya aku gak lulus,” sergah Sundari di tengah-tengah isak-tangisnya, sambil menoleh pada Ibunya itu. “Sundari itu gak mau mengecewakan harapan Emak. Tapi, saingannya gitu banyak!”
Bibi Sumirah jadi terdiam, pandangannya jatuh pada kerumunan orang yang berjubel lihat daftar peserta yang diterima di SMP 9, pikirannya menerawang jauh. Dilihatnya, di sela-sela orang yang jingkrak-jingkrak kegirangan diterima masuk SMP 9 itu, ternyata masih banyak orang yang bernasib sama dengan Sundari, kurang beruntung. Atau Sundari ini memang keturunan tulang miskin urat miskin, bagaimana dia mau berharap banyak padanya, batinnya, sambil menghela nafas.
Sementara, Sundari pun larut dalam kedukaannya dan membenamkan wajahnya ke dalam kedua tapak tangannya berlapis sapu tangan. Tak lama, Sundari membuka matanya, begitu tahu aku hendak duduk di sampingnya. Namun, belum sempat aku mendudukkan pantatku di atas bangku, Sundari langsung bangkit dan segera berlari meninggalkan Emaknya maupun diriku, sambil menyembunyikan sedu-sedannya. Dia merasa malu padaku, apalagi pada Yan Utama, orang yang tidak dikenalnya. Sementara, aku jadi tertegun dan tak tahu harus berbuat apa. Ada keinginanku untuk membantu meringankan beban derita hati Sundari, namun otakku benar-benar kosong-melompong, tak bisa berpikir. Begitu juga, Yan Utama hanya memperhatikan bayangan tubuh Sundari hingga menghilang dari pandangan. Namun, paras Sundari yang rupawan itu dalam waktu sekejap sempat mencuri hati Yan Utama.
Ketidaklulusan Sundari membuat hatiku berdebar-debar juga. Padahal, aku tahu Sundari itu bukanlah orang yang bodoh. Dia masuk peringkat lima besar di sekolahku dulu. Alhasil, aku jadi kuatir juga. Entar, aku termasuk orang-orang yang tersisih, tak diterima masuk di SMP 9?! Pikiranku menerawang, tapi untunglah Yan Utama mengguit lenganku beri isyarat, maksudnya mengajakku segera lihat pengumuman. Kami pun beradu pandang dan sepakat, tanpa kata. Aku dan Yan pun beranjak meninggalkan Bibi Sumirah sendiri. Aku tak sampai hati memandang wajahnya. Apalagi, dia lagi terbuai dalam kidung-nestapa orang-orang pinggiran gitu.
“Yannn…kau lulus!” teriak kegirangan seorang cewek manis berkepang dua dari beberapa depa di sisi kanan papan pengumuman, begitu dia melongok lihat Yan Utama bersamaku muncul dari koridor sisi kiri. Dia pun langsung berlari, memisahkan diri dari dua temannya untuk menghampiri Yan Utama.
Wajah Yan Utama jadi sumringah dengar kabar itu. Dia pun menyambut gembira cewek yang diikuti oleh dua temannya. Sebentar saja Yan Utama sudah dikerubuti oleh teman-temannya itu.
“Yang benar, Rat?!”
“Masa sih aku bohong?!” balas cewek yang bernama Ratna Sari itu, sambil menyalami Yan Utama untuk beri selamat. Yan Utama langsung menyambut tangan Ratna Sari dengan hangat. “Kau peringkat pertama Yan,” sambung Ratna Sari. Yan Utama terperangah, gembira.
“Iya udahlah pegangan tangannya,” tegur anak yang bertubuh gempal menyela, sambil menepuk bahu Yan Utama.
Wajah Ratna Sari yang rupawan, tinggi langsing ini langsung semburat merah dan menunjukkan raut wajah cemberut pada Julbrito, temannya itu.
“Ya, aku kan ingin ucapkan selamat juga ama sang Juara kita ini…hehehe,” sindir Julbrito menggoda Ratna Sari.
“Ya ini Ratna, nggak boleh monopoli aaah!” ledek Arif Budiman, memanas-manasi. Ratna Sari langsung melepaskan tangan Yan Utama, jengah.
Yan Utama tersenyum lihat candaan teman-temannya ini.
“Bravooo kawannn!” ucap Julbrito, sambil memeluk erat tubuh Yan Utama sesaat.
“Bagaimana dengan kalian? Semua diterima, kan?” tanya Yan Utama, sambil memandangi wajah teman-temannya itu satu persatu.
“Ya, iyalah! Siapa dulu kita?!” jawab Julbrito semangat. Lalu sambungnya, sambil menoleh pada Arif Budiman, “Iya, nggak Rif?!”
Arif Budiman membalasnya dengan senyum sumringah dan mengepalkan tangan kanannya ke arah Yan Utama. Yan Utama pun balas tos kepal tangan Arif.
Aku jadi kecil hati lihat kegembiraan Yan Utama dan teman-temannya itu yang begitu semangat untuk bersekolah. Makanya, aku menjauh dan segera lihat angka keberuntunganku memihak padaku hari ini atau tidak. Untuk membuktikannya, aku harus berani menerobos berjubelnya orang-orang yang juga cari keberuntungannya. Akhirnya, dengan susah payah menerobos kerumunan orang, aku sampai juga di depan papan pengumuman. Kutelusuri satu demi satu nomor peserta ujian maupun nama yang terpampang di depan mataku itu dengan jantung berdebar-debar tak karuan. Namun, aku tak bisa dengan tenang melihat nomor peserta karena sebentar-bentar terdorong oleh tubuh orang lain yang berdesak-desakan.
Jantungku terasa mau copot, saat aku telusuri seluruh nomor peserta di papan pengumuman, namun aku tak menemukan namaku. Dengkulku langsung terasa lemas, mataku sempat berkaca-kaca lihat kenyataan ini. Aku tak sanggup membayangkan wajah kecewa Emakku, jika dia dengar aku tidak diterima sekolah di SMP 9 ini. Sekolah ini merupakan satu-satunya harapan orangtuaku untuk dapat menyekolahkanku. Mereka tak sanggup untuk menyekolahkanku di sekolah swasta. Apalagi, bapakku yang kerja serabutan sebagai buruh bangunan itu kadang kerja, kadang tidak, bahkan lebih banyak nganggurnya. Jadinya, Emakku yang lebih banyak membiayai kebutuhan keluarga dari hasil upah menjahit pakaian orang. Namun, penghasilan kedua orangtuaku itu pun hanya pas-pasan untuk menutupi biaya kebutuhan sehari-hari saja.
Ach! Ulu hatiku tambah nyeri, ketika terbayang wajah kecewa ketiga adikku. Aku sebagai anak pertama yang diharapkan kelak jadi tulang punggung keluarga dan jadi tauladan mereka, namun tak mampu memberi rasa bangga pada mereka. Dada ini rasanya mau meledak, saking tak mampunya menahan kegetiranku. Tanpa sadar aku melangkah dengan gontai menjauhi papan pengumuman. Pikiranku melayang jauh di awang cari jawab kegetiranku. Bagaimana mau mengejar mimpi?! Hanya untuk menembus sekolah setingkat SMP saja, aku terpuruk. Jadi apa memang benar keturunan tulang miskin urat miskin tidak bakalan berubah? Apakah ini yang namanya anak kuli, hanya bisa jadi kuli? Buah itu memang jatuh tak pernah jauh dari pohonnya. Membayangkan itu, maka aku pun jadi jatuh terduduk di pinggir koridor, merasa hampa.
“Huh, tulang miskin bagaimana mau sekolah di sini! Mikirrr…gembel!” teriaknya. Lalu dia berseru pada temannya, “Iya, nggak kawannn?!” Suara ejekan yang tak enak didengar muncul tepat di belakang daun telingaku. Aku tahu itu suara Benhart yang melintas di belakangku bersama teman-temannya. Aku semakin menunduk dan tak dapat menyangkal ucapan hina Benhart yang menyakitkan itu. Memang sudah tak selayaknya aku bermimpi berada di sekolah ini, kali. “Iya Ben, kau gak salah lagi. Otak buruh ya tetap otak kuli. Bagaimana mau makan sekolahan?!” timpal Liem Bok terbata-bata, si muka pucat tak mau kalah. Dengan bergaya Liem Bok mengejekku tepat di belakang daun telingaku juga. Bogeld lihat Benhart dan Liem Bok bersuka-ria melepaskan keisengannya, maka dia tak mau ketinggalan. Dia pun dengan gaya berjingkrak-jingkrak di depanku turut mengejekku, “Memang, mental buruh itu hanya bisa jadi pesuruh, jongos, kuli…kuli…kuli, tauuuk!” Aaach! Aku hanya bisa menutup kedua
Wow! Pagi itu, senyum cerah menghiasi wajahku, seiring dengan segarnya dedaunan rerumputan yang masih berlapis butiran-butiran embun dan sinar mentari pagi yang cerah. Aku senang sekali! Apalagi ini hari pertamaku sekolah di SMP 9, aku mengenakan setelan seragam putih-putih baru yang khusus dibuatkan Emak untukku. Begitu juga, aku mengenakan sepatu hitam baru, merek “Deli”. Walau terkesan sepatu murahan, tapi tak mengurangi kegembiraanku. Kegembiraan membuatku begitu semangat mengayuh kereta angin tuaku menuju sekolahan. Kegembiraan anak seorang kuli dengan harapan tidak ingin jadi kuli, seperti bapakku maupun kakekku lagi. Kata-kata wasiat Ibu Erika Purnama Panjaitan, guru kelas VI SD-ku masih terngiang-ngiang di telingaku: “Kalau mau jadi orang jangan bermental kuli. Jadilah diri kamu yang memiliki kecerdasan dan berani mengejar mimpi…berani menentang segala rintangan ap
Sementara, aku jadi keki sekali lihat kekonyolan teman-teman baruku ini. Ada-ada saja mereka, membuat wajahku jadi merah-padam. Namun, walau begitu aku harus tetap berusaha untuk tersenyum, mengatasi tekanan olok-olokan teman-teman baruku ini. Walau itu senyum kecut sekalipun. Biarlah, tiada guna aku berbantah-bantahan soal ini, malah bisa saja aku semakin terpojok nantinya. Aku memilih diam. Mungkin ini resep mujarab mengatasi tekanan olokan teman-temanku ini, membiarkan mereka berceloteh, menghamburkan rasa riang-gembira. Tak ada salahnya aku larut dan masuk dalam kekonyolan ini. Toh, tanpa menampilkan tindakan reaktif, malah ada keuntungannya bagiku, yaitu akan mendapatkan jantung teman-temanku, semakin dekat aku dengan teman-teman baruku ini, bisik hati kecilku.“Kasihan amat kau Enda jadi bahan olok-olokan.”Ah! Tapi itu kan hal biasa. Olok-olokan jamak terjadi dalam dinamika kehidupan manusia. Mengapa musti heran?! Mengapa musti harus kebakaran jenggo
Wow! Kelas kami ini ternyata tidak tepatlah kalau dinamakan kelas, tidak layak untuk tempat belajar, namun lebih tepat kalau dinamakan ruang rapat warga di balai pertemuan di kantor Kelurahan Pulo Brayan yang kerap kali diisi oleh riuhnya suara protes maupun kegaduhan warga karena mempertanyakan dan memperebutkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dirasa tak adil dalam pembagiannya, bahkan tak tepat sasaran. Atau, protes warga mempertanyakan raibnya uang Bangdes. Memang mirip, coba bayangkan kelas kami yang beratapkan seng, berdinding papan yang disusun bersirip, tanpa jendela, namun berventilasi jaring-jaring kawat si sisi barat, bahkan tanpa plafon ini dijejali penuh sesak oleh siswa, pengap. Jangan bayangkan atau berharap tentang kelas ideal untuk belajar, apalagi kelas internasional yang berpendingin air conditioning alias AC, seperti yang ditemukan kelas-kelas di sekolah Singapura. Bahkan, jangan dibandingkan dengan kelas-kelas yang ada di
Eh! Tiba-tiba Indra Kesuma memecah kesenyapan dengan mengangkat jari telunjuknya, namun wajahnya itu memperlihatkan mimik yang tak sedap dipandang, laksana orang sedang meringis, setengah ketakutan. Dia angkat tangan, sambil melirik kanan-kiri.“Bagus Indra! Ini dia yang ibu mau. Hanya Ksatria yang berani mengatakan kemerdekaannya, seperti kamu ini.”Kami terperangah, dengar ucapan pujian yang luarbiasa maknanya. Semua mata pun langsung menoleh ke pojok kiri kelas, memandang Indra Kesuma. Apalagi, lihat Indra Kesuma langsung tersenyum, bungah banget. Keberaniannya dapat dukungan dari Bu Nursyiah. Kami jadi iri dan penasaran, sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan Indra Kesuma itu, sampai-sampai Bu Nursyiah sebegitunya memuji laksana Ksatria. Atau memang orang yang berani mengatakan pendapatnya itu ibarat Ksatria gagah berani ya?! Lantas, kami yang tak berani membuka suara apa namanya? Ah, entar kami malah dimasukkan golongan orang-orang yang tak punya nyal
Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku
“Wusss…wussss…wusss…!”Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan t
Orang dari Solo itu kini membusungkan dadanya, sambil warawiri di hadapan orang-orang desa yang polos dan lugu itu. Pendek kata, bola mata orang-orang desa itu terus mengikuti ke mana gerak langkah Orang dari Solo itu.“Lihat diriku! Bandingkan dengan kalian! Lihat Kakek tua itu!” Orang dari Solo itu menunjuk lelaki tua tadi. Matanya mencemooh, ”Lihat apa yang dia punya setua itu? Kasihan, kasihan sekali dia itu, lelaki tua miskin lagi. Hidupnya sia-sia.”Orang-orang melirik ke arah lelaki tua itu.“Lihatlah dia, enggak ada bedanya dengan kalian. Sama miskinnya. Tapi, kalian lebih beruntung dari Kakek tua itu. Kalian masih muda, masih punya kesempatan. Mau miskin terus sampai tua, seperti dia? Mikir?!”Orang-orang menundukkan kepala. Sebahagian menelan ludah. Mau tidak mau, mereka memperhatikan apa saja yang melekat di tubuh mereka. Hati mereka terpukul, terpojok. Marto Kapuk muda pun merasakan hal yang sama. Mereka mer