Share

Bab 4

“Huh, tulang miskin bagaimana mau sekolah di sini! Mikirrr…gembel!” teriaknya. Lalu dia berseru pada temannya, “Iya, nggak kawannn?!”

Suara ejekan yang tak enak didengar muncul tepat di belakang daun telingaku. Aku tahu itu suara Benhart yang melintas di belakangku bersama teman-temannya. Aku semakin menunduk dan tak dapat menyangkal ucapan hina Benhart yang menyakitkan itu. Memang sudah tak selayaknya aku bermimpi berada di sekolah ini, kali.

“Iya Ben, kau gak salah lagi. Otak buruh ya tetap otak kuli. Bagaimana mau makan sekolahan?!” timpal Liem Bok terbata-bata, si muka pucat tak mau kalah. Dengan bergaya Liem Bok mengejekku tepat di belakang daun telingaku juga.

Bogeld lihat Benhart dan Liem Bok bersuka-ria melepaskan keisengannya, maka dia tak mau ketinggalan. Dia pun dengan gaya berjingkrak-jingkrak di depanku turut mengejekku, “Memang, mental buruh itu hanya bisa jadi pesuruh, jongos, kuli…kuli…kuli, tauuuk!”

Aaach! Aku hanya bisa menutup kedua daun telingaku rapat-rapat dengan kedua tanganku, menepis hinaan tiada tara ini.

Setelah merasa puas mengerjai diriku, maka Benhart, Liem Bok dan Bogeld lalu berlalu, sambil bercanda-ria dengan rasa penuh kemenangan. Sedangkan aku hanya diam, membisu. Terngiang-ngiang terus di telingaku kata kuli…kuli…kuli itu.

Sementara itu, Yan Utama penasaran dan ingin membuktikan sendiri omongan teman-temannya itu. Dibantu oleh teman-temannya, Yan Utama berusaha masuk menerobos jubelan orang-orang di depan papan pengumuman itu. Tak perlu lama, Yan Utama dan kawan-kawannya sudah berada tepat di depan papan pengumuman. Lalu dengan cermat, dia mengamati deretan nama yang diterima SMP 9 tersebut. Ratna Sari pun dengan sigap menunjukkan namanya yang terpampang di nomor urut 101 dan di kolom rankingnya dinyatakan sebagai peringkat pertama. Yan Utama menyambutnya dengan senyum gembira. Kemudian, Yan Utama secara tak sengaja lihat nama teman barunya ada di urutan nomor urut 100 dan ranking ke - 20.

Tak lama kemudian, Yan Utama buru-buru keluar dari tengah kerumunan dan celingukan ke sana, ke mari cari seseorang. Ratna Sari, Julbrito dan Arif Budiman pun mengikutinya.

“Yan, kau cari siapa?” tanya Ratna Sari heran.

“Iya, Yan,” sambung Arif Budiman.

“Cari teman baruku tadi yang bersamaku,” sahutnya, sambil terus mencari.

“Maksudmu, anak berambut kribo tadi, Yan?” sela Julbrito.

“Iya,” Yan Utama pun mengangguk membenarkan, sambil menggigit jarinya penasaran. “Coba kalian cari dia!”

“Bukankah itu orangnya Yan!” tunjuk Arif Budiman.

Yan Utama pun bergegas menghampiri orang yang ditunjukkan Arif Budiman barusan.

“Hai Enda, mengapa pula kau begitu murung?!” tanya Yan Utama heran. “Seharusnya, kau kan gembira.”

Aku pun mengangkat wajahku, memandang Yan Utama. Kupaksakan untuk tersenyum padanya. Namun, aku tak kuasa memandangnya lama-lama. Sesaat, aku membuang pandang jauh ke halaman sekolah, menerawang.

“Lantas, apa yang terjadi En?” kejar Yan Utama penasaran.

“Aku gak diterima Yan,” ucapku lirih tanpa menoleh, lalu menunduk sedih.

“Siapa yang bilang En? Kau itu lulus. Malah kau masuk ranking 20 tuh,” sergah Yan Utama.

Aku terperangah tak percaya dengar ucapan Yan Utama, hingga aku tak mampu berkata apapun. Buru-buru aku menoleh, menatap wajah Yan Utama, cari jawab kebenaran ucapannya. Kulihat raut wajah Yan Utama bersungguh-sungguh.

“Benar En! Namamu ada di urutan 100, berdampingan dengan namaku,” sambung Yan Utama meyakinkanku, sambil menggoyang bahuku. “Kau mau bukti?! Ayo kita lihat!” ajak Yan Utama bersemangat, sambil menarik lenganku untuk bangkit.

Yeah! Semangatku kembali bangkit. Perasaanku ternyata salah. Aku masih punya peluang. Aku harus dapat menepis perasaan nelangsa yang ternyata membuatku lemah, terpuruk dalam kenestapaan dan mematikan semangatku. Aku harus tetap ingat untuk menggapai mimpi itu harus berproses, tidak ada pengecualian, semua orang pasti bisa. Yang jelas tak mengenal kasta. Tidak ada istilah tulang miskin urat miskin, selama orang mau cari peluang, sekecil apapun peluang itu. Anak buruh pun pasti bisa, bisik hati kecilku. Makanya, ajakan Yan Utama ini memberi semangat juang baru menapaki undakan ngejar mimpiku. Aku pun bergegas kembali menghampiri papan pengumuman.

Mataku benar-benar terbelalak lihat Yan Utama menunjukkan namaku, Enda Kiebo ada pada nomor urut 100 di papan pengumuman itu. Mataku berbinar-binar dibuatnya. Ternyata, tidak sia-sia aku belajar keras selama ini untuk mencapai tahap demi tahap tangga meraih mimpi. Aku sungguh beruntung bisa diterima di SMP 9 ini, anak kuli bisa sekolah. Di luar sana ribuan anak buruh, buruh tani, buruh nelayan, buruh apapun itu namanya tak bersekolah, bahkan tidak tamat SD, potret buram negeri antaberantah ini. Capaianku ini sebuah anugerah luarbiasa sebagai rakyat jelata, bukan karena simsalabin, bukan keajaiban yang datang dari langit, walau berderai air mata hati mengiringinya. Aku pun jadi teriak kegirangan.

“Yesss!”

Hatiku jadi berbunga-bunga, Yan Utama turut bergembira. Makanya, aku menoleh, memandang Yan Utama, melontarkan senyum. Aku begitu berterima kasih pada Yan Utama ini.

“Selamat ya En! Kita jadi satu sekolah dan aku berharap kita juga sekelas nanti.”

“Terima kasih Yan! Aku pun berharap kita dapat sekelas nanti. Berkat kau, aku jadi tau ternyata diterima. Padahal, aku tadi udah lihat pengumuman ini berulang-kali, namun aku gak lihat namaku.”

“Ya mungkin kau terlalu tegang tadi. Makanya namamu terlewatkan olehmu,” timpal Yan Utama, sambil menarikku keluar dari kerumunan.

“Kau benar, aku gitu nervous tadi. Maklumlah, aku sangat berharap masuk di SMP 9 ini. Hanya ini harapanku. Kalau gagal, entahlah bagaimana nasibku. Mungkin aku akan jadi kuli juga kayak Kakek dan Bapakku,” sambungku dari belakang saat aku bisa melepaskan diri dari berjubelnya kerumunan anak-anak yang lihat pengumuman.

“Sudahlah En, yang penting kau bisa sekolah. Mari kita berjuang, masih panjang jalan yang harus kita lampaui,” ujar Yan Utama, sambil menoleh. Lalu sambungnya mengalihkan pembicaraan dengan memperkenalkan teman-temannya yang telah menanti, “Hoya En, ini kenalkan teman-temanku! Yang ini Julbrito.”

Tentunya, aku dengan gembira langsung menyambut satu persatu salam hangat Julbrito, Arif Budiman dan Ratna Sari. Hari ini aku sungguh beruntung dapat teman baru yang baik dan tulus, tanpa melihat perbedaan atas kasta maupun pakaian yang melekat, seperti  yang diperlihatkan oleh Yan Utama, Julbrito, Arif Budiman maupun Ratna Sari ini. Namun, aku tak tahu di balik wajah ceria dan optimisme yang diperlihatkan teman-teman baruku ini, mungkin bisa saja menyimpan misteri. Tapi yang jelas, aku harus banyak belajar optimis dari mereka.

Lulus test tentu jadi kabar bahagia buat Emakku. Memang Emakkulah, sesosok-orang yang kuat mendorongku untuk dapat mengenyam bangku sekolahan. Emakku berharap aku dapat mengubah garis nasib keturunan. Memang beda dengan Bapakku yang apatis karena kepapahannya. Dia hanya bisa pasrah menerima nasib. Jiwanya telah letih dan kosong karena kekuliannya.

Belum lagi terbayang olehku, apakah kegembiraan yang aku peroleh hari ini hanya sesaat belaka. Bagaimana pula sikap Benhart, kalau dia tahu aku sekolah di sini juga. Mungkin saja, dia tidak senang, anak kuli satu sekolah dengannya, seperti yang diperlihatkannya tadi. Dari cara dia lihat diriku tadi sudah kelihatan rasa tak simpatinya. Membayangkan apa yang akan diperbuat Benhart saja, membuat perutku mules.

Namun apapun yang terjadi, aku harus siap menghadapi batu sandungan apapun, anganku. Masalah resiko kira belakangan saja, yang penting maju terus, pantang mundur. Aku tak boleh berpantang asa, rawe-rawe rantas malang-malang puntung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status