“Huh, tulang miskin bagaimana mau sekolah di sini! Mikirrr…gembel!” teriaknya. Lalu dia berseru pada temannya, “Iya, nggak kawannn?!”
Suara ejekan yang tak enak didengar muncul tepat di belakang daun telingaku. Aku tahu itu suara Benhart yang melintas di belakangku bersama teman-temannya. Aku semakin menunduk dan tak dapat menyangkal ucapan hina Benhart yang menyakitkan itu. Memang sudah tak selayaknya aku bermimpi berada di sekolah ini, kali.
“Iya Ben, kau gak salah lagi. Otak buruh ya tetap otak kuli. Bagaimana mau makan sekolahan?!” timpal Liem Bok terbata-bata, si muka pucat tak mau kalah. Dengan bergaya Liem Bok mengejekku tepat di belakang daun telingaku juga.
Bogeld lihat Benhart dan Liem Bok bersuka-ria melepaskan keisengannya, maka dia tak mau ketinggalan. Dia pun dengan gaya berjingkrak-jingkrak di depanku turut mengejekku, “Memang, mental buruh itu hanya bisa jadi pesuruh, jongos, kuli…kuli…kuli, tauuuk!”
Aaach! Aku hanya bisa menutup kedua daun telingaku rapat-rapat dengan kedua tanganku, menepis hinaan tiada tara ini.
Setelah merasa puas mengerjai diriku, maka Benhart, Liem Bok dan Bogeld lalu berlalu, sambil bercanda-ria dengan rasa penuh kemenangan. Sedangkan aku hanya diam, membisu. Terngiang-ngiang terus di telingaku kata kuli…kuli…kuli itu.
Sementara itu, Yan Utama penasaran dan ingin membuktikan sendiri omongan teman-temannya itu. Dibantu oleh teman-temannya, Yan Utama berusaha masuk menerobos jubelan orang-orang di depan papan pengumuman itu. Tak perlu lama, Yan Utama dan kawan-kawannya sudah berada tepat di depan papan pengumuman. Lalu dengan cermat, dia mengamati deretan nama yang diterima SMP 9 tersebut. Ratna Sari pun dengan sigap menunjukkan namanya yang terpampang di nomor urut 101 dan di kolom rankingnya dinyatakan sebagai peringkat pertama. Yan Utama menyambutnya dengan senyum gembira. Kemudian, Yan Utama secara tak sengaja lihat nama teman barunya ada di urutan nomor urut 100 dan ranking ke - 20.
Tak lama kemudian, Yan Utama buru-buru keluar dari tengah kerumunan dan celingukan ke sana, ke mari cari seseorang. Ratna Sari, Julbrito dan Arif Budiman pun mengikutinya.
“Yan, kau cari siapa?” tanya Ratna Sari heran.
“Iya, Yan,” sambung Arif Budiman.
“Cari teman baruku tadi yang bersamaku,” sahutnya, sambil terus mencari.
“Maksudmu, anak berambut kribo tadi, Yan?” sela Julbrito.
“Iya,” Yan Utama pun mengangguk membenarkan, sambil menggigit jarinya penasaran. “Coba kalian cari dia!”
“Bukankah itu orangnya Yan!” tunjuk Arif Budiman.
Yan Utama pun bergegas menghampiri orang yang ditunjukkan Arif Budiman barusan.
“Hai Enda, mengapa pula kau begitu murung?!” tanya Yan Utama heran. “Seharusnya, kau kan gembira.”
Aku pun mengangkat wajahku, memandang Yan Utama. Kupaksakan untuk tersenyum padanya. Namun, aku tak kuasa memandangnya lama-lama. Sesaat, aku membuang pandang jauh ke halaman sekolah, menerawang.
“Lantas, apa yang terjadi En?” kejar Yan Utama penasaran.
“Aku gak diterima Yan,” ucapku lirih tanpa menoleh, lalu menunduk sedih.
“Siapa yang bilang En? Kau itu lulus. Malah kau masuk ranking 20 tuh,” sergah Yan Utama.
Aku terperangah tak percaya dengar ucapan Yan Utama, hingga aku tak mampu berkata apapun. Buru-buru aku menoleh, menatap wajah Yan Utama, cari jawab kebenaran ucapannya. Kulihat raut wajah Yan Utama bersungguh-sungguh.
“Benar En! Namamu ada di urutan 100, berdampingan dengan namaku,” sambung Yan Utama meyakinkanku, sambil menggoyang bahuku. “Kau mau bukti?! Ayo kita lihat!” ajak Yan Utama bersemangat, sambil menarik lenganku untuk bangkit.
Yeah! Semangatku kembali bangkit. Perasaanku ternyata salah. Aku masih punya peluang. Aku harus dapat menepis perasaan nelangsa yang ternyata membuatku lemah, terpuruk dalam kenestapaan dan mematikan semangatku. Aku harus tetap ingat untuk menggapai mimpi itu harus berproses, tidak ada pengecualian, semua orang pasti bisa. Yang jelas tak mengenal kasta. Tidak ada istilah tulang miskin urat miskin, selama orang mau cari peluang, sekecil apapun peluang itu. Anak buruh pun pasti bisa, bisik hati kecilku. Makanya, ajakan Yan Utama ini memberi semangat juang baru menapaki undakan ngejar mimpiku. Aku pun bergegas kembali menghampiri papan pengumuman.
Mataku benar-benar terbelalak lihat Yan Utama menunjukkan namaku, Enda Kiebo ada pada nomor urut 100 di papan pengumuman itu. Mataku berbinar-binar dibuatnya. Ternyata, tidak sia-sia aku belajar keras selama ini untuk mencapai tahap demi tahap tangga meraih mimpi. Aku sungguh beruntung bisa diterima di SMP 9 ini, anak kuli bisa sekolah. Di luar sana ribuan anak buruh, buruh tani, buruh nelayan, buruh apapun itu namanya tak bersekolah, bahkan tidak tamat SD, potret buram negeri antaberantah ini. Capaianku ini sebuah anugerah luarbiasa sebagai rakyat jelata, bukan karena simsalabin, bukan keajaiban yang datang dari langit, walau berderai air mata hati mengiringinya. Aku pun jadi teriak kegirangan.
“Yesss!”
Hatiku jadi berbunga-bunga, Yan Utama turut bergembira. Makanya, aku menoleh, memandang Yan Utama, melontarkan senyum. Aku begitu berterima kasih pada Yan Utama ini.
“Selamat ya En! Kita jadi satu sekolah dan aku berharap kita juga sekelas nanti.”
“Terima kasih Yan! Aku pun berharap kita dapat sekelas nanti. Berkat kau, aku jadi tau ternyata diterima. Padahal, aku tadi udah lihat pengumuman ini berulang-kali, namun aku gak lihat namaku.”
“Ya mungkin kau terlalu tegang tadi. Makanya namamu terlewatkan olehmu,” timpal Yan Utama, sambil menarikku keluar dari kerumunan.
“Kau benar, aku gitu nervous tadi. Maklumlah, aku sangat berharap masuk di SMP 9 ini. Hanya ini harapanku. Kalau gagal, entahlah bagaimana nasibku. Mungkin aku akan jadi kuli juga kayak Kakek dan Bapakku,” sambungku dari belakang saat aku bisa melepaskan diri dari berjubelnya kerumunan anak-anak yang lihat pengumuman.
“Sudahlah En, yang penting kau bisa sekolah. Mari kita berjuang, masih panjang jalan yang harus kita lampaui,” ujar Yan Utama, sambil menoleh. Lalu sambungnya mengalihkan pembicaraan dengan memperkenalkan teman-temannya yang telah menanti, “Hoya En, ini kenalkan teman-temanku! Yang ini Julbrito.”
Tentunya, aku dengan gembira langsung menyambut satu persatu salam hangat Julbrito, Arif Budiman dan Ratna Sari. Hari ini aku sungguh beruntung dapat teman baru yang baik dan tulus, tanpa melihat perbedaan atas kasta maupun pakaian yang melekat, seperti yang diperlihatkan oleh Yan Utama, Julbrito, Arif Budiman maupun Ratna Sari ini. Namun, aku tak tahu di balik wajah ceria dan optimisme yang diperlihatkan teman-teman baruku ini, mungkin bisa saja menyimpan misteri. Tapi yang jelas, aku harus banyak belajar optimis dari mereka.
Lulus test tentu jadi kabar bahagia buat Emakku. Memang Emakkulah, sesosok-orang yang kuat mendorongku untuk dapat mengenyam bangku sekolahan. Emakku berharap aku dapat mengubah garis nasib keturunan. Memang beda dengan Bapakku yang apatis karena kepapahannya. Dia hanya bisa pasrah menerima nasib. Jiwanya telah letih dan kosong karena kekuliannya.
Belum lagi terbayang olehku, apakah kegembiraan yang aku peroleh hari ini hanya sesaat belaka. Bagaimana pula sikap Benhart, kalau dia tahu aku sekolah di sini juga. Mungkin saja, dia tidak senang, anak kuli satu sekolah dengannya, seperti yang diperlihatkannya tadi. Dari cara dia lihat diriku tadi sudah kelihatan rasa tak simpatinya. Membayangkan apa yang akan diperbuat Benhart saja, membuat perutku mules.
Namun apapun yang terjadi, aku harus siap menghadapi batu sandungan apapun, anganku. Masalah resiko kira belakangan saja, yang penting maju terus, pantang mundur. Aku tak boleh berpantang asa, rawe-rawe rantas malang-malang puntung.
Wow! Pagi itu, senyum cerah menghiasi wajahku, seiring dengan segarnya dedaunan rerumputan yang masih berlapis butiran-butiran embun dan sinar mentari pagi yang cerah. Aku senang sekali! Apalagi ini hari pertamaku sekolah di SMP 9, aku mengenakan setelan seragam putih-putih baru yang khusus dibuatkan Emak untukku. Begitu juga, aku mengenakan sepatu hitam baru, merek “Deli”. Walau terkesan sepatu murahan, tapi tak mengurangi kegembiraanku. Kegembiraan membuatku begitu semangat mengayuh kereta angin tuaku menuju sekolahan. Kegembiraan anak seorang kuli dengan harapan tidak ingin jadi kuli, seperti bapakku maupun kakekku lagi. Kata-kata wasiat Ibu Erika Purnama Panjaitan, guru kelas VI SD-ku masih terngiang-ngiang di telingaku: “Kalau mau jadi orang jangan bermental kuli. Jadilah diri kamu yang memiliki kecerdasan dan berani mengejar mimpi…berani menentang segala rintangan ap
Sementara, aku jadi keki sekali lihat kekonyolan teman-teman baruku ini. Ada-ada saja mereka, membuat wajahku jadi merah-padam. Namun, walau begitu aku harus tetap berusaha untuk tersenyum, mengatasi tekanan olok-olokan teman-teman baruku ini. Walau itu senyum kecut sekalipun. Biarlah, tiada guna aku berbantah-bantahan soal ini, malah bisa saja aku semakin terpojok nantinya. Aku memilih diam. Mungkin ini resep mujarab mengatasi tekanan olokan teman-temanku ini, membiarkan mereka berceloteh, menghamburkan rasa riang-gembira. Tak ada salahnya aku larut dan masuk dalam kekonyolan ini. Toh, tanpa menampilkan tindakan reaktif, malah ada keuntungannya bagiku, yaitu akan mendapatkan jantung teman-temanku, semakin dekat aku dengan teman-teman baruku ini, bisik hati kecilku.“Kasihan amat kau Enda jadi bahan olok-olokan.”Ah! Tapi itu kan hal biasa. Olok-olokan jamak terjadi dalam dinamika kehidupan manusia. Mengapa musti heran?! Mengapa musti harus kebakaran jenggo
Wow! Kelas kami ini ternyata tidak tepatlah kalau dinamakan kelas, tidak layak untuk tempat belajar, namun lebih tepat kalau dinamakan ruang rapat warga di balai pertemuan di kantor Kelurahan Pulo Brayan yang kerap kali diisi oleh riuhnya suara protes maupun kegaduhan warga karena mempertanyakan dan memperebutkan jatah raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dirasa tak adil dalam pembagiannya, bahkan tak tepat sasaran. Atau, protes warga mempertanyakan raibnya uang Bangdes. Memang mirip, coba bayangkan kelas kami yang beratapkan seng, berdinding papan yang disusun bersirip, tanpa jendela, namun berventilasi jaring-jaring kawat si sisi barat, bahkan tanpa plafon ini dijejali penuh sesak oleh siswa, pengap. Jangan bayangkan atau berharap tentang kelas ideal untuk belajar, apalagi kelas internasional yang berpendingin air conditioning alias AC, seperti yang ditemukan kelas-kelas di sekolah Singapura. Bahkan, jangan dibandingkan dengan kelas-kelas yang ada di
Eh! Tiba-tiba Indra Kesuma memecah kesenyapan dengan mengangkat jari telunjuknya, namun wajahnya itu memperlihatkan mimik yang tak sedap dipandang, laksana orang sedang meringis, setengah ketakutan. Dia angkat tangan, sambil melirik kanan-kiri.“Bagus Indra! Ini dia yang ibu mau. Hanya Ksatria yang berani mengatakan kemerdekaannya, seperti kamu ini.”Kami terperangah, dengar ucapan pujian yang luarbiasa maknanya. Semua mata pun langsung menoleh ke pojok kiri kelas, memandang Indra Kesuma. Apalagi, lihat Indra Kesuma langsung tersenyum, bungah banget. Keberaniannya dapat dukungan dari Bu Nursyiah. Kami jadi iri dan penasaran, sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan Indra Kesuma itu, sampai-sampai Bu Nursyiah sebegitunya memuji laksana Ksatria. Atau memang orang yang berani mengatakan pendapatnya itu ibarat Ksatria gagah berani ya?! Lantas, kami yang tak berani membuka suara apa namanya? Ah, entar kami malah dimasukkan golongan orang-orang yang tak punya nyal
Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku
“Wusss…wussss…wusss…!”Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan t
Orang dari Solo itu kini membusungkan dadanya, sambil warawiri di hadapan orang-orang desa yang polos dan lugu itu. Pendek kata, bola mata orang-orang desa itu terus mengikuti ke mana gerak langkah Orang dari Solo itu.“Lihat diriku! Bandingkan dengan kalian! Lihat Kakek tua itu!” Orang dari Solo itu menunjuk lelaki tua tadi. Matanya mencemooh, ”Lihat apa yang dia punya setua itu? Kasihan, kasihan sekali dia itu, lelaki tua miskin lagi. Hidupnya sia-sia.”Orang-orang melirik ke arah lelaki tua itu.“Lihatlah dia, enggak ada bedanya dengan kalian. Sama miskinnya. Tapi, kalian lebih beruntung dari Kakek tua itu. Kalian masih muda, masih punya kesempatan. Mau miskin terus sampai tua, seperti dia? Mikir?!”Orang-orang menundukkan kepala. Sebahagian menelan ludah. Mau tidak mau, mereka memperhatikan apa saja yang melekat di tubuh mereka. Hati mereka terpukul, terpojok. Marto Kapuk muda pun merasakan hal yang sama. Mereka mer
Cerita tanah Deli, negeri gemah ripah loh jinawi tempat tumbuhnya pohon-pohon dari surga dan daunnya dapat berubah jadi uang itu laksana gemuruh lebah bertebaran dibawa angin, langsung menyebar ke seluruh penjuru Desa. Di pojok desa, di warung, di tepian sungai, di sawah, di beranda rumah, di tempat-tempat orang bertemu dan berkumpul, semua memperbincangkan negeri dongeng itu.Sementara itu, Marto Kapuk muda wajahnya begitu sumringah. Dia memacu kereta angin jantannya yang reot itu sekencang-kencangnya di antara hamparan sawah yang kering kerontang akibat kemarau panjang yang sedang melanda desanya. Hatinya membuncah. Dia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Dia ingin tumpahkan hasratnya. Dia ingin merantau ke negeri dongeng…negeri harapan. Dia ingin cerita pada kedua orangtuanya tentang negeri dongeng yang baru dia dengarnya itu. Dia ingin berbagi kegembiraan dan harapan, terutama pada ibunya.Teriknya sinar Matahari tidak dihiraukan oleh Marto Kapuk