Share

4. Penasaran

Lilian meletakkan tas kerjanya begitu saja saat ia sampai ke kediamannya. Rumah mungil yang terlihat sangat nyaman itu ia beli sebulan yang lalu dengan harga yang terjangkau dari seorang wanita tua baik hati tetangga sebelahnya.

Edith. Wanita tua yang memiliki rumah dua cluster tepat di sebelahnya itu memberikan setengah cluster miliknya untuk dijual dan ditempati oleh Lilian.

Lilian yang awalnya ragu dan menolak untuk pindah bahkan tak pernah terpikirkan untuk membeli rumah sendiri itu, akhirnya menyerah karena bujukan Edith. Ia kemudian menyetujui untuk membeli sebagian rumah Edith itu dengan seluruh tabungannya.

Sayang hanya berselang beberapa minggu setelah ia membeli rumah Edith, Edith jatuh sakit hingga akhirnya ia meninggal.

Sudah seminggu semenjak kepergian Edith, Lilian masih merasa kesepian dan enggan pulang ke rumahnya sendiri. Ia merasa takut karena dirinya sadar ia sudah tak memiliki tetangga hangat yang menyenangkan lagi yang biasanya selalu menyambutnya setiap hari dari halaman atau pun balkon samping tamannya.

Edith adalah wanita hangat yang akan menyisihkan waktunya setiap hari untuk Lilian. Saat ia berangkat bekerja mau pun saat pulang, Edith sering membawakan Lilian masakannya. Ia akan mengajak Lilian bercerita atau mengobrol tentang apa pun. Menurut Lilian, Edith adalah wanita tua terhangat yang pernah ditemuinya.

Awal mula pertemuannya dengan Edith sangatlah emosional. Saat itu Lilian sedang berada di sebuah restoran untuk memesan makanan yang akan dibawanya pulang ke apartemennya.

Saat ia berada di dalam barisan antrian, entah disengaja atau tidak seorang pria menabraknya hingga ia terjatuh. Saat pria itu berjongkok kemudian mengulurkan tangannya sembari menatapnya untuk membantunya, Lilian tiba-tiba terkena serangan panik, atau psikiaternya biasanya menyebutnya Panic Attack.

Saat itu Lilian yang tiba-tiba merasa sesak napas, sangat takut dan gemetar tak dapat berbuat apa-apa selain membeku di lantai restoran.

Edith yang kebetulan berada di sana, dengan sigap segera membantunya berdiri dan membawanya keluar restoran untuk meredakan serangan paniknya. Edith membawanya duduk di sebuah bangku taman dan memeluknya dengan hangat sampai air mata dan kecemasannya menghilang.

Edith tak pernah bertanya apa pun padanya. Ia seolah mengerti bahwa memang ada yang salah dengan dirinya. Walau begitu ia tak pernah sekali pun ingin mengorek atau memaksanya untuk bercerita tentang keadaan dirinya.

Saat itulah awal pertemuan dan pertemanannya dengan Edith dimulai, hingga akhirnya ia membeli rumah wanita itu dan tinggal di sebelahnya untuk menjadi tetangganya.

"Aku merindukanmu, Edith," gumam Lilian sambil menatap pilu balkon kosong dan gelap di taman samping rumahnya.

Ia sangat merasakan kehilangan Edith, karena hampir setiap pagi atau malam Edith selalu mengunjunginya melalui pintu penghubung antara rumahnya dan taman samping miliknya. Ia dengan ceria selalu menyemangati Lilian dengan sekadar mengiriminya cake buatannya atau apapun yang bisa ia buat untuk dibagi dengan Lilian.

Kini, tak ada lagi yang akan melakukan itu padanya. Lilian merasa hampa dan kesepian. Ia menangis semalaman saat rumah sakit memberinya kabar tentang kematian Edith.

Sebelum kepergiannya, sekitar seminggu Edith sempat dirawat di rumah sakit karena penyakit kankernya yang telah kronis. Lilian saat itu terlalu takut untuk pergi ke rumah sakit untuk sekadar menengok Edith. Ia bahkan tak sanggup datang ke pemakaman Edith.

Jika ada banyak hal yang ia takuti di dunia ini, beberapanya adalah tempat pemakaman dan rumah sakit. Kedua hal itu membawanya kedalam trauma terburuknya.

Maka dari itu Lilian begitu menyesal tak dapat melihat Edith untuk yang terakhir kalinya. Jika ia tahu Edith akan segera pergi, ia pasti akan meluangkan lebih banyak waktu untuknya.

"Oh, Edith, aku sangat kesepian." ratapnya lagi sambil sedikit terisak.

Lilian menghela napasnya, dan melirik lagi rumah di sebelahnya yang begitu gelap. Sudah lama tak ada lagi cahaya kamar atau balkon indah dengan lampu temaram yang setiap malam Edith nyalakan untuknya, untuk mengurangi rasa cemas Lilian akan kegelapan.

Semenjak ibunya meninggal, Lilian tak pernah sekali pun mematikan lampu kamarnya. Ia tak dapat beristirahat jika keadaan ruangannya terlalu gelap.

Saat ini Lilian yang merasa begitu lelah, terbaring di atas ranjangnya begitu saja tanpa berganti baju. Ia terlalu letih untuk melakukan aktivitas lagi. Ia hanya ingin berbaring dan beristirahat malam ini.

****

Sementara itu ....

Di dalam kondominiumnya Jaden duduk di depan meja kerjanya sembari menatap seberkas surat yang telah ia baca berkali-kali.

Berkas itu adalah secarik surat wasiat yang ia dapatkan dari pengacara neneknya, Edith.

Di dalam berkas surat wasiat tersebut diberitahukan dengan jelas tentang kepemilikan rumah Edith yang tertuju untuk seorang wanita dengan nama asing yang ia tahu betul siapa pemiliknya. Lilian Audrey Gray.

Seorang wanita asing yang entah dari mana asalnya, tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan Edith dan entah bagaimana juga ia berhasil membujuk Edith agar mencantumkan namanya menjadi salah satu ahli waris Edith di dalam surat wasiat tersebut sebelum kematiannya, membuat Jaden sangat curiga.

Sudah sejak seminggu ini ia bertanya-tanya, bagaimana bisa Edith begitu saja memberikan rumahnya pada wanita itu?

Hari ini bukanlah hari pertamanya ia melihat Lilian. Setelah kematian Edith, ia sengaja mencari informasi dari pengacaranya tentang wanita yang disebutkan dalam surat wasiat tersebut.

Berbekal informasi itu, ia berhasil memata-matai Lilian yang ternyata adalah salah satu karyawan Starry. Dan informasi itu membawanya pada acara pernikahan putra Greg kemarin.

Selama acara berlangsung kemarin, tanpa Lilian sadari, Jaden telah mengikutinya seharian. Bagaimana gerak-geriknya, hingga bagaimana ia bersikap, Jaden dapat menyimpulkan bahwa Lilian adalah wanita yang aneh dan misterius. Ia bahkan tak tahu apa sebutan tepatnya.

Hari ini setelah ia melihat Lilian dengan mata kepalanya sendiri dari dekat, Jaden semakin yakin, bahwa ada sesuatu tentang wanita itu yang sangat mencurigakan. Dan itu semakin membuatnya kesal. Berlipat-lipat lebih kesal dari sebelumnya!

Bagaimana Edith bisa mencantumkan nama wanita itu ke dalam daftar surat wasiatnya? Sedangkan seingatnya wanita itu tak pernah tampak di sekitaran Edith. Di rumah sakit, mau pun pada saat pemakamannya.

Selain masalah surat wasiat itu, Jaden semakin kesal lagi saat ia kembali teringat raut wajah Lilian. Saat ia mendapati mata itu, tatapan mata yang mengingatkannya pada ibunya itu semakin membuat kekesalannya bertubi-tubi.

Apa mungkin Lilian memperdaya Edith dengan cara itu? Ditambah saat Jaden mulai mengerjainya, reaksi wanita itu tak seperti yang ia bayangkan.

Ia masih tak yakin dengan kepribadian Lilian yang sebenarnya. Ia wanita baik yang secara kebetulan bertemu dengan Edith, atau sekadar penipu saja, yang pasti mulai sekarang ia memutuskan akan selalu berada di dekat wanita itu agar dapat mengamatinya dengan lebih leluasa. Setelah semua jelas, ia baru akan memutuskan akan melakukan apa dengannya.

Jaden membuka laci mejanya dan mengeluarkam sesuatu dari dalamnya. Kali ini ia mengamati benda yang ada di tangannya dengan raut penasaran. Dua buah benda serupa. Gelang kulit kecil berbandul kristal. Dan itu ia pungut saat berada di pesta pernikahan kemarin.

Sepasang gelang kulit dari mempelai wanita yang kemarin Lilian lempar di tengah-tengah hamparan bunga itu, membuatnya curiga dan penasaran. Jaden kemudian memungut dan menyimpan baik-baik benda tersebut di dalam lacinya.

Ia berpikir mungkin suatu saat benda itu akan berguna untuk memojokkan Lilian. Dilihat dari gerak-geriknya, Lilian sangat tidak suka dengan benda pemberian itu sehingga ia melemparnya begitu saja.

Sepasang gelang berbandul kristal itu kembali bercahaya dalam genggaman Jaden, sama seperti saat Jaden memungutnya di taman berbunga kemarin. Ia bahkan sekarang dapat dengan jelas melihat bandul itu bersinar dalam ruangannya.

____*****____

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status