Lilian meletakkan tas kerjanya begitu saja saat ia sampai ke kediamannya. Rumah mungil yang terlihat sangat nyaman itu ia beli sebulan yang lalu dengan harga yang terjangkau dari seorang wanita tua baik hati tetangga sebelahnya.
Edith. Wanita tua yang memiliki rumah dua cluster tepat di sebelahnya itu memberikan setengah cluster miliknya untuk dijual dan ditempati oleh Lilian.
Lilian yang awalnya ragu dan menolak untuk pindah bahkan tak pernah terpikirkan untuk membeli rumah sendiri itu, akhirnya menyerah karena bujukan Edith. Ia kemudian menyetujui untuk membeli sebagian rumah Edith itu dengan seluruh tabungannya.
Sayang hanya berselang beberapa minggu setelah ia membeli rumah Edith, Edith jatuh sakit hingga akhirnya ia meninggal.
Sudah seminggu semenjak kepergian Edith, Lilian masih merasa kesepian dan enggan pulang ke rumahnya sendiri. Ia merasa takut karena dirinya sadar ia sudah tak memiliki tetangga hangat yang menyenangkan lagi yang biasanya selalu menyambutnya setiap hari dari halaman atau pun balkon samping tamannya.
Edith adalah wanita hangat yang akan menyisihkan waktunya setiap hari untuk Lilian. Saat ia berangkat bekerja mau pun saat pulang, Edith sering membawakan Lilian masakannya. Ia akan mengajak Lilian bercerita atau mengobrol tentang apa pun. Menurut Lilian, Edith adalah wanita tua terhangat yang pernah ditemuinya.
Awal mula pertemuannya dengan Edith sangatlah emosional. Saat itu Lilian sedang berada di sebuah restoran untuk memesan makanan yang akan dibawanya pulang ke apartemennya.
Saat ia berada di dalam barisan antrian, entah disengaja atau tidak seorang pria menabraknya hingga ia terjatuh. Saat pria itu berjongkok kemudian mengulurkan tangannya sembari menatapnya untuk membantunya, Lilian tiba-tiba terkena serangan panik, atau psikiaternya biasanya menyebutnya Panic Attack.
Saat itu Lilian yang tiba-tiba merasa sesak napas, sangat takut dan gemetar tak dapat berbuat apa-apa selain membeku di lantai restoran.
Edith yang kebetulan berada di sana, dengan sigap segera membantunya berdiri dan membawanya keluar restoran untuk meredakan serangan paniknya. Edith membawanya duduk di sebuah bangku taman dan memeluknya dengan hangat sampai air mata dan kecemasannya menghilang.
Edith tak pernah bertanya apa pun padanya. Ia seolah mengerti bahwa memang ada yang salah dengan dirinya. Walau begitu ia tak pernah sekali pun ingin mengorek atau memaksanya untuk bercerita tentang keadaan dirinya.
Saat itulah awal pertemuan dan pertemanannya dengan Edith dimulai, hingga akhirnya ia membeli rumah wanita itu dan tinggal di sebelahnya untuk menjadi tetangganya.
"Aku merindukanmu, Edith," gumam Lilian sambil menatap pilu balkon kosong dan gelap di taman samping rumahnya.
Ia sangat merasakan kehilangan Edith, karena hampir setiap pagi atau malam Edith selalu mengunjunginya melalui pintu penghubung antara rumahnya dan taman samping miliknya. Ia dengan ceria selalu menyemangati Lilian dengan sekadar mengiriminya cake buatannya atau apapun yang bisa ia buat untuk dibagi dengan Lilian.
Kini, tak ada lagi yang akan melakukan itu padanya. Lilian merasa hampa dan kesepian. Ia menangis semalaman saat rumah sakit memberinya kabar tentang kematian Edith.
Sebelum kepergiannya, sekitar seminggu Edith sempat dirawat di rumah sakit karena penyakit kankernya yang telah kronis. Lilian saat itu terlalu takut untuk pergi ke rumah sakit untuk sekadar menengok Edith. Ia bahkan tak sanggup datang ke pemakaman Edith.
Jika ada banyak hal yang ia takuti di dunia ini, beberapanya adalah tempat pemakaman dan rumah sakit. Kedua hal itu membawanya kedalam trauma terburuknya.
Maka dari itu Lilian begitu menyesal tak dapat melihat Edith untuk yang terakhir kalinya. Jika ia tahu Edith akan segera pergi, ia pasti akan meluangkan lebih banyak waktu untuknya.
"Oh, Edith, aku sangat kesepian." ratapnya lagi sambil sedikit terisak.
Lilian menghela napasnya, dan melirik lagi rumah di sebelahnya yang begitu gelap. Sudah lama tak ada lagi cahaya kamar atau balkon indah dengan lampu temaram yang setiap malam Edith nyalakan untuknya, untuk mengurangi rasa cemas Lilian akan kegelapan.
Semenjak ibunya meninggal, Lilian tak pernah sekali pun mematikan lampu kamarnya. Ia tak dapat beristirahat jika keadaan ruangannya terlalu gelap.
Saat ini Lilian yang merasa begitu lelah, terbaring di atas ranjangnya begitu saja tanpa berganti baju. Ia terlalu letih untuk melakukan aktivitas lagi. Ia hanya ingin berbaring dan beristirahat malam ini.
****Sementara itu ....
Di dalam kondominiumnya Jaden duduk di depan meja kerjanya sembari menatap seberkas surat yang telah ia baca berkali-kali.
Berkas itu adalah secarik surat wasiat yang ia dapatkan dari pengacara neneknya, Edith.
Di dalam berkas surat wasiat tersebut diberitahukan dengan jelas tentang kepemilikan rumah Edith yang tertuju untuk seorang wanita dengan nama asing yang ia tahu betul siapa pemiliknya. Lilian Audrey Gray.
Seorang wanita asing yang entah dari mana asalnya, tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan Edith dan entah bagaimana juga ia berhasil membujuk Edith agar mencantumkan namanya menjadi salah satu ahli waris Edith di dalam surat wasiat tersebut sebelum kematiannya, membuat Jaden sangat curiga.
Sudah sejak seminggu ini ia bertanya-tanya, bagaimana bisa Edith begitu saja memberikan rumahnya pada wanita itu?
Hari ini bukanlah hari pertamanya ia melihat Lilian. Setelah kematian Edith, ia sengaja mencari informasi dari pengacaranya tentang wanita yang disebutkan dalam surat wasiat tersebut.
Berbekal informasi itu, ia berhasil memata-matai Lilian yang ternyata adalah salah satu karyawan Starry. Dan informasi itu membawanya pada acara pernikahan putra Greg kemarin.
Selama acara berlangsung kemarin, tanpa Lilian sadari, Jaden telah mengikutinya seharian. Bagaimana gerak-geriknya, hingga bagaimana ia bersikap, Jaden dapat menyimpulkan bahwa Lilian adalah wanita yang aneh dan misterius. Ia bahkan tak tahu apa sebutan tepatnya.
Hari ini setelah ia melihat Lilian dengan mata kepalanya sendiri dari dekat, Jaden semakin yakin, bahwa ada sesuatu tentang wanita itu yang sangat mencurigakan. Dan itu semakin membuatnya kesal. Berlipat-lipat lebih kesal dari sebelumnya!
Bagaimana Edith bisa mencantumkan nama wanita itu ke dalam daftar surat wasiatnya? Sedangkan seingatnya wanita itu tak pernah tampak di sekitaran Edith. Di rumah sakit, mau pun pada saat pemakamannya.
Selain masalah surat wasiat itu, Jaden semakin kesal lagi saat ia kembali teringat raut wajah Lilian. Saat ia mendapati mata itu, tatapan mata yang mengingatkannya pada ibunya itu semakin membuat kekesalannya bertubi-tubi.
Apa mungkin Lilian memperdaya Edith dengan cara itu? Ditambah saat Jaden mulai mengerjainya, reaksi wanita itu tak seperti yang ia bayangkan.
Ia masih tak yakin dengan kepribadian Lilian yang sebenarnya. Ia wanita baik yang secara kebetulan bertemu dengan Edith, atau sekadar penipu saja, yang pasti mulai sekarang ia memutuskan akan selalu berada di dekat wanita itu agar dapat mengamatinya dengan lebih leluasa. Setelah semua jelas, ia baru akan memutuskan akan melakukan apa dengannya.
Jaden membuka laci mejanya dan mengeluarkam sesuatu dari dalamnya. Kali ini ia mengamati benda yang ada di tangannya dengan raut penasaran. Dua buah benda serupa. Gelang kulit kecil berbandul kristal. Dan itu ia pungut saat berada di pesta pernikahan kemarin.
Sepasang gelang kulit dari mempelai wanita yang kemarin Lilian lempar di tengah-tengah hamparan bunga itu, membuatnya curiga dan penasaran. Jaden kemudian memungut dan menyimpan baik-baik benda tersebut di dalam lacinya.
Ia berpikir mungkin suatu saat benda itu akan berguna untuk memojokkan Lilian. Dilihat dari gerak-geriknya, Lilian sangat tidak suka dengan benda pemberian itu sehingga ia melemparnya begitu saja.
Sepasang gelang berbandul kristal itu kembali bercahaya dalam genggaman Jaden, sama seperti saat Jaden memungutnya di taman berbunga kemarin. Ia bahkan sekarang dapat dengan jelas melihat bandul itu bersinar dalam ruangannya.
____*****____"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian