Share

5. Menakutkan

"Lilian, ajukan semua jadwalku hari ini dan tolong bawakan semua berkas yang harus aku tanda tangani."

Pagi itu, Lilian mendapat perintah dari Greg saat ia masuk ke dalam ruangannya.

"Aku akan mempersiapkan proyek terbaruku, mungkin tidak semua jadwal dapat aku tangani sendiri. Oleh karena itu, kau bisa membantuku dengan beberapa urusan kontrak dan jadwal meeting bukan?" Greg menutup laptopnya, memandang Lilian dengan tatapan penuh harap.

"Maaf, Tuan. A ... apa? Maksud saya, saya sendiri tidak yakin apa dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan Anda, Tuan. Bagaimana mungkin Anda menyerahkan begitu saja semuanya pada saya?" tanya Lilian tidak yakin.

"Kau bisa Lilian. Kau sudah bekerja denganku bertahun-tahun, hanya kau yang mengerti sistem dan cara kerjaku. Jadi percaya dirilah, oke?"

"Tapi, Tuan ..."

"Tak ada alasan lagi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Jika ada sesuatu yang tak bisa kau putuskan sendiri, kau tahu kau dapat menghubungiku bukan?"

Lilian menunduk, ia mulai menarik diri setiap kali Greg memberinya perhatian atau kepercayaan khusus.

"Seperti yang kau tahu, dalam beberapa bulan ini aku akan disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang mengharuskanku terbang ke beberapa negara. Selama aku melakukan perjalanan bisnis, aku harap kau dapat memenuhi tanggung jawab di dalam perusahaan."

"Anda tak salah, Tuan? Saya bisa membantu Anda apa pun, Anda tahu itu. Tetapi, mengambil tanggung jawab menggantikan Anda selama Anda dalam perjalanan bisnis, itu agak terlalu ..."

"Lilian ... kau harusnya sudah menerima tanggung jawab itu jauh sebelum ini. Aku sudah semakin tua, aku pastikan perusahaan tak akan runtuh begitu saja selama kau yang mengurus. Percaya dirilah."

Greg tersenyum menenangkan. Ia tahu Lilian saat ini sedang panik dan tak percaya diri. Walau begitu, Greg yakin bahwa Lilian akan dapat mengatasi itu.

"Jangan khawatirkan apa pun, oke? Lagipula, aku akan selalu ada di belakangmu. Ada Devon dan yang lainnya yang siap membantumu juga. Kau lebih dari cukup. Kau sangat mampu dan cakap untuk sekadar menjalankan tanggung jawab yang lebih besar dari ini."

Lilian sedikit mengerutkan alisnya dan merasa kikuk. Jelas kepercayaan yang Greg berikan padanya terlalu besar untuk ia tanggung.

"Oh, please. Tenanglah, Lilian. Bahkan, untuk beberapa hal kemampuanmu jauh lebih baik dibandingkan dengan Devon si keras kepala itu! Haha!" Greg terbahak dengan pernyataannya sendiri. Ia selalu menguatkan Lilian dengan sesekali membandingkan dirinya dengan Devon, putranya sendiri.

"Tapi, Tuan..."

"Sudah, tak ada perdebatan lagi." Greg menggeleng tegas.

"Siapkan proposal untuk pertemuanku selanjutnya. Aku akan menghadiri meeting dengan Silvia. Dan tanyakan Kevin tentang perkembangan proyek yang terakhir Devon kerjakan sebelum ia pergi berbulan madu."

"Baik, Tuan." Lilian mengangguk formal dan segera undur diri.

Lilian sudah hendak keluar dari ruangan Greg, ketika Greg kembali memanggilnya lagi, "Lilian ..."

Lilian kembali berbalik, dan menghentikan langkahnya.

"Terima kasih." Greg tersenyum bijak dan tulus padanya.

Lilian hanya mengangguk dengan canggung sebelum akhirnya ia keluar.

Sesampainya di meja kerjanya, Lilian segera menyiapkan berkas yang Greg minta. Kemudian ia menelepon meja Silvia dan meminta gadis itu untuk datang ke mejanya sendiri.

"Silvia, ini berkas yang Tuan Greg perlukan untuk pertemuan selanjutnya. Seperti yang kau tahu beberapa jadwal pertemuannya hari ini telah ia majukan." Lilian menyodorkan tumpukan berkas ke arah Silvia.

"Kau hanya tinggal memasukkan berkas kontrak untuk proposal ini. Dan Silvia, Tuan Greg telah menunggumu. Jika ada sesuatu yang kurang jelas, segera hubungi aku."

"Baiklah, aku akan memeriksa jadwalnya dan menyiapkan proposalnya masing-masing. Aku akan bersiap sebentar lagi."

"Teleponlah Daren, suruh ia menyiapkan mobil. Satu lagi Silvia, ada kemungkinan Tuan Greg akan membawamu dalam perjalanan bisnisnya kali ini. Jika itu terjadi, maka bersiaplah, oke?" ucap Lilian lagi.

"A ... apa?!" Silvia terbelalak karena terkejut.

"Tapi, apa aku mampu? Maksudku, aku belum pernah mendampingi Tuan Greg hingga ke luar negeri. Bukankah biasanya ia akan membawamu, Lilian?" Silvia sedikit panik dengan pemberitahuan Lilian yang begitu tiba-tiba.

"Jangan khawatir, itu hanya kemungkinan saja. Lagipula kali ini perjalanan bisnis Tuang Greg begitu panjang. Dan seandainya jika ia memintamu, kau hanya perlu menyiapkan kebutuhannya seperti biasa," jawab Lilian tenang.

"Lilian, aku belum siap! Oh, jika memang itu terjadi bisakah kau meyakinkan Tuan Greg agar ia tak membawaku, please?" Silvia kembali merajuk, ia memasang tampang memelas.

Lilian menghela napasnya perlahan. "Silvia, kau tahu benar bahwa suatu saat kau pun akan mendampingi perjalanan bisnis atasanmu saat kau diterima bekerja di sini bukan? Tak perlu takut, bersikaplah profesional seperti biasanya."

"Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Silvia menekuk bibirnya, tanda ia belum sepenuhnya yakin.

Silvia akhirnya kembali lagi ke mejanya sendiri setelah selesai menyiapkan semua keperluan meeting Greg. Tak beberapa lama kemudian, ia dan Tuan Greg beserta Daren, supir pribadi Greg berangkat ke tempat pertemuan mereka.

Lilian kembali berkutat dengan pekerjaannya. Seperti biasanya, saat jam makan siang kantor berlangsung, ia hanya mengambil beberapa buah-buahan dan jus segar dari pantri. Ia akan menghabiskannya dengan sandwich sederhana yang telah ia persiapkan dari rumah sebelumnya.

Lilian sedang menggigit sandwich dan menikmati istirahat makan siangnya disela-sela pekerjaannya yang menumpuk, ketika kemudian ketukan halus terdengar dari pintunya. 

"Silakan masuk," sahutnya masih sibuk dengan berkas yang sedang diperiksanya, sedangkan salah satu tangan yang lainnya masih memegang sandwichnya.

"Selamat siang, Nona Lilian."

Suara yang familiar membuatnya tersentak seketika. Karena terkejut, Lilian terbatuk akibat tersedak saat mengunyah sisa makanannya. Ia kemudian meneguk jus di atas mejanya untuk meredakan batuknya.

Dia lagi... batin Lilian tersiksa.

Ia menatap wajah pria yang tersenyum cerah di depan pintu ruangannya. Walau terkejut, Lilian masih dapat menguasai raut wajahnya dan memasang wajah datar seperti biasanya.

"Tuan Jaden, ada yang bisa saya bantu?" 

Lilian meletakkan sandwich dan berkas yang sedang diperiksanya, kemudian bangkit dari kursinya untuk menyambut Jaden.

"Hanya, sedikit hal kecil saja. Apakah Tuan Greg sedang ada di ruangannya?"

"Maaf, jika Anda memberitahu kami sebelumnya, mungkin saya bisa mengatur jadwal pertemuan dengan Tuan Greg. Ia sedang ada pertemuan di luar saat ini."

"Ah ... begitu? Sayang sekali, aku harus membuat janji rupanya ya. Sebenarnya aku hanya ingin membahas hal lain dengan Tuan Greg, dan itu tak ada hubungannya dengan kontrak kemarin"

"Jika Anda ingin meninggalkan pesan, saya akan menelepon dan menyampaikan pada Tuan Greg segera." Lilian membalas dengan formal.

"Aku sudah meneleponnya kemarin, aku bermaksud untuk menyewa seluruh lantai 5 untuk kujadikan restoran terbaruku"

"Menyewa? Bukankah lantai tersebut sedang dalam penawaran oleh perusahaan travel agent, mungkin Anda belum mendengar itu. Dan Tuan Greg juga belum berpesan apa pun kepada saya."

Jaden tersenyum, ia menggeleng seolah mengasihani Lilian.

"Kau yang belum mendengar tentang itu rupanya Nona Lilian, lantai itu sudah menjadi milikku. Kesepakatan dengan perusahaan travel agent sebelumnya telah batal. Dan ia hanya menyewakan satu-satunya lantai itu khusus untukku."

"Benarkah?" raut terkejut sedikit menghiasi wajah Lilian.

Tak ragu lagi, kemudian Lilian segera menghubungi ponsel Greg. Hanya perlu menunggu sejenak, teleponnya kemudian tersambung.

"Selamat siang Tuan, saya hanya ingin menanyakan tentang kesepakatan sewa menyewa lantai 5 milik kita, karena Tuan Jaden berada di sini sedang mempertanyakan kelanjutan perjanjian sewa tersebut," jeda sebentar dari Lilian. Kemudian ia menjawab lagi.

"Baik Tuan, baik akan saya persiapkan semuanya. Jangan khawatir, semoga perjalanan Anda lancar." Lilian meletakkan ponselnya di atas mejanya setelah mengakhiri panggilannya.

"Maafkan saya Tuan Jaden, saya belum menerima informasi tentang kesepakatan Anda sebelumnya. Memang sebelumnya lantai kosong satu-satunya itu akan Tuan Greg sewakan kepada salah satu rekannya. Mungkin Tuan Greg hanya belum sempat memberitahu saya."

Jaden mengangguk-angguk. "Kau baru saja menelepon ponsel Tuan Greg?" tanyanya ingin tahu.

"Iya benar, Tuan Greg telah menyerahkan semua tanggung jawab ini pada saya, jika Anda ingin bernegosiasi mengenai harga atau apa pun, Anda dapat langsung menghubungi saya."

"Baiklah, berikan nomor ponselmu," pintanya kemudian. Lilian sedikit terkejut dengan permintaan Jaden.

"Nomor ponselmu, aku membutuhkannya, cepat berikan." ulang Jaden sedikit tidak sabar. Lilian terlihat sedikit ragu.

"Apa aku harus langsung menelepon Tuan Greg untuk hal-hal kecil yang berkaitan dengan kontrak ini?"

"Jangan, maksudku, Tuan Greg mungkin sedang sibuk sekarang. Ia akan melakukan perjalanan bisnis untuk sementara waktu, dan semua urusan perusahaan telah ia percayakan kepada saya untuk sementara ini. Anda boleh menghubungi saya kapan pun anda butuh." Lilian mengulurkan sebuah kartu nama miliknya pada Jaden.

Jaden mengangguk-angguk, menerima kartu nama Lilian.

"Silakan duduk Tuan, mari melanjutkan pembicaraan kita." 

Jaden dan Lilian mengambil tempat duduk yang saling berhadapan. Jaden mengamati Lilian sejenak, sebelum ia akhirnya mengeluarkan ponselnya sendiri dan mulai memasukkan nomor sesuai kartu nama yang Lilian berikan.

Beberapa saat kemudian, ponsel Lilian yang berada di dalam sakunya bergetar dan mengeluarkan nada dering yang halus.

"Itu nomorku." ucap Jaden singkat.

"Baik, saya akan menyimpan nomor Tuan," Lilian mengetik nama Jaden pada ponselnya sendiri. 

"Kau tak memberikan nomor pribadimu bukan?" tanya Jaden kemudian. Lilian menatap Jaden penuh tanya.

"Apakah itu ponsel pribadimu? Siapa saja yang kau masukkan dalam daftar ponsel itu?" Jaden mengedikkan dagunya, menyorot ponsel Lilian lainnya yang masih tergeletak di atas meja kerjanya. Lilian sedikit mengerjap.

"Kau tak memberiku nomor pribadimu rupanya. Bisakah aku mendapat nomor pribadimu juga?" desaknya.

"I ... ini juga merupakan nomor saya Tuan. Anda bisa menghubungi saya di nomor ini. Ini tak ada bedanya, saya akan menerima panggilan Anda di nomor mana pun," jelas Lilian.

Jaden tersenyum sinis, ia menatap Lilian dengan tajam, lalu berkata, "Bagaimana caramu agar bisa memperdaya para orang tua? Kau rupanya sangat hebat dalam mengambil hati para lansia."

Lilian mengernyit, ia sedikit tersentak dengan pertanyaan Jaden. "Apa maksud Tuan?"

Kali ini mimiknya berubah terkejut. Lilian balas menatap Jaden yang sedang memicingkan matanya dengan tajam untuk menatapnya.

"Bukankah kau tahu betul apa maksudku?" Jaden kembali tersenyum sinis. Senyuman dingin yang begitu menusuk yang seolah dapat membuat siapa pun merasa tersudut.

Lilian menahan napasnya, jantungnya seolah berhenti berdetak. Pria yang ada di hadapannya sekarang tampak begitu menakutkan. Ia menatap Lilian dengan aura dingin yang dapat membekukannya di tempat seketika.

Lilian bergidik, matanya sedikit bergetar. Ya, ia saat ini sedang merasa terintimidasi oleh sosok di hadapannya itu. Lilian seolah sedang terhisap oleh sorot mata kehijaun milik Jaden yang terlihat begitu tajam dan tegas saat ini.

Kemudian, ketukan halus pintu ruangannya menyelematkannya dari kebekuan yang Jaden ciptakan. Lilian seolah dapat kembali bernapas dan kembali ke kenyataan. Ia menghembuskan napas perlahan.

"Silakan masuk," Lilian berusaha dengan susah payah hanya untuk mengucapkan beberapa kata itu.

Kevin, sekretaris Devon putra Tuan Greg masuk ke dalam ruangannya.

"Lilian, aku kemari setelah menerima pesanmu," Kevin, pria jangkung itu menghambur masuk tanpa mengetahui di dalam ruangan Lilian sedang ada tamu.

"Ya ... Kevin, masuklah"

"Ah maaf, apa aku sedang mengganggu?" Kevin sedikit canggung setelah menyadari keberadaan Jaden.

"Tak perlu sungkan, aku sudah selesai. Cukup sekian untuk hari ini Nona Lilian, aku akan menghubungimu untuk kelanjutannya. Kau dapat mengirim kontrak tersebut ke emailku."

Jaden tersenyum cerah, secerah mentari! Ia bahkan tak menampakkan wajah menakutkan seperti sebelumnya. Sungguh, itu membuat Lilian bergidik ngeri. Bagaimana bisa pria itu berubah sekejap dalam waktu singkat?

"Baik, Tuan Jaden" Suara Lilian sedikit bergetar. Ia menatap Jaden yang telah berubah seketika dan tersenyum ramah padanya. Lilian lagi-lagi bergidik. Keringat dingin seolah tak berhenti mengalir dari belakang tengkuknya. Apa ia memiliki kepribadian ganda? Batinnya bertanya-tanya.

Kevin mendekati Lilian dan refleks menangkap kedua bahunya saat dilihatnya wanita itu sedikit limbung dan hampir terjatuh.

"Kau tak apa-apa, Lilian? Kau tampak pucat. Apa kau sakit?" Kevin membantu Lilian untuk kembali duduk di atas sofa.

Jaden sedikit menoleh dan melirik tajam Lilian yang sedang ditopang kedua bahunya oleh Kevin. Ia kembali tersenyum sinis seolah mencibir. Dan dengan raut menyeramkan, akhirnya ia melangkah keluar.

_____*****______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status