LOGINDi sebuah desa yang tenang namun menyimpan banyak rahasia, berdirilah sebuah warung makan sederhana bernama Warung Bu Rini. Tak ada yang istimewa dari tempat itu—kecuali satu hal: warung itu tak pernah sepi pembeli, bahkan di hari-hari paling sunyi sekalipun. Orang-orang hanya bisa menebak-nebak, hingga suatu malam, seorang gadis muda bernama Diah datang bekerja di sana. Sejak hari pertamanya, ia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres. Bau anyir menyengat muncul setiap kali Bu Rini menutup warung. Dari dapur belakang, ia sering mendengar suara bisikan yang memanggil namanya dengan lembut… lalu berubah menjadi tawa mengerikan. Sampai akhirnya Diah menemukan selembar kain lusuh di dalam toples kaca yang disembunyikan di bawah meja altar kecil. Kain itu basah oleh darah yang tak kering, dan setiap kali disentuh, tubuh Diah gemetar ketakutan. Sejak malam itu, mimpi-mimpi buruk mulai datang. Bayangan perempuan berambut panjang dengan kain merah menutupi wajahnya selalu mengikuti ke mana pun Diah pergi. Dan satu demi satu, orang di sekitar warung mulai mati dengan cara yang mengerikan. Apakah benar warung itu mendapat keberkahan dari “penglaris”? Atau sebenarnya, ada perjanjian lama yang menuntut darah sebagai bayaran? “Kain Penglaris” adalah kisah tentang keserakahan, kutukan, dan dosa yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain—karena tidak ada rezeki yang datang tanpa harga.
View MoreUdara sore itu terasa lembab. Awan hitam menggantung rendah di langit desa Sumberjati, seolah menandakan hujan akan turun sebentar lagi. Diah menurunkan tas lusuhnya dari pundak dan menghela napas panjang. Kakinya pegal setelah menempuh perjalanan hampir satu jam dari rumah menuju warung yang baru saja menerima dirinya bekerja.
Warung itu tampak sederhana dari luar. Dindingnya dari papan kayu yang sudah mulai kusam, tapi cat merah di bagian depannya mencolok. Di atas pintu, terpampang papan nama besar bertuliskan “Warung Bu Rini — Makan Kenyang, Harga Murah.” Namun, hal yang membuat Diah heran adalah antrean orang di depan warung itu. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul empat sore. Sementara warung-warung lain di sepanjang jalan masih sepi, warung ini penuh sesak. Bau masakan yang tajam dan gurih menguar, memancing air liur siapa pun yang lewat. “Diah, kamu datang juga.” Sebuah suara parau memecah lamunannya. Seorang perempuan setengah baya muncul dari balik pintu dapur, mengenakan daster bunga-bunga dan celemek berminyak. Wajahnya tampak ramah, tapi matanya—entah kenapa—membuat dada Diah terasa berat. “Iya, Bu Rini,” jawab Diah sambil tersenyum canggung. “Maaf ya, agak telat sedikit. Habis hujan di jalan.” Bu Rini hanya mengangguk, bibirnya menyungging senyum kecil yang nyaris tidak bergerak. “Tidak apa. Mulai sekarang kamu bantu di bagian dapur dulu, ya. Banyak pesanan hari ini. Warung sedang ramai sekali.” Diah mengangguk dan segera melangkah ke dalam. Begitu melewati ambang pintu, hawa di dalam warung berubah. Hangat, tapi pengap. Aroma bumbu masakan bercampur dengan sesuatu yang aneh—bau logam yang samar, seperti karat... atau darah. Ia berusaha menepis pikiran itu. Di meja panjang, beberapa piring berisi sambal, ayam goreng, dan sayur lodeh tersusun rapi. Di sudut ruangan, seorang laki-laki muda duduk menunduk, mencincang daging dengan gerakan cepat. “Diah, ini Bayu. Anak saya,” kata Bu Rini tanpa menoleh. “Kamu bantu dia potongin bahan.” Diah menatap sekilas pemuda itu. Wajahnya pucat, mata hitamnya sayu, tapi gerakannya cekatan. Ia hanya mengangguk tanpa berkata sepatah pun. Diah merasa suasana di dapur ini terlalu hening untuk ukuran tempat seramai itu. Beberapa menit kemudian, seorang pelanggan datang menagih pesanan. Diah sempat melirik ke luar. Meski hujan turun deras, orang-orang tetap datang. Bahkan, ada yang rela berdiri di bawah payung, menunggu giliran makan di warung Bu Rini. “Aneh ya, Bu. Padahal warung lain sepi kalau hujan begini,” gumam Diah pelan. Bu Rini tersenyum tipis. “Kalau rezeki sudah diatur, tidak akan ke mana, Nak.” Nada suaranya terdengar lembut, tapi ada sesuatu di balik kalimat itu yang membuat bulu kuduk Diah meremang. Menjelang magrib, pelanggan semakin banyak. Diah sibuk mengantar pesanan, mencuci piring, dan menyiapkan bahan. Saat ia mengambil ayam dari dapur belakang, matanya tertuju pada sesuatu. Di ujung ruangan, di antara tumpukan karung beras, tampak sebuah meja kecil dengan kain hitam menutupi permukaannya. Di atas meja itu ada piring berisi bunga melati layu dan segelas air. “Buat apa itu, Bu?” tanya Diah iseng. Bu Rini langsung menoleh cepat. Wajahnya menegang sepersekian detik, sebelum kembali tenang. “Oh, itu… hanya sesajen kecil. Biar usaha lancar.” Nada suaranya datar, tapi Diah bisa merasakan Bu Rini tidak ingin pertanyaan itu dilanjutkan. Malam pun datang. Warung baru benar-benar sepi lewat tengah malam. Diah membantu Bayu membersihkan meja-meja dan menyapu lantai. Ketika ia mengangkat salah satu kursi, ia melihat noda merah kecoklatan di bawah meja. “Bayu, ini apa?” tanyanya. Bayu menoleh sekilas. “Saus tomat,” jawabnya singkat, lalu kembali menyapu. Tapi Diah tahu, itu bukan saus tomat. Warnanya terlalu gelap, dan ketika ia mendekat, bau logam itu kembali menyeruak ke hidungnya. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Setelah semua beres, Diah menuju kamar kecil yang disediakan Bu Rini di belakang warung. Ruangan itu sempit dan hanya berisi kasur tipis serta jendela kecil yang menghadap ke kebun belakang. Saat ia rebahan, suara hujan di atap terdengar menenangkan—sampai sebuah suara lain muncul di sela-sela gemericiknya. “Diah…” Gadis itu sontak membuka mata. Ia duduk tegak, menatap sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Tapi suara itu jelas terdengar—suara perempuan, lembut tapi dingin. “Bu Rini?” panggilnya pelan. Tidak ada jawaban. Diah berusaha memejamkan mata lagi, mencoba mengabaikan rasa takut yang mulai menjalar. Namun, dari celah bawah pintu, ia melihat sesuatu. Sepasang kaki… berdiri diam di luar kamarnya. Kain merah panjang menjuntai hingga menyentuh lantai, basah oleh air hujan. Diah menahan napas. Kakinya gemetar. Ia ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Saat ia menatap lagi, bayangan itu sudah menghilang—menyisakan tetesan air yang perlahan merembes masuk lewat celah pintu. Malam pertama di warung Bu Rini terasa begitu panjang. Dan di luar sana, hujan terus turun, seolah menutupi sesuatu yang tak ingin terlihat. --- Pagi itu, suara ayam berkokok memecah kesunyian. Diah membuka mata perlahan, kepalanya terasa berat, seperti baru saja mengalami mimpi buruk. Tapi anehnya, ia tak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi malam tadi. Yang tersisa hanya perasaan gelisah yang menempel di dada. Ia duduk di tepi kasur, memandang ke arah pintu. Lantai di dekat pintu masih tampak basah, seolah baru saja disiram air. Padahal semalam hujan sudah lama berhenti sebelum ia tertidur. “Pasti air rembesan,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Setelah mencuci muka dan merapikan rambut, Diah keluar dari kamar menuju dapur. Bu Rini sudah sibuk sejak pagi. Asap dari wajan besar mengepul, membuat udara dapur terasa panas dan pengap. “Pagi, Bu,” sapa Diah pelan. Bu Rini menoleh sekilas. “Pagi, Nak. Cepat bantu potong tempe itu, ya. Hari ini pasti ramai.” Diah mengangguk dan mengambil talenan. Di meja dapur, Bayu sudah duduk dengan wajah datar. Ia tidak pernah banyak bicara, hanya sesekali memberi instruksi tanpa menatap Diah. “Mau berapa potong?” tanya Diah sekadar basa-basi. “Sepuluh piring,” jawab Bayu singkat. Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu yang aneh di sana — seolah ia bicara sambil menahan sesuatu di dalam dirinya. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Suara pisau memotong tempe menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Sampai akhirnya Diah mencium aroma yang membuatnya menoleh. “Bu, ini baunya kok kayak… amis ya?” Bu Rini tak menjawab. Ia terus mengaduk sesuatu di wajan besar. Saat Diah melangkah mendekat, matanya terbelalak. Di dalam wajan itu bukanlah sayur lodeh atau sambal, tapi potongan daging mentah yang warnanya terlalu merah, nyaris kehitaman. Cairan di sekelilingnya mendidih, memunculkan buih aneh berwarna kecoklatan. “Daging apa itu, Bu?” tanya Diah dengan suara bergetar. Bu Rini berhenti mengaduk. Ia menatap Diah lama, senyum kecil muncul di bibirnya. “Rahasia dapur, Nak. Jangan banyak tanya. Pelanggan suka rasa masakan ini, dan itu yang penting.” Diah hanya bisa mengangguk, meski perutnya mual. Ia kembali ke meja, tapi bayangan wajan itu terus menari-nari di kepalanya. Bau amisnya seakan menempel di kulit. Tak lama kemudian, pelanggan mulai berdatangan. Sama seperti kemarin, warung penuh sesak bahkan sebelum jam makan siang. Diah memperhatikan wajah-wajah pelanggan itu — beberapa terlihat murung, matanya kosong, tapi mereka makan dengan lahap, seperti orang kelaparan berhari-hari. Ada pula yang meneteskan air mata tanpa alasan saat menyuap makanan. Salah satu pelanggan, seorang bapak tua, mendekati kasir sambil terhuyung. “Bu Rini, makanannya enak sekali… tapi kok rasanya, saya…” Belum sempat ia melanjutkan, tubuhnya ambruk begitu saja. Sontak warung heboh. Tapi anehnya, Bu Rini tetap tenang. “Bapak ini kelelahan. Tolong bantu angkat ke pinggir dulu,” katanya datar. Diah panik, tapi orang-orang di sekitar tampak acuh. Beberapa hanya menatap sebentar, lalu melanjutkan makan seolah tak terjadi apa-apa. Setelah lelaki itu dibaringkan di kursi panjang, Diah memperhatikan wajahnya. Pucat, dan di sudut bibirnya ada bercak merah kehitaman. “Bu, ini darah?” tanya Diah takut-takut. Bu Rini langsung menutup mulut Diah dengan tangan berminyak. “Jangan ribut. Sudah, nanti juga sadar.” Nada suaranya kali ini dingin, tak seperti sebelumnya. Sepanjang siang itu, suasana warung semakin aneh. Diah merasa setiap langkahnya diikuti. Setiap kali ia menengok ke dapur belakang, bayangan seseorang selalu melintas cepat di ujung mata. Sore menjelang, Bu Rini memutuskan menutup warung lebih awal. Pelanggan terakhir baru saja pergi ketika hujan kembali turun deras. Diah sedang membereskan piring saat sesuatu menarik perhatiannya. Di bawah meja altar kecil tempat sesajen, ada selembar kain merah menyembul keluar. Ia ragu-ragu, tapi rasa penasaran mengalahkan takutnya. Perlahan, ia jongkok dan menarik ujung kain itu. Kainnya terasa lembab, dingin, dan berbau amis. Saat ditarik penuh, Diah melihat noda hitam mengering di beberapa bagian. Tapi yang paling menakutkan—kain itu seolah berdetak pelan, seperti ada denyut kehidupan di dalamnya. “Diah!” suara Bu Rini membuatnya terlonjak. Ia buru-buru meletakkan kain itu kembali dan berdiri. Bu Rini menatapnya tajam, kali ini tanpa senyum. “Kamu jangan sentuh apapun di situ! Mengerti?” Diah menelan ludah. “Maaf, Bu… saya cuma—” “Sudah! Pergi ke kamar! Sekarang!” Diah menunduk, lalu berjalan cepat ke arah belakang. Tapi sebelum menutup pintu kamarnya, ia sempat melihat Bu Rini berlutut di depan kain itu. Mulutnya bergerak, seperti sedang berbisik sesuatu. Sesekali ia menunduk dan menyentuhkan keningnya pada kain merah itu dengan penuh hormat. Diah bersembunyi di balik celah pintu, menatap dengan jantung berdebar. Dan saat petir menyambar di luar sana, ia melihat dengan jelas—kain itu tiba-tiba bergetar sendiri. Dari dalam lipatannya, tampak samar sepasang mata merah menyala menatap ke arah Bu Rini… lalu perlahan, beralih padanya. Diah menjerit pelan, menutup mulut dengan tangan. Tapi suara tawa lirih terdengar menggema di telinganya, seperti berasal dari kain itu sendiri. “Kamu menyentuhku, Diah…” “Sekarang aku tahu namamu…”Sejak malam ketika kain itu kembali “bernafas”, suasana di warung Bu Rini berubah total. Pembeli memang masih ramai, tapi hawa di sekitar terasa berat, seolah udara itu sendiri membawa bisikan yang tak kasatmata. Diah semakin sering merasa pusing, terutama setiap kali melewati altar kecil di pojok dapur tempat Bu Rini biasa meletakkan sesajen. Pagi itu, Diah datang lebih awal. Ia bermaksud membersihkan dapur sebelum pelanggan berdatangan. Namun begitu membuka pintu belakang, bau amis yang sangat menyengat langsung menusuk hidungnya. Di lantai, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya berdesir: bekas jejak kaki basah… dari darah. Jejak itu mengarah ke altar kecil, lalu berhenti tepat di depan toples kaca berisi kain merah itu. Diah menelan ludah. “Aku cuma halu… ini pasti cuma sisa ayam potong tadi malam,” gumamnya mencoba menenangkan diri. Tapi ketika ia menatap lebih dekat, jejak itu terlalu jelas. Lima jari kaki manusia. Ia hendak mengambil pel lantai, tapi langkahnya tertahan s
Kebakaran itu sudah seminggu berlalu. Tapi abu dari warung Bu Rini belum juga dingin sepenuhnya. Setiap malam, warga yang lewat mengaku masih mencium bau melati, padahal semua bunga di sekitar lokasi sudah hangus.Di siang hari, puing-puing warung itu tampak biasa saja—arang kayu, genteng pecah, dan bekas meja yang gosong. Tapi begitu matahari tenggelam, udara di sana berubah. Dingin. Hening. Dan entah mengapa, setiap orang yang melintas selalu merasa seperti sedang diawasi dari balik reruntuhan.Kabar cepat menyebar. Ada yang bilang api itu bukan api biasa. “Warung itu bukan tempat rezeki halal,” kata beberapa warga. “Katanya Bu Rini pakai kain penglaris. Diah pun ikut jadi korban.”Namun, malam ketujuh setelah kebakaran, sesuatu yang ganjil terjadi.Seorang pemuda bernama Bayu—petugas ronda kampung—berhenti di depan reruntuhan warung karena mendengar suara langkah kaki dari dalam. Suara itu pelan, seperti seseorang sedang menyapu lantai. Ia menyorotkan senter. Tak ada siapa-siapa.T
Malam itu hujan turun deras. Suara gemericiknya seperti bisikan ribuan mulut yang berbicara di luar jendela. Diah duduk di sudut kamar, membungkus dirinya dengan selimut, menatap cermin yang disandarkan di tembok. Cermin itu sudah retak sejak kejadian beberapa hari lalu, tapi ia tak berani membuangnya. Setiap kali mencoba mengangkatnya, cermin itu terasa berat—seolah menolak untuk dipindahkan.Matanya sembab karena kurang tidur. Setiap kali memejamkan mata, wajah perempuan dari kain merah itu muncul di pikirannya. Senyumnya, matanya yang kosong, dan rambut panjang yang menjuntai seperti akar pohon kering.Kini, bayangan itu tak hanya muncul di dalam mimpi. Kadang ia melihatnya di pantulan sendok, di kaca etalase warung, bahkan di genangan air hujan di depan rumah.“Kenapa kau terus mengikutiku?” tanya Diah lirih.Tak ada jawaban. Hanya bunyi petir yang membelah langit, disusul oleh bau melati yang semakin menyengat.Namun saat Diah menatap cermin itu lagi, bayangannya tidak mengikuti
Sejak malam penyatuan itu, Diah tak pernah lagi bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Saat ia membuka mata di pagi hari, kadang ia menemukan tubuhnya berada di dapur tanpa ingatan bagaimana ia bisa sampai di sana. Kadang tangannya berlumuran darah ayam segar, padahal warung belum buka. Yang paling menakutkan, ia mulai mendengar suara langkahnya sendiri ketika ia tidak sedang berjalan. Hari itu, matahari terasa redup meski sudah siang. Diah sedang membersihkan meja warung, sementara Bu Rini duduk di pojok sambil menatap kain merah yang tergantung di dinding. Setiap kali angin berhembus, kain itu bergerak lembut, seperti bernapas. “Bu,” panggil Diah pelan. “Kain itu… kenapa Ibu gantung terus? Bukannya sebaiknya disimpan saja?” Bu Rini menoleh, senyum tipis di wajahnya membuat Diah semakin tak nyaman. “Kau tidak boleh sembarangan bicara soal kain itu,” katanya pelan. “Itu bukan sekadar kain. Itu jalan rezeki kita, Diah.” “Tapi setiap kali aku melihatnya, kepalaku sakit. Seper
Malam Jumat datang dengan suasana yang menekan. Langit kelabu menggantung di atas atap warung, dan angin berembus membawa aroma anyir darah yang samar. Di kejauhan, anjing-anjing menggonggong tanpa henti, seolah tahu ada sesuatu yang tidak wajar akan terjadi malam itu. Sejak sore, Diah merasa dadanya sesak. Setiap kali ia memandang kain merah yang digantung di belakang warung, tubuhnya bergetar tanpa sebab. Luka di kakinya yang terbentuk semalam masih terasa panas, seperti bara yang tak mau padam. Setiap denyutnya, ia mendengar suara lirih memanggil—“Diah… waktunya sudah dekat…” Bu Rini tampak sibuk mempersiapkan sesuatu di dapur. Ia memanaskan air dalam panci besar, menyiapkan bunga tujuh rupa, dan menyalakan dupa yang asapnya memenuhi ruangan dengan aroma menyengat. Diah memperhatikan semua itu dari jauh, sembari menahan napas. “Bu,” panggilnya pelan, “Ibu mau ngapain malam ini?” Bu Rini menoleh tanpa senyum. “Kamu tahu hari ini malam apa?” “Malam Jumat.” “Benar.” Ia menganggu
Pagi itu, udara terasa aneh. Langit berwarna pucat, seperti kehilangan sinarnya. Warung Bu Rini tetap ramai, tapi Diah merasakan sesuatu yang tak wajar di balik hiruk-pikuk pelanggan yang datang silih berganti. Mereka makan dengan lahap, tapi tak satu pun yang menatap mata pelayan saat mengambil pesanan. Seolah-olah semua orang hanya datang untuk mengisi perut, lalu pergi seperti robot tanpa jiwa.Diah berdiri di dekat tungku, membantu memasak sambal. Matanya sesekali menatap dapur belakang, tempat ia mendengar suara-suara menyeramkan semalam. Bayangan kain merah itu masih jelas di kepalanya—basah, bergerak sendiri, dan memanggil namanya.“Diah, tolong ambilkan daging di ember hitam ya,” suara Bu Rini terdengar dari meja kasir.Sekujur tubuhnya langsung menegang. Ember hitam. Dapur belakang. Kata-kata itu membuat perutnya mual.“Bu… masih banyak daging di sini,” elaknya dengan suara kecil.Bu Rini menatapnya tanpa senyum. “Yang itu sudah tidak segar. Ambil yang di belakang.”Diah menu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments