Lelah dengan pekerjaannya hari ini, Lilian memutuskan untuk berendam air hangat pada bathtub sederhananya sesampainya ia di rumah.
Lilian selalu berendam air hangat saat dirinya mulai lelah dengan semua pekerjaan yang menumpuk. Dengan membenamkan dirinya dalam air hangat yang nyaman dan menyalakan lilin aromaterapi, ia berharap dapat sedikit membantunya untuk rileks. Karena beberapa hari semenjak dirinya bertemu dengan Jaden, ia merasakan tekanan luar biasa yang benar-benar membuatnya frustasi.
Ia tak suka melihat pria itu berada di sekitarnya. Tatapannya yang berubah-ubah membuatnya bingung. Di lain waktu ia bisa tersenyum dengan ramah bak mentari pagi yang cerahnya sangat menyilaukan, tetapi lain lagi saat pria itu bersamanya. Baik ucapannya maupun tatapannya selalu dingin menusuk dan mengintimidasinya. Entah, itu hanya perasaannya saja atau memang Jaden tidak suka padanya.
"Oh ... sungguh nyaman sekali," gumamnya dengan puas.
Lilian memejamkan matanya untuk fokus merasakan air hangat lembut yang mengelilingi tubuhnya. Ia merasa rileks dan tenang saat ia dapat meluangkan sedikit waktu untuk sekadar menghilangkan penatnya.
Sekitar dua puluh menit berlalu sejak Lilian berendam dalam kamar mandinya, suasana tenang dan damai yang ia rasakan sebelumnya harus buyar ketika ia mendengar bunyi benda jatuh dan pecahan kaca yang berserakan yang sayup-sayup terdengar oleh telinganya.
Lilian tersentak dari bathtub, ia membuka kedua matanya yang sebelumnya sempat terpejam. Ia segera berdiri dan merasa was-was. Lilian dengan cepat membilas tubuhnya dan melilitkan jubah mandinya untuk dapat memeriksa keadaan rumahnya.
Ia keluar dengan mengendap-endap. Keadaan rumahnya yang lumayan terang memudahkannya untuk berjalan. Walau begitu, tapi dirinya sebenarnya sedikit takut dan was-was jika ada perampok atau orang asing yang mungkin saja sudah masuk ke dalam rumahnya.
"Ha ... halo...," ucapnya lirih dengan suara yang sedikit bergetar.
Lilian yang hidup seorang diri tentu saja merasa takut jika memang benar ada orang asing yang masuk ke kediamannya. Ia bahkan sampai lupa, jika rumah yang ia tempati adalah rumah yang berada dalam kawasan elit dengan sistem keamanan dan penjagaan yang begitu ketat. Jadi, tak mungkin akan ada penyusup atau perampok yang bisa masuk dengan semudah itu ke dalam kompleks rumahnya.
Lilian selalu menengok ke sekelilingnya untuk memastikan setiap langkah yang ia ambil aman dari pengawasan atau sesuatu hal yang buruk yang mungkin sudah mengintainya.
Ia berhenti untuk menatap lurus pada salah satu jendela kaca balkon rumah Edith yang menghubungkan dengan teras taman samping rumahnya.
Lilian membeku.
Perasaan mencekam mengambil alih dirinya seketika saat dilihatnya lampu ruangan pada balkon di samping tamannya menyala.
Siapa yang ada di sana? Bukankah rumah itu kosong? Tanyanya dalam hati.
Ia yakin suara benda pecah yang tadi ia dengar berasal dari dalam rumah Edith. Jika itu kucing atau sesuatu semacamnya, tidak mungkin ia bisa menyalakan lampu juga.
Karena rasa penasarannya yang begitu memuncak, ia memberanikan diri untuk melangkah ke samping pintu penghubung yang menghubungkan tamannya dengan rumah Edith untuk meraih sebuah tangga lipat yang tergeletak di ujung pintu itu.
Lilian mengangkat dan membawa tangga itu dengan hati-hati untuk mendekati tembok balkon. Ia menyejajarkan tangga lipat miliknya dengan kokoh tepat di samping pagar teralis teras balkon yang setengah terbuka itu.
Dengan perlahan-lahan Lilian mulai menapakkan kakinya satu demi satu untuk menaiki tangga lipat tersebut agar ia dapat sejajar dengan balkon setinggi sekitar empat meter itu.
Dengan menyisakan satu anak tangga, Lilian kemudian mencengkeram ujung teralis balkon dengan kedua tangannya agar ia dapat melongok dengan aman saat mengintip ke dalam.
Baru sejenak kepalanya ia sembulkan, pintu kaca lebar penghubung teras balkon milik Edith seketika terbuka dan keluarlah sesosok asing yang tegap yang menunduk untuk menatapnya.
"Wah... wah... wah, rupanya ada seseorang yang gemar mengintip di sini!"
Pria besar itu kemudian berjongkok agar dapat melihat lebih jelas wajah pengintip yang ia sebut sedang mengintai dari balkonnya itu.
Lilian terbelalak dan sangat terkejut mendapati pria menyeramkan yang selalu jahat padanya terpampang nyata di depannya.
Refleks, karena panik dan takut membuatnya berteriak seketika! Ia melepaskan pegangannya pada teralis dan seketika itu juga tubuhnya memberosot, kemudian ia sukses jatuh terjerembab di atas rumput dengan posisi yang memalukan.
Jaden, sang pria menyeramkan yang mengagetkannya itu hanya berdiri dengan tatapan dingin dan masuk kembali ke dalam ruangannya untuk segera turun menghampiri Lilian.
Ya, ia bergegas menuju pintu samping yang menghubungkannya dengan taman Lilian.
Lilian masih merintih kesakitan. Dengan bersusah payah ia mencoba bangkit untuk melawan rasa nyeri pada kaki dan pantatnya tadi yang terjerembab begitu keras.
Beruntung, rumput yang lumayan tebal dapat membantunya untuk terhindar dari cedera parah yang mungkin terjadi. Tapi jatuh dari ketinggian tangga tadi cukup membuat kakinya terkilir dan terasa sangat nyeri.
"BRAAK ...!!"
Belum selesai keterkejutannya berkurang, ia mendadak begitu panik lagi saat Jaden membuka pintu penghubung dan melangkah masuk dengan wajah menyeramkannya yang seolah siap untuk menerkamnya hidup-hidup.
Lilian sedikit terhuyung saat memaksakan dirinya berdiri tegak. Ia mencengkeram erat tangga lipat di samping tubuhnya untuk menopang kakinya yang terasa panas dan berdenyut. Ia jelas begitu kesakitan, tetapi ia berusaha untuk menahannya.
Jaden mengacakkan pinggangnya saat ia hanya berjarak beberapa langkah dari Lilian. Lilian terkesiap dan menahan napasnya seketika.
"A ... apa yang kau lakukan di sini?" Lilian begitu tercekat dengan aura mematikan yang dikeluarkan Jaden.
"Seharusnya aku yang bertanya, APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?" tegasnya tanpa ampun.
"I ... ini rumahku, dan aku memang tinggal di sini" Lilian tergagap, ia membasahi bibir bawahnya dengan begitu gugup.
Jaden hanya tertawa sinis.
"Rumahmu? Hah! Apa kau bisa membuktikannya?!" tantangnya.
"A ... aku membeli rumah ini sebulan yang lalu dari Edith karena ia menawarkannya padaku. Aku bisa membuktikan bahwa rumah ini milikku. A ... aku bahkan telah membayarnya lunas!"
Tak ada lagi sikap dan bicara formal yang biasa Lilian lakukan. Karena begitu terkejutnya, ia tanpa sadar berbicara santai pada Jaden.
Jaden kembali tertawa, ia kali ini tergelak. "Mana surat kepemilikannya? Bisa kau tunjukkan?!"
Lilian mengerutkan alisnya, ia merasa heran dengan sikap Jaden.
"Apa urusannya denganmu? Kau siapa? Mengapa kau tiba-tiba menerobos masuk dan menanyakan kepemilikan rumahku?" kali ini Lilian tak gentar, ia menatap tajam mata Jaden.
Jaden bersedekap, dengan mata angkuhnya ia menjawab, "Karena sekarang ini adalah RUMAHKU, Nona, jadi aku berhak mempertanyakan keberadaanmu."
"A ... apa?!" Lilian mendadak kelu dan membeku di tempatnya.
Sedang Sang Iblis yang entah kapan muncul itu, hanya tersenyum sinis padanya.
_____****_____
Lilian masih membeku di tempatnya. Ia berusaha mencerna ucapan Jaden dengan kepanikan yang terus menyergapnya. Belum lagi kakinya yang berdenyut hebat memberikan sensasi nyeri yang teramat sangat hingga ke puncak kepalanya, membuat Lilian tak dapat berpikir jernih. "Ma ... maaf, apa kau bilang tadi? Rumah ini milikmu? Bagaimana bisa?! Maksudku, ini rumah Edith, dan setahuku ia tidak pernah berencana untuk menjual rumahnya sebelum ..." Lilian terhenti, tercekat. Ada rasa sedih yang menyelimutinya, sehingga ia tak mampu meneruskan ucapannya lagi. "Sebelum ia meninggal maksudmu?!" Jaden menatap tajam Lilian. Dan wanita itu hanya mengangguk pelan dengan sorot pilu yang terpampang nyata di wajahnya. Walau malam ini begitu gelap, dengan lampu temaram yang menyorot dari balkonnya, dan lampu terang benderang yang menyilaukan dari rumah wanita itu, cukup membuat Jaden untuk bisa melihat dengan jelas perubahan sekecil apa pun mimik wajah yang Lili
Dalam tidur lelapnya, dalam dunia mimpinya, Lilian tampak sedang berjalan bertelanjang kaki menyusuri sebuah lorong panjang yang gelap. Ia memusatkan tatapannya pada sebuah cahaya lampu kecil yang bersinar temaram pada tangga meliuk panjang yang menjulang di hadapannya. Perlahan tapi pasti, Lilian menapaki anak tangga satu demi satu yang ada di hadapannya itu. Setiap kali Lilian melangkah, setiap kali pula keadaan di sekitarnya menjadi gelap. Lilian mengerjap, mencoba untuk menggapai segala sesuatu yang dapat diraihnya. Namun semua kosong, gelap, dingin dan tampak tak berujung. Mimpi siapa ini? Begitu gelap, dingin, dan penuh dengan kesesakan. Ya, seperti yang sering terjadi, Lilian sekarang sedang bermimpi. Dan ia sadar. Saat ini dirinya pasti sedang terseret oleh mimpi seseorang. Ia selalu terseret ke dalam sebuah mimpi asing saat seseorang yang terhubung dengannya itu sudah terlelap dan memulai mimpinya. Benar. Lilian memili
Lilian telah sampai ke kantor dengan tepat waktu. Walau ia tidak terlambat, tetapi dalam sejarahnya, belum pernah ia berangkat bekerja begitu siang sebelumnya. Ia sedikit menghembuskan napasnya dengan lega saat ia duduk di kursinya. Lilian yang tak ingin membuang waktu lagi segera memulai pekerjaannya hari ini. Walau kakinya yang terkilir masih sedikit berdenyut, ia tak mempermasalahkan hal itu. "Lilian, apa hari ini aku akan mendampingi Tuan Greg lagi?" Silvia yang sudah melihat kedatangan Lilian tadi serta merta menghambur ke dalam kantornya begitu saja. "Ya, Silvia. Bukankah sudah kukatakan bahwa kau akan bertugas mendampingi Tuan Greg untuk beberapa waktu ini." "Tapi, Lilian ...." "Silvia ..." Potong Lilian lagi, "Kau tahu bahwa Tuan Greg akan segera mengurus proyek penting bukan? Jadi, aku harap kau dapat bekerja sama dengan baik." "Lilian, bisakah hari ini kau menggantikanku? Hari ini saja, please? Kau tahu
Lilian memijat keningnya dan perlahan mengatur napasnya lagi. Ia beberapa kali mengembuskan napasnya untuk menenangkan dirinya sendiri. "Begini ... jika kau ingin mempermainkanku, aku rasa kau telah bercanda dengan orang yang salah." Ia menatap Jaden dengan raut serius. "Bisakah kau pergi saja dan jangan menggangguku? Aku bahkan tak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat padamu hingga kau memperlakukanku seperti ini," lanjutnya lagi. Ia merasa seolah lelah karena menghadapi pria di hadapannya itu. Lilian hendak bangkit saat Jaden menghentikan dengan kata-katanya kemudian, "Sertifikat rumah ini, tolong tunjukkan padaku. Sebagai cucu satu-satunya Edith aku berhak menanyakan itu bukan?" Lilian membelalak menatap Jaden dengan penuh keterkejutan. "A ... apa?! Apa katamu? Kau cucu Edith? Benarkah?!" tanyanya tak percaya. Ia jelas terkejut dengan pernyataan Jaden padanya tadi. Dengan tenang Jaden mengeluarkan ponselnya. Ia memperlihatkan satu galeri penuh foto kebersamaannya dengan Edith
"Sudah kukatakan, aku ingin tidur bersamamu," jawab Jaden tegas. "Mengapa?" tanya Lilian. "Bisa dibilang karena aku bosan mungkin? Apapun alasannya itu tak penting buatmu bukan? Atau terserah apapun anggapanmu saja, lagipula aku juga tak berniat untuk melakukan seks denganmu seperti yang kau pikirkan. Ingat, aku tidak sembarangan memasukkan barang milikku," ucapnya lagi dengan angkuh. Lilian kali ini menatap Jaden dengan atensi yang lebih besar. Ia sedikit tertarik saat Jaden menyebutkan tak ada seks di dalam keinginannya itu. "Ho! ... kau mulai tertarik rupanya? Astaga! Jadi benar itu yang kau pikirkan? Apa kau kira aku akan memanfaatkanmu untuk kepuasanku?" Jaden mencemooh Lilian dan tersenyum kecil. Lilian mengerutkan bibirnya. Walau ia tahu setiap kata yang selalu keluar dari mulut Jaden untuknya hanyalah hinaan dan cibiran, tapi ia tetap merasa kesal. "Apa yang harus kulakukan?" tanya Lilian. Ia sengaja mengabaikan hinaan Jaden dan tak ingin terpancing olehnya. "Kau hanya p
Lilian memakai gaun tidurnya yang nyaman setelah ia membersihkan diri. Mandi malam yang menyegarkan cukup membuat badannya terasa rileks. Ia sejenak ingin melupakan kejadian yang baru saja dialaminya tadi setelah dirinya pulang dari kantor. Lilian menuju dapurnya dan membuka lemari pendingin untuk meraih sebotol air mineral dingin dan meneguknya. "Hanya itu makan malammu?" Lilian dikejutkan oleh suara Jaden yang tiba-tiba muncul dan menyebabkannya tersedak hingga terbatuk-batuk. "Kau tak apa?" tanya Jaden kemudian. Jaden kembali muncul di ambang pintu kaca sebelah tamannya yang menghubungkan dengan dapurnya. Ia menyandarkan salah satu lengannya pada pinggiran pintu. Jaden tampak nyaman dengan kaus polos dan celana kain ringannya. "Apa lagi?" tanya Lilian kesal sembari mengusap sisa air di mulutnya. "Ikuti aku, aku membutuhkanmu," ucapnya santai. "Apa harus? Dan bisakah kau tak muncul di areaku semaumu sendiri?" protes Lilian. Ia mengembalikan lagi botol air mineralnya ke dalam
"Akh!" Lilian terpekik saat Jaden merebahkan dirinya ke atas sebuah ranjang besar yang pastinya adalah milik Jaden. "Jangan menyentuhku sembarangan!" Karena kesal, Lilian meraih sebuah bantal dan melemparnya ke arah Jaden. Yang tentu dapat Jaden tangkap dengan mudah. "Tak bisakah kau berlaku sedikit sopan padaku?" protes Lilian lagi. Seolah tak mempedulikan kekesalan Lilian, Jaden melenggang begitu saja dari hadapannya dan ia meraih sebuah kotak dari rak buku kecil yang ada di samping sebuah lemari pakaian. "Aku gatal ingin membuang benda konyol yang terpasang sembarangan begitu saja di kakimu itu begitu aku melihatnya!" Jaden merujuk bebat di kaki Lilian yang terluka. "Ada apa dengan ini?" tanya Lilian tak mengerti. "Siapa orang bodoh yang memasang ini di kakimu? Sekali lihat saja aku sudah tahu bahwa itu terlalu kencang dan hanya akan memperparah cideramu." Tanpa sungkan-sungkan Jaden duduk di hadapan Lilian di atas ranjangnya, kemudian meraih kaki Lilian dan melepaskan perlah
"Hai Lilian, kau terlambat," todong Silvia begitu melihat Lilian masuk di ambang pintu kantor. "Maaf Silvia, apa Tuan Greg sudah tiba?" tanya Lilian lagi. "Kau beruntung ia belum datang. Apakah aku harus menyiapkan bahan meeting pagi ini?" "Tak perlu, Silvia. Semua sudah aku rangkum dan kirim ke dalam email. Kau bisa memeriksa setiap email sesuai dengan jadwal harian Tuan Greg." "Dan, Silvia sepertinya Tuan Greg akan memulai perjalanan bisnisnya besok, jadi aku ingin kau memeriksa sekali lagi semua jadwal yang bertabrakan dengan pertemuannya. Tuan Greg akan berangkat sendiri. Ia tak mengajakmu, jadi kau dapat membantuku di sini." "Benarkah?" Silvia berbinar menatap Lilian. Tanpa sadar ia berjingkrak kecil. "Oh, syukurlah! Aku akan sebisa mungkin membantumu selama Tuan Greg tak di tempat, Lilian. Serahkan semua padaku, kau berfokuslah pada klien saja." **** "Kau tampak segar, ada hal baik apa?" Seth menatap Jaden dengan