Share

7. Iblis Muncul

Lelah dengan pekerjaannya hari ini, Lilian memutuskan untuk berendam air hangat pada bathtub sederhananya sesampainya ia di rumah.

Lilian selalu berendam air hangat saat dirinya mulai lelah dengan semua pekerjaan yang menumpuk. Dengan membenamkan dirinya dalam air hangat yang nyaman dan menyalakan lilin aromaterapi, ia berharap dapat sedikit membantunya untuk rileks. Karena beberapa hari semenjak dirinya bertemu dengan Jaden, ia merasakan tekanan luar biasa yang benar-benar membuatnya frustasi. 

Ia tak suka melihat pria itu berada di sekitarnya. Tatapannya yang berubah-ubah membuatnya bingung. Di lain waktu ia bisa tersenyum dengan ramah bak mentari pagi yang cerahnya sangat menyilaukan, tetapi lain lagi saat pria itu bersamanya. Baik ucapannya maupun tatapannya selalu dingin menusuk dan mengintimidasinya. Entah, itu hanya perasaannya saja atau memang Jaden tidak suka padanya.

"Oh ... sungguh nyaman sekali," gumamnya dengan puas.

Lilian memejamkan matanya untuk fokus merasakan air hangat lembut yang mengelilingi tubuhnya. Ia merasa rileks dan tenang saat ia dapat meluangkan sedikit waktu untuk sekadar menghilangkan penatnya.

Sekitar dua puluh menit berlalu sejak Lilian berendam dalam kamar mandinya, suasana tenang dan damai yang ia rasakan sebelumnya harus buyar ketika ia mendengar bunyi benda jatuh dan pecahan kaca yang berserakan yang sayup-sayup terdengar oleh telinganya.

Lilian tersentak dari bathtub, ia membuka kedua matanya yang sebelumnya sempat terpejam. Ia segera berdiri dan merasa was-was. Lilian dengan cepat membilas tubuhnya dan melilitkan jubah mandinya untuk dapat memeriksa keadaan rumahnya.

Ia keluar dengan mengendap-endap. Keadaan rumahnya yang lumayan terang memudahkannya untuk berjalan. Walau begitu, tapi dirinya sebenarnya sedikit takut dan was-was jika ada perampok atau orang asing yang mungkin saja sudah masuk ke dalam rumahnya.

"Ha ... halo...," ucapnya lirih dengan suara yang sedikit bergetar. 

Lilian yang hidup seorang diri tentu saja merasa takut jika memang benar ada orang asing yang masuk ke kediamannya. Ia bahkan sampai lupa, jika rumah yang ia tempati adalah rumah yang berada dalam kawasan elit dengan sistem keamanan dan penjagaan yang begitu ketat. Jadi, tak mungkin akan ada penyusup atau perampok yang bisa masuk dengan semudah itu ke dalam kompleks rumahnya.

Lilian selalu menengok ke sekelilingnya untuk memastikan setiap langkah yang ia ambil aman dari pengawasan atau sesuatu hal yang buruk yang mungkin sudah mengintainya.

Ia berhenti untuk menatap lurus pada salah satu jendela kaca balkon rumah Edith yang menghubungkan dengan teras taman samping rumahnya.

Lilian membeku.

Perasaan mencekam mengambil alih dirinya seketika saat dilihatnya lampu ruangan pada balkon di samping tamannya menyala.

Siapa yang ada di sana? Bukankah rumah itu kosong? Tanyanya dalam hati.

Ia yakin suara benda pecah yang tadi ia dengar berasal dari dalam rumah Edith. Jika itu kucing atau sesuatu semacamnya, tidak mungkin ia bisa menyalakan lampu juga.

Karena rasa penasarannya yang begitu memuncak, ia memberanikan diri untuk melangkah ke samping pintu penghubung yang menghubungkan tamannya dengan rumah Edith untuk meraih sebuah tangga lipat yang tergeletak di ujung pintu itu.

Lilian mengangkat dan membawa tangga itu dengan hati-hati untuk mendekati tembok balkon. Ia menyejajarkan tangga lipat miliknya dengan kokoh tepat di samping pagar teralis teras balkon yang setengah terbuka itu.

Dengan perlahan-lahan Lilian mulai menapakkan kakinya satu demi satu untuk menaiki tangga lipat tersebut agar ia dapat sejajar dengan balkon setinggi sekitar empat meter itu.

Dengan menyisakan satu anak tangga, Lilian kemudian mencengkeram ujung teralis balkon dengan kedua tangannya agar ia dapat melongok dengan aman saat mengintip ke dalam.

Baru sejenak kepalanya ia sembulkan, pintu kaca lebar penghubung teras balkon milik Edith seketika terbuka dan keluarlah sesosok asing yang tegap yang menunduk untuk menatapnya.

"Wah... wah... wah, rupanya ada seseorang yang gemar mengintip di sini!"

Pria besar itu kemudian berjongkok agar dapat melihat lebih jelas wajah pengintip yang ia sebut sedang mengintai dari balkonnya itu.

Lilian terbelalak dan sangat terkejut mendapati pria menyeramkan yang selalu jahat padanya terpampang nyata di depannya.

Refleks, karena panik dan takut membuatnya berteriak seketika! Ia melepaskan pegangannya pada teralis dan seketika itu juga tubuhnya memberosot, kemudian ia sukses jatuh terjerembab di atas rumput dengan posisi yang memalukan.

Jaden, sang pria menyeramkan yang mengagetkannya itu hanya berdiri dengan tatapan dingin dan masuk kembali ke dalam ruangannya untuk segera turun menghampiri Lilian.

Ya, ia bergegas menuju pintu samping yang menghubungkannya dengan taman Lilian.

Lilian masih merintih kesakitan. Dengan bersusah payah ia mencoba bangkit untuk melawan rasa nyeri pada kaki dan pantatnya tadi yang terjerembab begitu keras.

Beruntung, rumput yang lumayan tebal dapat membantunya untuk terhindar dari cedera parah yang mungkin terjadi. Tapi jatuh dari ketinggian tangga tadi cukup membuat kakinya terkilir dan terasa sangat nyeri.

"BRAAK ...!!"

Belum selesai keterkejutannya berkurang, ia mendadak begitu panik lagi saat Jaden membuka pintu penghubung dan melangkah masuk dengan wajah menyeramkannya yang seolah siap untuk menerkamnya hidup-hidup.

Lilian sedikit terhuyung saat memaksakan dirinya berdiri tegak. Ia mencengkeram erat tangga lipat di samping tubuhnya untuk menopang kakinya yang terasa panas dan berdenyut. Ia jelas begitu kesakitan, tetapi ia berusaha untuk menahannya.

Jaden mengacakkan pinggangnya saat ia hanya berjarak beberapa langkah dari Lilian. Lilian terkesiap dan menahan napasnya seketika.

"A ... apa yang kau lakukan di sini?" Lilian begitu tercekat dengan aura mematikan yang dikeluarkan Jaden.

"Seharusnya aku yang bertanya, APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?" tegasnya tanpa ampun.

"I ... ini rumahku, dan aku memang tinggal di sini" Lilian tergagap, ia membasahi bibir bawahnya dengan begitu gugup.

Jaden hanya tertawa sinis.

"Rumahmu? Hah! Apa kau bisa membuktikannya?!" tantangnya.

"A ... aku membeli rumah ini sebulan yang lalu dari Edith karena ia menawarkannya padaku. Aku bisa membuktikan bahwa rumah ini milikku. A ... aku bahkan telah membayarnya lunas!"

Tak ada lagi sikap dan bicara formal yang biasa Lilian lakukan. Karena begitu terkejutnya, ia tanpa sadar berbicara santai pada Jaden.

Jaden kembali tertawa, ia kali ini tergelak. "Mana surat kepemilikannya? Bisa kau tunjukkan?!" 

Lilian mengerutkan alisnya, ia merasa heran dengan sikap Jaden.

"Apa urusannya denganmu? Kau siapa? Mengapa kau tiba-tiba menerobos masuk dan menanyakan kepemilikan rumahku?" kali ini Lilian tak gentar, ia menatap tajam mata Jaden.

Jaden bersedekap, dengan mata angkuhnya ia menjawab, "Karena sekarang ini adalah RUMAHKU, Nona, jadi aku berhak mempertanyakan keberadaanmu."

"A ... apa?!" Lilian mendadak kelu dan membeku di tempatnya.

Sedang Sang Iblis yang entah kapan muncul itu, hanya tersenyum sinis padanya.

_____****_____

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status