Jangan Larang Aku Menikah!
Part 03: Tangan Winda TerkilirWajah Bu Nadya berubah merah dan tidak terima atas hinaan Bu Aura.
"Pergi kalian dari sini! Aku tidak sudih mempunyai besan yang tidak ada akhlak!" Amuk Bu Nadya sembari menunjuk pintu keluar. Dadanya bergemuruh akibat mendengar hinaan Bu Aura.
"Nggak usah pun ibu mengusir kami, aku dan anakku tahu jalan pulang. Semoga saja Winda perawan tua seumur hidup," ucap Bu Aura. Sumpah serapah terlontar dari sudut tepi bibirnya. Mereka beranjak pergi dan tidak menoleh ke arah belakang.
Bu Nadya memegangi dadanya yang sesak, asma yang dideritanya mendadak kambuh di waktu yang tidak tepat.
"Bang Anton, tunggu!" teriak Winda sambil mengejar membuntutinya.
"Mau apa lagi kamu, Winda? Ibu tidak sudi punya calon menantu seperti kamu! Apalagi punya calon besan seperti benalu," jawab Bu Aura dengan judes sambil terus melangkah cepat.
Winda terkejut mendengar perkataan Bu Aura. Dia tidak menyangka, wanita di hadapannya bisa berbicara seperti itu. Sungguh menyayat hati dan di luar dugaan Winda.
"Maafkan ibuku, aku minta tolong sekali ini saja," ucapnya mengiba. Matanya berkaca-kaca akibat amukan Bu Aura.
Sifat ibunya yang membuat orang jengkel sehingga tidak mau menolongnya sama sekali. Winda tidak putus asa sampai di sini. Dia berusaha agar ibunya bisa terselamatkan.
"Orang seperti kalian tidak pantas untuk ditolong! Sudah hidup miskin malah mau menjualmu dengan alibi minta mahar lima ratus juta. Kalau mau kaya, kerja keras dong!"
Winda bergeming, tangisnya semakin pecah. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan sambil terisak.
"Bu, tolong dengarkan aku berbicara. Sekali ini saja, help me please," ucapnya mengiba. Tetesan air matanya kembali mengalir deras, sehingga menghalangi pandangannya.
Bu Aura dan Anton tidak peduli sama sekali. Mereka terus melangkah pergi.
"Ibuku memiliki riwayat penyakit asma, Bu. Sekarang asma-nya kambuh. Aku harap ibu dan Bang Anton mau membawa ibuku ke rumah sakit."
Winda terus burusaha minta tolong menghalangi langkah Bu Aura. Namun, tidak dihiraukan sama sekali.
"Urus saja ibumu yang penyakitan itu. Bila perlu kamu jual saja ginjalmu agar hidup kaya raya. Nggak mesti memeras orang, paham!" Bentak Bu Aura sembari mendorong Winda hingga tersungkur ke lantai.
"Aw," ucapnya lirih.
Winda berusaha bangkit walaupun tangannya terkilir. Keselamatan ibunya jauh lebih penting daripada tangannya yang terkilir.
"Ada apa ini ribut-ribut?" ucap Pak Zainuddin, tiba-tiba datang memakai seragam kerja. Wajahnya terlukis letih akibat seharian kerja. Dia buruh lapangan di salah satu kebun sawit di kampung ini.
"Penyakit ibu kumat, Pak! Aku minta tolong sama Bang Anton dan Bu Aura, agar membawa ibu berobat ke rumah sakit," ucap Winda menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Tangan kanannya masih memijit tangan kirinya yang terkilir.
Bu Aura memasang wajah tidak sedap dipandang mata. "Ayo, Nak! Nggak usah hiraukan wanita seperti itu!"
Bu Aura dan Anton pergi, tidak ada sedikitpun menghirauan perkataan Winda. Semua usaha yang dia lakukan demi menyelamatkan ibunya sia-sia. Bahkan dia mendapat hadiah dari Bu Aura, tangannya terkilir.
"Pak, tolong ibu! Aku tidak mau terjadi apa-apa padanya."
"Ta-tanganmu kenapa, Win?" tanya Pak Zainuddin. Ia mencoba melihat lengan putrinya. Namun, Winda menepiskan tangan Pak Zainuddin dan tidak mau.
"Sekarang ini kondisi ibu sekarat di ruang tengah, Pak," seru Winda.
Mereka melangkah menuju ruang tengah.
"Ambil obatnya sekarang juga, Win! Habis itu baru panggil Pak Maman. Aku lihat tadi ada mobilnya parkir di garasi rumahnya pada saat Bapak mau ke mari."
Winda berlari ke kamar untuk mencari obat ibunya. Dia bongkar setiap laci dan tempat obat, tidak juga membuahkan hasil. Sementara Pak Zainuddin berusaha memberi pertolongan kepada istrinya. "Bu, dimana biasanya ibu menyimpan obatnya?" teriak Winda sambil mencari obat itu. Winda lupa kalau ibunya masih kondisi darurat.
Winda tidak putus asa mencari obat itu di dalam kamar. Semua tempat sudah dicari tidak juga ketemu.
"Cepat cari obatnya, Win! Jangan lama-lama di kamar!" teriak Pak Zainuddin. Keringatnya menganak sungai membasahi bajunya karena panik.
"Alhamdulillah akhirnya ketemu. Ya ... obatnya tinggal sedikit lagi. Nggak apa-apalah, semoga bisa meredakan asma-nya, Ibu." Winda berlari menuju ruang tengah dengan cepat. Kakinya hampir saja terpleset. Namun, untung saja dia bisa menyeimbangkan diri.
Winda kembali berlari ke ruang tengah penuh hati-hati. "Ini obatnya, Pak!" ucapnya sembari membuka tutup botol dan menyodorkan obat itu kepada Pak Zainuddin. Lalu, dia meletakkan obat itu tepat di lubang hidung Bu Nadya.
Bu Nadya langsung menghirup obat tersebut, tidak berapa lama asma-nya sembuh.
"Bapak sudah lama pulang?" tanya Bu Nadya dengan suara pelan dan terbata. Wajahnya masih terlihat pucat pasi. Pandangannya berkunang-kunang.
"Baru saja, Bu."
Bu Nadya menelan salivanya dengan berat. Pak Zainuddin menyodorkan botol obat itu kepada Winda. Kemudian Winda menutup kembali botol itu.
"Ibu kenapa? Kok asma-nya tiba-tiba kumat?" tanya Pak Zainuddin.
"A-anu, Pak. Tadi aku menghirup debu. Jadi ...," ucap Bu Nadya. Suaranya tercekat di tenggorokan.
Pak Zainuddin mengernyitkan dahi, alasan yang diberikan istrinya tidak masuk akal. Padahal setiap hari lantai rumah di pel.
"Boleh Bapak bertanya kepada Ibu?"
"Bo-boleh," jawab Bu Nadya gagap.
Wajah Bu Nadya kecut mendengar pertanyaan suaminya.
"Apa benar setiap orang datang ke mari mau melamar Winda, ibu selalu meminta mahar tinggi?"
Winda beranjak dari tempat duduknya, dia nggak mau kalau Bu Nadya curiga padanya.
"Ti-tidak, Pak."
Pak Zainuddin heran dengan jawaban istrinya. Sebenarnya dia sudah tahu informasi itu, cuma dia mau mendapatkan info dari orangnya langsung.
"Bu! Jangan pernah memaksa orang untuk memenuhi kemauanmu agar memberi mahar ratusan juta," Nasihat suaminya.
Jantung Bu Nadya seperti tertancap anak panah mendengar perkataan Pak Zainuddin.
"Ma-maksud Ba-bapak apa?" tanya Bu Nadya terbata-bata.
"Ibu meminta mahar ratusan juta kan?" cecar Pak Zainuddin.
Bu Nadya tidak pernah sama sekali memikirkan usia anaknya yang sudah tua. Di dalam benaknya, suatu hari pasti ada yang sanggup memberi mahar sesuai permintaannya.
"Hm, sial. Kenapa Bapak bisa tahu," ucapnya dalam hati. Tiba-tiba, Bu Nadya mau buang air kecil.
"Ibu mau ke kamar kecil sebentar, Pak," ucap Bu Nadya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Bu."
Pak Zainuddin melarang Bu Nadya pergi ke kamar mandi.
"Bapak."
Bersambung ....
Next?Jangan Larang Aku Menikah!Part 03: Winda Berniat Kawin LariPak Zainuddin melarang Bu Nadya pergi ke kamar mandi."Bapak."Pak Zainuddin tidak menghiraukan apa yang dikatakan istrinya."Kasihan Winda, Bu. Nanti takut masa suburnya habis dan susah mendapat keturunan!" nasihatnya kepada Bu Nadya.Tiba-tiba, bola mata Winda berembun. Dia tidak kuasa lagi menahan buliran air mata yang sudah meronta seketika perlahan luruh tanpa pamit. Winda tersaruk pilu dan termangu, mendengar ucapan Pak Zainuddin."Bapak! Tidak boleh begitu. Apa tidak capek membesarkan dan mencari nafkah untuk merawat dan membesarkan Winda mulai dari kandungan sampai sekarang? Lagi pula tidak usah bapak ikut campur masalah mahar yang ibu ajukan."Aku hanya diam seribu bahasa mendengar perdebatan antara bapak dan ibu. 'Ya Allah, bukakanlah hati ibuku agar tidak
Jangan Larang Aku Menikah!Part 05: Tertangkap Basah"Apa kamu bilang?""Maaf, Pak. Aku sudah tidak tahan menahan cemoohan dan hinaan orang di luar sana. Apalagi aku pergi ke warung belanja bahan sayuran."Flash back satu hari yang lalu."Winda! Sepertinya kamu sangat nyaman hidup sendiri tanpa ada pendamping sama sekali," tegur Bu Wati sedang memilih sayur untuk diolah pagi ini.Winda baru saja sampai di warung, sudah dapat cemoohan. Mendengar hinaan yang dia terima membuat hatinya tersaruk pilu."Mana ada yang berani melamarnya, ibunya selalu meminta mahar lima ratus juta," balas Bu Sarah sembari mengukir senyum mengejek.Tetangga sekitar rumah selalu menghina dan tidak ada sama sekali memikirkan perasaan Winda."Seandainya pun ada uangku lima ratus juta dan aku punya anak laki-laki. Aku nggak bakalan mau mempunyai menantu dan besan seperti Bu Nadya," sahut Bu Nisma.Bu Sarah da
Jangan Larang Aku Menikah!Part 06: Ahmad Bingung Tanam Saham"Astagfirulloh! Segitunya kah ibu kepada aku dan bapak!" ucap Winda terkejut sehingga vas bunga yang ada di sudut ruang tamu luruh ke lantai karena tersenggolnya."Astagfirullah! Kenapa vas bunga bisa tersenggol dan pakai jatuh segala lagi," ucap Winda sambil menepuk jidat.Bu Nadya melangkah menuju asal suara itu. Winda beranjak pergi agar tidak ketahuan menguping pembicaraan kedua orangtuanya."Mau lari ke mana kamu, Winda?" ucap Bu Nadya menghalangi langkahnya.Langkah kakinya terhenti. Dia berdiri gemetar dan matanya sengaja dipejamkan untuk menghilangkan rasa takut dalam dirinya."Mampuslah, Aku. Bisa kena marah sepuluh ayat ini karena ketahuan menguping," ucapnya lirih."Apa yang kamu lakukan di sini?" seru Bu Nadya dengan mata menyalang dan wajah memerah."Ti-tidak
Jangan Larang Aku Menikah! Part 07: Nikah Lari "Ayo, Bang. Buktikan kalau Abang benar-benar serius." Winda memaksa. Sementara Bu Nadya masih sesak karena asma-nya. "Sudah biarkan saja bapak yang menangani ibu, Bang. Jangan sia-sia 'kan kesempatan ini!" ucap Winda. Ahmad masih saja mematung dan tidak mau bergerak sama sekali. "Apakah adek sudah siap untuk menjadi istri, Abang?" tanya Ahmad dengan sorot mata yang tajam. "Ahmad! Cepat kalian pergi lari dari kampung ini. Jangan banyak tanya lagi. Bapak yakin, Winda sudah siap lahir dan batin untuk membina rumah tangga bersamamu." Restu dari Pak Zainuddin sudah ada. Sementara Ahmad belum yakin kalau Winda sudah siap. Itu sebabnya dia masih mematung. "Bang! Ayo kita pergi!" Winda terus memaksa Ahmad. Winda tidak sabar untuk kawin lari. Itu sebabnya dia memaksa Ahmad kabur dari kampung ini. Ahmad melangkah gontai mengham
Jangan Larang Aku Menikah! Part 08: Dilema Winda melangkah menuju kamar untuk packing, tidak mungkin dia pergi tanpa ada bekal pakaian sepasang pun. Sementara uang tidak ada sama sekali di tangannya untuk beli baju. Maka dari itu, Winda secara paksa, mau tidak mau harus bawa beberapa pakaian. Tidak butuh waktu lama, usai sudah semua baju dimasukkan ke dalam tas. Winda menyusul Ahmad yang sudah di atas motor dari tadi. Dia langsung naik dan Ahmad men-stater motor bututnya. Winda kelihatan canggung menunggangi motor yang akan membawanya pergi tidak tahu pergi ke mana. "Maaf, Dek! Karena kita belum sah. Maka tolong jaga jarak." Winda terkejut mendengar ucapan Ahmad. Keadaan seperti ini masih saja menjaga kesuciannya. Dia hanya bisa mengulas senyum, Ahmad terkesima melihat senyumnya jelas kelihatan dari kaca spion. "I-iya, Bang." Sebuah klak
Jangan Larang Aku Menikah! Part 08: Bertamu Ke Rumah Tante Lusy Jangan Larang Aku Menikah! Part 09: Bertamu Ke Rumah Tante Lusy "Oh, itu." Hanya oh yang diutarakan, Winda. Pikirnya melayang dan tidak tahu ke mana arahnya. "Maksudnya apa, Dek!" Winda salah tingkah, tidak tahu ingin berkata apa dan menjelaskannya kepada Ahmad. Sementara raut wajahnya Ahmad memaksa Winda untuk menjawab pertanyaannya. "Itu ajaran sesat yang sangat dimurkai oleh Allah, Bang." Ahmad bergeming dan otaknya traveling memikirkan apa yang diucapkan Winda. "Abang tidak tahu apa maksudnya, Dek! Abang harap jangan bertele-tele," ucapnya penuh penasaran. Ahmad menghembuskan napas kasar dan merasa menggigil. Udara panas kini berubah menjadi dingin. "Maksud tanam saham itu ... K
Jangan Larang Aku Menikah! Part 08: Salah Sangka Ahmad menatap Winda, perasaannya baru saja di depannya. Ternyata Winda sudah jauh. Dia naik ke atas motor dan menghidupkan motor bututnya. "Winda ... Winda ... Tolong maafkan aku!" panggil Ahmad sambil mengendarai motornya. Winda tidak perduli apa yang di katakan Ahmad. Perasaannya sudah terluka, akibat perkataan Ahmad. Ahmad memarkirkan motor bututnya di pinggir jalan, lalu dia turun dan menangkap lengan Winda. "Winda! Maaf kan abang, Dek! Aku nggak ada niat mau melakukan tanam saham duluan. Mungkin bukan aku yang ngomong tadi, Dek!" Winda tergugu dan jiwanya nelangsa. Ia berpikir memilih Ahmad akan menjaga dirinya, ternyata sangat bertolak belakang dengan apa yang ia harapkan. Pikirnya nanar dan hatinya kosong, tidak tahu hendak berbuat apa
Jangan Larang Aku Menikah! Part 11: Ibu Marah di Rumah Tante Lusy Ahmad menghela napas, dia melihat jam yang melingkar di lengannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua puluh dua, lewat satu menit Waktu Indonesia Barat. "Tan! Kalau mau cari penginapan dekat sini butuh waktu, tenaga dan uang!" balas Ahmad sedikit kesal. Perempuan yang di hadapan Ahmad memasang wajah angkuh dan sombong. "Kalau aku ada uang lebih, nggak bakalan menyusahkan, Tante. Aku mohon sangat, tolong berilah izin kepada kami satu malam saja," ucapnya memohon dengan sangat. Winda hanya diam dan tidak berani ikut campur. Permohonan Ahmad saja tidak ada sama sekali digubris sama dia, apalagi Winda. "Aku coba tanya sama Pamanmu terlebih dahulu," jawabnya spontan. Dia masuk ke dalam rumah. Ada secercah harapan, Ahmad mengelus dada sembari mengucap Alhamdulillah. Padahal, Ahmad sudah sempat putus asa atas jawaban tanten