Share

Part 02: Cekcok Masalah Mahar

Jangan Larang Aku Menikah!

Part 02: Cekcok Masalah Mahar

Pagi hari sangat cerah menyapa bumi. Namun, tidak seperti perasaan yang dialami Winda. Dia beranjak dari atas ranjang menuju halaman rumah yang dihiasi penuh bunga. Langkah kakinya diayunkan perlahan, hingga sampai ke taman depan rumah. Hanya bunga inilah tempatnya menghibur diri.

Bu Nadya sedang sibuk bersih-bersih teras rumah. Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Dia berhenti sejenak dan melihat mobil yang sudah parkir di halaman rumah.

Di sudut halaman rumah, Winda memperhatikan gerak-gerik mereka yang baru saja keluar dari dalam mobil. Sementara dia sengaja sembunyi di antara bunga-bunga yang baru saja disiram.

"Selamat datang calon menantu dan calon besan," ucap Bu Nadya dengan senyum sumringah.

Senyum Bu Nadya dibalas oleh Bu Aura.  Pria yang membuntuti Bu Aura tersenyum tipis sambil menangkupkan kedua tangan sejajar dengan dada.

"Mari, silakan masuk!" ajak Bu Nadya sambil menuntun Bu Aura dan pria itu masuk ke dalam rumah. Baru beberapa langkah, Bu Nadya berhenti. Dia melangkah ke arah taman sambil teriak memanggil putri semata wayangnya.

 "Winda ...! Masuk!" panggil Bu Nadya sambil mencari Winda ke arah bunga yang baru saja disiram. 

Dia diam sejenak dan menghentikan pekerjaannya walaupun masih terbengkalai.

"Iya, Bu. Tunggu sebentar, tinggal sedikit lagi selesai," ucapnya dengan nada teriak.

Bu Nadya masuk kembali ke dalam rumah bersama Bu Aura serta anaknya. Tidak berapa lama, Winda datang dengan wajah pucat dan murung. Lalu dia duduk di samping Bu Nadya.

"Ini anak gadisku, namanya Winda."

Winda tersenyum tipis, walaupun terpaksa. "Pasti ibu mempersulit dan minta mahar setinggi langit," batin Winda sambil memijit keningnya. Dia hanya menunduk dan tidak berani memandang Bu Aura beserta anaknya.

"Langsung saja, Bu. Maksud kedatangan kami mau melamar Winda," ucap Bu Aura memulai percakapan. Sementara putranya diam laksana Patung Liberty.

"Oh iya, anak Ibu namanya siapa?" tanya Bu Nadya.

Pria itu terkejut mendengar pertanyaan Bu Nadya. Dia menghembuskan napas berat sambil memperbaiki duduknya.

"Namaku Anton, Bu," jawabnya dengan senyum tipis sembari menangkupkan kedua tangan sejajar dengan dada. Anton memperhatikan Winda perlahan tanpa sepengetahuannya.

"Kelihatannya cocok sama Winda," ucap   Bu Nadya penuh harap. 

Winda berharap ibunya tidak mempersulit Bu Aura masalah mahar, agar status perawan tua lepas dari dirinya.

"Semoga saja, Bu," balas Bu Aura.

Winda diam membisu terus menunduk. 

"Winda, kenapa masih diam dan bingung. Buatin teh buat calon mertua juga calon imammu!" Perintah Bu Nadya.

Winda mengangguk, "Iya.

Dia pergi melangkah menuju dapur. Baru beberapa langkah, kakinya berhenti.

"Nggak usah repot-repot, Win! Maksud kedatangan ibu dan Anton mau melamarmu. Kalau sudah ada kesepakatan, kami langsung pergi untuk mengurus semua persiapan ijab kabul," ujar Bu Aura.

Winda merasa senang setelah mendengar perkataan Bu Aura. Tiba-tiba dia termenung, pasti ibunya tidak mau mempermudah segala sesuatunya, termasuk masalah mahar.

"Anak ibu ganteng, body six pack, hidung mancung, senyumnya manis dan mempunyai lesung pipi lagi," puji Bu Nadya sembari mengulas senyum. Bu Nadya sengaja memuji calon menantunya. Tiba-tiba ia berkhayal. Seandainya dia masih muda, dirinya langsung mau menjadi istri Anton.

"Bagaimana lamaran Anton, putraku, Bu?" tanya Bu Aura kembali. Dia nggak sabar menunggu jawaban dari Bu Nadya.

"Kalau ibu sanggup memberi mahar lima ratus juta, Winda pasti mau," jawabnya menimpali dengan cepat dan lantang. Dia nggak sadar atas ucapannya.

Wajah Anton dan Bu Aura memerah setelah mendengar perkataan Bu Nadya yang sangat fantastis.

'"Aku lagi dan aku lagi yang dikambing hitamkan," ucap Winda dalam hati.

Winda menarik napas berat, seakan-akan tidak kuasa menahan cobaan yang dibuat ibunya. Seandainya Winda punya sayap, saat itu juga dia terbang.

"Apa aku tidak salah dengar, Bu Nad?" tanya Bu Aura. Wajahnya terlihat jelas kecewa, bahkan tidak menyangka Bu Nadya minta mahar tinggi dan tidak masuk akal.

"Tidak, Bu," jawabnya dan tidak memikirkan perasaan Winda.

Seketika ruangan hening dan langit nan biru berubah menjadi gelap. Langit saja tidak ridha dan izin atas permintaan Bu Nadya. Apalagi Bu Aura dan Anton, jelas tidak mau.

"Bagaimana? Apakah mau dan sanggup?" tanya Bu Nadya kembali mencoba mencairkan suasana yang tegang.

"Uang lima ratus juta kecil bagi keluarga kami," balas Bu Aura dengan nada sombong.

"Mau bayar lunas atau ...." Ucapan Bu Aura terjeda. Dia sengaja memancing Bu Nadya.

Bu Nadya tersenyum tipis dan merasa bahagia. "Alhamdulillah kalau begitu. Semoga kita jadi besanan, Bu," sahut Bu Nadya. Wajahnya melahirkan senyum bahagia.

"Kalau boleh tahu apa kelebihan Winda?" tanya Bu Aura spontan.

Bu Nadya terkejut mendengar pertanyaan Bu Aura. Dia kelabakan dan mati kutu mendengar pertanyaan Bu Aura.

"Ke-kelebihannya," ucapnya terjeda sembari memutar otak untuk memikirkan jawaban yang tepat.

"Pokoknya sudah itu syarat dan ketentuannya. Tidak bisa diganggu gugat lagi," jawab Bu Nadya dengan wajah songong dan yakin.

"Cih! Kelebihannya tidak ada. Masa minta mahar lima ratus juta."

Bu Aura langsung berdiri karena sudah merah padam. Wajah Bu Aida memerah terpancing emosi atas perkataan Bu Aura.

"Maksud ibu apa?" balas Bu Nadya.

Suasana semakin panas akibat percekcokan yang tidak saling terima. "Coba lihat kualitas putrimu baru membuat harga tinggi!" Murka Bu Aura.  Ruangan ini diwarnai amarah yang tinggi.

"Ma-maksudnya bagaimana? Kenapa ibu malah emosi setelah mendengar penuturanku?" balas Bu Nadya dengan wajah bingung.

Winda dan Anton diam tidak ikut campur dalam percakapan ini.

"Cantik tidak, ASN tidak, emas rupiahnya tidak ada. Apalagi cuma tamatan SMA. Ditambah perawan tua lagi. Sepertinya ibu terlalu tinggi mimpinya."

Wajah Bu Nadya berubah merah dan tidak terima atas hinaan Bu Aura.

Bersambung ....

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status