Share

Part 04: Winda Berniat Kawin Lari

Jangan Larang Aku Menikah!

Part 03: Winda Berniat Kawin Lari

Pak Zainuddin melarang Bu Nadya pergi ke kamar mandi.

"Bapak."

Pak Zainuddin tidak menghiraukan apa yang dikatakan istrinya.

"Kasihan Winda, Bu. Nanti takut masa suburnya habis dan susah mendapat keturunan!" nasihatnya kepada Bu Nadya.

Tiba-tiba, bola mata Winda berembun. Dia tidak kuasa lagi menahan buliran air mata yang sudah meronta seketika perlahan luruh tanpa pamit. Winda tersaruk pilu dan termangu, mendengar ucapan Pak Zainuddin.

"Bapak! Tidak boleh begitu. Apa tidak capek membesarkan dan mencari nafkah untuk merawat dan membesarkan Winda mulai dari kandungan sampai sekarang? Lagi pula tidak usah bapak ikut campur masalah mahar yang ibu ajukan."

Aku hanya diam seribu bahasa mendengar perdebatan antara bapak dan ibu. 'Ya Allah, bukakanlah hati ibuku agar tidak keras kepala seperti ini." Winda berdoa dalam hati.

Winda sangat tersiksa atas perlakuan ibunya. Hari demi hari dilewati penuh dengan cobaan.

"Seharusnya ibu tidak boleh seperti ini. Mempersusah calon pengantin pria untuk menghalalkan putri kita. Aku heran melihat ibu," ucap Pak Zainuddin sambil memijit keningnya yang tidak sakit.

"Apapun itu ceritanya ibu tidak akan mengikuti apa kata bapak," jawab Bu Nadya dengan keras kepala.

Pak Zainuddin mulai tersulut emosi. Dia mengepalkan tangan untuk meninju istrinya. Namun, Winda menghalangi bapaknya.

"Pak! Jangan mengikuti amarah yang sedang membara di dalam dada!" ucap Winda sambil mengelus dada bapaknya.

Pak Zainuddin menarik napas dan menghembuskannya dengan kasar.

"Waktu ibu gadis nggak ada sama sekali diminta mahar sama ibu mertua ratusan juta. Malah ibu pernah bilang tidak boleh mempersulit calon suami. Kenapa sekarang ibu malah melakukan itu kepada Winda?" tanya Pak Zainuddin kepada istrinya.

"Zaman dahulu pada saat aku gadis dan bapak masih lajang berbeda dengan sekarang. Apa kata tetangga nanti kalau mahar Winda hanya sepuluh juta?"

"Buat apa mahar ratusan juta, Bu? Kalau maharnya itu hasil ngutang. Setelah menikah hidup tersiksa memikirkan bagaimana cara melunasi hutang itu."

"Itu bukan urusan kita, Pak! Pokoknya Aku dan Bapak bisa menikmati maharnya."

Pak Zainuddin kini merah padam mendengar jawaban istrinya.

"Sadar Bu! Perbuatanmu itu sangat di larang agama."

Bu Nadya menautkan alis sebelah ke atas mendengar perkataan suaminya.

"Sudahlah, Pak! Bapak diam saja nggak usah ikut campur!"

"Bapak tidak bisa diam dalam masalah ini. Aku masih hidup dan berhak ikut campur atas masa depan anak gadisku! Aku tidak tahan dinyinyirin kawan kerja terus menerus pada saat istirahat di tempat kerja. Coba ibu diposisi aku!"

Bu Nadya meregangkan tangannya dan tidak perduli dengan perkataan suaminya.

"Gitu saja sudah lemah! Nggak usah didengarin apa kata mereka. Kalau kita dengarin nyinyiran netizen, bisa-bisa gila!"

"Ibu mungkin tak peduli, tapi aku tidak bisa mendengar nyinyiran mulut netizen. Lagi pula aku tidak mau menghalangi Winda untuk menyempurnakan agama dan mengikuti sunnah rasul. Nikah itu bahagian dari ibadah."

Pak Zainuddin sudah kehabisan cara untuk memberikan nasehat kepada istrinya. Tidak ada satu pun yang di gubris oleh wanita yang ada di depannya.

"Pokoknya sekali hitam tetap hitam. Kalau aku sudah mengucapkan mahar Winda lima ratus juta, tidak boleh kurang. Kalau bertambah aku malah semakin senang."

Bu Nadya mengulas senyum, dia mengkhayal suatu saat lehernya akan dihiasi emas, jari manisnya melingkar cincin permata. Setiap hari bisa memakai barang bermerk. "Berkhayal dulu, siapa tahu besok jadi kenyataan," ucap Bu Nadya dalam hati sambil senyum-senyum seperti orang gila.

"Argh ... Bapak malas berdebat sama ibu. Dikasih tahu nggak pernah mengalah dan tidak pernah mau menerima pendapat orang. Jangan karena ibu meminta mahar ratusan juta kepada setiap pria yang mau mempersunting Winda, ujung-ujungnya ibu zolim padanya, ingat itu!"

Pak Zainuddin menghela napas berat dan beringsut meninggalkan istrinya karena lelah menghadapi tingkahnya.

****

Malam telah tiba, angin sepoi berhembus menusuk sampai ke tulang. Winda merenung di teras rumah sendirian dan ditemani secangkir bandrek minuman khas Medan.

"Belum tidur, Win?" sapa Pak Zainuddin. Seketika membuyarkan lamunannya. Dia membetulkan duduknya tidak seperti tadi pada saat sendiri.

Dia terkejut, "A-aku belum ngantuk, Pak," jawabnya terbata. Winda tidak menyangka Pak Zainuddin datang menghampirinya. Netranya sengaja diarahkan ke luar memandangi bunga dengan tatapan sendu. Dia tidak tahu, sampai kapan berakhir sebutan perawan tua ini lepas darinya.

Nyanyian jangkrik terdengar sesekali menghibur Winda yang sedang di rundu nestapa.

"Bapak ingin cerita sama kamu, boleh?"

Dia meletakkan bobotnya di atas kursi tepat di samping Winda. Setelah itu, Pak Zainuddin meniup kopi yang masih panas agar cepat dingin.

"Tentang apa, Pak? Jelas boleh dong," balasnya menimpali. Dia mengulas senyum dan meletakkan gawainya di atas meja.

"Mau sampai kapan kamu seperti ini? Bapak ingin segera kamu menikah. Agar tugas dan tanggungjawab seorang Bapak lepas."

Winda diam seribu bahasa, hatinya tersaruk pilu mendengar pertanyaan beliau.

Lalu Winda berkata, "Aku juga ingin segera menikah, Pak. Tapi ...."

Winda dan Pak Zainuddin bergeming, seketika beliau meneguk kopi buatan sendiri.

"Aw," ucap Pak Zainuddin. Perasaannya kopi buatannya sudah dingin ternyata masih hangat.

Winda keceplosan tertawa melihat Pak Zainuddin berkata lirih atas bibirnya yang terbakar kopi yang baru saja diteguk.

"Sudahlah, nggak usah kamu ikuti permintaan ibumu. Kalau terlalu taat padanya, bisa-bisa kamu ...," ucapnya terjeda. Ia nggak sanggup melanjutkan perkataan yang baru saja dikatakan, takut melukai hati putrinya.

"Bisa apa, Pak?" tanyaku penuh penasaran. Kebiasaan Pak Zainuddin suka menggantung ucapannya.

Winda menatap netra lelaki yang berada tepat di hadapannya, menelisik dalam. Dia merasa jika bapaknya ingin mengatakan sesuatu padanya. Namun, diurungkan.

"Bisa apa, Pak? tanyanya kembali.

"Hm."

Pak Zainuddin hanya berdehem saja tak ada sepatah kata yang ia lontar kan dari sudut bibirnya.

"Pak!" tegur Winda.

"Iya."

Pak Zainuddin kembali meneguk kopi yang sudah mulai dingin. Kali ini tidak ada umpatan yang keluar dari sudut bibirnya.

"Bagaimana kalau aku kawin lari atau tanam saham duluan, Pak? Aku tidak tahan dicemooh dengan sebutan perawan tua terus menerus," ucap Winda memberanikan diri tanpa ada rasa takut.

Pak Zainuddin tersedak dan dia meletakkan cangkir kopi itu di atas meja, tiba-tiba batuk.

"Apa kamu bilang?"

Bersambung ....

Note:

Kawin lari di kampung author biasanya dilakukan kalau terkendala restu orang tua dan tidak sanggup membayar mahar. Kalau tanam saham itu adalah Hamil di luar nikah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status