Winda melangkah menuju kamar untuk packing, tidak mungkin dia pergi tanpa ada bekal pakaian sepasang pun. Sementara uang tidak ada sama sekali di tangannya untuk beli baju. Maka dari itu, Winda secara paksa, mau tidak mau harus bawa beberapa pakaian. Tidak butuh waktu lama, usai sudah semua baju dimasukkan ke dalam tas.
Winda menyusul Ahmad yang sudah di atas motor dari tadi. Dia langsung naik dan Ahmad men-stater motor bututnya. Winda kelihatan canggung menunggangi motor yang akan membawanya pergi tidak tahu pergi ke mana.
"Maaf, Dek! Karena kita belum sah. Maka tolong jaga jarak."
Winda terkejut mendengar ucapan Ahmad. Keadaan seperti ini masih saja menjaga kesuciannya. Dia hanya bisa mengulas senyum, Ahmad terkesima melihat senyumnya jelas kelihatan dari kaca spion.
"I-iya, Bang."
Sebuah klakson berbunyi memberi isyarat kepada Pak Zainuddin bahwasanya mereka berdua izin pamit dan akan pergi jauh. Winda duduk di atas motor dengan perasaan sedih bercampur senang. Sepanjang perjalanan tak terasa air matanya terus jatuh membasahi pipi.
"Tuhan, jika ini adalah jalan yang terbaik bagiku, hamba ikhlas atas semua ini."
Satu sisi, statusnya yang perawan tua akan segera berakhir. Satu sisi, ijab kabul yang akan di ikrarkan Ahmad tidak disaksikan oleh ibunya.
"Dek! Kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Ahmad.
Ahmad mencoba membuka percakapan walaupun suasana menyetir motor. Suaranya samar-samar di dengar Winda.
"Apa, Bang?" tanya Winda dengan nada kencang.
Angin sepoi mengibarkan jilbabnya, panas matahari tidak terasa akibat angin kencang. Winda nikmati perjalanan ini penuh hikmat.
"Kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Ahmad dengan nada naik empat oktaf.
Suara Ahmad tidak jelas terdengar, tapi masih bisa di tangkap oleh daun telinganya.
"I-iya, Bang. Cuma aku masih belum siap dan ikhlas kalau cara ini yang harus kita tempuh. Bagaimana pun juga, ibu yang melahirkan dan merawatku sampai seperti ini."
Masih keadaan di atas motor yang sedang berjalan, perbincangan antara Winda dan Ahmad masih terus berjalan.
Hembusan angin terasa dingin hingga menusuk sampai ke tulang. Winda ingin merasakan bersandar di bahu Ahmad, tapi dia harus rela menahan karena belum mahram.
"Apa yang harus adek lakukan jika tidak ikhlas untuk menempuh jalan ini?" tanya Ahmad kembali.
Dia menghentikan motornya di tepi bibir jalan raya. Ahmad turun dari atas motor dan menghadap wajah Winda. Namun, Winda menunduk tidak mau menatap wajah calon suaminya.
"Aku juga nggak tahu, Bang," balas Winda dengan malu.
Ahmad heran kenapa Winda bersikap seperti itu. Padahal sebentar lagi mereka segera ijab sah.
"Tolong bulat 'kan niatmu, Dek! Sebelum kita melaju pergi terlalu jauh dari kampung ini," ucap Ahmad. Dia mencoba meyakinkan Winda, agar tidak ragu dan harus siap menerima segala konsekuensinya.
"Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrohim, Aku akan siap dan ikhlas apapun itu yang akan terjadi."
Ucapan Winda membuat Ahmad senyum sumringah dan rasa bahagia kini lahir dalam dirinya.
"Jangan menyiksa dirimu, Dek! Kamu tidak terpaksa 'kan?" tanya Ahmad kembali meyakinkan dirinya.
Winda mengangguk dan memilin ujung jilbabnya. Dia masih duduk berada di atas motor. Tidak ada sama sekali jawaban yang diberikan Winda.
"Maaf, Dek. Ada satu hal perkataan Bapak yang masih mengganjal dalam pikiran Abang."
Winda terkejut mendengar perkataan Ahmad. Dia langsung mendongak. Perasaannya tidak ada yang aneh perkataan bapaknya.
"Apa itu, Bang?" tanya Winda dengan sedikit takut.
Mereka berhenti di perbatasan kampung Winda dengan Ahmad.
Tak ada satu pun kendaraan yang lewat.
'Apakah Bang Ahmad mau melakukan tahan saham. Ya Tuhan, aku tidak mau melakukan itu,' ucapnya dalam hati."Maksud Bapak tadi bilang tanam saham itu, apa iya?" tanya Ahmad dengan polos.
Tubuh Winda tiba-tiba menggigil. Namun, dia merasa kepanasan. Perasaan was-was tiba-tiba saja muncul, takut jika Ahmad mengikuti apa yang diucapkan bapaknya.
Bersambung ....
Next?
Jangan Larang Aku Menikah! Part 08: Bertamu Ke Rumah Tante Lusy Jangan Larang Aku Menikah! Part 09: Bertamu Ke Rumah Tante Lusy "Oh, itu." Hanya oh yang diutarakan, Winda. Pikirnya melayang dan tidak tahu ke mana arahnya. "Maksudnya apa, Dek!" Winda salah tingkah, tidak tahu ingin berkata apa dan menjelaskannya kepada Ahmad. Sementara raut wajahnya Ahmad memaksa Winda untuk menjawab pertanyaannya. "Itu ajaran sesat yang sangat dimurkai oleh Allah, Bang." Ahmad bergeming dan otaknya traveling memikirkan apa yang diucapkan Winda. "Abang tidak tahu apa maksudnya, Dek! Abang harap jangan bertele-tele," ucapnya penuh penasaran. Ahmad menghembuskan napas kasar dan merasa menggigil. Udara panas kini berubah menjadi dingin. "Maksud tanam saham itu ... K
Jangan Larang Aku Menikah! Part 08: Salah Sangka Ahmad menatap Winda, perasaannya baru saja di depannya. Ternyata Winda sudah jauh. Dia naik ke atas motor dan menghidupkan motor bututnya. "Winda ... Winda ... Tolong maafkan aku!" panggil Ahmad sambil mengendarai motornya. Winda tidak perduli apa yang di katakan Ahmad. Perasaannya sudah terluka, akibat perkataan Ahmad. Ahmad memarkirkan motor bututnya di pinggir jalan, lalu dia turun dan menangkap lengan Winda. "Winda! Maaf kan abang, Dek! Aku nggak ada niat mau melakukan tanam saham duluan. Mungkin bukan aku yang ngomong tadi, Dek!" Winda tergugu dan jiwanya nelangsa. Ia berpikir memilih Ahmad akan menjaga dirinya, ternyata sangat bertolak belakang dengan apa yang ia harapkan. Pikirnya nanar dan hatinya kosong, tidak tahu hendak berbuat apa
Jangan Larang Aku Menikah! Part 11: Ibu Marah di Rumah Tante Lusy Ahmad menghela napas, dia melihat jam yang melingkar di lengannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua puluh dua, lewat satu menit Waktu Indonesia Barat. "Tan! Kalau mau cari penginapan dekat sini butuh waktu, tenaga dan uang!" balas Ahmad sedikit kesal. Perempuan yang di hadapan Ahmad memasang wajah angkuh dan sombong. "Kalau aku ada uang lebih, nggak bakalan menyusahkan, Tante. Aku mohon sangat, tolong berilah izin kepada kami satu malam saja," ucapnya memohon dengan sangat. Winda hanya diam dan tidak berani ikut campur. Permohonan Ahmad saja tidak ada sama sekali digubris sama dia, apalagi Winda. "Aku coba tanya sama Pamanmu terlebih dahulu," jawabnya spontan. Dia masuk ke dalam rumah. Ada secercah harapan, Ahmad mengelus dada sembari mengucap Alhamdulillah. Padahal, Ahmad sudah sempat putus asa atas jawaban tanten
Jangan Larang Aku Menikah! Part 11B: Ahmad Teringat Masa Kecil "Adek tidur di kamar saja iya. Biar Abang di ruang tengah," ucap Ahmad mencairkan suasana. Ahmad mematah-matahkan lehernya yang pegal. Empat jam perjalanan membuat badannya lelah dan letih menyetir motor tidak ada sama sekali gantian. Winda mengangguk. "Iya." Ahmad mengukir senyum tipis. Giginya terlihat rapi dan putih. Melihat lesung pipi dan hidungnya yang mancung membuat semua wanita ingin memilikinya. Winda meleleh membayangkan wajah Ahmad, wanita mana yang tidak menaruh hati atas wajah yang dimiliki calon suaminya. "Dek! Kok melamun," tegur Ahmad. "Oh, iya. Maafkan adek, Bang." Winda kaget kenapa bisa melamun membayangkan wajahnya yang sangat ganteng laksana nabi Yusuf. "
Jangan Larang Aku Menikah! Part 10: Ketahuan "Kenapa?" potong Tante Lusy. Ahmad tidak bisa menjawab pertanyaan tantenya. Sejenak dia berpikir, agar hati tantenya tidak terluka. "Pokoknya kamu segera menikah dengan Winda. Tante tidak mau tahu apa pun itu alasannya. Kalau bisa besok pun jadi. Jika menikah itu kamu niatkan untuk menyempurnakan agama dan mengikuti sunnah rasul, kenapa ditunda-tunda? Nikah itu juga ibadah, Mad!" Ahmad dinasihati tantenya. Perasaannya sedih bercampur bahagia. Kebahagiaan kini hadir pada dirinya. "Alhamdulillah kalau begitu, Tan. Semoga pilihan aku tidak mengecewakan, tante." Bahagia menyelimuti ruangan itu. Suara jangkrik turut serta bahagia apa yang dialami Ahmad. "Namanya Winda, sepertinya tidak asing nama itu," ucap Tante, tiba-tiba. "Maksudnya, Tan?" tanya Ahmad sambil mengernyitkan dahi. Ahmad mulai was-was kalau tantenya berubah pikiran.
"Nanti siang, ada Om-Om yang mau melamar kamu. Dia orang kaya dan tidak akan menolak permintaan Ibu. Kamu tidak boleh mempermalukan aku, paham!" Bu Nadya masih berambisi meminta mahar kepada setiap pria yang datang mempersunting Winda. "Secara tidak langsung Ibu sudah menjualku. Tanpa sadar melelangku kepada semua pria. Tolong posisikan ibu sebagai aku. Apakah Ibu sanggup menerima perlakuan seperti ini?" Plak! Sebuah tamparan menepis di pipinya. "Semakin hari kamu semakin melawan. Siapa yang mengajarimu menjadi anak durhaka? hah!" Winda hanya bisa pasrah dan menangis. Rasa sakit telah lahir di wajahnya atas tamparan yang Bu Nadya lakukan pada dirinya. Ia tidak bisa mengelus, karena kedua tangannya sudah di borgol dan kakinya sudah di pasung. 'Sungguh teganya ibu memperlakukanku,' ucapnya dalam hati. "Jangan coba-coba teriak ataupun mengadu sam
Jangan Larang Aku Menikah! Part 13: Melamun Menjadi Kaya Jangan Larang Aku Menikah! Part 13: Melamun Menjadi Kaya "Bang Ahmad, tolong aku, Bang!" "Diam kau, Winda!" "Kalau sudah berurusan sama Bu Nadya, aku tidak berkutik. Beliau seperti orang gila kalau sudah mengamuk," ucap Ahmad spontan. "Bang tolong aku ...." Winda teriak minta tolong. Namun, tidak ada sama sekali Ahmad menolongnya. "Maafkan abang, Dek. Tidak bisa membantumu. Aku akan berusaha memperjuangkan cinta kita." Tangisnya pecah, melihat ulah Bu Nadya. Andaikan air mata ini bisa kering, sudah sejak dahulu kering. "Jalan, Pak!" ucap Bu Nadya kepada pria berkepala empat itu. Bu Nadya sengaja merental mobil untuk menjemput Winda buah hatinya. "Ba-baik, Bu," jawab pria itu. Sepanjang perjalanan Winda meratapi nasibnya betapa malang. Kebahagian sudah menyapa dirinya, tapi itu se
Jangan Larang Aku Menikah! Part 13: Melamun Menjadi Kaya Air matanya kembali luruh tiada henti. Ia tidak tahu kapan berakhir penderitaan yang selalu menyapa dirinya. "Nanti siang, ada Om-Om yang mau melamar kamu. Dia orang kaya dan tidak akan menolak permintaan Ibu. Kamu tidak boleh mempermalukan aku, paham!" Bu Nadya masih berambisi meminta mahar kepada setiap pria yang datang mempersunting Winda. "Secara tidak langsung Ibu sudah menjualku. Tanpa sadar melelangku kepada semua pria. Tolong posisikan ibu sebagai aku. Apakah Ibu sanggup menerima perlakuan seperti ini?" Plak! Sebuah tamparan menepis di pipinya. "Semakin hari kamu semakin melawan. Siapa yang mengajarimu menjadi anak durhaka? hah!" Winda hanya bisa pasrah dan menangis. Rasa sakit telah lahir di wajahnya atas tamp