Share

Part 08: Dilema

Jangan Larang Aku Menikah!

 

 

Part 08: Dilema

Winda melangkah menuju kamar untuk packing, tidak mungkin dia pergi tanpa ada bekal pakaian sepasang pun. Sementara uang tidak ada sama sekali di tangannya untuk beli baju. Maka dari itu, Winda secara paksa, mau tidak mau harus bawa beberapa pakaian. Tidak butuh waktu lama, usai sudah semua baju dimasukkan ke dalam tas.

Winda menyusul Ahmad yang sudah di atas motor dari tadi. Dia langsung naik dan Ahmad men-stater motor bututnya. Winda kelihatan canggung menunggangi motor yang akan membawanya pergi tidak tahu pergi ke mana. 

"Maaf, Dek! Karena kita belum sah. Maka tolong jaga jarak."

Winda terkejut mendengar ucapan Ahmad. Keadaan seperti ini masih saja menjaga kesuciannya. Dia hanya bisa mengulas senyum, Ahmad terkesima melihat senyumnya jelas kelihatan dari kaca spion.

"I-iya, Bang."

Sebuah klakson berbunyi memberi isyarat kepada Pak Zainuddin bahwasanya mereka berdua izin pamit dan akan pergi jauh. Winda duduk di atas motor dengan perasaan sedih bercampur senang. Sepanjang perjalanan tak terasa air matanya terus jatuh membasahi pipi.

"Tuhan, jika ini adalah jalan yang terbaik bagiku, hamba ikhlas atas semua ini."

Satu sisi, statusnya yang perawan tua akan segera berakhir. Satu sisi, ijab kabul yang akan di ikrarkan Ahmad tidak disaksikan oleh ibunya.

"Dek! Kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Ahmad.

Ahmad mencoba membuka percakapan walaupun suasana menyetir motor. Suaranya samar-samar di dengar Winda.

"Apa, Bang?" tanya Winda dengan nada kencang.

Angin sepoi mengibarkan jilbabnya, panas matahari tidak terasa akibat angin kencang. Winda nikmati perjalanan ini penuh hikmat.

"Kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Ahmad dengan nada naik empat oktaf.

Suara Ahmad tidak jelas terdengar, tapi masih bisa di tangkap oleh daun telinganya.

"I-iya, Bang. Cuma aku masih belum siap dan ikhlas kalau cara ini yang harus kita tempuh. Bagaimana pun juga, ibu yang melahirkan dan merawatku sampai seperti ini."

Masih keadaan di atas motor yang sedang berjalan, perbincangan antara Winda dan Ahmad masih terus berjalan.

Hembusan angin terasa dingin hingga menusuk sampai ke tulang. Winda ingin merasakan bersandar di bahu Ahmad, tapi dia harus rela menahan karena belum mahram.

"Apa yang harus adek lakukan jika tidak ikhlas untuk menempuh jalan ini?" tanya Ahmad kembali.

Dia menghentikan motornya di tepi bibir jalan raya. Ahmad turun dari atas motor dan menghadap wajah Winda. Namun, Winda menunduk tidak mau menatap wajah calon suaminya.

"Aku juga nggak tahu, Bang," balas Winda dengan malu.

Ahmad heran kenapa Winda bersikap seperti itu. Padahal sebentar lagi mereka segera ijab sah.

"Tolong bulat 'kan niatmu, Dek! Sebelum kita melaju pergi terlalu jauh dari kampung ini," ucap Ahmad. Dia mencoba meyakinkan Winda, agar tidak ragu dan harus siap menerima segala konsekuensinya.

"Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrohim, Aku akan siap dan ikhlas apapun itu yang akan terjadi."

Ucapan Winda membuat Ahmad senyum sumringah dan rasa bahagia kini lahir dalam dirinya.

"Jangan menyiksa dirimu, Dek! Kamu tidak terpaksa 'kan?" tanya Ahmad kembali meyakinkan dirinya.

Winda mengangguk dan memilin ujung jilbabnya. Dia masih duduk berada di atas motor. Tidak ada sama sekali jawaban yang diberikan Winda.

"Maaf, Dek. Ada satu hal perkataan Bapak yang masih mengganjal dalam pikiran Abang."

Winda terkejut mendengar perkataan Ahmad. Dia langsung mendongak. Perasaannya tidak ada yang aneh perkataan bapaknya.

"Apa itu, Bang?" tanya Winda dengan sedikit takut. 

Mereka berhenti di perbatasan kampung Winda dengan Ahmad.

Tak ada satu pun kendaraan yang lewat.

'Apakah Bang Ahmad mau melakukan tahan saham. Ya Tuhan, aku tidak mau melakukan itu,' ucapnya dalam hati.

"Maksud Bapak tadi bilang tanam saham itu, apa iya?" tanya Ahmad dengan polos.

Tubuh Winda tiba-tiba menggigil. Namun, dia merasa kepanasan. Perasaan was-was tiba-tiba saja muncul, takut jika Ahmad mengikuti apa yang diucapkan bapaknya.

Bersambung ....

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status