Share

Part 07: Nikah Lari

Jangan Larang Aku Menikah!

Part 07: Nikah Lari

"Ayo, Bang. Buktikan kalau Abang benar-benar serius." Winda memaksa.

Sementara Bu Nadya masih sesak karena asma-nya. 

"Sudah biarkan saja bapak yang menangani ibu, Bang. Jangan sia-sia 'kan kesempatan ini!" ucap Winda.

Ahmad masih saja mematung dan tidak mau bergerak sama sekali.

"Apakah adek sudah siap untuk menjadi istri, Abang?" tanya Ahmad dengan sorot mata yang tajam.

"Ahmad! Cepat kalian pergi lari dari kampung ini. Jangan banyak tanya lagi. Bapak yakin, Winda sudah siap lahir dan batin untuk membina rumah tangga bersamamu."

Restu dari Pak Zainuddin sudah ada. Sementara Ahmad belum yakin kalau Winda sudah siap. Itu sebabnya dia masih mematung.

"Bang! Ayo kita pergi!" Winda terus memaksa Ahmad.

Winda tidak sabar untuk kawin lari. Itu sebabnya dia memaksa Ahmad kabur dari kampung ini.

Ahmad melangkah gontai menghampiri Pak Zainuddin.

"Kalau begitu, aku minta izin serta doa restu dari bapak. In sya Allah, aku bakalan menjaga dan merawat putri bapak," ucap Ahmad spontan. Dia saja nggak tahu kenapa bisa berkata seperti itu.

Pak Zainuddin tidak menghiraukan apa yang di katakan Ahmad. Dia sibuk mencari obat istrinya di kamar. Setiap kali asma istrinya kambuh, selalu panik mencari obatnya kerena sangat susah untuk ditemukan, sehingga muncul pikiran negatif Pak Zainuddin terhadap penyakit istrinya.

'Apa ini hanya akal-akalan istriku,' tanya Pak Zainuddin dalam hati.

Ahmad brinhsut menghampiri Pak Zainuddin sambil meraih tangan kasarnya.

"Permisi, Assalamualaikum," ucap Ahmad sembari mencium takzim punggung tangan Pak Zainuddin. Sementara Bu Nadya masih belum sadar dari asma-nya yang lagi kambuh.

Winda juga menghampiri bapaknya, dan dia mau minta doa restu juga sekalian izin pamit.

"Pak! Aku minta doa restu dan izin untuk menyempurnakan agama juga mengikuti sunnah rasul. Titip ibu iya, Pak," ucap Winda dengan mata berembun.

Winda menangis mengurai air mata. Matanya tidak kuasa menahan sedih atas restu yang diberikan Pak Zainuddin kepadanya juga Ahmad. Andai saja ibu seperti bapak. Mungkin nasibnya tidak seperti ini.

"Hati-hati di jalan. Jangan lupa beri kabar kepada bapak, kalian ada di mana. Biar bapak mudah menyusul, jika bapak kangen samamu, Winda," ucap Pak Zainuddin dengan mata berkaca-kaca. Pria yang dulu kekar dan maco, meneteskan air mata laksana mata air tiada henti.

Winda tidak menyangka pahlawannya ini bisa menangis. Tangisnya pecah bahkan terisak. Winda sangat sedih meninggalkan ayah juga ibunya.

'Aku yakin bapak pasti berat memilih jalan ini. Mungkin ini adalah satu-satunya jalan yang harus kutempuh,' ucap Winda dalam hati.

Winda sangat berat untuk melanhkah jauj pergi. Baru pertama kali ini dia jauh dari kedua orangtuanya. Berat, sedih, sesah bahkan perih menjadi satu. Dia telan dengan terpaksa demi kebaikannya di masa depan.

"Sekali lagi permisi, Pak." ucap Winda juga Ahmad serentak.

Bersambung ....

Next?

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status