Share

14. Bukan Muhrim

~Dia yang tak pernah aku sebut dalam doaku, ternyata jodohku. Tapi yang bukan jodohku justru selalu aku rindu. Inikah cinta yang bukan muhrim?~

                               ♤♤♤

Penyelidikan kematian Romo Kiyai berlangsung dilakukan pihak kepolisian. Bukti pisau belati dan kertas diserahkan. Kejadian ini menjadi momok bagi para santri. Wartel laris antrian mereka untuk minta doa agar kasus ini segera terkuak. 

Wartawan datang mencari liputan namun para prajurit menghalangi dengan mengunci gerbang. 

Mereka keluar dari ruangan. Pihak kepolisian meminta kedatangan Robet, Rasya, Saga dan Tuan Darwin ke kantor polisi untuk diinterogasi. Menaiki mobil, sirine dibunyikan. Gerbang dibukakan. Wartawan mengeroyok ingin mendapatkan informasi.

Robet, bagaimana perasaanmu melihat Kiyai Abdul wafat?

Kira-kira siapa yang membunuh Kiyai Abdul?

Kalau sudah tau pelakunya, hukuman apa yang pantas untuknya?

Pertanyaan wartawan bersahutan dan sangat mengganggu kinerja mereka. Terpaksa polisi menarik laju kecepatan mobil.

Di ruangan tertutup, udara dingin menggelitik tubuh, siap menenangkan pikiran mereka. Kapten Richard, komandan polisi sebagai pengontrol rapat kasus yang akan dibahas. Meja bundar akan mengawasi jalannya keseriusan mereka.

"Dari pihak kepolisian, kami menemukan dua bukti yang ada ditempat kejadian. Pisau belati dan kertas bertuliskan Imaz," kata Kapten Richard meletakkan kedua bukti di tengah-tengah meja, "siapa Imaz itu?" 

Ia menatap mereka bergantian.

"Imaz adalah santri Romo Kiyai. Dia gadis yang kami temukan di Taman Santri." Robet bersuara.

"Bagaimana latar belakang si Imaz?"

"Dia tinggal di desa seberang laut dibawah pimpinan kepala desa Pak Darwin." Robet menoleh sebentar, "dia wanita satu-satunya di Desa. Karena dia titisan Raden Patah."

"Orang tuanya?"

"Aku belum sempat ketemu orang tuanya tapi langsung membawa Pak Darwin."

"Lalu, sekarang Imaz dimana?"

"Itu yang kami lakukan sehari-hari mencari keberadaannya. Dia habis diserang."

"Kapan, dimana dan siapa?"

"Kejadian terjadi pukul 12 malam di Taman Santri. Masalah pelakunya kami belum menemukannya."

"Lalu?"

"Dia diperiksa sahabatku, Rasya dan Saga. Hari-hari mereka juga yang mengawasinya." 

Robet menatap mereka,  anggukan kepala dan ulasan senyum yang sopan dilakukannya, "tapi, mereka mengaku telah menculik Imaz karena ingin menyelamatkan agar bisa mengeluarkan mesin suara dari otaknya."

"Mesin suara?" Kapten Richard menekuk alis baru tahu dengan mesin asing itu.

"Iya dan menurut penelitian Rasya, mesin itu dibuat oleh Pak Darwin. Sslanjutnya tanyakan dia lebih dalam lagi."

Kapten Richard menatap dalam Tuan Darwin, "apa itu mesin suara?"

"Sebenarnya Imaz adalah gadis bisu. Demi karena anakku mencintainya, aku memasangnya di dalam otak." 

Tuan Darwin memainkan jarinya berpikir. Kecurigaan penuh mewarnai wajah Kapten Richard.

"Saudara Rasya, lanjutkan." Kapten Richard memerintah karena Tuan Darwin terlalu lama diam.

"Dari penelitian, mesin itu sangat berbahaya karena didesain terlalu lengkap. Mesin suara memiliki banyak kegunaan tapi jika disalahgunakan berdampak pada si pengguna. Mesin itu tersambung pada mata, telinga, pita suara, cctv dan gps. Mata untuk melihat identitas seseorang. Telinga untuk mendengarkan seseorang dari jarak jauh, pita suara untuk berbicara, cctv untuk memantau kinerja si pengguna dan...."

Rasya menatap Tuan Darwin dengan senyum licik

"Gps untuk menguntit keberadaan si pengguna. Jika tak percaya, ini buktinya." 

Rasya meletakkan mesin suara berbentuk bulat kecil di tengah meja. Bukti ketiga terkumpul.

"Apakah ini sudah jelas maksud kedatangan Imaz di pesantren?" Lanjutnya.

"Dan satu lagi..." sahut Saga, merogoh sesuatu dari sakunya. Sebuah kertas diserahkan pada Kapten Richard, "surat berisi tentang perempuan sesat. Aku menemukannya di koper Imaz yang berupa uang jutaan."

Tuan Darwin tersentak. 

Saga menatap mereka bergantian. Menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan isi surat secara nyata.

Saga berkata lagi, "ada kedatangan tamu hari ini. Silahkan masuk..."

Seorang perempuan tua membuka pintu. Senyuman sepenuhnya diarahkan pada Tuan Darwin. Seisi ruangan diam membisu.

"Perkenalkan, Ibu itu bernama Yati. Ibu kandung Pak Darwin."

Bagai pelatuk menembus cakrawala. Mereka menatap Tuan Darwin yang melukiskan dendam sementara menatap Yati melukiskan penyesalan.

Rencana yang disangkanya terjadi juga. Selama ia sengaja menculik Imaz sehabis diserang dan meneliti mesin suara, Rasya, Saga dan Wafi melakukan investigasi di tempat tinggal Tuan Darwin, pencipta mesinnya. Sebelum itu, mereka juga masih menyimpan surat yang tersimpan di koper milik Imaz berisi jutaan.

Rumah tempat tinggal Yati tak semewah Tuan Darwin. Tapi masih bisa mencukupi. Ia tinggal sendirian.

Di waktu malam hari sibuknya pesantren melakukan kegiatan setoran, mereka meluangkan waktu mendatangi rumah Yati. Di ruang tamu semua terbongkar sempurna.

"Darwin mempunyai kakak bernama Darwis. Dari kecil mereka sering bertengkar karena perlakuanku." Kata Yati saat itu, "aku sering membedakan mereka. Darwis yang sukses membangun Pesantren Benang Biru aku sombongkan pada Darwin."

"Apa yang bisa aku banggakan dari Darwin yang pemalas, sering keluar malam, dan berkata kasar padaku." Air mata Yati meleleh.

Tiba-tiba Tuan Darwin mengacungkan pistol dihadapannya, "hentikan !!"

Saga menghentikan ceritanya.

"Sudah...sudah...kasus ini sudah jelas." Kapten Richard mendekati Tuan Darwin, "kau penyebab utama masalah hancurnya Pesantren Benang Biru meskipun belum menemukan semua bukti. Maka..." borgol mengikat kedua tangannya, "kau dipenjara sementara atas kasus tuduhan pembunuhan."

Mereka bisa bernapas lega akhirnya setengah kasus bisa terselesaikan. Penyelidikan selanjutnya diserahkan pihak kepolisian untuk mencari keberadaan Imaz sebagai saksi serta korban yang kuat. Untuk membantu jalannya penyelidikan mereka juga menugaskan Robet siapa yang menyerang Imaz sebelum ia hilang.

Tuan Darwin memendam emosi mengingat masa lalu sendirian di jeruji besi. Dan sementara Yati tinggal di pesantren. Ia ikut naik mobil. Keluarga baru akan menyambutnya.

Di tengah perjalanan, Robet berhenti di depan toko kitab. Masuk ke dalam toko, Rasya dan Saga terheran. Di masa-masa sulit masih sempatnya belajar kitab. Membayar uang pas, ia kembali masuk ke mobil. Kitab diletakkannya pada belakang kaca mobil.

"Sangat penting ya beli kitab." Seru Rasya.

"Iya ini hadiah untuk istriku." Kata Robet tersenyum pipi memerah.

"Memang siapa sih istrimu? Dan kitab apa yang kau beli?"

"Sangat ingin tau ya?" Seloroh Robet membuat Rasya mengatupkan bibir enggan bertanya lagi.

Tiba di Pesantren, rupanya para khodam sudah mempersiapkan makan siang di meja makan bahkan setelah mendengar bunyi klakson mobil, kesembilan putri Romo Kiyai beserta suami keluar kamar langsung duduk di ruang makan menyambut kedatangan mereka dan antusias mendengarkan hasil kasus tadi.

"Robet, Rasya, Saga mari makan siang." Ning Fiyyah bersemangat mengajaknya, "dan..." ia tak menyelesaikan perkataannya kala melihat Yati yang asing baginya.

"Nanti kita akan jelaskan." Robet menjawab.

Mereka duduk. Namun, mata Robet kesana kemari, "dimana Irma?"

"Kenapa mencari Irma?" Ning Shita bertanya, mulai mencomoti makanannya.

"Aku ingin memberikannya hadiah karena dia istriku."

"Haa?" Kesembilan putrinya sontak terkejut. 

Robet mengedipkan kata berkali-kali heran. Ia mengira mereka tahu semua dari Romo Kiyai.

Pucuk di cinta ulam pun tiba begitu kata pujangga walau Robet tak seromantis demikian. Irma datang membawa pesona magnet debaran hatinya. Mata tak henti-hentinya menatap senyum meronanya. Duduk disamping adalah kewajiban tuk menyatukan rasa. Kesembilan putri Romo Kiyai saling memandang tak enak.

"Aku punya hadiah untukmu." Robet menunjukkan sebuah kitab yang tersembunyi di punggungnya di hadapannya.

Irma menerimanya, "kitab apa ini Gus?"

"Fathul izar."

Gelak tawa kesembilan putri Romo Kiyai meluap di udara menurunkan kepercayaan Irma.

"Fathul izar? Kitab apa ini? Kenapa kau tidak membelikanku terjemahannya?" Irma merasa tak nyaman dengan tawa ngikik seisi ruangan.

"Sudahlah..." sahut Ning Shita meledek, "itu kitab yang sangat romantis. Bukankah kalian ini suami istri?"

"Iya Irma." Robet menyetujui. Asupan emosi Irma makin berapi-api, "kalau tidak bisa baca, cari di internet. Nanti kita praktekan di waktu dan rasa yang pas."

"Kau yang menghina aku tidak bisa memasak?" Kata Irma polos. Tawa terpingkal-pingkal kesembilan putri Romo Kiyai membuat makanan tak hangat lagi seperti perbimcangan lucu kali ini.

"Irma...irma...masak ada kitab berisi tentang resep makanan." Ning Shita berkata masih menyisakan tawanya.

Suasana meja makan menjadi hiburan tersendiri terlebih Robet tak menduga istrinya sepolos itu.

Kejadian di kantor polisi, Robet menceritakannya setelah suasana gelak tawa hening.

                                   ***

Pengumuman terlampir luas di majalah dinding. Berisikan tentang semua santri dipulangkan baik khodam maupun tidak. Tapi khodam berpegang teguh tetap berdoa di pesantren sampai aman.

Sehabis maghrib, para santri dijemput keluarga. 

Ada kegelisahan sendiri di benak mereka antara tetap di pesantren karena tak tega atau pulang karena kekhawatiran orang tua. Untuk itu, sebagai rasa solidaritas mereka menyumbangkan uang ketulusan yang kemungkinan bisa membantu jalannya penyelidikan memberantas kejahatan yang ilegal.

Keluarga besar Romo Kiyai hanya diperintah untuk selalu berdoa setiap sehabis salat termasuk di sepertiga malam.

Ning Fiyyah menatap arti pada langit. Gelap menyisakan terangnya bintang. Ia terpekur kejadian kematian Romo Kiyai yang bisa bertepatan Imaz datang membawa tangan berwarna darah sekaligus kertas menyatakan namanya.

Apakah ini sebuah kebetulan? Ataukah benar Imaz yang melakukan semua ini?

Arti persahabatan mengalahkan keburukan. Meski kenyataan didepannya terasa benar, itu semua tetaplah salah. Seorang berjubah hitam muncul lagi. Dan kini, ia yakin Imaz datang kembali. Ning Fiyyah menggerakan kursi roda menuju jendela kamar. Keyakinan berpihak saat seorang berjubah hitam membuka hoodie-nya.

Imaz datang membawa hadiah ulasan senyum.

"Aku datang Ning..." kata Imaz dengan nada suara berbeda dari sebelumnya. 

Nada yang penuh dinamika cobaan yang sengaja dipendam.

"Imaz, kenapa kau selalu sembunyi datang kesini? Kita semua merindukanmu."

"Ning, aku janji akan mengembalikan pesantren seperti sediakala. Kejadian yang dialami pesantren itu semua karena aku."

"Itu semua pasti omong kosong."

"Percayalah padaku. Aku punya rencana sendiri, Ning. Kau mau membantukukan?"

Ning Fiyyah menatapnya dalam kemudian menganggukkan kepala.

"Jadilah mata-mata Gus Robet. Buat rencana agar Gus Robet bisa bertemu denganku. Aku ingin mengungkapkan semuanya."

"Baiklah, kalau begitu..." Ning Fiyyah mengeluarkan ponsel dari saku bajunya lalu menyodorkan padanya, "ambil saja supaya kau bisa menghubungiku."

"Tapi..." Imaz merasa tak enak hati.

"Sudahlah...kapan kapan aku bisa beli lagi. Nanti akan ku hubungi lewat wartel pesantren."

"Terima kasih Ning."

Mereka berpelukan setelah sekian lama tak merasakan kehangatan arti persahabatan. Dulu punya sahabat tapi tak sehangat saat ini karena dia sudah bahagia diatas sana. Siapa lagi kalau bukan Vania. 

Memori pembunuhan keji yang dialaminya masih membekas walaupun demikian abu peninggalan tak tercium karena ombak laut menghisapnya tanpa ampun.

Datang untuk pergi lagi.

Ning Fiyyah kesepian lagi.

Berbeda lagi dengan Robet. Rasa kasmaran mulai menjamah mendebarkan dada. Bisa sekamar bersama pelabuhan terakhirnya. Duduk berdua bersandingan pasti lebih baik. Bintang juga banyak yang berkelip menyaksikan malam pertama mereka. Terdiam menghirup udara dingin menyongsong dada yang berdetak tidak karuan. Robet diam-diam mengambil kesempatan menyentuh tangannya. Sontak Irma mengelak karena kaget.

"Maaf tidak sopan. Tapi bukankah ini pahala bagi yang sudah halal?" Robet menarik pelan kedua tangannya. Memberi senyum penuh arti divhadapannya.

"Bagaimana hadiahku? Apakah kau sudah membacanya? Kalau sudah nanti kita pelajari dan praktekkan bersama."

Tatapan Irma merasa tak nyaman. Secara rasa ia menghentakkan tangan melepaskannya. Tangan langsung diusapkan ke roknya berkali-kali.

"Mungkin kau butuh waktu." Robet mencoba mengerti saat menatapnya mengusap tangan berkali-kali, "nanti kalau sudah siap aku pesankan hotel Ayahku. Kita lakukan disana pas hari kamis malam jumat."

Irma hanya tersenyum tipis. Wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. 

Robet keluar, ia bisa menghembuskan napas akhirnya. Berada didekat orang yang tidak dicinta sampai kapanpun tak menghasilkan perasaan sayang. Ia masih penasaran kitab fathul izar. Buru-buru ponsel dikeluarkan dari saku. Ditekan g****e pencarian bertuliskan 'terjemah kitab fathul izar.' Banyak pilihan dalam pencarian laman. Asal-asalan ia memencet pilihan pertama.

Ia membaca judulnya sudah kaget bukan kepalang. Apalagi lebih dalam mengorek informasinya.

Telepon berdering. Arman menelpon. Irma segera mengangkat teleponnya.

"Hallo sayang." Sapaan Arman.

"Sayang...aku tidak betah menuruti rencanamu." Arman berharap dapat jawaban manis malah dapat omelan.

"Sabarlah sayang. Supaya rencana kita berhasil."

"Kau tahu Man, si Robet memberiku kitab fathul izar kitab berisi tentang cara hubungan suami istri. Kenapa si Robet ngebet sekali." Irma merasa resah.

Suara pelatuk menyaring keras terdengar dari telepon Arman. Pergerakan suara sepatu berlarian bersahutan.

"Sayang, kau baik-baik saja?" Irma menekuk alis.

"Irma, nanti aku telepon lagi. Umpan kita kabur." Arman berkata tidak beraturan. 

Telepon sudah ditutup belum sempat menanyakan umpan apa yang dimaksud. Entah rencana apa yang  dibuatnya yang penting Irma bisa kabur dari pesantren dan melukis sejarah cinta mereka dalam bahtera rumah tangga.

Robet menatap bintang di balkon. Sudah lama tak berkunjung untuk sekedar menyapanya. Beri'tikaf mencari jejak kehidupan tak bertuan.

Bintang meredup memendam perasaan. Pergi tanpa pamit pada langit. 

Tak ada lagi cahaya kenyamananan memeluk rasa kesepiannya. Sebuah bayangan tiba-tiba muncul dari bawah. Keluar dari kamar Romo Kiyai. Bayangan itu mengendap-endap mencurigakan. Segera Robet turun dari balkon mengejarnya. Sosok berjubah hitam keluar membawa koper. Merasa di untit, sosok itu semakin mempercepat larinya. 

Robet menarik pelatuk. Suara pistol di angkat ke udara menembus langit. Sosok itu terhenti kaget. Ketangkasan meraih tangannya berkat pelatuk yang mengalihkan perhatian.

Robet menatapnya dalam, "kau siapa?"

Sosok itu melepas tangannya keras namun Robet menariknya dan mencekik lehernya. 

Di buka hoodie-nya dan tak percaya seseorang yang ada dihadapannya adalah Imaz. Tatapan mereka bertemu kembali. Rasa rindu mereka tak diukur oleh waktu. Mungkin Imaz merasakan getaran jantung memompa dengan hebatnya. Entah soal perasannya. Ia menarik kembali menurunkan tangannya.

Mereka tanpa kata. Membisu membiarkan menjadi beku. Menghantarkan bisik detakan jantung.

"Apa yang kau lakukan?" Robet menyadarkan Imaz sambil menatap koper yang dibawanya.

Bukan saatnya mengatakan yang sebenarnya. Imaz tidak menjawab dan langsung meninggalkannya hingga menyisakan tanda tanya.

                                   ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status