"Nona! Kereta kuda kerajaan sedang menuju kesini!" Seruan Ahn membuat Aquila langsung mengalihkan perhatiannya. Cewek berambut pirang itu langsung mengikuti arah pandangan Ahn.
Apa?
Eh, Ada apa ini?
Aquila langsung bangkit dari tempatnya, ia meninggalkan sepotong kue berperisa stroberi yang bahkan masih belum ia sentuh.
Aquila berlari keluar menuju perkarangan rumahnya yang luas. Dan benar saja, begitu gerbang besar dibuka, datang sebuah kereta kuda kerajaan dengan lambang khas istana tertera di bagian depannya.
Sebenarnya ada apa ini? Apakah Zero ke sini karena sedang ada urusan dengan Duke Charles? Tapi, ayah Aquila tersebut sedang tidak ada di kediaman ini.
Atau mungkin Zero ada urusan dengan Alaster?
"Adikku sayang~"
Ah, Aquila mendadak merasa menyesal telah menyebut nama Alaster dalam hati, kakaknya itu, tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya.
"Adikku, mengapa putra mahkota ke sini? Apa kau sedang ada urusan dengannya?" Alaster bertanya.
Aquila menggelengkan kepala. Aquila tidak tahu. Ia justru berpikir kalau Zero ke sini karena ada urusan dengan Alaster.
"Mhmm, ada hal apa, ya?" Alaster memegang dagunya.
Kereta kuda tersebut berhenti. Zero turun dengan gagahnya, benar-benar aura protagonis yang menyilaukan.
"Salam hormat kami, Yang Mulia Putra Mahkota." Alaster menunduk, Aquila juga mengikuti gerakan kakaknya itu.
"Ada keperluan apa yang membuat Yang Mulia datang ke sini?" Alaster bertanya ramah.
Zero mengeluarkan sebuah buket bunga dari dalam jubah hitamnya. Ia sama sekali tak berbicara sepatah kata pun, ia hanya menyodorkan buket bunga tersebut ke hadapan Aquila.
"Ooh~ Yang Mulia menyatakan perasaan kepada adikku!" Alaster memekik kegirangan. "Tapi bagaimana kalau kekasih anda cemburu?"
Aquila spontan menyikut Alaster, tidak bisakah makhluk aneh itu bertingkah sedikit lebih waras di hadapan Yang Mulia?
"Ambil." Zero berucap singkat, ia masih berupaya menahan amarahnya.
Aquila, yang mendengar ucapan dengan nada perintah itu tak mampu membantah. Ia mengambil kembali buket bunga tersebut.
Aquila ingat persis, ini adalah hadiah yang kemarin ia berikan untuk Zeline. Namun, mengapa benda ini bisa berada pada Zero?
"Hirup aroma bunga itu." Lanjut Zero.
"Apa?" Balas Aquila tidak mengerti.
"Hirup!" Sentak Zero tak sabaran.
"Tunggu dulu, Yang Mulia," Alaster berusaha menengahi, "bagaimana kalau anda masuk dulu? Kita bisa membicarakan maksud tujuan anda di dalam?"
"Kau diamlah." Zero menatap Alaster dengan tajam. "Aku belum mengizinkanmu untuk bicara."
Kali ini Zero kembali terfokus kepada Aquila. "Aquila, kau sungguh menjijikan."
Aquila tersentak mendengar cemooh itu. Perlu diingat, dalam kehidupan sebelumnya, Aquila merupakan anak penakut yang begitu memedulikan pendapat orang disekitarnya tentang dirinya.
Tentu saja ucapan dari Zero tadi sudah lebih dari cukup untuk melukai hatinya.
"Apa maksud Yang Mulia?" Tanya Aquila dengan suara bergetar.
"Hentikan sandiwaramu! Kau benar-benar memuakkan." Balas Zero dengan nada sinis. "Kau pikir, aku tidak tahu kalau kau lagi-lagi hendak mencelakai Zeline?"
Aquila tak berani menatap wajah Zero yang kini terasa begitu mengintimidasi.
"Kali ini kau sudah kelewatan." Ujar Zero lagi.
"Saya tidak mengerti..." Lirih Aquila.
"Bunga yang kau berikan untuk Zeline. Setelah menghirup bunga itu, Zeline langsung jatuh sakit." Zero berucap ketus. "Kau sengaja, 'kan?"
Aquila tak dapat berkutik.
Ia berani bersumpah bukan ia pelakunya!
Tapi Aquila juga baru teringat sesuatu. Yang membuat buket bunga tersebut adalah Alaster, jadi, sudah pasti Alaster yang menaruh racun.
Pantas saja kemarin Alaster berpesan untuk menyuruh Zeline menyimpan bunganya di dalam kamar!
Dasar Alaster brengsek!
"Kenapa kau diam saja?" Cecar Zero. "Jadi benar, ya? Kau berniat membuat Zeline celaka?"
"Ti... Tidak, Yang Mulia," Aquila berucap patah-patah.
"Kau tahu, nyawa Zeline jadi terancam setelah ia menerima hadiah darimu!" Maki Zero, tentu saja ia tak terima jika ada yang berusaha mencelakai kekasihnya.
"Sekarang, kau hirup bunga itu." Perintahnya, "kau harus merasakan rasa sakit yang Zeline rasakan."
Aquila panik bukan main, ia tahu ia salah karena mempercayakan Alaster untuk membuat buket bunga ini. Tapi, tentu saja ia tak mau merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh Zeline.
Aquila hanya tidak ingin mati ... Untuk yang kedua kalinya.
Tanpa sadar setetes air mata turun begitu saja dari mata Aquila. Tubuhnya gemetar karena rasa takut. Ia sungguh merasa ketakutan!
"Ini perintah." Zero berucap dengan penuh penekanan.
Aquila menggerakkan buket bunga itu dekat dengan indra penciumannya.
Aquila menghirup bunga tersebut dalam-dalam.
Selamat tinggal dunia ...
...
LOH, KOK TIDAK TERJADI APA-APA?!
Aroma bunga itu sungguh harum. Aquila langsung menjauhkan buket bunga tersebut dari hidungnya. Sama sekali tidak terjadi apa-apa, Aquila merasa kebingungan sendiri.
Bukannya Aquila ingin terjadi sesuatu. Tapi ia hanya merasa heran?
Atau ternyata efek racunnya belum bekerja?
"Yang Mulia, saya tidak terima dengan penghinaan ini." Alaster kini angkat bicara, ia tak bisa membiarkan adik kesayangannya dibuat ketakutan seperti tadi!
"Adik saya sudah berbesar hati dengan meminta maaf terlebih dahulu serta memberikan hadiah untuk putri Baron tersebut." Alaster berucap dengan nada tegas. "Tapi anda justru menuduh adik saya berniat jahat terhadap kekasih anda? Saya sungguh merasa terhina."
Aquila mundur beberapa langkah, ia bersembunyi di balik tubuh Alaster. Aquila hanya bisa menunduk, berusaha menghentikan air mata yang kian bercucuran.
Alaster ada gunanya juga. Aquila jadi merasa bersalah sering menghina kakaknya itu.
"Sebenci itukah anda kepada adik saya?" Alaster melanjutkan. "Anda bahkan sama sekali tak memiliki bukti yang kuat kalau adik saya berniat jahat, anda hanya menyimpulkan sepihak."
Zero berdeham, ia mengalihkan pandangannya dari Alaster yang tiga tahun lebih tua darinya.
"Saya punya seseorang yang sangat ingin saya lindungi." Zero kini membuka suaranya. "Saya hanya ingin keadilan untuk Zeline, jika seandainya Aquila pelakunya."
"Omong kosong!" Bentak Alaster. "Lalu, apa? Sudah terbukti, 'kan, kalau Aquila tidak bersalah?"
"Kak Alaster, kau seharusnya mengerti posisiku." Zero mendadak jadi melankolis, ia bahkan tidak lagi menggunakan bahasa yang formal, itu adalah bahasa yang sering digunakannya kepada Alaster saat masih kecil dulu. "Aku hanya khawatir pada Zeline! Aku hanya ingin melindunginya!"
"Kau bisa melindungi kekasihmu tanpa harus menindas adikku." Alaster berucap dingin.
Zero diam seketika.
"Kalau begitu, posisiku juga sama denganmu. Aku hanya ingin melindungi adikku, aku tak akan segan-segan untuk membalas siapapun yang hendak melukai adikku." Alaster berujar serius, "aku tidak peduli meskipun itu kau, Yang Mulia." Ujarnya memberi penekanan tersendiri pada kata 'Yang Mulia'.
"KAK—" Zero hendak berseru lagi, namun Alaster langsung memotong ucapan orang yang pernah ia anggap adik tersebut.
"Hentikanlah, Zero." Alaster berujar dengan tegas, "kau harus mengerti batasanmu." Kali ini giliran Alaster yang memberikan tatapan menusuk. "Saat ini keluargaku masih memihak kepadamu itu karena permintaan Aquila. Aku bisa saja berubah haluan dan jadi memihak pangeran yang lain jika kau terus-terusan menyakiti adikku."
"Jadi, jangan melewati batas." Alaster berbisik tepat di telinga Zero.
***
"Sebenarnya memang benar apa yang diduga Zero." Alaster kini sedang ada di salah satu bar kecil dekat gang sempit milik salah satu kenalannya. Bar ini sungguh terpencil sehingga jarang orang yang berdatangan.
"Aku memang menaruh racun dalam buket bunga itu." Gumamnya lirih. Ditangannya terdapat sebotol kecil bersisi cairan bening yang hanya tersisa setengahnya.
Tangan Alaster bergerak, membuka tutup botol racun tersebut. Alaster tersenyum simpul. "Tapi racun ini tak akan bekerja jika tidak ada pemicunya."
"Untungnya saja..." Kali ini Alaster menuangkan setetes racun tersebut di atas serpihan bubuk berwarna putih kekuningan. "Aku punya seseorang yang bisa dipercaya untuk meletakkan pemicunya." Bisa dilihat, tetesan racun tersebut mulai bekerja jika terkena serpihan bubuk putih yang disebut Alaster sebagai pemicu tersebut.
"Untungnya saja ... Kepala pelayan di kediaman Baron Aideos memihak padaku." Alaster kian menoleh, disampingnya ada seseorang yang tak asing baginya.
"Ucapanku benar, kan?" Alaster menyeringai, menatap kepala pelayan di kediaman Baron Aideos yang kini telah menjadi sekutunya.
"Saya siap untuk tugas selanjutnya, tuan," jawab si kepala pelayan yang telah tunduk.
***
Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge
“Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare
Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m
“Mustahil!” Kaisar Lius menarik rambutnya sendiri, rasanya ia telah menjadi gila, ia sulit membedakan mana yang mimpi mana yang bukan. “INI PASTI MIMPI! HAHAHA AKU PASTI SEDANG BERMIMPI!” ia menyeringai, tanda keterkejutan dan keputusasaannya. Ini mimpi yang begitu buruk, seseorang tolong bangunkan dirinya! “Ini bukan mimpi, Yang Mulia.” Muncul seseorang memasuki ruangannya. Secara dramatis, dari balik bayangan, perlahan Kaisar Lius mampu melihat wajahnya yang disinari cahaya bulan. “Salam saya, Yang Mulia.” Pria itu menyapa dengan senyum manis di wajahnya. R- Revel?! “DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!” Kaisar Lius berteriak, meluapkan segala emosinya. Bagaimana bisa Revel masih bisa tersenyum manis di saat seperti ini?! Ah, tidak, itu merupakan senyum ejekan! Senyum yang mentertawakan posisinya saat ini. “Ah? Bagaimana menurut anda mengenai kejutan yang telah saya siapkan sepenuh hati seperti ini?” Tanya Revel, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “KAU PASTI SUDAH GILA!” “Sa
“Revel, Revel!” Seruan yang berasal dari Mike berhasil membuyarkan ingatan Revel atas masa kelamnya. “Kemarilah! Tuan Michael terluka parah!” Huh? Revel, diikuti yang lainnya bergegas menghampiri Mike dan Baron Michael yang terbaring lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya jauh lebih buruk dari yang Revel pikirkan, sepertinya pria itu terkena tebasan senjata yang telah dilumuri racun, terlihat jelas dari bekas luka beserta warna kulit yang berubah kehijauan. “Michael, bertahanlah!” Seru Revel, yang bergerak cepat mengikatkan kain dengan erat agar racunnya tidak cepat menyebar. “Bertahanlah, aku akan segera mencarikan penawar.” “Berhenti.” Ketika Revel hendak bangkit, Baron Michael menggenggam tangannya. “Tidak perlu.” “A- apa?” Alis Revel bertaut, ia jelas tak mengerti mengapa Baron Michael menahannya. “Percuma saja, racunnya sudah menyebar sejak tadi.” “Apa yang kau bicarakan?! Kenapa kau menyerah seperti itu?!” Seru Revel, perasaannya kini tak menentu, kalimat y
“Sebelumnya kau mengatakan kalau otak mereka telah dicuci dan mereka menjadikan kaisar sebagai dewa mereka, kan?” Xander bertanya, memastikan. Muncul sebuah ide gila di kepalanya. “Bagaimana jika cara tercepat untuk menghabisi mereka dalam satu entakan adalah dengan membunuh kaisar terlebih dahulu?” Bagi Xander, ini merupakan ide gila yang patut dicoba. Subjek Venatici menganggap kaisar sebagai dewa mereka, bagaimana jika Xander membunuh ‘dewa’ yang selalu ingin mereka lindungi itu? Pasti mereka akan merasakan perasaan putus asa yang begitu mendalam akibat gagal melindungi dewa. Setelah mendapat pukulan keras itu, seharusnya mereka melemah, kan? Tidak, tidak, lebih baik lagi jika mereka melakukan bunuh diri massal akibat perasaan bersalah yang mendalam. Seringaian menyeramkan mendadak timbul pada wajah Xander. Ia akan merealisasikan ide gila itu. Kesimpulannya, ia akan membunuh Kaisar terlebih dahulu. Revel yang mendengarnya seketika menoleh. “Itu… benar-benar ide nekat yang laya