"Kenapa kau memakai identitasku?" Aquila bertanya seraya mencengkram kerah Zeline.
Keributan kecil itu menarik para rakyat untuk mengerubungi, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, sebagian dari mereka pun saling berbisik, membuat asumsi tentang permasalahan ini.
"Master A palsu? Apa maksudnya?"
"Jadi, Nona Aideos sebenarnya bukanlah Master A? Dia hanya mengaku-ngaku?"
"Lihatlah, Master A yang asli sudah datang, sudah aku duga ia tak akan diam saja membiarkan namanya dipakai seenaknya oleh orang lain."
"Tapi, untuk apa alasan Nona Aideos membohongi kita?"
Aquila menghela napas, para rakyat ini, mereka cepat sekali berkerumun saat terjadi sebuah kejadian yang bisa dijadikan gosip.
Aquila kembali fokus dengan tujuannya, ia menatap Zeline dengan puas, seperti mangsa yang terkena jebakan, Zeline hanya diam tak mampu berbuat apa-apa.
"Nona Zeline? Kenapa kau diam saja? Aku tanya, kenapa kau memakai identitasku?
Zeline sangat serius dengan ucapannya, tentu ia tak akan diam saja membiarkan harga dirinya terluka, membuat citranya yang sudah sulit ia bangun tercoreng begitu saja."Hei, lihatlah ada Nona Cantik yang ke sini, hei, apa yang sedang kau cari, Nona?" tanya salah satu pria berbadan kekar yang melihat Zeline menghampirinya."Eh, aku rasa Nona ini tidak tahu apa yang sedang ia lakukan." bisik rekannya yang berwajah seram.Zeline berdeham, menatap gerombolan pria dewasa berwajah seram di depannya dengan serius, sebenarnya, ia sedikit gugup, tapi ia menyembunyikannya agar tak terlihat remeh.Zeline tak mau diremehkan. Ia melempar sekantung besar berisi kepingan emas ke meja tempat mereka berkumpul. "Aku memiliki satu penawaran yang menarik." ujarnya yang berniat mengajak para prajurit bayaran ini bekerja sama.Pagi ini, Saat matahari baru menyingsing, Zeline seorang diri sedang mengunjungi markas prajurit bayaran yang terkenal akan keganasannya. Zeline
"Aku akan menghadiahkannya kepada Nona Aquila." Ucap Zeline dengan lantang.Jantung Aquila seakan terhenti saat mendengar namanya disebut. Perasaannya mendadak tidak enak. Zeline pasti merencanakan sesuatu!"Lebih tepatnya, Nona Aquila yang saat ini sedang menyamar menjadi Master A." Lanjutnya yang langsung membuat suasana menjadi ricuh.Aquila ... ia hanya bisa terdiam, lidahnya terasa kelu, otaknya seakan membeku. Ia masih berusaha untuk mencerna ini semua. Mencerna apa yang baru saja Zeline ucapkan dengan lantang kepada semuanya.Tubuhnya mulai berkeringat, ia memainkan kukunya, ia merasa cemas dan gugup disaat yang bersamaan. Meskipun ia tahu Zeline tengah membongkar identitasnya saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan untuk mencegah upaya Zeline.Aquila merasa takut.Ditambah, saat Zeline yang secara mendadak menunjuk ke arahnya, membuat semua yang hadir di sini langsung memberikan arah pandang mereka terhadap dirinya, yang tiba-tiba saj
Dua hari lagi. Hanya tersisa waktu dua hari lagi sebelum acara pemilihan putri mahkota dilaksanakan. Sudah banyak sekali hal yang terjadi selama ia menjadi calon putra mahkota, hal-hal yang nyaris merenggut akal sehatnya, yang memaksanya melakukan tindakan nekat. Zeline menghela napasnya, terasa berat. Ia menengadahkan kepalanya, matanya terpejam. Sebentar lagi. Sebentar lagi keadaan akan berubah drastis. Ia menyingkirkan tumpukan dokumen pada meja, menyusunnya sesuai urutan yang ia inginkan. Sembari meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, ia beranjak keluar ruangan, hendak mencari angin segar untuk menyegarkan pikirannya. Zeline tersenyum saat mengingat kejadian tadi siang, saat Aquila dengan konyol-nya melarikan diri dari acara pelelangan. "Lucu sekali." Sepertinya Zeline akan terus mengingat kejadian itu, kejadian yang sangat menyenangkan dan membuatnya merasa telah menang. Lalu, yang paling penting, "Mental Aquila pasti sed
'Dibanding memikirkan mereka yang membencimu, lebih baik fokus terhadap orang-orang yang selalu mendukungmu.' Ucapan Rose itu terus saja terngiang di dalam kepalanya, Aquila tersenyum, ia menyadari ada banyak sekali orang yang tulus di sekelilingnya. Kalimat Rose tersebut seperti sebuah suntikkan penyemangat, setelah mendengarnya, Aquila merasa semua beban, kekhawatiran, dan hal-hal lainnya yang mengganggu pikirannya terasa sirna. Sebaliknya, ia justru merasa bersemangat untuk menghadapi hari esok. Tangan Aquila bergerak mengambil tumpukan surat yang tadi ia simpan, ada banyak dan ia merasa sangat antusias untuk membaca semuanya. Ia membaca nama pengirimnya, lantas mengambil sebuah surat dengan lambang keluarga Duke di atasnya. Itu dari kedua orang tuanya, Aquila tak sabar untuk membacanya! Ia membuka capnya lalu membacanya dalam hati, perasaannya semakin membaik, Aquila juga sangat merindukan mereka seperti mereka merindukan Aquila. Esok hari, Duke Charles d
Hari yang dinanti akhirnya tiba, para rakyat memenuhi jalan di kapital, bercengkrama satu sama lain, membahas tentang siapa yang lebih pantas untuk menjadi putri mahkota, juga membahas tentang masa depan kekaisaran timur ke depannya. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa Nona Aideos akan menang mudah di atas Nona Charles, tapi ada beberapa juga yang mengatakan jika Nona Charles tak bisa dianggap remeh begitu saja. Baik Nona Charles maupun Nona Aideos, siapa yang nantinya akan terpilih, mereka berharap itu akan membawa arus perubahan yang baik bagi Kekaisaran. *** Aquila menatap kepadatan jalan melalui balkon ruangannya, ekspresinya datar, ia membiarkan Ahn dan Countess Eliza memasangkan riasan indah di kepalanya, mereka berusaha membuat Aquila tampil semenarik mungkin. "Apa kau sekarang sedang merasa gugup, Nona?" Tanya Ahn sembari merapikan anak rambut Aquila dan menyelipkannya ke belakang telinga. Ahn bertanya demikian sebab menilai dari raut wa
Sudah mencapai tengah hari semenjak diumumkan dimulainya kompetisi. Kompetisi putri mahkota yang dilangsungkan terdiri atas tiga babak, yang pertama adalah babak penguji pemahaman akademis para kandidat mengenai sejarah kekaisaran, hari-hari bersejarah, bangunan monumental, dan juga pengetahuan umum tentang hubungan diplomasi Kekaisaran Timur. Diluar dugaan, Aquila dapat melakukannya lebih mudah dibanding yang ia kira, ia dapat menjawab semua pertanyaan dengan lancar. Ini semua dapat terjadi berkat menyelami bagian dalam dari perpustakaan negara yang jarang dijamah orang, membaca dan mempelajari tumpukan buku kuno dan berdebu, serta beberapa arsip yang Revel simpan pun sangat membantu. Zeline pun dapat menjawab pertanyaan dengan baik, meski sempat tersendat dalam beberapa keadaan. Sepertinya, dibanding Aquila yang sibuk menyelami ilmu pengetahuan dan memperdalam kemampuan akademisnya, Zeline lebih berpusat dan mengutamakan menciptakan kesan dan citra ya
Semuanya berjalan dengan lancar.Bahkan terlalu lancar hingga terasa janggal.Aquila menoleh ke arah Zeline, kenapa wanita itu nampak tenang-tenang saja padahal ia sudah kalah telak dari pesaingnya?Semua pertanyaan-pertanyaan Aquila di benaknya langsung terjawab begitu Zero menginterupsi berjalannya kompetisi dan berseru dengan lantang."HENTIKAN ACARA INI KARENA AKU SUDAH MENENTUKAN PENDAMPINGKU SENDIRI!" Zero berseru kepada semua orang yang hadir.Dengan langkah tegapnya, ia memasuki lapangan kompetisi dan langsung menarik pinggang Zeline, memberikan ciuman hangat di bibir.Zeline yang masih sangat terkejut tak dapat melakukan apa-apa kecuali menerima ciuman dari Zero."KARENA AKU HANYA INGIN ZELINE YANG MENJADI PENDAMPINGKU, BUKAN YANG LAIN!"***Zero yang tiba-tiba menginterupsi lalu mencium Zeline di depan umum sama sekali bukanlah hal yang Aquila kira akan terjadi. Ini diluar dugaan, mau bagaimanapun Aquila masih tidak percaya dengan apa yang disaksikan langsung oleh kedua bola
Apakah ia benar-benar akan berakhir seperti ini? Apakah usahanya untuk mengubah alur cerita hanya akan berakhir sia-sia seperti ini? Apakah sekeras apapun ia mencoba, semua akan kembali seperti yang telah digariskan dalam alur cerita ini? Sang penjahat, Aquila Sapphire de Charles, akan mati dieksekusi karena mencoba membunuh kekasih putra mahkota. Sedangkan, kedua protagonis kita, yakni Zero dan Zeline akan mendapatkan akhir bahagia. Aquila tersenyum pahit, ini semua terasa tak adil untuknya. Bertepatan di saat Aquila merasakan dorongan dari sang prajurit yang memaksa kepalanya untuk masuk ke dalam lubang alat pemenggal itu, di saat itu pula ia mendengar suara teriakan rakyat yang berbondong-bondong menghampirinya. "LEPASKAN MASTER A! MASTER A TIDAK BERSALAH!" Seru segerombolan rakyat yang disahuti teriakan dukungan lainnya. "YA, LEPASKAN MASTER A!" "MASTER A TIDAK BERSALAH!" Aquila mendongakkan kepalanya, ia melihat begitu ramai sekali rakyat yang datang dan mendukungnya, m