Lyla menganga mendapati mobil jenis Double Cabin yang terparkir gagah tepat di depan jalanan apartemennya. Ben, sang pengemudi muncul dari dalam. "Berikan barang-barang bawaan Anda, Nona," ucapnya formal.
Lyla melirik sekilas dua tumpuk kardus dan sebuah koper besar miliknya yang berjajar tepat di sampingnya.
"Hanya ini?" tanya Ben heran.
"Yeah, apartemenku tak akan muat jika aku memiliki terlalu banyak barang," jawab Lyla masam.
"Baiklah." Ben dengan sigap mengangkut satu demi satu barang milik Lyla ke dalam mobil. Tak memerlukan waktu yang lama baginya untuk mengangkut semua barang milik gadis itu. Hanya perlu sekejap saja, mereka kemudian berangkat memulai perjalanan.
Selama perjalanan, Lyla memperhatikan setiap arah dan belokan untuk mengingat-ingat rute tempat tinggal baru yang akan dilewatinya. Betapa terkejutnya ia saat mereka melintasi pagar besar bernaungkan pohon-pohon rindang yang begitu asri yang mengelilingi sebuah rumah klasik mewah di dalamnya, karena pemandangan itu tampak familiar baginya.
"Mengapa kita ke sini? Apa ada sesuatu yang harus aku kerjakan dahulu sebelum menempati tempat baru?" Lyla bertanya dengan heran saat ia menyadari arah tujuan Ben, yaitu rumah Damian.
"Apa maksud Nona?" Ben balik bertanya dengan tatapan tak mengerti.
"Bukankah kata Damian aku akan menempati tempat tinggal baru?" tanya Lyla.
"Memang, di sinilah tempatnya."
Lyla mengerjap sejenak. "Apa?! Maksudmu, rumah ini? Apa aku harus tinggal di sini?"
Ben mengangguk, "Apa Tuan tak menyebutkan itu?" tanyanya tak mengerti.
"Oh, ya ampun. Ya ... Damian tak menyebutkannya," gumam Lyla.
Mobil yang Lyla tumpangi memasuki halaman luas kediaman Damian dengan mulus. Ben memarkir mobilnya di garasi lebar yang terletak pada bagian sudut taman. Garasi tersebut juga berisi beberapa mobil mewah lainnya.
"Nona, Tuan sudah menunggu di taman belakang. Anda dapat langsung menuju ke sana. Untuk barang-barang ini, aku yang akan membawanya," ucapnya sambil undur diri.
"Baiklah, terima kasih, Ben."
Lyla menyusuri jalan yang menghubungkan dengan halaman berumput luas dengan berbagai macam bunga cantik yang bermekaran di sekitarnya. Ia kemudian melalui jalanan setapak rindang yang membawanya tepat menuju halaman belakang.
Di bawah naungan sebuah pohon rindang yang besar, ia melihat Damian sedang duduk tenang dengan kacamata hitam persis seperti yang ia kenakan kemarin.
Cahaya matahari tak mengganggunya karena ia terlindung oleh keasrian pohon rindang yang menaunginya. Lyla melihat di samping Damian ada seorang pelayan muda yang tampak sedang melayaninya dengan mempersiapkan cangkir teh dan biskuit kecil dihadapannya.
"Selamat siang, Damian" dengan sedikit canggung Lyla menyapa Damian.
"Kau sudah sampai rupanya," Damian menggerakkan sedikit kepalanya untuk mencari sumber suara yang menyapanya.
"Ya, terima kasih tumpangannya. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan sebenarnya ...," ucap Lyla.
"Alice, tinggalkan kami. Dan minta Ester untuk segera mempersiapkan kamar di sebelahku." Damian memerintahkan pelayan muda tersebut.
"Baik, Tuan." Gadis pelayan yang bernama Alice undur diri setelah Damian memberinya perintah. Lagi-lagi Damian memotong ucapan Lyla saat ia hendak mengatakan sesuatu, seperti itu adalah kebiasaan baginya.
"Kau mau bilang apa tadi? Duduklah." Damian mempersilakan Lyla.
Lyla duduk tepat di hadapan Damian, "Aku hanya ingin bertanya, apa benar aku akan tinggal di sini?" ucapnya langsung.
"Ya, itu benar." Damian mengangguk dengan tenang.
"Tapi, kau kemarin tak mengatakan apa-apa tentang tempat tinggal baruku. Aku pikir kau akan menempatkanku di sebuah apartemen, atau kediaman khusus karyawan atau semacamnya."
"Semua pekerja dan karyawanku tinggal di sini bersamaku, Lyla," tegasnya. "Kau lihat bangunan merah di bagian belakang garasi? Disitulah mereka semua tinggal. Walau tampak tak terlalu besar, tetapi di dalamnya banyak kamar yang cukup untuk semuanya."
"Sedang untuk para pengawalku, mereka menempati bangunan utama di sudut ruang tamu. Kau bisa lihat pintu biru itu? Itu jalan masuk tercepat yang menuju ke tempat mereka." Damian menunjuk pintu biru dengan tongkatnya dengan tepat. Seolah ia tahu arah dan posisi yang tepat atas semua tempat-tempat yang ia bicarakan.
"Maksudku, apa aku harus tinggal di sini?" tanya Lyla hati-hati.
"Harus. Karena aku membutuhkanmu untuk selalu berada di sampingku," balas Damian.
"Aku tak mengerti, sebenarnya pekerjaanku itu apa?" tanya Lyla.
"Kau akan menjadi asistenku. Kau akan mengurus segala keperluanku. Aku butuh seseorang yang dapat aku percaya selagi aku menjalani masa pemulihanku."
"Lalu, apa aku orang yang tepat?" tanya Lyla ragu-ragu.
"Aku tidak akan menyodorkan kontrak padamu jika kau bukan orang yang tepat." Damian tersenyum simpul.
"Tapi, apa alasanmu memilihku? Bukankah banyak yang lebih berpengalaman dan lebih baik dariku? Lagipula aku juga tak memiliki kemampuan cenayang seperti yang kau butuhkan, jadi aku tidak mengerti."
"Aku hanya bisa katakan karena kau jujur, kau memiliki semangat dan energi yang hidup. Dan itu semua tidak aku temui dari mereka yang sudah menghadap padaku sebelumnya."
Walau Lyla tak begitu mengerti yang Damian katakan, ia hanya mengangguk saja. "Kau tak memberiku tes atau semacamnya?" tanyanya.
"Tidak perlu. Hanya satu hal yang perlu kau ingat, jangan pernah katakan pada siapapun bahwa kau tidak memiliki kemampuan paranormal."
"Apa maksudmu?" tanya Lyla lagi karena merasa belum begitu mengerti.
"Lyla, aku akan memperkenalkan dirimu sebagai asisten baruku dan penasehat spiritualku. Biar mereka menganggap kau memiliki kemampuan istimewa atau sejenisnya."
"Siapa yang kau maksud dengan mereka?" tanya Lyla lagi.
"Semuanya. Keluargaku ataupun orang-orang lain."
Lyla membasahi bibir bawahnya, ia sedikit gelisah. "Jadi maksudmu, aku harus membohongi semua orang tentang kemampuanku? Aku tak yakin aku akan mampu melakukannya dengan baik."
Lyla kemudian menghela napasnya perlahan. "Mm ... Damian, apakah hidupmu sedang dalam bahaya?" tanyanya kemudian dengan ragu-ragu.
Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Damian tergelak. "Kenapa? Apa Jake menceritakan sesuatu padamu?"
"M ... maafkan aku, aku turut berduka tentang Olivia dan juga tentang keadaanmu. Aku tidak yakin apa aku dapat membantumu, tapi aku akan berusaha."
Damian kemudian tersenyum ringan. "Jangan khawatir, jika kau merasa semua terlalu berat kau boleh mengakhiri kontrakmu kapan pun kau mau, Lyla. Dan satu hal lagi, aku tidak akan menempatkanmu dalam bahaya. Ingat, aku sekarang sedang memanfaatkanmu dengan uangku."
"Hh, yah kau benar. Baiklah ...." Ada nada ragu yang samar dalam ucapan Lyla.
"Jadi, apa kita sudah sepakat? Jika begitu, bantu aku berdiri." Damian memberi perintah pada Lyla.
"Bagaimana aku membantumu?"
Damian tersenyum, ia tahu Lyla merasa kikuk. "Pegang lenganku, dan tuntun aku. Kau hanya perlu membantuku menghindari apapun yang menghalangi jalanku," ucapnya penuh makna.
"B ... baiklah," ucap Lyla. Dengan sedikit canggung Lyla mulai meraih lengan Damian. Ia terlihat lebih pendek di samping pria itu.
"Kita akan masuk ke dalam rumah lewat halaman berumput yang tak berbatu. Akan sulit bagiku untuk berjalan pada permukaan yang tidak rata," ucap Damian.
"Ya, aku mengerti." Lyla mulai menuntun Damian dengan mengamit salah satu lengannya. Lyla kemudian membimbingnya melewati medan yang halus.
Damian yang tampak ramping ternyata terlihat begitu besar dan menjulang jika berjajar dengannya. Aroma Darian yang begitu maskulin dan segar mulai menggelitik indra penciuman Lyla. Pria itu terlihat begitu tegap dan tampak kuat. Lengannya pun terasa kokoh, sungguh sayang pria yang tampak sehat dan kuat itu harus menjalani harinya dalam kegelapan.
Lyla tanpa sadar mengamati wajah Damian yang tak begitu jauh darinya. Tingginya yang sejajar dengan bahu Damian mempermudahkannya untuk mengamati pria itu.
Cambang-cambang kecil yang sedikit berantakan menghiasi rahangnya yang begitu sempurna. Lyla pun masih dapat mencium aroma mint samar dari dagu pria itu. Beberapa goresan kecil juga terlihat di antara cambang Damian. Lyla mengasumsikan kemungkinan Damian sedikit terluka ketika ia sedang bercukur.
"Apa ada hal yang menarik yang kau temukan dariku, Nona Lyla?" Pertanyaan Damian membuat Lyla sedikit tersentak. Ia merona karena tertangkap basah sedang mengamati Damian.
"M ... maafkan aku, aku hanya sedang mengamatimu, maksudku aku tak bermaksud membuatmu tak nyaman"
"Tak apa, tidak semua pria buta memiliki pesona di mata seorang wanita. Jika aku masih dapat mempesonamu, itu adalah hal yang menyenangkan bagiku." Damian tersenyum dengan raut bangga.
"Jangan berkata seperti itu, itu membuat perasaanku merasa tidak enak. Tunggu, lagipula bagaimana kau bisa tahu aku sedang mengamatimu?" tanya Lyla heran.
"Kemampuan superku kurasa, dan aku menyebutnya insting." Damian sedikit terkekeh.
"Yeah, aku rasa kemampuanmu cukup hebat." Lyla tersenyum kecil.
"Jangan pernah merasa kasihan untukku, aku sudah menerima kondisiku. Yang aku butuhkan darimu adalah tenagamu, bantuanmu, dan juga dukunganmu. Jangan merasa tidak enak untuk hal-hal yang seperti itu lagi," jelas Damian.
"Baiklah, sekarang kita akan menapaki tangga kecil yang menuju pintu masuk," lanjut Damian kembali mengarahkan Lyla.
Lyla membimbing Damian dengan sukses saat mereka menapaki tangga yang menuju ke arah pintu masuk.
"Kau lihat ada tangga melingkar bukan? Kita ke atas. Di sana ada dua buah kamar tidur. Satu milikku dan satu lagi milikmu. Kamarmu yang sebelah kanan."
Lyla kembali menuntun Damian menapaki tangga melingkar yang ternyata tak terlalu curam. Tangga yang terletak di ruang tengah itu menghubungkannya dengan lantai dua rumah Damian.
Nuansa rumah utama Damian ternyata cukup modern dan terang. Berbeda dengan penampakan luar yang terkesan klasik, ruangan di dalamnya lebih menonjolkan kehangatan dan kenyamanan.
Lantai atas terbilang cukup luas, dan Lyla dapat langsung melihat dua kamar yang dimaksud. Kedua kamar itu berjajar dan hampir memenuhi lantai atas yang hanya terdiri dari ruangan tamu dengan perapian yang cukup luas dan dua kamar tidur berjajar.
Masing-masing kamar dikelilingi oleh balkon dengan sekat kaca yang saling menghubungkan satu sama lain. Seolah seperti penyambung dan menjadi pembatas lantai atas.
"Wah," gumam Lyla tanpa sadar saat memasuki kamar yang dimaksud.
"Kau suka? Aku dapat membayangkan bagaimana ekspresimu saat ini." Damian tersenyum geli.
"Ini, sungguh luas dan hangat." Lyla kembali mengekspresikan kekagumannya.
"Ini kamarmu selama bekerja untukku." Damian berjalan menelusuri kamar Lyla dengan tongkatnya. Lyla dengan sigap mempersiapkan kursi agar Damian dapat duduk.
Tak beberapa lama kemudian seorang pria tua masuk dan ikut bergabung dengan Damian dan Lyla. "Tuan, kami semua telah siap," ucapnya dengan formal.
"Ah, William! Kau datang tepat waktu. Lyla, perkenalkan ia adalah kepala pelayan di sini. Ia William dan ini Lyla asistenku, Will" ucap Damian yang ditujukan pada pria bernama William itu.
"Selamat datang Nona, saya William."
"Halo, aku Lyla. Terima kasih untuk penyambutanmu."
William sedikit membungkuk dengan formal. Ia bertepuk tangan kecil seperti memberi isyarat. Kemudian, beberapa orang yang ternyata telah menunggu di luar saling berbaris masuk setelah mendengar isyarat dari William.
Lyla sedikit canggung karena tiba-tiba ada banyak orang yang masuk ke dalam kamarnya. Mereka berjajar, dan beberapa mengenakan seragam pelayan.
"William, perkenalkan mereka pada Lyla," perintah Damian. William mengangguk dan sedikit membungkuk.
"Nona, kami adalah pegawai Tuan Damian di rumah ini. Silakan kalian memperkenalkan diri." William memberi instruksi pada seorang wanita paruh baya yang berdiri paling ujung.
"Nona, saya Marie. Saya bertugas membuat makanan dan bagian dapur," ujar wanita berambut keabuan itu ramah.
"Saya Ester, saya bertugas di bagian loundry dan pakaian, Nona." Kali ini wanita yang terlihat hampir sebaya dengan Ester giliran memperkenalkan diri. Lyla mengangguk seperti sebelumnya.
"Saya Alice, Nona, kita bertemu tadi. Saya bertugas untuk melayani dan membantu Ester dan Marie." Wanita muda yang tampak gugup tapi bersemangat itu sedikit melambai padanya.
"Saya Drue, pengurus taman Tuan Damian." Kali ini pria paruh baya memperkenalkan diri dengan sopan sembari melepas topi kebun yang ia kenakan.
"Mereka Ben dan Joe, pengawal tuan. Anda sudah bertemu dengan mereka kemarin." William kembali berbicara.
"Ya, terima kasih sudah memperkenalkan diri. Namaku Lyla, kalian bisa memanggilku seperti itu."
"Lyla akan tinggal di sini mulai hari ini. Ini adalah kamarnya, dan ia akan menjadi asistenku. Jika ada sesuatu yang ia butuhkan, aku harap kalian semua dapat membantunya," jelas Damian.
"Sekarang kalian bisa kembali ketempat masing-masing. Terima kasih." Damian menutup perkenalan Lyla dengan para karyawannya. Mereka mengangguk dan undur diri dengan formal.
"Tidak perlu seperti itu seharusnya, kau membuatku merasa canggung. Aku bisa berkenalan dengan mereka nanti." Lyla akhirnya berani mengungkapkan kecanggungannya setelah semua pekerja Damian keluar.
Damian sedikit tergelak. "Sudah seharusnya aku memperkenalkanmu bukan, karena kau yang akan selalu mendampingiku mulai saat ini."
"Yah, hanya saja aku juga seorang pekerja seperti mereka. Aku tidak ingin merasa diistimewakan."
Damian kembali tersenyum menanggapi Lyla. "Antarkan aku ke kamarku, aku akan menunjukkan tugas pertamamu," ucapnya.
Tanpa canggung lagi, Lyla meraih lengan Damian, ia menuntunnya menuju kamarnya sendiri.
Begitu sampai, Damian berjalan ke arah meja kerjanya yang lumayan besar. Di atasnya tampak bertumpuk-tumpuk berkas laporan yang menggunung yang hampir memenuhi semua permukaan mejanya.
"Lyla, hari ini aku ingin memperlihatkan pekerjaannmu yang pertama. Bisakah kau memeriksa semua laporan keuangan selama setahun ini yang sekarang tersaji di atas mejaku?"
Lyla mengerjap, ia mengedarkan pandangannya di atas meja Damian dan di sekelilingnya yang berhiaskan tumpukan-tumpukan berkas dimana-mana. Lyla menghela napasnya.
"Kau jelas tahu benar cara memanfaatkan karyawanmu," gumamnya.
Damian tergelak lagi. "Santai saja, lakukan perlahan. Aku hanya ingin kau memeriksa dan menemukan laporan yang tampak mencurigakan saja. Setelah itu, laporkan padaku," jelasnya. "Apa kau sanggup, Lyla?" Damian bertanya lagi dengan nada yang lembut sekaligus seolah menantang Lyla.
"Tentu! Aku sanggup!" Lyla menjawab mantap. "Oke baiklah, saatnya bekerja!" Kemudian Lyla mulai mengikat rambutnya tinggi-tinggi menandakan kesiapannya.
____****____Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere