Lyla melangkah menuju pintu kamarnya setelah ia mendengar ketukan halus di pagi hari pertamanya tinggal di kediaman Damian.
"Nona, jika Anda telah selesai bersiap, Tuan sedang menunggu Anda di ruang makan." Alice memberitahukan maksud kedatangannya segera setelah Lyla membukakan pintu untuknya.
"Benarkah? Jadi Damian sudah berada di lantai bawah?" tanya Lyla.
"Ya, Nona. Tuan sudah menunggu kedatangan Nona dari tadi. Dan baru kali ini Tuan terlihat begitu bersemangat." Alice sedikit terkikik.
"Apa maksudmu?"
"Tuan hari ini keluar dan bangun lebih pagi dari biasanya, Nona. Dan ia sudah bersiap di ruang makan, bahkan sebelum sarapan selesai kami sajikan. Jelas ia pasti sedang menunggu Nona."
Lyla hanya tersenyum menanggapi ucapan Alice. "Mungkin karena ia memang sedang ingin bangun pagi hari ini, Alice."
"Aku rasa bukan itu alasannya. Tuan pasti senang, karena Nona tinggal di sini," jelas Alice. "Ah, mari Nona, kita segera turun."
"Baiklah," jawab Lyla. Tak butuh waktu lama bagi Alice dan Lyla untuk turun dan sampai ke ruang makan.
Lyla melihat Damian memang telah duduk bersiap di sana dengan menu sarapan yang telah tertata rapi di hadapannya.
"Silakan, Nona." Alice menarik sebuah kursi untuk mempersilakan Lyla duduk di dekat Damian.
"Selamat pagi, bagaimana tidurmu?" ucap Damian. Ia tersenyum setelah menyapa Lyla yang ikut bergabung dengannya.
"Aku semalam tidur dengan nyenyak, terima kasih," jawab Lyla.
"Baguslah, aku senang." Damian tersenyum ramah.
"Aku tak tahu kau bangun awal. Apa aku harus menyesuaikan jadwal aktivitasmu sehari-hari? Seperti jam berapa aku harus mulai bekerja, dan jam berapa aku selesai bekerja?"
Damian tersenyum kecil dan berkata, "Tak ada waktu khusus dan pasti untuk itu, Lyla. Aku sendiri pun tak tahu pasti kapan saat-saat aku memerlukanmu, kapan saatnya tidak. Maka dari itu, aku memintamu untuk selalu dekat denganku."
Lyla menangkap Alice tersenyum kecil saat menyajikan hidangan untuknya ketika Damian menjawab pertanyaannya tadi. Ia sebenarnya sedikit heran, karena tak mengerti arti senyuman Alice.
"Baiklah, aku mengerti. Aku pasti akan segera datang saat kau membutuhkanku," jawab Lyla.
"Alice, terima kasih. Kau boleh meninggalkan kami, karena sudah ada Lyla di sini yang akan membantuku." Dengan gerakan tangannya, Damian memberi isyarat pada Alice.
"Baik, Tuan." Alice segera undur diri setelah mendapat perintah dari Damian.
"Apakah kau keberatan ...," tanya Damian.
"Ah, tentu saja tidak." Lyla refleks menarik kursinya agar lebih dekat dengan Damian. Ia dengan cekatan menghidangkan makanan ke dalam piring yang ada di hadapan Damian. Memotong-motongnya, sebelum akhirnya membantu menusukkan bagian-bagian makanan tersebut dengan garpu makan.
Setelahnya, Lyla sedikit kebingungan. Apa ia juga harus menyuapi Damian atau bagaimana?
"Cukup berikan saja padaku garpu itu." Seperti mengetahui kebingungan Lyla, Damian memberi instruksi sebelum gadis itu bertanya apa-apa.
"Ah, ya, silakan." Lyla mengulurkan piring berisi makanan dengan jarak yang tepat ke hadapan Damian dan menuntun jemari Damian agar dapat menggenggam gsrpu dengan posisi yang tepat.
Damian setelah itu mulai menyantap hidangannya dengan perlahan. Setiap kali ia meraba-raba tekstur makanan, setiap itu pula Lyla memperhatikan isi di dalam piringnya.
Lyla akan membantu 'menggeser' potongan makanan ke arah yang tepat agar Damian dapat lebih mudah mengambilnya dengan garpunya. Dan ia melakukannya di sela-sela dirinya menyantap hidangannya sendiri juga.
Bahkan saat Damian dengan 'ceroboh' menjatuhkan atau tak sengaja tertempel sisa makanan di sudut bibirnya, Lyla secara impulsif meraih saputangan di meja makan untuk sekadar membersihkannya.
Tepat saat itu, lagi-lagi Alice yang kebetulan datang untuk menyajikan minuman, sedikit mengulum senyumnya saat melihat Lyla sedang membantu Damian. Setelahnya, gadis itu berlalu dalam diam dan hanya sedikit tersenyum padanya. Yang mana, semakin membuat Lyla penasaran akan sikapnya.
Tak ingin mengambil pusing dengan sikap Alice, Lyla melanjutkan makannya dan tetap membantu Damian hingga mereka selesai sarapan.
"Bisakah kau mengantarku ke ruang tamu, Lyla?" ucap Damian setelah mereka selesai.
"Tentu," jawab Lyla. Ia membantu Damian dengan mudah dan menuntunnya untuk duduk di salah satu sofa nyaman yang ada di sana.
Tak beberapa lama kemudian, William menghampiri mereka dan melaporkan sesuatu pada Damian. "Tuan, Tuan Richie telah tiba," ucapnya formal dan sedikit membungkuk.
Walau Lyla yakin Damian tak mungkin dapat melihat postur William, tetapi pria itu dan semua karyawan yang berada di sini tetap berlaku hormat pada Damian.
"Ah, tepat waktu ...," gumam Damian.
"Damian Green Foster! Ah, kau sungguh keterlaluan memintaku datang mendadak sepagi ini tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sudah kukatakan bukan, aku ...," ucap seorang pria yang tiba-tiba masuk dan mendekati mereka.
"Oh, wow ... siapa ini?" tanyanya penasaran saat menatap Lyla dari dekat. Seorang pria dengan dandanan mencolok dan pakaian setelan berwarna cerah berjalan dengan sedikit berlenggok menuju ke ruang tamu begitu saja, tepat setelah William melapor pada Damian.
Dan langkah pria itu mendadak terhenti saat ia beradu pandang dengan Lyla. Ia menatapnya dengan wajah penasaran dan penuh dengan keingintahuan yang menyelidik.
"Hai, Richie. Kau tepat waktu kali ini." Damian menyapa pria gemulai dengan tubuh besar tersebut dengan senyum yang merekah.
Pria itu membuang muka seolah tak acuh, dan kemudian malah menghampiri Lyla yang sedang duduk di sebelah Damian. "Oh, berdirilah Sayang," ucapnya. Ia meraih lengan Lyla dan memintanya untuk berdiri. Walau heran, Lyla tetap mengikuti pintanya.
Richie kemudian mengamati Lyla dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, setelahnya ia bersiul kecil seolah mengisyaratkan sesuatu.
"Jaga pandangan dan komentarmu untuk dirimu sendiri, Richie ...," ucap Damian kemudian. Ada sedikit nada peringatan yang halus dari setiap kata yang Damian ucapkan setelah Richie mengekspresikan kekagumannya lewat siulan.
"Oh, please ... kau tahu aku, aku hanya mengagumi tubuhnya. Itu saja." Richie memutar kedua bola matanya seolah kesal.
Lyla sedikit meringis. Seharusnya ia marah jika ada seseorang bersiul kepadanya. Tapi entah mengapa, melihat ekspresi Richie, Lyla tahu bahwa ia tidak bermaksud untuk bersikap tak sopan.
Richie kemudian mengeluarkan meteran mini dari tas tangan kecil yang ditentengnya. Dan tiba-tiba saja ia mulai menempelkan meteran tersebut ke tubuh Lyla. Ia mulai mengukur tubuh Lyla layaknya seorang penjahit pakaian yang sangat profesional.
"Oh, tak kusangka kau membuatku melakukan ini," gerutunya. Walau tampak sedikit bersungut, pria itu tetap fokus dan mengukur setiap bagian tubuh Lyla secara detail.
Beberapa saat setelahnya, ia berkata, "Baiklah, aku sudah selesai. Sekarang, apa perlu aku membawanya langsung atau kau ingin mengantarkannya sendiri ke tempat Clark?" tanya Richie kemudian.
"Biar aku saja, terima kasih." Damian sedikit berdehem.
"Oke, baiklah Sayang. Sampai bertemu lagi ya. Aku akan membuat semua sesuai dengan ukuran dan lekuk tubuhmu." Richie tertawa dan terkikik dengan penuh semangat setelah mengatakan hal tersebut.
Walau sebenarnya tak mengerti apa maksud Richie, Lyla tetap membalas, "Terima kasih."
"Panggil saja aku Richie, Sayang," balasnya. "Bye, Tampan. Kau memang lihai menilai barang bagus ya, hmm ...," ucapnya kemudian merujuk pada Damian. Richie lalu kembali terkikik, dan pria itu melenggang begitu saja sembari melambai dengan santai.
"Tak usah kau hiraukan dirinya. Ucapannya memang dapat membuat orang lain salah paham jika kau belum mengenalnya," jelas Damian.
"Ya, aku mengerti. Tapi sebenarnya siapa Richie? Apa kau ingin membuatkanku seragam seperti Alice?"
Damian hanya tersenyum simpul. Tanpa menjawab, ia kemudian bersiap seperti hendak berdiri, hingga dengan sigap Lyla menghampirinya.
"Bawa aku ke garasi, Lyla." Damian memberi perintah untuk Lyla tepat setelah gadis itu mengamit lengannya.
"Baik," jawab Lyla.
Saat mereka sampai di garasi, Ben salah satu pengawal Damian telah menunggu mereka di samping sebuah mobil Rolls Royce mewah Damian yang berwarna hitam. Ben kemudian membuka pintu penumpang saat Damian dan Lyla mendekat. Ia membantu Damian untuk masuk ke dalam mobil.
"Lyla, masuklah. Duduk di sebelahku," pinta Damian.
"Baiklah," jawabnya patuh.
Lyla memutar dan mengambil tempat di sebelah Damian. Ketika mobil bergerak dan mulai keluar halaman, Lyla berkata, "Apa kita akan ke suatu tempat?" tanyanya tak mengerti.
"Ya, aku akan membawamu ke suatu tempat, Lyla."
"Benarkah? Ke mana kita akan pergi?"
"Ke sebuah salon kecantikan." Damian menjawab pertanyaan Lyla dengan tenang.
____****____
Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere
Suasana tegang telah menghiasi meja makan di kediaman Damian yang telah tertata begitu banyak hidangan malam itu. Madison beserta suami dan ketiga anaknya telah duduk di tempat masing-masing yang telah dipersiapkan. Lyla dan Allen sendiri yang duduk di sisi Damian, seolah sedang menegaskan status dan keberadaan mereka. "Silakan menikmati hidangan kalian," ucap Damian memberi aba-aba pada keluarganya. "Mungkin ini tak terlalu sempurna mengingat kalian memberitahukan kunjungan dengan mendadak, jadi aku dan istriku tak sempat mempersiapkan semuanya dengan benar," ucap Damian merendah. "Tak perlu berbasa-basi, kau tentu tahu maksud kedatangan kami, bukan?" ucap Gilbert, sang ayah. "Oh, Dad, tentu saja. Tak perlu terburu-buru. Kau datang kemari karena memang sedang mengkhawatirkan keadaan putramu, alih-alih sesuatu yang lain, benar?" balas Damian sambil tersenyum tipis. "Seperti yang kalian lihat sekarang, aku telah kembali dan baik-baik saja." "Oke, baiklah, kulihat kau memang baik-bai
"Benarkah kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" ucap Felicia yang siang itu mengunjungi kediaman Damian dan menatap Damian dengan raut haru seolah merasa prihatin dengan keadaannya."Aku baik-baik saja, Felicia," ucap Damian tenang. "Sekarang, katakanlah apa tujuanmu berkunjung kemari?" tanyanya."Melihatmu, tentu saja!" ucapnya. Ia mendekati Damian dan meraih lengan pria itu. "Aku harus melihat langsung bagaimana keadaanmu untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja."Sambil berucap, ia melirik Lyla yang sedang mengamit lengan Damian di sisi lainnya dengan penuh arti."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, bukan?" ucap Damian kemudian."Benarkah tak ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanyanya lagi. "Jika kau sedang menjalani perawatan untuk kesehatanmu, apakah tidak terlalu berlebihan saat kau memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada wanita itu?" Tanpa berbasa-basi lagi, Felicia kini menuding Lyla di hadapan Damian.Lyla hanya mengembuskan napasnya dengan tert
Lyla sedang berfokus pada laptopnya dan terlihat sedang membalas pesan beberapa 'klien' dalam media sosialnya itu dengan raut serius. Beberapa kali ia pun membalas pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke dalam pesan miliknya."Kau telah mendapatkan mereka rupanya," ucap Damian yang tiba-tiba telah muncul di sampingnya dan ikut memeriksa layar di depannya."Ya, seperti yang kau katakan, beberapa dari mereka sangat mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tarot dan semacamnya," balas Lyla."Lalu apa kau mempercayainya?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Aku membencinya," jawabnya tenang.Damian mengangkat kedua alisnya seolah bertanya-tanya. "Lalu ... mengapa kau?" ucapnya tak mengerti.Lyla tersenyum lagi. "Mengapa aku membacakan kartu orang lain maksudmu? Bahkan, aku dapat memperoleh pendapatan dari sana? Well ... itu adalah cerita yang lain lagi.""Benarkah? Coba ceritakan padaku," balas Damian.Apakah kau benar-benar ingin mendengarnya?" tanya Lyla."Tentu, sebanyak apapun kau ber