Lyla masih termenung saat Jake menghentikan mobilnya di pinggir jalanan tepat di depan apartemen kecil tempatnya tinggal.
"Lyla, kau tak turun?" Jake membuyarkan lamunan Lyla. Sepanjang perjalanan tadi gadis itu memang tampak termenung dan melamun.
"Ah, ya ... aku akan turun." Lyla melepas sabuk pengamannya. "Jake, berapa gajimu?" tanya Lyla tiba-tiba.
Jake sedikit terkejut dengan pertanyaan Lyla, "Kenapa kau menanyakan itu? Apa kau benar-benar ingin tahu gaji yang kudapatkan?" balas Jake dengan heran.
"Ah, maksudku, Jake apa kau tahu Damian menawarkan sepuluh kali lipat dari pendapatanku sebelumnya?" Lyla mengatakan hal tersebut dengan wajah seolah ngeri.
Jake tergelak memperhatikan ekspresi gadis itu. "Jadi itu yang dari tadi mengganggumu? Bukankah kau seharusnya merasa senang?" balasnya. "Damian bisa memberikan berapa pun gaji yang ia inginkan pada siapapun yang ia kehendaki. Jika ia memberimu sejumlah uang yang bagus, artinya kau pantas mendapatkan itu Lyla."
"Ta ... tapi aku bahkan belum pernah benar-benar mendapat uang sebanyak itu seumur hidupku! Bisa kau bayangkan, itu hanya gajiku setiap bulannya saja," gumam Lyla seolah masih tak percaya.
"Jake, benarkah aku akan mendapat gaji seperti yang Damian janjikan?" tanyanya lagi seolah tak yakin.
"Kau sudah menandatangani kontraknya bukan?" tanya Jake lagi. Lyla serta merta mengangguk mantap. "Maka kau akan mendapatkan apapun yang sudah kau tandatangani di dalamnya, Lyla," jelas Jake.
"Lalu, menurutmu pekerjaan seperti apa yang akan kulakukan?" tanyanya.
"Hm, aku tidak bisa menjawab itu. Damian pasti tahu apa yang ia butuhkan darimu. Ia tak akan membayarmu tanpa alasan yang jelas. Sudah pasti ia jelas membutuhkan jasamu atau kemampuan apapun yang mungkin kau miliki."
Lyla mengangguk dan kemudian tersenyum simpul. "Baiklah, mulai besok aku hanya harus berangkat dan bekerja untuknya, bukan?"
"Ya, lakukan saja apa yang Damian minta. Ia pasti akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan. Dan ingatlah, jangan terlalu takut padanya. Damian juga manusia biasa, ia tak akan melakukan hal yang aneh padamu."
"Yah, harus aku akui, aku terlalu ketakutan saat bertemu dengannya. Apa ia perlu dikelilingi oleh begitu banyak pengawal walau di rumahnya sendiri seperti tadi?" tanya Lyla.
"Sangat perlu. Percayalah, Damian tahu apa yang ia lakukan. Walau ia sekarang memiliki keterbatasan, tetapi insting dan pola pikirnya tetap tajam. Ia hanya sedang menyesuaikan diri dengan kehilangan dan keadaan dirinya yang baru. Bersabarlah dengannya Lyla. Aku harap kau dapat membantunya."
"Kau begitu peduli dengannya. Apa kau begitu dekat dengan Damian?"
Jake tersenyum simpul, "Cukup dekat hingga sepupuku yang merupakan tunangannya harus meninggal dengan cara yang tragis akibat kecelakaan yang mereka alami setahun yang lalu."
"Oh!" Lyla menutup mulutnya karena terkejut. "Maafkan aku, aku tak tahu."
"Tak masalah, Damian adalah teman baikku. Aku dengan tulus mengharapkanmu agar dapat membantunya untuk melewati masa-masa terpuruknya."
Lyla membasahi bibirnya dengan gugup, "Baiklah, walau aku tak yakin apa yang bisa aku lakukan untuknya, tapi aku akan berusaha sebisaku."
"Terima kasih Lyla. Kau adalah orang pertama yang dipilihnya setelah aku menyodorkan beberapa orang yang ia minta sebelumnya."
"Bukan hanya gadis saja? Berapa banyak yang sudah kau carikan untuknya?"
"Beberapa, termasuk seorang pria paruh baya dan beberapa pemuda yang mengaku menguasai hal-hal di luar nalar kita. Tapi tampaknya semua tidak mengesankan Damian."
"Lalu bagaimana denganku? Apa yang ia lihat dariku? Aku hanya menangis ketakutan saat menghadap dirinya!" jelas Lyla.
Jake kembali tergelak. "Ya, aku bisa tahu itu. Ia bahkan tak memberimu tes-tes aneh seperti yang ia lakukan sebelum-sebelumnya."
"Oke, terima kasih karena tak memberiku peringatan sebelumnya tentang Damian. Aku hampir pingsan saat ia bertanya tentang Kathy dan Clarissa!" Lyla membelalak. "Kathy yang sudah dikubur, dan Clarissa yang sedang dirawat di rumah sakit dengan beberapa patah tulang. Apa kau tahu apa yang kupikirkan saat itu?! Aku bahkan tak berani bernapas setelah ia dengan tenang bertanya tentang kedua gadis malang itu."
Lyla menghembuskan napasnya perlahan. "Aku baru bisa sedikit tenang ketika Damian hanya menertawakanku saat aku bertanya tentang mereka. Aku pikir itu bukanlah sesuatu yang mengerikan seperti yang sudah aku bayangkan. Tapi aku tetap penasaran. Apa kau tahu siapa mereka Jake?" tanyanya kemudian.
Jake mengerjap sesaat sebelum akhirnya kembali tergelak, "Kathy dan Clarissa?" jelasnya. "Maksudmu kucing-kucing Damian?! Mereka bukanlah seorang gadis, mereka adalah kucing! Kenapa? Apa ia sudah menakutimu dengan mengatakan sesuatu tentang mereka?!"
"A ... apa?! Kucing kau bilang?!" Lyla membelalak tak percaya. "Jadi aku ketakutan karena kucing? A ... aku pikir mereka... Oh, ya Tuhan!" Lyla menghembuskan napasnya dengan lega.
"Ya, mereka adalah kucing-kucing Damian. Walau begitu, beberapa hari yang lalu mereka mengalami hal yang tragis," ucap Jake dengan serius. "Kathy ditemukan mati karena keracunan. Dan Clarissa terluka dengan beberapa tulang yang patah, seperti habis tertabrak sesuatu. Lebih tepatnya, mereka adalah kucing-kucing milik Olivia, sepupuku."
"Oh, benarkah? Malang sekali."
"Ya, menurutmu mengapa Damian memerlukan pengawal walau ia berada di rumahnya sendiri? Itu karena, bisa jadi mungkin bukan hanya kucing saja yang dapat terluka, tetapi juga dirinya sendiri. Maka dari itu, ia butuh pengawal untuk berjaga-jaga." Jake menatap Lyla dengan tatapan serius.
"Maksudmu?! A ... ada yang sengaja ingin mencelakainya?" Lyla tercekat menyimpulkan ucapan Jake.
"Apa menurutmu aneh jika salah satu seorang pengusaha besar di Vancouver yang memiliki beberapa perusahaan yang menghasilkan banyak keuntungan, merasa hidupnya terancam semenjak ia mengalami beberapa musibah beruntun dan akhirnya membawanya dalam keadaan seperti sekarang ini?" Jake menatap Lyla dengan serius.
"Damian hanya merasa mungkin ada seseorang atau entah siapa yang menginginkannya celaka. Ia menyadari beberapa hal yang aneh semenjak kematian Olivia," jelas Jake.
"Ia menjadi sensitif dan selalu was-was pada hal apapun. Aku mengerti yang dirasakannya. Sekarang ia pasti merasa tak berdaya dengan keadaan dirinya, yang mana pastinya akan ada banyak orang yang bisa mengambil keuntungan dengan kebutaan dirinya itu." Jake menghela napas lagi. "Menurutmu mengapa aku ditempatkan sebagai seorang kepala akuntan di perusahaannya?"
Lyla menggeleng tak mengerti.
"Itu karena Damian ingin tetap mengawasi perusahaan walau dirinya tak dapat melakukan banyak campur tangan untuk saat ini karena kondisinya. Ia ingin aku mengawasi ayah dan saudara-saudaranya yang lain yang akan dengan senang hati mengambil alih perusahaan-perusahaannya saat ia tak ada nanti."
"Oh, benarkah?!" Lyla tercekat mendengar penjelasan Jake.
Jake tersenyum menenangkan dan menepuk bahu Lyla perlahan. "Jangan terlalu takut, ini hanya asumsi saja. Yang aku pentingkan sekarang adalah kondisi fisik maupun mental Damian."
"Sungguh, aku ingin ia bisa kembali menjalani hidupnya dengan normal dan sampai berbahagia nantinya. Seperti yang kau tahu, kecelakaan yang menimpanya telah meninggalkan pengalaman traumatis yang begitu mendalam bagi Damian. Jadi, sekali lagi aku mohon, tolong bantu dirinya, Lyla," ucap Jake.
"Baiklah, aku mengerti." Lyla mengangguk.
_____*****_____Lyla merebahkan diri di kasur sederhana miliknya. Setelah membersihkan diri dan merasa segar, ia beristirahat sambil menatap langit-langit kamar kecilnya.Lyla tinggal di sebuah apartemen kecil yang harga sewanya cukup murah untuknya. Ia harus banyak menghemat pendapatannya untuk keperluan hidupnya dan membantu biaya kuliah adik lelakinya, Allen.
Lyla menatap ponselnya sejenak, entah mengapa ia merasa malas untuk mengunjungi sosial medianya. Gambaran pendapatan yang Damian janjikan membuat perutnya melilit setiap kali ia memikirkannya.
Ia mungkin dapat melunasi biaya kuliah adiknya untuk beberapa semester kedepan dari uang yang Damian janjikan. Bahkan, ia sendiri bisa pindah ke apartemen yang lebih bagus dan bersih.
Saat Lyla mulai terserang rasa kantuk, tiba-tiba ponselnya berdering beberapa kali. Dengan malas ia meraih ponselnya dan seketika seolah ia merasa seperti tersengat listrik, saat ia mendapati ada sebuah pesan notifikasi di ponselnya yang melaporkan sejumlah dana telah ditransfer ke dalam rekeningnya.
"NO WAYY!!!"
Lyla melompat dari ranjangnya dan terpekik. Napasnya seolah berhenti saat ia melihat nominal angka yang berderet begitu banyak saat ia membuka pesan notifikasi tersebut.
Sebuah pesan suara kemudian masuk menyusul notifikasi dari pemberitahuan dana yang telah terkirim ke dalam rekeningnya.
Sebuah nomor tak dikenal mengiriminya sebuah pesan suara. "Kemasi barangmu, besok kau mulai menempati tempat tinggal barumu. Ben akan menjemputmu tepat pukul sebelas siang. Dan Lyla, aku sudah memberimu gaji di muka beserta bonus kepindahanmu."
Lyla menganga, walau baru tadi ia bertemu dengan Damian, ia sudah kenal betul dengan suara pria itu.
"B ... baik, Pak!" jawabnya dengan sedikit gagap. Lyla membalas pesan suara tersebut dengan cepat.
_____*****_____Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere