Share

Ingin Tahu (Part 1)

Tiga gundukan tanah merah basah bertabur bunga dikelilingi orang-orang berpakaian hitam. Semua menunduk sedih dan mengusap air mata, kemudian satu persatu orang-orang itu mulai meninggalkannya.

Mereka meremas bahu Arwen dan Trinita seakan remasan itu mampu menguatkannya. Arwen menahan tangis ketika tangan hangat terakhir sahabatnya meremas bahunya. Trinita masih terisak. Kehilangan tiga orang sekaligus membuat mereka seperti dipukul benda berat yang tak terlihat. Membetot ulu hatinya, membekukan darah dalam pembuluhnya dan membuat hidungnya serasa dibekap hingga sulit bernafas.

Arwen mengangkat badan kakaknya yang lemas hampir pingsan kemudian bangkit perlahan-lahan menuju mobil. Dia menyetir tanpa fokus yang anehnya, mobil terasa berjalan tanpa dikendalikan. Terangnya matahari di siang hari tak mampu menerangi hati mereka berdua yang sedang diselimuti mendung.

Trinita terisak makin keras dan Arwen hanya meremas kedua tangannya tanpa mampu berkata-kata. Kerongkongannya terasa tersumbat. Perjalanan hening yang pilu dan hanya terdengar sedu sedan Trinita di balik saputangannya. Membuat waktu seakan berhenti berputar.

Ketika sampai di rumah yang terasa sangat suram, Trinita keluar mobil dan masuk ke rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Arwen mengikutinya dan menemukannya terduduk di sofa ruang tamu. Trinita melihatnya kemudian bangkit berdiri memeluknya. Mereka berusaha saling memasukkan perasaan hatinya masing-masing tanpa saling berucap. Mereka bersaudara, mereka saling mengerti. 

Beberapa saat kemudian Trinita melepaskan pelukannya lalu berjalan menuju kamarnya sambil membekap mulutnya. Arwen terdiam sesaat kemudian mengikutinya. Menaiki satu persatu anak tangga yang terasa sangat berat. Kini hanya tinggal dia dan kakaknya. Sebatang kara di dunia ini.

Arwen berjalan pelan ke tempat tidurnya, mengenyakkan diri di sana. Terlentang memandang langit-langit kamarnya. Dia merasa rumah ini terlalu besar tanpa Oma. Sapaan pagi Oma, wajahnya yang rupawan, kesabarannya dan suara Papa dan Mama yang sekarang tak akan pernah lagi ia dengar, membuatnya jatuh ke dalam lubang gelap dalam hatinya sendiri. Perasaan itu membuatnya bertambah perih seperti dicabik disembuhkan lalu dicabik lagi. 

***

Hari demi hari dan bulan berganti bulan, semua kekosongan tetap tak terangkat. Rasa perih dan senyap tak hilang seiring berjalannya waktu. Tragedi itu masih menyisakan lubang dalam dan luka yang menganga di hati mereka. Kendati Trinita yang sebelumnya jauh lebih terpukul mulai menerima kenyataan bahwa dia dan adiknya harus terus hidup tanpa orangtua. Sebaliknya yang terjadi pada Arwen. Dia masih mengurung diri di kamar dan hanya turun pada waktu makan. Kuliah pun tidak.

Sore itu seperti biasanya Arwen hanya berbaring di tempat tidurnya. Matanya nyalang dan pikirannya berputar. Semua penjelasan polisi tentang kronologis kematian orangtuanya terngiang di pikirannya. Polisi mengatakan bahwa orangtuanya melakukan perjalanan ke daerah puncak dan tewas masuk jurang setelah menabrak pagar pembatas. Kata mereka, mayat orangtuanya sudah membusuk saat ditemukan. Dan kata mereka lagi, orangtuanya kecelakaan pada hari Minggu dan ditemukan hari Selasa. Ucapan mereka berputar-putar seperti kaset kusut di dalam pikirannya.

Arwen menemukan suatu kejanggalan dari semua penjelasan itu. Dia tak percaya mereka kecelakaan. Lagipula orangtuanya tidak ditemukan tewas dalam keadaan mabuk dan mereka bukan pengendara yang ugal-ugalan. Lebih aneh lagi, jalan yang dilaluinya bukan jalan ke bandara. Terakhir mereka mangabari, bahwa mereka akan terbang ke Medan. Mereka tinggal ke bandara, dan kenapa harus melewati arah puncak?

Kenapa dan kemana mereka waktu itu? 

Mobil yang dikendarai mereka dan barang-barang ketika kecelakaan sudah diminta Arwen agar ditaruh di apartemennya setelah selesai diperiksa polisi.

Pintu menjeblak terbuka. Trinita rupanya sudah pulang. Arwen tak mendengar mobilnya datang karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Aku sudah pulang dan kamu masih terbaring di sini sejak aku berangkat tadi pagi. Kamu membolos kuliah lagi hari ini?” Trinita berjalan masuk dan duduk di kaki ranjang.

Arwen menggeleng. “Aku hanya malas,” jawabnya sambil menatap wajah lelah kakaknya.

“Dan kamu bahkan menonaktifkan ponselmu. Dinar berulang kali menghubungiku menanyakan kabarmu. Kurasa dia sangat cemas Arwen. Apa kamu masih akan begini terus? Membolos kuliah dan nggak mau menemui siapa pun?” Dia memegang tangan Arwen lalu meneruskan. ”Aku tahu kamu masih merasa sedih dan terpukul, tapi kalau kamu  tetap seperti ini, kamu nggak akan pernah menemukan penghiburan Arwen.”

“Aku masih ingin sendiri Trinita. Nanti kalau aku sudah siap, aku bakal beraktivitas seperti biasa, Trinita.” Arwen sekarang duduk dan melepaskan tangan kakaknya.

“Lalu sampai kapan kamu terus begini? Aku nggak sanggup melihatmu mengurung diri terus menerus seperti ini.”

“Trinita, aku sedang memikirkan sesuatu. Aku ingin pergi ke Jakarta. Aku ingin ke apartemen Mama dan Papa.” Celetuk Arwen mengalihkan topik pembicaraan.

“Apa yang akan kamu lakukan di sana?” Trinita mengernyit heran.

“Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku mohon Trinita,”

“Apa mungkin hal itu bisa membuatmu lebih baik Arwen?”

Arwen hanya menganggukkan kepala tanpa memandangnya. Dia takut kebohongannya terbongkar karena tujuannya ke sana bukan untuk menenangkan diri, melainkan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Kapan kamu berangkat?” tanya Trinita.

“Aku berangkat besok,” jawab Arwen cepat.

***

Matahari Jakarta serasa menyengat kulit. Udara yang tercemar mulai terasa ketika Arwen melangkah keluar bandara dan berjalan sambil menyeret kopernya menuju sebuah taksi. Mesin taksi menderu menyala ketika Arwen mengatakan tujuannya. Kemudian taksi mulai meluncur ke padatnya lalu lintas Jakarta.

Udara panas yang memusingkan pikirnya, ketika melirik ke arah luar dari dalam taksi. Gelombang udara panas seakan menggelung-gelung bagai lidah api dan menyebar, membungkus dan merembes ke dalam celah-celah taksi. Walaupun sekarang dia dalam sebuah mobil umum ber-AC tapi ia tetap bisa merasakan panasnya udara di luar. Mobil-mobil yang merayap di sampingnya memantulkan cahaya matahari yang panas dan menyilaukan. Suara-suara klakson yang saling menyahut dan bising membuatnya merasa lelah dan penat.

Setelah satu jam berlalu, Arwen  sampai di tujuannya. Sebuah gedung apartemen yang tinggi dan mewah berdiri menjulang di tengah kota padat merayap. Setelah membayar argo, Arwen keluar dan cepat-cepat masuk ke dalam lobi. Hembusan angin dingin yang menerpanya begitu berada di dalam, membuatnya merasakan kenyamanan.

Sebuah meja setinggi dada terletak di samping pintu masuk. Seorang resepsionis cantik berdiri di belakangnya. Arwen mendekatinya.

“ Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.

“Saya Arwen Raymon. Saya ingin memakai apartemen Bapak Raymon.”

“Putri bapak Raymon?” tanyanya. Arwen mengangguk. Resepsionis itu memberikan pandangan sendu yang tidak disukai Arwen. “Saya ikut berduka cita dengan orangtua Anda.”

“Terima kasih,” jawab Arwen cepat-cepat. “Jadi bagaimana?”

“Tunggu sebentar kami harus mengecek beberapa identitas anda.”

Setelah beberapa lama memenuhi prosedur Arwen diberi kuncinya.

“Lantai 17 dan nomor 308.” Kata resepsionis itu sambil menyodorkan kunci pada Arwen.

“Terima kasih.” Jawab Arwen kemudian berjalan ke arah lift.

Lift mulai naik setelah Arwen menekan tombol 17. Dia hanya sendirian sampai lift berhenti dan membuka di lantai 17. Dia keluar dan mulai mencari apartemen nomor 308. Segera saja ia menemukannya. Pintu paling sudut dan berpapan angka 308 warna emas yang mengkilap. Dia memasukkan kunci dan membukanya.

Ruangan apartemen itu luas dan bergaya minimalis. Dua kamar tidur utama dan satu lagi kamar tidur tamu kecil. Arwen berjalan ke ruang tamu dan menyingkap gorden. Terlihat pemandangan ibukota waktu siang hari. Dia menikmatinya sejenak kemudian berjalan ke arah kamar utama, menjatuhkan kopernya lalu membaringkan diri di atas tempat tidur. Tak lama kemudian dia terlelap karena lelah, tanpa mengetahui hal mengejutkan serta bahaya yang menantinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status