Share

Sumber yang terlupakan (part 2)

Keesokan harinya Arwen bangun kesiangan. Semalam dia berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan yang akan diputuskannya. Setelah memikirkannya dia cenderung pindah ke Jakarta . Memulai hidup baru di sana. Memulai penyelidikan lagi dan yang paling berat, adalah mengemban beban perusahaan. Walaupun semalam dia merasa sebal dengan Trinita, karena seenaknya saja mengalihkan tanggung jawabnya kepada dia. Arwen kini sadar betapa beratnya Trinita mengemban tanggung jawabnya sendiri sebagai pemimpin bisnisnya.

Siang itu Arwen bertemu Trinita saat turun dari kamarnya, dia berpapasan dengan Trinita di tangga.

“Oh Arwen untunglah kamu sudah bangun!” Kata Trinita agak tergesa.

“ Ada apa? Dan kamu mau kemana?” Arwen bertanya heran melihat Trinita memakai baju rapi dan menjijing tasnya.

“ Ada urusan serius di kantor. Beberapa customer protes gara-gara pengiriman mobilnya telat, aku harus kesana membereskannya. Maaf Arwen, kamu harus menemani Tante Karin sendirian di rumah.”

“Tak masalah.” Jawab Arwen, dia malah senang ditinggal berdua dengan Tante Karin. “Kalau begitu hati-hati.”

Trinita berjalan setengah berlari keluar, dia benar-benar repot dengan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya. Arwen merasa sangat kasihan dengannya. Dia akan memasakkan Trinita nanti sore, janjinya pada diri sendiri.

Arwen berjalan menuju dapur, mengambil segelas susu dari lemari es dan mencomot sekeping roti tawar dari meja makan. Dia memakannya dan menghabiskan segelas susunya sambil melamun. Kemudia dia ingat Tante Karin, cepat-cepat keluar dapur dan mencarinya. Tante Karin sedang berada di halaman depan rumahnya ketika Arwen menemukannya. Dia sedang duduk di kursi taman memandang kolam ikan di bawah pohon besar yang rindang. Dia tersenyum ketika Arwen menghampirinya.

“Maaf Tante Karin, kami membiarkanmu sendirian,” kata Arwen lalu duduk di sebelahnya.

“Tidak masalah Arwen. Aku senang berada di sini. Sangat sepi, damai dan menyenangkan. Ini lokasi bagus untuk sebuah rumah.”

“Sebenarnya Papa yang ngotot membangun rumah ini di sini ketika aku masih kecil. Pilihan yang aneh menurutku kalau dilihat dari selera Papa.”     

“Aku juga sempat berpikir begitu Arwen selama dalam perjalanan kemari. Ayahmu tidak memilih lokasi di perumahan tapi lokasi… ya kamu tahu Arwen, lebih masuk kampung.”

“Tapi aku sangat menyukai keadaan di sini. Sangat tentram.“ Kata Arwen sekarang memandang Tante Karin.

“Aku juga menyukainya.” Kata Tante Karin lalu memegang tangan Arwen. “Aku berjanji akan membantumu dan mengajarimu Arwen, seMampuku. Cobalah… jika kamu tidak menyukainya, kita bisa pikirkan rencana yang lain. Tidak ada yang tahu selama tidak mencoba.”

“Terima kasih Tante Karin. Mungkin aku memang harus mencobanya lebih dulu.”

Tante Karin tersenyum puas.

“Ehm … Tante Karin, sebagai orang yang dekat dengan orangtuaku, Anda pasti tahu bagaimana mereka tiap harinya. Seperti apa mereka sehari-hari?” Arwen memulai. “Aku hanya ingin tahu.” tambahnya.

“Tentu saja  kamu ingin tahu, kamu adalah putrinya. Mereka kedua orang yang sangat baik, kegiatan mereka berdua hampir tak pernah berjalan sendiri-sendiri. Mereka berdua seperti ini,” Tante Karin mengaitkan kedua telunjuknya, “tak terpisahkan.”

“Siapa saja rekan-rekannya di sana?” Arwen kembali bertanya karena jawaban yang ia dapat tidak sesuai dengan keinginannya. Walaupun dia merasa senang orang tuanya disebut-sebut kembali.

“Banyak sekali rekannya. Mereka sangat baik sehingga mereka cepat sekali mendapat rekan maupun teman. Walaupun tak semua rekan baik.” Tante Karin menghembuskan napas panjang setelah mengatakannya.

“Apa maksudnya?”

“Dulu dia punya seorang rekan kerja, namanya Dicky Lang. Dia pengusaha muda yang sukses dan paling berjaya waktu itu. Saat itu perusahaan orang tuamu belum sukses. Tingkat keberhasilannya jauh di bawah perusahaan Dicky. Orang tuamu menjadikannya rekan, mereka berdua ingin belajar dari pemuda itu. Setelah satu tahun menjalin hubungan baik, perusahaan mereka menjadi sukses. Jauh mengalahkan Dicky.”

“Jadi Mama dan Papa mendekati Dicky hanya untuk mencuri kejayaannya?” tanya Arwen tak percaya.

“Tentu saja tidak Arwen. Orang tuamu tak akan pernah melakukan hal keji seperti itu. Mereka hanya ingin belajar dari pemuda itu, kemudian menerapkannya di perusahaannya sendiri tapi Dicky sama sepertimu. Dia langsung menganggap orangtuamu mengkhianatinya, dia mengira mereka mencuri kejayaannya. Ayahmu berusaha menjelaskannya tapi percuma. Bahkan saat perusahaan Dicky jatuh ayahmu berusaha memberi pinjaman tapi Dicky tak mau. Dia menganggap itu sebagai penghinaan.

“Kemudian lama setelah itu perusahaan Dicky mulai bangkit. Tapi kebangkitannya dilakukan dengan curang dan perbuatan kotor. Dia menghasut relasi-relasi yang berhubungan dengan perusahaan orangtuamu. Orangtuamu  sangat kalang kabut karenanya. Tapi mereka cerdas, mereka bisa mengendalikan situasi dan membersihkan nama perusahaannya. Mereka kembali bangkit walaupun saat itu suasana bisnis sedang lesu.” Tante Karin sekarang tersenyum.

“Tentu saja Dicky marah sekali karena telah gagal mengobrak-abrik perusahaan mereka. Tapi aku sangat kagum terhadap ayah dan ibumu. Mereka tetap tidak mempunyai dendam sekecil pun kepada Dicky. Mereka tetap menghormatinya sebagai guru muda yang membantunya mencapai kesuksesan.”

“Lalu bagaimana dengan Dicky sekarang?” Arwen bertanya, tangannya mulai berkeringat. Mungkinkah dia?

“Kudengar dia memulai membangkitkan lagi perusahaannya. Tapi terakhir kali aku bertemu dia dan ketika itu berita meninggalnya orangtuamu sudah menyebar ke kota di kalangan para pengusaha, dia berkata kepadaku ‘Kurasa mereka sedang berada di neraka sekarang.’ Lalu tertawa gelak-gelak. Kentara sekali dia bahagia, aku saat itu hanya geleng-geleng kepala dan menganggap Dicky sudah tidak waras.” Tante Karin menggeleng-gelengkan kepalanya menirukannya waktu itu.

“Berarti dia memang sangat bahagia melihat orangtuaku meninggal?” Tanya Arwen, tangannya mulai kaku. Tante Karin memperhatikannya kemudia berkata.

“Oh sudahlah, Arwen jangan diambil hati. Dicky memang begitu.” Tante Karin menggenggam tangan Arwen, berusaha menenangkan.

“Tidak  apa-apa. Aku hanya sedikit emosi, Anda pasti mengerti Tante Karin.” Tante Karin menganggguk sabar ”Beberapa hari yang lalu aku terbang ke Jakarta . Di apartemen Mama dan Papa aku menemukan dua agenda mereka. Aku membacanya, dan kemudian mengetahui mereka berdua ada janji dengan rekannya di Medan. Hari Selasa. Tapi mereka memberitahuku mereka akan berangkat hari Minggu waktu itu. Anda tahu kenapa mereka berangkat hari Minggu? Dan akan ke mana mereka?”

Tante Karin berpikir sebentar kemudian menjawab.

“Aku tidak tahu Arwen, aku tidak ada di Jakarta hari itu. Apakah itu berarti mereka pergi hari Minggu lalu ditemukan tewas dalam jurang pada hari Selasa?” Tante Karin mengerutkan dahinya, mata sipitnya menerawang kosong ke arah batu-batu kolam.” Mengapa mereka melintas ke arah puncak?”

“Aku juga tidak tahu Tante Karin. Ada apa di sana ?”

“Mungkin mereka akan memberikan oleh-oleh untuk rekannya, Arwen.” Tante Karin memandang ke arahnya, sama binggungnya.

“Anda tahu Tante Karin, kurasa aku ingin segera pindah ke Jakarta.” Arwen menatapnya tajam.

***

Informasi baru tentang rekan orangtuanya yang bisa dicurigai sebagai pelaku memenuhi pikiran Arwen sore itu. Dia sedang berada di dapur untuk memenuhi janjinya kepada diri sendiri, yaitu memasak untuk makan malam. Dia mencoba mereka-mereka dan menghubungkan petunjuk-petunjuk yang berhasil ia dapatkan. Dia berhenti berpikir dan memutuskan mendiskusikannya dengan Dinar ketika jarinya teriris pisau karena memotong bawang bombay dengan melamun.

Ketika Arwen memulai menata meja makan, Trinita datang  menghambur ke lemari es lalu menyambar segelas air. Wajahnya terlihat sangat lelah. Setelah meminum segelas air dalam sekali teguk Trinita mengempaskan tubuhnya di kursi meja makan. Tas jinjingnya dilemparkan begitu saja di atas kursi sebelumnya.

“Bagaimana masalahnya? Sudah beres?” tanya Arwen, tangannya membawa sepiring tongseng daging kambing kesukaan Trinita dan meletakkannya di atas meja.

“Untunglah semuanya sudah bisa diberi pengertian. Sejuta permintaan maaf rasanya keluar dari mulutku hari ini.” Jawab Trinita. Nafasnya berhembus lelah. Kepalanya disandarkan ke sandaran kursi meja makan. Wajah dan rambutnya yang panjang kelihatan sangat berminyak.

“Kamu sudah tahu mengapa pesanan-pesanan itu sampai telat?” Tanya Arwen, sekarang tangannya membawa sepiring kentang panggang dan sebakul nasi kemudian ia meletakkannya di samping ceret air.

“Hampir semua pengiriman keluar pulau telat gara-gara cuaca tak menentu. Gelombang air laut naik dengan dahsyat. Mobil-mobil pengiriman tidak bisa naik kapal. Kapal-kapal feri juga tak boleh beroperasi.” Jelasnya sambil mengetuk-ketukan gelas kosong di tangannya ke atas meja.

“Pantas saja, untung saja mereka mengerti.”

Trinita mangiyakan. Matanya menatap kembali makanan yang sudah tertata di atas meja. “Ini semua masakanmu?”

Arwen memutar bola matanya. “Menurutmu?”

 Trinita terkikik. “Eh di mana Tante Karin?”

“Dia sedang mandi, mungkin sebentar lagi turun.”

Lima menit kemudian Tante Karin turun membawa tas-tasnya.

“Tante Karin, Anda mau pulang sekarang?” Tanya Arwen heran ketika Tante Karin duduk di kursi meja makan. Arwen mengikuti duduk di sebelahnya.

“Tentu saja manis, besok aku harus menyiapkan surat-surat yang lain. Tapi tenang saja aku tak akan melewatkan makan malam di sini.” Ujarnya, tersenyum lembut.

“Ehm… tapi Anda tergesa-gesa sekali? Lagipula sudah malam, kenapa tidak besok pagi saja kembali ke Jakarta?” Sahut Trinita.

“Harus menyelesaikan tugas dengan cepat. Beberapa hal terbengkalai di kantor.” 

Makan malam selesai, Arwen bersemu merah karena banyak pujian karena masakannya. Ini aneh, batinnya. Aneh karena Trinita bilang dia bisa memasak. Bahkan Tante Karin menyukai tongseng kambingnya.

“Anda benar-benar tidak mau diantar ke bandara, Tante Karin?” Tanya Arwen. Mereka bertiga sudah berada di teras depan. Arwen membantu membawakan tas Tante Karin.

“Jangan cemaskan aku. Aku bisa sendiri. Aku akan merasa terlalu tua jika kalian mencemaskan aku.” Tante Karin tersenyum.

 “Jangan bicara begitu! Tentu saja tidak merepotkan. ” Sahut Trinita sambil memeluknya.

“Cepat kabari aku bagaimana keputusan kalian. Aku menantikan kalian di Jakarta .” Ujar Tante Karin ketika Arwen membantunya memasuki taksi.

“Aku pasti ke Jakarta, aku hanya tinggal membujuk Trinita.” Arwen berkata pelan sehingga hanya Tante Karin yang bisa mendengarnya, sembari menyodorkan tasnya.

Taksi mulai bergerak, Tante Karin menurunkan kaca jendela lalu melambaikan tangan kepada Arwen dan Trinita sambil berteriak “Cepatlah pindah, aku menanti kalian!”

Arwen dan Trinita tersenyum sambil melambaikan tangannya, kemudian Trinita berteriak membalas.” Hati-hati di jalan Tante Karin!”

Arwen melesat ke kamarnya seletah membersihkan meja makan dan mencuci piring. Trinita sudah berada dalam kamarnya, mungkin sedang istirahat. Arwen menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya nyalang. Badannya terasa pegal-pegal setelah memasak dan membersihkan rumah. Pikirannya terbang kemana-mana, lama setelah itu dia terlelap

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status