Share

Sumber yang terlupakan

Sekitar pukul tiga sore Arwen kembali ke rumah diikuti Dinar. Mereka memarkir mobil di garasi yang terletak lima meter dari rumah utama. Setelah turun dari mobil Arwen melirik ke tempat biasa Trinita memarkir mobilnya, tempat itu kosong. Trinita belum pulang.

Mereka berjalan di koridor yang menghubungkan garasi ke rumah. Setelah memasuki rumah, Arwen menuju dapur dan mengambil jus untuk Dinar.

“Sebaiknya kita saja mandi sebelum Trinita pulang. Aku akan membantunya memasak nanti,” kata Arwen sambil menyodorkan segelas jus ke Dinar.

“Baiklah. Aku harus memakai kamar mandi yang mana?“ tanya Dinar bingung. Memandang ke sekelilingnya. Rumah Arwen memang sangat besar dan banyak kamar mandi yang tersedia.

“Kayak kamu nggak pernah mandi di rumahku saja,” Arwen memutar bola matanya. “Pokoknya, jangan pakai yang dekat guci besar itu. Kran di sana sedang rusak.”

“Aku memakai kamar mandi yang ada di kamarmu saja,” jawabnya.

Trinita datang tepat ketika mereka selesai mandi. Dia membawa banyak barang dipelukkannya. Arwen mengambil semuanya dan membawanya ke dapur.

“Hai, Kak… bagaimana kabarnya?” Sapa Dinar ketika Trinita memasuki dapur. Dinar memang menunggunya di sana.

“Baik-baik, bagaimana kabarmu?” Sahut Trinita. “Sudah lama kamu tidak berkunjung kemari,”

“Baik juga. Maaf sudah lama tidak berkunjung kemari. Arwenn berhenti mengajakku.” Dinar nyengir ke arah Arwen yang sedang membongkar belanjaan dan menjajarnya di meja dapur.

“Benarkah kamu tak pernah mengajaknya Arwen?” tanya Trinita yang sekarang menuang jus ke gelasnya sambil tersenyum. Akhir-akhir ini Arwen memperhatikan dia selalu bahagia.

“Sekali lagi kamu bilang aku tak pernah mengajakmu ke sini kamu akan kembali mandi karena aku akan melempar sekotak telur ini kepadamu,” sahut Arwen bercanda. ”Aku selalu mengajakmu tapi kamu sendiri yang alasan pergi entah ke mana.”

“Maaf Kak, aku memang selalu ada urusan ketika Arwen mengajakku.” Dinar tertawa.

“Baiklah ladies, sebaiknya kita memasak sekarang. Jika tidak, kita akan makan jam sembilan.” Perintah Trinita masih sambil nyengir.

Mereka duduk memutari meja makan tepat pukul tujuh. Ayam bakar keju pedas terpampang menggiurkan di tengah meja. 

“Kentang panggang Dinar?” Trinita menawarkan sepiring kentang panggang. Dinar mengiyakan dan menyorongkan piringnya ke Trinita. “Kamu mau Arwen?” Lanjut Trinita menawari adiknya.

“Sedikit saja,” jawab Arwen sambil menguyah ayamnya.

“Sibukkah di kantor kak?” tanya Dinar, tangannya sibuk mengiris ayam. 

“Sangat sibuk. Kurasa aku mulai berpikir untuk mencari asisten. Aku tak bisa menangani semuanya sendiri” jawab Trinita lelah.

“Berarti masih banyak peminat mobil sport?” tanya Arwen.

“Tentu saja masih banyak. Peminatnya tak pernah turun. Aku sekarang mencoba menjual mobil bekas juga. Aku terinspirasi pendapatmu waktu itu. Pertama memang sangat repot mengurus surat-suratnya, tapi lumayan oke pemasukannya.“

Hening sebentar kemudian Arwen memulai.

“Kamu mau menginap atau pulang Dinar?” tanya Arwen.

“Sebaiknya aku pulang saja, orangtuaku sedang tak ada di rumah.” Jawab Dinar sambil meraih gelasnya.

“Kamu mau tambah lagi?” Tawar Trinita ketika piring Dinar sudah bersih.

“Kurasa tidak Kak, aku harus pulang sekarang.” Dinar bangkit dari kursinya.

“Kenapa tergesa-gesa?” Arwen memandang tajam Dinar.

“Sekarang hampir pukul delapan, orang tuaku akan pergi dan rumah kosong. Aku harus segera kembali. Maaf Kak Trinita, aku menyela acara makan malam ini tapi aku benar-benar harus pulang.”

“Baiklah tak apa-apa. Aku mengerti. Terima kasih sudah datang.”

“Terima kasih sudah mengundangku Kak,”

“Aku akan mengantarmu ke depan” sahut Arwen.

***

Sebuah taksi berhenti di depan pagar rumah menggantikan mobil Dinar yang baru saja berlalu. Arwen mengawasinya. Seorang wanita bercelana hitam panjang dan blazer warna krem keluar dari taksi. Rambutnya digelung rapi, membawa tas hitam di tangan kanan dan tas map di tangan kiri. Dia berjalan mendekati pagar dan tersenyum kepada Arwen. Ketika dia sudah dalam jarak dekat, Arwen bisa melihat wajahnya. Bermata sipit, hidung pesek dan senyum sepertinya dia kenal.

Arwen berpikir siapa wanita yang berumur sekitar lima puluh tahunan ini? Kemudian dia mengingatnya. Wanita ini adalah asisten Papa, Karin Margaret.

“Tante Karin?” Arwen memanggilnya. Astaga, batinnya. Aku melupakan seseorang ini. Dia pasti tahu segalanya tentang orangtuaku. Bagaimana aku sampai lupa? Baru siang tadi aku putus asa mencari informasi tapi jawabannya datang malam ini. Seorang wanita setengah baya yang berdiri di depanku. Seorang sumber yang terlupakan. Arwen cepat-cepat membuka pagar.

“Arwen kamu sudah besar sekali,” kata Tante Karin tersenyum seraya memegang kedua lengan Arwen. Kedua tasnya tergantung di lengannya. Terakhir kali mereka bertemu adalah sekitar lima tahun yang lalu.

“Tante bagaimana kabarnya? Silahkan masuk.” 

Arwen masuk diikuti Tante Karin. ”Kamu makin manis Arwen dan kamu tidak setinggi ini waktu itu.” Arwen hanya tersenyum malu. “Maafkan aku karena tidak datang ke acara pemakaman orang tuamu. Aku sedang berada di luar pulau waktu itu. Dan ketika aku pulang aku harus mengurus surat-surat sehubungan dengan kantor ayahmu. Baru sekarang aku bisa ke sini,” nadanya terdengar sangat menyesal. 

“Tidak apa-apa Tante Karin, aku bisa mengerti. Kurasa Trinita akan senang melihat Anda,” kata Arwen sembari membuka pintu rumahnya. ”Silahkan duduk!”

Arwen melesat masuk mencari Trinita. Dia di dapur sedang menerima telepon. Begitu menyadari Arwen melihatnya dia buru-buru mematikanya. Arwen menyipit curiga tapi tak memikirkannya 

“Trinita, Tante Karin sedang di ruang tamu sekarang,” kata Arwen tergesa-gesa. Dia kemudian menyambar gelas dan menuang minuman dari lemari es.

“Tante siapa?” Trinita bingung 

“Asisten Papa yang di Jakarta.” Jawab Arwen, sekarang tangannya menyambar nampan.

“Oh, Tante Karin,” Trinita ingat kemudian melesat mendahului Arwen. Arwen berjalan pelan-pelan di belakang karena membawa tiga gelas air jus di atas nampan.

“…Maafkan aku Trinita, aku benar-benar sibuk waktu itu.” Arwen mendengar potongan kalimat Tante Karin ketika dia sampai di ruang tamu.

Arwen meletakkan tiga gelas jus di meja kemudian duduk di depan Tante Karin. Trinita duduk di sampingnya.

“Aku harap Anda bisa menginap di sini.” Ujar Trinita.

“Kurasa tidak, aku akan merepotkan kalian. Aku akan menginap di hotel saja.”

“Kenapa?” Sahut Arwen. “Menginaplah di sini Tante Karin, Anda tak akan merepotkan kami. Lagi pula sudah malam, lebih baik menginaplah di sini,” bujuk Arwen.

“Ini sudah malam dan Anda tak akan merepotkan kami sama sekali. Besok hari Minggu, kami berdua bersantai.” Bujuk Trinita mendukung.

“Terima kasih, kalian berdua.” Tante Karin tersenyum. “Tapi ijinkan aku menyelesaikan tujuanku terlebih dahulu.” Tante Karin mengambil tas mapnya kemudian meletakkannya di meja.  “Setelah orang tua kalian meninggal,” dia berhenti sejenak, ada nada getir di suaranya. ”Oh, maafkan aku. Aku masih belum percaya orang tua kalian meninggal dengan cara seperti itu.” Mukanya memerah, air matanya berlinang, dia buru-buru mengusapnya.

Trinita bergeser ke sebelah Tante Karin kemudian mengusap punggungnya. Mencoba menenangkan. “Mungkin, sebaiknya Anda beristirahat dulu.”

“Tidak-tidak. Ini harus segera disampaikan. Jadi begini, setelah mereka tidak ada, perusahaan membutuhkan seorang pemimipin dan otomotis jabatan itu jatuh pada Trinita. Tapi sebelum ayah kalian meninggal, mereka pernah bercerita bahwa Trinita sudah mulai merintis usahanya sendiri. Aku harus menyampaikan hal ini sesegera mungkin, karena perusahaan membutuhkan seseorang untuk memimpin.” Dia menoleh ke arah Trinita. 

“Ehm…“ Trinita menoleh ke Arwen, mereka berdua saling pandang kemudian kembali menatap Tante Karin, ”sebenarnya aku tak berminat meneruskan perusahaan Papa. Aku sudah lama memikirkanya tapi aku lebih suka menjalankan bisnisku sendiri. Aku serahkan perusahaan kepda Arwen.”

“Trinita, apa kamu serius? Apa kamu sudah memikirkanya masak-masak?” tanya Arwen kaget.

“Aku sudah lama memikirkan ini. Aku tak tertarik bisnis Papa. Aku lebih nyaman dengan bisnis yang kudirikan sendiri.”

“Maksudku begini, aku tak tahu menahu tentang bisnis atau bagaimana menjalankan perusahaan dan akupun belum lulus kuliah,” jelas Arwen.

“Aku yang akan mengurus semua itu.” Sahut Tante Karin. ”Kamu bisa tetap kuliah dan aku akan mengajari semua tentang seluk beluk bisnis sampai kamu siap menjalankannya sendiri.”

Arwen menghempuskan napas panjang dan bersandar ke sofa. Batinya berkecamuk. Dia memikirkan kasus pembunuhan ayah dan ibunya. “Aku tidak bisa memutuskannya sekarang.”

“Aku mengerti.” Jawan Tante Karin.

Arwen memang belum menentukan masa depannya tapi dia tak berminat menjalankan bisnis Papa. Dia tak ingin bekerja seperti orangtuanya. Yang mengorbankan keluarganya. Lagi pula dia masih ingin berkonsentrasi dengan kasus pembunuhan mereka. Di pikirannya sekarang penuh pertanyaan. Bagaimana menahan Tante Karin selama mungkin di sini untuk mencecarnya. Dia tak ingin kentara ketika menanyainya, dan caranya terlintas begitu saja dipikirkannya. 

“Sebaiknya kalian cepat-cepat pindah ke Jakarta.” Tante Karin melanjutkan dengan santai.

“Pindah ke Jakarta?” seru Arwen dan Trinita bersamaan.

Tante Karin melanjutkan sabar, ”bagaimana Arwen bisa memimpin perusahaan jika dia tetap berada di Surabaya ?”

“Apa tak ada cara lain?” tanya Trinita.

“Sepertinya tidak ada, Arwen harus berada di sana. Jika kamu juga pindah aku sarankan cepat-cepat membuat kantor barumu di sana.”

“Oh… tidak! Akan sangat merepotkan memindahkanya. Mungkin sebaiknya aku pertimbangan terlebih dahulu dengan Arwen. Bagaimana pendapatmu Arwen?”

“Aku belum setuju untuk memimpin perusahaan!” keluhnya. Heran semua orang menganggap dia pasti akan menyutujuinya. Pikirannya berkecamuk lagi. Lima puluh persen dia ingin tetap di Surabaya dan kenangan akan Oma. Tapi  lima puluh persen lagi dia ingin di Jakarta. Di sana dia bisa menyelidiki lebih lanjut lagi.

“Alternatifnya, kalian bisa menjual perusahaan dan hasilnya bisa kalian pakai untuk modal membuka bisnis baru di sini. Tapi apakah kalian benar-benar ingin menghapus begitu saja upaya orangtua kalian ketika membangun perusahaanya?” Tanya Tante Karin.

“Benar-benar pilihan sulit, aku tak ingin meninggalkan bisnisku di sini. Tapi aku juga tak ingin menjual perusahaan.” ujar Trinita lemah.

“Aku akan memikirkannya Trinita, tenanglah dulu.” Jawab Arwen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status