nama: riven usia: 22-25 tahun (atau mau lebih muda/tua?) kepribadian: polos, agak pendiam, lebih suka menyendiri, tapi punya rasa ingin tahu yang besar latar belakang: mungkin dia tumbuh di panti asuhan, atau dia hidup sederhana di tempat terpencil sebelum semuanya berubah ciri fisik: rambut agak berantakan, mata yang selalu terlihat tenang tapi menyimpan sesuatu di dalamnya, tinggi rata-rata atau lebih tinggi dari kebanyakan orang? kelebihan: bisa membaca kode atau pola yang orang lain nggak bisa lihat, cepat belajar, dan punya daya ingat yang kuat kelemahan: terlalu mudah percaya sama orang, nggak terbiasa dengan dunia luar, sering merasa bingung dengan apa yang terjadi di sekitarnya
Lihat lebih banyakMalam itu, hujan turun deras, membasahi jalanan kota yang sudah sepi. Lampu jalan redup berpendar di atas aspal yang mengilap, memantulkan warna oranye yang suram. Riven berjalan sendirian di trotoar, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya yang sudah agak basah.
Dia baru saja pulang dari kampus, menghabiskan waktu di perpustakaan hingga larut. Sebagai mahasiswa jurusan IT, dia lebih suka tenggelam dalam buku dan layar komputer dibandingkan kehidupan sosial yang melelahkan. Tapi malam itu, langkahnya berhenti di depan sebuah toko buku tua yang hampir tidak pernah dia perhatikan sebelumnya. Jendela kaca toko itu berembun, dan papan kayu di atas pintu menampilkan tulisan yang sudah mulai pudar: Antik & Misteri. Entah kenapa, ada sesuatu yang menarik Riven untuk masuk. Dia meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Bel berbunyi nyaring, menggema di dalam ruangan yang dipenuhi aroma buku tua dan kayu yang lembap. "Selamat datang," suara serak seorang pria tua menyambut dari balik meja kasir. Riven mengangguk singkat, lalu berjalan masuk lebih dalam. Rak-rak tinggi berisi buku-buku tua dan gulungan kertas yang berdebu membuat tempat itu terasa seperti dunia lain. Tangannya menyusuri punggung buku-buku lusuh hingga jari-jarinya berhenti di satu buku berwarna hitam pekat dengan simbol aneh di sampulnya. Buku itu tidak memiliki judul. Tidak ada tulisan di punggung atau bagian belakangnya. Riven mengernyit. Ada sesuatu yang aneh tentang buku ini. Dia mencoba menariknya keluar dari rak, tetapi seolah ada sesuatu yang menahannya. Dengan sedikit tenaga lebih, akhirnya buku itu terlepas, dan udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa itu menarik perhatianmu?" suara pria tua tadi terdengar di belakangnya. Riven berbalik dan menunjukkan buku hitam itu. "Buku ini... apa isinya?" Pria tua itu menatapnya lama, lalu tersenyum samar. "Banyak hal. Sejarah, rahasia, dan mungkin... sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata." Riven menelan ludah. "Berapa harganya?" Pria itu menggeleng. "Buku itu bukan untuk dijual. Tapi kalau kau bersikeras membacanya, anggap saja itu milikmu sekarang." Alis Riven terangkat. Itu terdengar seperti tawaran yang aneh, tapi dia tidak terlalu memikirkan alasan di baliknya. Dia mengangguk dan memasukkan buku itu ke dalam tasnya sebelum mengucapkan terima kasih dan keluar dari toko. Begitu dia melangkah ke luar, hujan sudah mulai mereda. Tapi udara masih terasa dingin. Seolah ada sesuatu yang berubah setelah dia mengambil buku itu. Setibanya di rumah, Riven masuk ke kamarnya tanpa banyak bicara dengan keluarganya. Dia menyapa ibunya singkat sebelum langsung naik ke lantai dua, meletakkan tasnya di meja belajar, lalu duduk dan mengeluarkan buku hitam yang tadi dia ambil. Jarinya menyusuri simbol aneh di sampulnya. Semakin lama dia menatapnya, semakin terasa seolah simbol itu bergerak perlahan, berputar dalam pola yang tidak bisa dijelaskan. Riven menggelengkan kepalanya, mengira itu hanya efek kelelahan. Dia membuka buku itu perlahan, dan langsung disambut dengan tulisan tangan yang rapi, tetapi dalam bahasa yang tidak ia kenali. Tapi yang aneh... semakin lama dia menatapnya, semakin dia bisa memahami arti tulisan itu. "Siapa pun yang membaca ini, kau telah membuka pintu yang tidak bisa ditutup kembali." Riven mengernyit. Tangannya bergerak sendiri, membalik halaman demi halaman, membaca baris demi baris yang tiba-tiba terasa akrab di kepalanya. Lalu, tepat ketika dia mencapai halaman ke-13, sebuah suara bergema di kepalanya. "Kau telah dipilih." Lampu di kamarnya berkedip. Nafasnya tertahan. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga dia bisa mendengarnya sendiri. Dan di cermin di seberang kamarnya... Ada bayangan hitam berdiri di sana. Riven membeku. Matanya terpaku pada cermin di sudut kamarnya, di mana bayangan hitam itu berdiri diam, tak bergerak. Bentuknya samar, tak memiliki wajah, hanya siluet gelap yang seolah menghisap cahaya di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang. Tangannya gemetar saat dia perlahan menutup buku itu. Begitu halaman terakhir tertutup, lampu kamarnya berhenti berkedip. Nafasnya masih tersengal ketika dia menatap cermin lagi. Bayangan itu menghilang. Riven menelan ludah, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah ilusi. Efek dari kelelahan atau mungkin sugesti karena membaca sesuatu yang aneh. Tapi perasaan tidak nyaman itu masih ada. Dia berdiri, berjalan perlahan ke arah cermin, memastikan tidak ada apa pun di sana. Wajahnya sendiri yang kini menatap balik, dengan mata yang masih dipenuhi kebingungan dan sedikit ketakutan. “Apa-apaan tadi…” gumamnya pelan. Dia kembali ke meja belajar dan menatap buku hitam itu. Sesuatu tentangnya terasa… hidup. Seolah ada energi yang mengalir dari sampulnya. Riven ingin mengabaikannya, ingin percaya bahwa ini semua hanya kebetulan, tapi ada bagian dari dirinya yang ingin tahu lebih banyak. Dan rasa ingin tahu itulah yang membuatnya duduk kembali, menyalakan lampu meja, dan membuka halaman pertama sekali lagi. Satu Jam Kemudian Riven baru sadar dia sudah membaca cukup banyak halaman ketika suara ketukan terdengar dari pintu kamarnya. Tok. Tok. Tok. “Riven, kamu belum tidur?” suara ibunya terdengar dari balik pintu. Dia menghela napas lega. "Belum, Bu. Lagi ngerjain tugas," jawabnya, menutup buku itu dengan cepat. "Hmm… jangan begadang terlalu malam. Besok kamu masih ada kuliah, kan?" "Iya, Bu. Sebentar lagi tidur." Dia mendengar langkah kaki ibunya menjauh sebelum kembali menatap buku di hadapannya. Isinya bukan seperti buku biasa. Bukan sekadar cerita atau sejarah. Buku ini berisi instruksi. Mantra? Ritual? Dia tidak yakin. Tapi ada satu bagian yang menarik perhatiannya lebih dari yang lain. "Jika kau sudah membacanya, kau tidak bisa berpaling lagi. Mereka sudah melihatmu." Jantungnya mencelos. Siapa ‘mereka’? Dia ingin berhenti membaca, ingin menutup buku ini dan membuangnya ke tempat sampah, tapi matanya justru bergerak ke halaman berikutnya. Dan di sanalah dia menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku. Namanya tertulis di sana. "Riven Alastra telah membuka gerbang. Tidak ada jalan kembali." Seketika, lampu kamarnya kembali berkedip. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Seolah ada sesuatu yang kini bernafas di sudut ruangan. Riven menoleh ke cermin lagi. Dan kali ini, bayangan hitam itu tidak hanya berdiri diam. Ia bergerak. Pukul 02:00 Dini Hari Riven terbangun dengan nafas tersengal. Dia tidak ingat kapan tepatnya dia tertidur di atas meja, tapi keringat dingin membasahi dahinya. Kamarnya sunyi. Terlalu sunyi. Dia melirik ke arah buku hitam yang masih terbuka di atas meja. Halaman yang sebelumnya terbaca jelas kini penuh dengan coretan hitam yang tidak bisa dia pahami. Seolah seseorang telah menghapus semua kata-kata sebelumnya. "Apa-apaan ini…" gumamnya, suaranya serak. Kemudian, sesuatu menarik perhatiannya. Ada secarik kertas kecil yang terselip di bawah buku. Padahal sebelumnya, dia yakin tidak ada apa pun di sana. Dengan hati-hati, dia mengambil kertas itu dan membukanya. "Jangan menoleh ke belakang." Jantungnya seolah berhenti. Riven menegang. Dia bisa merasakan napas hangat di tengkuknya. Ada sesuatu di belakangnya. Dan itu… bukan manusia.Langkah kaki mereka menggema di lorong bawah tanah itu, semakin dalam, semakin dingin. Dinding-dindingnya berlumut dan berdebu, tapi di balik kelembaban itu, tertanam banyak rahasia yang telah dikubur puluhan tahun lalu.Auryn menggenggam lengan Lucien erat. “Kita mau ke mana?”“Ke ruang pusat data,” jawab Lucien pelan. “Semua yang berkaitan dengan Project Rantai Mawar ada di sana. Kalau benar kamu bukan satu-satunya… kita harus tahu siapa yang satunya lagi.”Jantung Auryn berdebar tak menentu. Bayangan yang ia lihat di cermin… senyum itu… bukan khayalan.Mereka berhenti di depan pintu besi besar yang dilapisi sidik jari dan retina scanner. Lucien menempelkan matanya ke sensor, lalu pintu terbuka perlahan.Aura dingin menyapu mereka berdua.Ruangan itu tampak seperti laboratorium masa depan—mesin-mesin mati yang masih menyala redup, layar-layar besar berisi file video lama, dan di tengah ruangan ada satu kapsul kaca. Di dalamnya… sosok perempuan yang mirip Auryn.Tapi bukan dia.Sosok
Riven menatap jam tua di atas perapian. Jarumnya tidak bergerak. Seolah waktu pun terperangkap bersama mereka. Sudah berapa lama Celine pergi? Lima menit? Sepuluh? Atau sudah lebih dari satu jam?Ia tidak tahu.Yang pasti, hatinya semakin sesak. Ada rasa tak enak, seperti napas yang tertahan terlalu lama.Tiba-tiba... suara pelan terdengar dari arah jendela.Suara… tawa?Riven berdiri. Langkahnya pelan. Ia mendekati jendela dengan hati-hati, lalu mengintip keluar.Tidak ada siapa pun.Tapi saat ia menoleh kembali ke dalam ruangan—semuanya berubah.Perapian padam. Jendela tertutup rapat dengan kayu disilang. Dinding yang tadinya polos, kini penuh dengan cermin—besar, kecil, retak, utuh, menggantung di seluruh sisi.Dan di dalam setiap cermin... bukan pantulan dirinya.Tapi pantulan Riven yang berbeda.Ada yang menangis. Ada yang tertawa seperti orang gila. Ada yang berdarah. Ada yang... tidak punya mata.Dia tersentak mundur. Kepalanya pening. Matanya menatap satu cermin paling besar d
Riven menatap kunci di tangannya. Rasanya dingin, seperti es batu yang tak pernah mencair. Tapi yang lebih mengganggunya bukan rasa dingin itu—melainkan suara bisikan yang masih terngiang jelas di dalam kepalanya."Sekarang, kalian sudah terikat dengan labirin ini."Celine berdiri di sampingnya, wajahnya pucat pasi. "Apa yang barusan lo ambil, Riv?"Riven membuka telapak tangannya perlahan, menunjukkan kunci logam hitam dengan ukiran rumit berbentuk seperti mata. Di tengahnya, ada simbol aneh yang berdenyut samar dengan cahaya merah."Gue rasa ini... kunci buat keluar dari sini," jawab Riven, suaranya terdengar ragu. "Tapi gue juga ngerasa kayak... kita makin terjebak."Celine menatap kunci itu dengan ngeri. "Gue nggak suka bentuknya. Lo ngerasa kayak... kita udah dibawa lebih dalam ke permainan mereka?""Banget," desis Riven.Tiba-tiba, suara langkah berat kembali terdengar di luar ruangan. Bayangan-bayangan dari makhluk-makhluk itu merayap ke dalam dari segala sudut."Riv, kita haru
Kilatan cahaya yang muncul dari buku itu begitu menyilaukan hingga Riven harus memejamkan mata. Suara-suara jeritan dari dalam buku menggema di seluruh perpustakaan, membuat udara terasa berat dan menekan.Celine berteriak di sampingnya, "Riven! Tutup bukunya!"Tapi sebelum dia bisa melakukan apa pun, sesuatu menarik tubuhnya ke dalam cahaya itu.Seketika, dunia di sekelilingnya berubah.Saat Riven membuka mata, dia tidak lagi berada di perpustakaan.Udara di sekelilingnya dingin dan lembap. Langit di atasnya berwarna merah gelap, tanpa matahari, tanpa bulan. Di kejauhan, bangunan-bangunan kuno menjulang tinggi, seperti reruntuhan peradaban yang telah lama ditinggalkan.Dia menoleh ke samping. Celine ada di sana, terjatuh di tanah dengan wajah pucat."Celine! Lo nggak apa-apa?"Celine mengerang pelan sebelum membuka matanya. "Dimana kita?"Riven menggeleng. "Gue nggak tahu… Tapi ini jelas bukan perpustakaan."Celine duduk dan memandang sekeliling. "Jangan bilang kita masuk ke dalam bu
Riven menatap buku itu, jari-jarinya masih menyentuh sampulnya yang terasa aneh—dingin, seperti batu nisan. Cahaya gelap yang muncul dari dalamnya perlahan memudar, meninggalkan kesunyian yang lebih menyeramkan daripada sebelumnya.Celine berdiri di sampingnya, tubuhnya sedikit gemetar. "Lo yakin kita bisa ngancurin ini?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi ruangan.Riven menarik napas dalam-dalam. "Nggak ada pilihan lain, Celine. Kalau kita biarin, buku ini bakal terus menelan orang-orang yang membacanya."Tapi masalahnya, bagaimana cara menghancurkan sesuatu yang bahkan tidak seharusnya ada?Perpustakaan di sekeliling mereka kini terasa lebih sempit, seolah-olah ruangan itu mulai mengamati mereka, menunggu keputusan yang akan diambil. Rak-rak buku yang sebelumnya diam kini berderak pelan, seakan bergerak dengan sendirinya.Celine menggenggam lengan Riven. "Lo denger suara itu?"Riven mengangguk pelan. Suara-suara bisikan itu tidak berhenti, semakin ban
Rahasia dalam KegelapanRiven menatap Elias dengan tatapan serius. "Perpustakaan terlarang? Maksud Anda, ada tempat yang menyimpan buku ini sejak awal?"Elias mengangguk pelan. "Ya. Itu adalah tempat di mana buku itu seharusnya tetap tersegel. Tapi seseorang membawanya keluar… dan sejak saat itu, masalah dimulai."Celine menggigit bibirnya. "Lalu, di mana perpustakaan itu?"Elias menghela napas panjang sebelum menjawab, "Tempat itu tersembunyi. Tidak ada yang tahu pasti di mana letaknya, karena pintunya hanya muncul di waktu-waktu tertentu… dan hanya bagi mereka yang telah disentuh oleh buku itu."Riven merasakan bulu kuduknya meremang. "Jadi, kita harus menunggu sampai pintunya muncul sendiri?"Elias menatap mereka dalam-dalam sebelum akhirnya mengeluarkan selembar kertas kuno dari laci mejanya. "Ada satu cara untuk mempercepatnya," katanya sambil menyerahkan kertas itu kepada Riven.Riven dan Celine melihatnya. Itu adalah peta tua, penuh dengan simbol aneh dan coretan tangan."Ini…
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen