Share

Bayangan Janji Suci

Hari ini semua siswa pulang lebih awal dari biasanya, maklum hari terakhir berangkat untuk minggu ini. Sekolah full day memang menerapkan lima hari belajar saja.

Jadi, besok adalah hari Sabtu. Hari yang sudah kutunggu untuk menjalankan semua rencana. Aku harus berhasil mengambil hati Miss Lena meski malu taruhannya.

“Mas Darren nungguin aku? Takut kalau aku ngilang lagi, ya?” tetiba suara gadis katrok itu sudah ada di belakangku, sepertinya memang dia itu sosok makhluk astral yang bisa muncul dan hilang tiba-tiba.

“Yuk, Mas!” Ia menarik tanganku untuk bergegas menuju pintu gerbang.

“Meisya, hari ini aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau nggak?”

“Kemana, Mas?”

“Ke kafe.”

“Iih … Mas Darren, kok, mainnya ke kafe? Ntar aku bilangin ke nyonya, lho!”

“Apaan, sih, Trok. Nggak jelas banget, deh!”

“Itu tadi Mas Darren bilang mau ke kafe. Kafe itu tempat nggak baik untuk kita anak muda.”

Oh My God … sebenernya dia ini dari planet mana? Sampai-sampai punya pikiran macam itu. Entah sudah berapa kali aku menepuk jidat dan menghela napas panjang.

Dengusan kesal juga sudah kesekian kali karena tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi gadis kampung yang super aneh ini.

“Kenapa, toh, Mas? Mesti selalu gitu, deh, kalau liatin aku. Nanti lama-lama naksir, lho, dengan Meisya Anindya Ningrum putra Pak Joyo Diwiryo juragan tembakau terkaya di desa.”

Aku mendelik mendengar tagline dia yang selalu menyebut nama panjang beserta nama bapak dan status social orang tuanya. Kayak paling kaya di dunia aja.

“Bukan paling kaya di dunia, Mas. Tapi paling kaya di desa aku.”

Hah? Lagi, dia bisa mendengar batin aku yang sedang bicara. Ini untuk kedua kalinya dia menyahut apa yang kuucap dalam hati. Kali ini aku yakin, tak ada suara yang keluar dari bibir ini. Tapi aneh, ia tampak biasa saja ekspresinya.

Tak ada wajah yang salah tingkah atau mencoba menutupi sesuatu. Kepalaku tetiba merasakan ada sesuatu yang saat retina ini menatap wajah itu lekat. Sebuah klise melintas cepat dalam bayangan di otak.

Gadis itu … dia, dia … ah, ini sungguh tak masuk akal. Klise itu semakin jelas saat aku memejamkan kelopak mata seraya memegang kepala yang kesakitan.

Fix! Bayangan itu tak lain adalah aku dan Meisya yang sedang melakukan sebuah upacara sakral, mengikat janji suci. Tapi aku masih belum tahu, apakah itu acara tunangan atau resepsi pernikahan.

Tubuhku terhuyung karena tak mampu menahan lagi sakit yang mendera di kepala. Dengan penuh rasa khawatir, Meisya mencoba menahan tubuhku sekuat ia mampu. Namun, tubuh dia jauh lebih kecil dariku sehingga tak imbang.

Ia berteriak minta tolong dan beberapa guru yang kebetulan mendengar segera datang menghampiri. Mereka yang melihatku hampir jatuh ke lantai segera menolong.

Entah apalagi yang terjadi karena setelah itu kesadaranku mulai menghilang dan tak ingat apa-apa lagi. Ketika kelopak mata ini terbuka perlahan, aku sudah berada di ruang kesehatan sekolah.

“Mas Darren sudah sadar? Syukur, Mas. Hampir tiga puluh menit Mas Darren tengsan eh maksud aku pingsan.”

Mendengar suara gadis aneh itu, sontak aku terbangun dan turun dari ranjang pasien. Bergegas aku mengayun langkah panjang meski masih dengan sempoyongan karena menahan kepala yang masih pusing.

“Den Darren, biar Pak Jo bantu.” Sopir pribadi yang telah lama ikut keluargaku itu segera memapahku untuk berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman sekolah.

“Pak Jo, aku nggak mau gadis kampung itu pulang bareng kita.”

“Terus Meisya pulang dengan siapa, Den? Nanti kalau Nyonya tahu malah bisa-bisa Pak Jo yang kena marah.”

“Aku nggak peduli, Pak Jo!” teriakku membentak lelaki paruh baya itu.

Kuhempas tubuh ke jok mobil dan menyandarkan kepala, mencoba mencari posisi ternyaman agar sakit kepala ini berkurang.

“Baik, Den. Sebentar Pak Jo bilang ke Meisya dulu, biar dia pesan ojek online.”

Aku tak menjawab. Kubiarkan Pak Jo kembali menemui gadis aneh yang sudah bikin kepalaku tetiba diserang sakit yang luar biasa. Tega tak tega, kali ini aku tak bisa membiarkan pikiranku kacau gegara bayangan aneh yang sering melintas di pikiran ini.

Aku harus bisa menepis semua hal yang tak masuk akal ini. Mungkin menyuruh Meisya pulang ke desa akan mebuatku jauh lebih baik. Tak aka nada lagi bayangan yang di luar nalar itu lagi.

Kupejamkan mata saat Pak Jo melajukan mobil untuk membawaku pulang ke istana yang paling nyaman. Sejenak aku teringat Meisya, kutoleh ke belakang. Tampak ia berdiri di tepi jalan. Wajah itu begitu tenang, tak sedikit pun ada kekhawatiran karena harus pulang sendirian.

Ah, biarkan saja. Toh, dia orang desa yang sudah pasti punya nyali gede. Dia juga harus belajar menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota, biar sifat katroknya itu terkikis hilang.

Tapi aku masih tak paham, kenapa saat mata ini menatap wajah gadis itu dalam waktu yang cukup lama tetiba bayangan itu bisa muncul? Tak pernah terbersit dalam benak untuk mencintai Meisya apalagi menikahinya.

Teka-teki ini semakin membuatku merasa bingung. Setelah ini entah bayangan apalagi yang akan muncul.

"Darren, kamu kenapa?” tanya mama saat melihatku berjalan memasuki ruang tengah dengan dipapah Pak Jo.

Wajah mama tampak khawatir melihatku yang masih lemas dan terhuyung. Sebagai anak tunggal dan mahal, mama selalu mencemaskan segala sesuatu tentang diri ini. Segera ia menyuruh Pak Jo untuk membawaku ke kamar langsung.

Aah … cukup lega kurasakan, akhirnya aku bisa merebahkan diri di kasur empukku. Perlahan kubuka kembali mata yang sempat kupejamkan sejenak untuk menghalau pusing dan nyeri di kepala.

“Sebenarnya Darren kenapa, Jo?”

“Ini, Nyonya. Tadi Den Darren tiba-tiba pingsan di sekolah pas jam pulang sekolah.”

“Pingsan? Kenapa bisa pingsan?”

“Kurang tahu, Nyonya. Coba nanti tanya ke Meisya karena pas kejadian Den Darren dengan Meisya, Nyonya.”

“Terus sekarang di mana Meisya? Aku tidak melihat dia ikut pulang bersama kalian.”

“Itu, Nyonya … eehm ….” Pak Jo ragu-ragu untuk cerita, aku tahu ia pasti ingin menutupi apa yang sudah kulakukan tadi.

“Tadi karena buru-buru dan panik, Pak Jo lupa kalau Meisya belum naik, Ma.” Aku mencoba mencarikan alasan.

“Kalau begitu jemput Meisya sekarang, kasihan dia kalau sampai menunggu.”

“Nggak usah, Ma. Dia sudah pesan ojek online, paling sebentar lagi sampai.” Dengan cepat aku berusaha menahan titah mama.

“Kamu kenapa bisa pingsan, Sayang? Wajah kamu pucat sekali,” ujar mama sembari mendekat dan mengelus kepalaku.

Mata itu berkaca-kaca. Sorot kekhawatiran masih saja bergelayut di sana. Aku tahu ia takut kehilangan anak emas yang selama ini sangat ia jaga. Bagi mereka, diri ini adalah satu-satunya penerus keluarga sekaligus pewaris seluruh bisnis dan harta yang mereka miliki.

Aku tak langsung menjawab, kutoleh Pak Jo yang masih berdiri di dekat pintu. Seperti mengerti dengan maksud dari tatapanku, pria separuh baya itu segera pamit keluar kamar.

“Ma, aku minta Meisya dikembalikan ke desa. Aku nggak mau kalau ada dia di rumah ini.”

“Memangnya kenapa, Sayang?”

Sejenak aku berpikir bagaimana caranya agar mama mengerti dengan apa yang menjadi keinginanku dan bisa paham dengan kondisi yang saat ini sedang kuhadapi.

“Ma, waktu itu aku pernah cerita ke Mama tentang mimpi aneh. Mama masih ingat?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status