Misteri Gadis Lintas Waktu menceritakan tentang kembalinya sosok gadis dari masa lalu. Jiwanya menitis pada seorang bayi, kemudian hadir dalam kehidupan Darren. Darren harus merasa tersiksa dengan mimpi yang dia alami sejak berusia 10 tahun hingga sekarang usianya 18 tahun. Anehnya, mimpi itu selalu saja sama. Sebuah kecelakaan besar yang merenggut nyawa. Kehadiran seorang gadis bernama Meisya juga membuat dia semakin tidak tenang. Hal tersebut dikarenakan Meisya mirip gadis yang selama ini hadir dalam mimpinya. Tanpa disangka, semua hal yang menimpa Darren ternyata ada kaitannya dengan ritual sang ibu saat hamil dirinya. Ada sebuah perjanjian di masa lalu yang melibatkan seorang gadis sebagai korban
Lihat lebih banyakBunyi debum mobil yang ditabrak oleh sebuah truk besar terdengar begitu keras. Teriakan empat orang yang ada dalam mobil begitu histeris.
"Aaa!!!" teriakku seketika saat bayangan sebuah mobil itu mengarah dan menabrakku.Teriakan itu berbarengan dengan tersadarnya diri ini dari mimpi buruk. Aku terbangun dengan peluh yang telah membasahi tubuh. Jantung berdetak lebih cepat bak dentuman meriam yang meledak-ledak.Ah, lagi-lagi mimpi yang sama. Aku pun tak mengerti kenapa mimpi yang sama selalu datang menghampiri tidurku. Sudah hampir delapan tahun bunga tidur yang aneh terus hadir menghias pikiran alam bawah sadarku.Aku Darren, usiaku hampir genap 18 tahun dan sedang menyelesaikan pendidikan di SMA Elite di kotaku, aku masih duduk di kelas XII. Aku termasuk anak yang cukup populer di sekolahku. Tak hanya memiliki wajah tampan, namun prestasiku juga dapat dibanggakan.Beberapa kali memegang sabuk juara pertama karate tingkat nasional dan tahun kemarin masuk dalam tiga besar juara Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika.Sebenarnya pada saat sang mentari mulai muncul bertahta aku sangat menikmati hari-hariku. Namun, ketika malam menjemput maka ketakutan akan hadirnya mimpi yang terus berulang membuat diriku sering mengalami insomnia.Sungguh aku tak mengerti kenapa bayangan mengerikan itu terus saja hadir membayangi malamku. Terkadang muncul sesosok wanita yang aku sendiri tak tahu dia siapa. Entah kenapa sudah beberapa kali ia menyapaku dalam mimpi nan indah.Saat usiaku masih sepuluh tahun, bayangan gadis itu hanya samar-samar. Tetapi entah sejak kapan wajah gadis yang hadir dalam mimpi itu semakin jelas. Senyum yang ia ulas, belaian tangan di pipi yang ia beri, dan bisikan di gendang telinga pun semua serasa nyata."Darren ... bangun, Sayang!" Sebuah suara dari luar kamar membuyarkan lamunanku.Kuseka peluh di dahi, kemudian melepas kaos yang telah basah karena peluh membanjiri tubuh. Melirik penanda waktu di atas nakas, ternyata sudah menunjukkan pukul 17.35 dan mentari mulai berpamitan di kaki langit sebelah barat."Darren, sudah sore. Bangun, Sayang. Segera mandi." Kembali suara khas mama yang lembut."Iya, Ma. Sebentar lagi Darren mandi dan turun.""Yang cepet, ya? Kamu dari pulang sekolah belum makan.""Iya, Mama sayang.""Mama tunggu di bawah.""Iya, nanti Darren segera turun."Kebiasaan mama yang sering khawatir kalau anak semata wayangnya ini tidak mau menyentuh masakannya. Mama akan berusaha merayuku dan memasakkan apa yang menjadi makanan kesukaanku.Di rumah ini, aku mendapatkan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tuaku. Memang, sih, mereka terkadang over protektif. Tapi aku mencoba mengerti, meski dulu seringkali aku protes dan tak mau menurut.Bertambahnya usia, mama dan papa sering menceritakan masa kecilku dan juga perjuangan mereka untuk mendapatkan buah hati. Aku adalah anak yang mahal. Hampir delapan tahun pernikahan, mama barulah dinyatakan positif setelah melakukan rangkaian program hamil.Sesuai permintaan mama, selesai mandi aku segera turun ke bawah. Aroma ikan goreng dan sambal tomat kesukaanku menguar menggoda indera pembau. Kulihat selada dan mentimun ikut mendampingi ikan kakap yang telah berubah warna menjadi keemasan."Wah, Mama memang paling hebat. Tahu aja makanan kesukaan Darren, Ma.""Iya, donk, Sayang. Udah, hayuk makan. Mumpung semua masih anget."Aku segera duduk dan mengambil piring kemudian mengisinya dengan dua centong nasi. Sepotong ikan, lalapan, dan sambel melengkapi makan malam yang merangkap makan siang tadi."Papa belum pulang, Ma?""Belum. Dua hari lagi kerjaan Papa baru selesai.""Ma ...." panggilku ragu-ragu."Iya, ada apa?""Darren sering mimpi."Mama mengernyitkan dahi. Mungkin baginya mimpi itu sudah biasa. Ia tak tahu jika anak emasnya ini hampir tiap malam ketakutan karena mimpi yang sama dan terus terulang."Ma, Darren serius. Mimpi Darren selalu sama dan itu sudah sejak lama. Saat Darren usia sepuluh tahun hingga sekarang." Aku mencoba meyakinkan mama."Maksud kamu ...." Wajah itu semakin memperlihatkan garis lipatan pada dahi."Iya, Ma. Dalam mimpi Darren ada seorang gadis yang sering datang menyentuh pipi Darren, kemudian dia tersenyum.""Lalu?""Tapi yang aneh ... gadis itu hanya tersenyum saat menatap Darren, kemudian berbisik sesuatu ke telinga Darren. Terkadang di lain mimpi ia terlihat menangis, sorot matanya penuh kesedihan."Mama bergeming mendengar penjelasanku. Memang terdengar aneh, tetapi itulah yang aku alami."Gadis itu berbisik apa?" Mama sepertinya mulai tertarik dengan ceritaku."Entahlah, Ma. Itu yang Darren hingga sekarang tak mampu mendengar apa yang dibisikkan oleh gadis itu."Mama kembali menatapku lekat, dari raut wajahnya ada sorot antara percaya dan tidak. Bola mata ini tampak tak fokus, seperti ada yang dia pikirkan."Selain itu, Darren juga mimpi ada mobil yang hendak menabrak Darren, Ma."Mama mengernyitkan dahi mendengar penuturanku. Tampak ia berpikir, "Lain kali berdoa dulu kalau mau tidur, ya?" Setelah menunggu beberapa menit hanya itu tanggapan mama."Tapi, Ma ....""Mama bawa piring ke dapur dulu. Nggak ada Bi Atin kayak gini Mama yang repot sendiri," ujar mama seolah mengelak."Memangnya Bi Atin ke sini lagi kapan, Ma?" tanyaku setengah berteriak karena wanita yang telah melahirkan aku itu sudah berada di dapur yang berbatas sekat dinding dengan ruang makan.Sejenak tidak ada sahutan dari mama, sepertinya ia tengah menyelesaikan cucian piringnya. Aku mengalah untuk mendekatinya, kemudian mengulang pertanyaan."Katanya, sih, hanya satu minggu. Berarti besok sudah pulang, tadi Bi Atin telepon Mama hanya untuk minta ijin bawa keponakannya," ujar mama sembari tangannya sibuk mencuci gelas dan piring."Memangnya keponakan Bi Atin kenapa?""Bi Atin bilang, bapaknya si anak itu pengen banget anaknya sekolah di kota. Biar banyak pengalaman terus nanti kuliah.""Ooh ... memang kalau di desa nggak banyak pengalaman?""Beda lah, Darren. Kalau di kota, wawasan seseorang akan mudah terbuka dibandingkan jika tinggal di kampung."Aku terpegun dan hanya manggut-manggut. Aku sendiri belum tahu bagaimana kehidupan masyarakat di kampung. Seumur-umur orang tuaku tak pernah mengajakku untuk melihat langsung bagaimana kehidupan di sana.Hanya saja dulu waktu masih sering menonton televisi petualangan bocah kecil itu, kurasa kehidupan di kampung sangat menyenangkan dan seru. Bahkan aku pernah memaksa mama dan papa untuk mengajakku liburan di desa Bi Atin. Jawabannya sudah jelas, pasti ditolak mentah-mentah oleh mereka.Kata Bi Atin, tinggal di kampung itu damai. Nggak ada kebisingan seperti di kota. Ingin menikmati jagung bakar tinggal petik dan bakar sendiri, ingin makan buah juga tinggal petik. Kubayangkan kehidupan di sana begitu simple tak banyak tuntutan.Ting tong!Terdengar bel pintu depan ditekan, pertanda ada tamu."Biar Darren yang bukain, Ma," usulku saat melihat mama mencuci tangan dan hendak mengelapnya.Aku bergegas keluar untuk membuka pintu. Ternyata Bi Atin, asisten rumah tangga yang telah lama ikut keluargaku."Panjang umur kamu, Bik. Baru juga diomongin udah muncul aja.""Iya, Den Darren. Sengaja pulang sekarang biar besok bisa ke sekolahan Den Darren.""Untuk apa?" tanyaku sembari menyipitkan mata."Mau daftarin keponakan Bibi, Den.""Mana keponakannya?"Tampak Bi Atin celingukan bingung mencari ponakannya. "Meisya! Meisya!"What? Nama gadis desa itu Meisya? Keren amat namanya untuk seukuran gadis desa.Bi Atin meletakkan tas yang ia tenteng, kemudian keluar pagar sembari memanggil nama Meisya. Aku menyusul di belakang wanita paruh baya itu, berharap bisa membantunya.Namun, baru saja kepala ini melongok ke luar pagar tetiba retinaku menangkap bayangan sesosok gadis berambut panjang dan ....Duniaku serasa terhenti seketika saat melihat gadis yang muncul dari tikungan dekat rumah. Aku berasa dejavu. Ya ... dia, gadis yang saat ini membuatku berdiri terpegun adalah dara yang selalu hadir dalam mimpiku.Bola manikku membulat dengan mulut terngaga, bukan karena terpesona, melainkan lebih pada keterkejutan yang teramat sangat.Tuhan, pertanda apakah ini?Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.
Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t
Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu
"Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."
Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu
Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen