Share

Tak Sesuai Harapan

Author: Ammi Poe YP
last update Last Updated: 2023-11-22 15:31:37

Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku. Permintaan yang kemarin kuajukan ke mama akan terealisasi hari ini. Mama akan pergi ke sekolah tempat aku menimba ilmu. Tentu saja untuk menemui Miss Lena.

Entah kenapa jantung ini malah berdegup kencang saat mendampingi mama masuk ke ruang guru untuk menemui Miss Lena. Wanita dengan senyum indah itu menerima kami dengan begitu ramah.

“Silahkan duduk, Bu. Ada apa pagi-pagi sudah menyambangi saya?” tanya Miss Lena dengan memamerkan deretan gigi berpagar kawat miliknya.

“Begini, Miss Lena. Darren itu butuh bimbingan privat dari Miss, kira-kira masih bisa nggak?”

“Waduh, maaf sekali, Bu. Sudah hampir tiga bulan ini saya tidak melayani bimbingan privat karena Ibu saya sedang sakit dan lebih membutuhkan kehadiran saya.”

“Oh, begitu.”

“Iya, Bu. Lagipula kemampuan Bahasa Inggris Darren sudah baik, kok. Jadi, saya rasa nggak perlu bimbingan lagi.”

“Tapi kata Darren ….”

“Ma, aku takut aja kalau nanti aku nggak siap untuk ujian sekolah. Please, kumohon.” Sengaja kupotong ucapan mama agar tidak ketahuan aku sedang berbohong.

Tampak wanita kesayanganku sedang berpikir. “Ehm … begini, Miss Lena. Sebenarnya saya mau minta tolong juga untuk keponakan saya yang dari desa, Bahasa Inggris dia masih kacau.”

“Keponakan Mama yang mana?” tanyaku penasaran, namun jawaban yang kudapat justru sebuah cubitan di paha.

“Meisya, Sayang. Masa sama saudara sendiri lupa?”

“Tapi, Ma ….”

“Darren, sebaiknya kamu keluar. Biar Mama yang bicara dengan Miss Lena. Lagian sebentar lagi mau bel masuk,” titah mama yang lebih tepatnya mengusirku dari ruangan ini.

“Darren mau di sini,” ujarku sembari memberengut.

“Ya, sudah. Kalau mau tetap di sini syaratnya nggak boleh rewel.”

“Ish … Mama ini. Kenapa selalu anggap Darren macam anak kecil?”

“Darren ….”

“Iya, iya. Darren diem!”

Tak ada pilihan lain selain mengunci mulut dan menjadi pendengar yang baik. Kulihat Miss Lena terkekeh melihat perdebatanku dengan mama. Pasti dia berpikir kalau aku anak manja dan kolokan. Huh! Semua gegara mama yang sesuka hati menjalankan misi, harusnya kan sesuai rencanaku.

“Maaf, Bu. Meisya kelas berapa?”

“Kelas 11, Miss. Dia anak baru di sekolah ini. Ayahnya menitipkan dia untuk ikut saya, jadi saya bertanggungjawab untuk memberikan perhatian lebih pada Meisya.”

“Tapi saya tidak mengajar kelas 11, Bu. Mungkin bisa dengan Miss Endah.”

“No, no, no … aku maunya hanya dengan Miss Lena!” Ekspresiku yang spontan tak rela itu sontak membuat Miss Lena memandang heran

“Maksud aku be-begini, Miss. Yang butuh bimbingan untuk ujian itu kan aku? Jadi, ya harus aku yang diutamakan. Aku pokoknya hanya mau dengan Miss Lena, selain Miss Lena mendingan aku mogok sekolah saja!” Kupasang muka ngambek dan membuang muka.

“Maaf, Miss Lena. Darren memang anaknya sedikit kolokan, kalau sudah punya keinginan harus dipenuhi. Jadi, tolong dibantu biar nggak mogok sekolah.”

‘Aah … Mama! Ngapain juga pakai acara ngatain anaknya kolokan? Bikin harga diri ini runtuh saja sebagai pria dewasa!’ gerutuku dalam hati.

“Baiklah, saya akan usahakan, Bu. Kemungkinan saya bisa datang hanya hari Sabtu dan Minggu, untuk waktu nanti saya konfirmasi lagi.”

“Baik, Miss. Terimakasih atas waktunya. Kalau begitu saya pamit.”

“Silahkan, Ibu.” Miss Lena melepas kami dengan sebuah senyum disertai gelengan kepala.

Akhirnya aku merasa lega karena rencana awal telah berhasil meski tak sesuai harapan. Entah apa yang dipikirkan mama sampai melibatkan Meisya sebagai alasan. Kalau nanti si gadis kampung itu ikutan belajar, yang ada malah jadi runyam.

“Ma, kenapa si gadis kampung itu harus ikutan les privat bareng Darren?” komplainku saat telah keluar dari ruang guru.

“Darren, hanya itu satu-satunya alasan yang tepat agar Miss Lena mau datang ke rumah. Kamu dengar sendiri tadi, kalau kamu nggak ada masalah dalam pelajaran Bahasa Inggris,” tutur mama sembari memegang bahuku, tatapannya seakan berkata untuk meminta agar aku mengerti apa yang ia maksud.

“Iya, deh, Ma. Darren nyerah.”

“Kok ngomongnya begitu?”

“Darren itu maunya les sendiri, jadi bisa berduaan dengan Miss Lena.”

“Darren!” Tetiba wanita di hadapanku membentak sembari melotot.

Ups … duh, salah ngomong lagi. Bikin aku jadi salah tingkah kalau begini. Aku nggak mau kalau sampai mama curiga dengan rencanaku.

“Jujur sama Mama, kamu minta bimbingan privat ke Miss Lena karena kamu ada tujuannya, ‘kan?”

“Ya, pasti lah, Ma. Namanya bimbingan sudah pasti punya tujuan agar Darren makin pinter.” Aku masih mencoba berkelit, kucoba menekan debar jantung yang berpacu lebih kencang dari sebelumnya.

“Kamu pasti punya rencana lain. Katakan ke Mama, apa maksud kamu ingin berduaan dengan Miss Lena? Mama nggak mau kamu punya pikiran macam-macam ke wanita yang usianya lebih dewasa dari kamu.”

“Apaan, sih, Ma? Tenang aja, Ma. Aku itu Cuma mau fokus belajar dengan Miss Lena. Mama tahu sendiri kalau Meisya itu anaknya ceroboh banget, yang ada ntar malah gangguin Darren aja.”

“Are you sure just it your reason?”

“Ya, Ma. Udah, gih! Mending Mama pulang atau shopping gitu. Mumpung Papa lagi nggak ada si rumah, hahaha ….”

“Kamu ini, bisa aja ngerayu Mama.”

“Iya, donk … Darren gitu looh.”

Kami pun tertawa, mama yang hendak pulang tak lupa mendaratkan bibir ke dahiku. Ah, telat. Belum juga aku menghindar mama sudah berhasil meraih kepalaku dan menariknya.

Beruntung tak ada yang melihat karena semua siswa telah masuk ke kelas, hanya aku yang terlambat gegara memastikan Miss Lena menerima permintaan mama.

Setelah mama beranjak meninggalkan aku yang masih terpaku membayangkan rencana berikutnya, kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku dari belakang. Ah, pasti Miss Lena yang ingin menegurku karena belum juga masuk ke kelas.

“Ma-maaf, Miss.” Aku tergagap seraya membalikkan badan dan membungkuk hormat.

“Miss siapa, toh, Mas? Miss Meisya maksudnya? hahaha ....”

Suara itu … huh! Dasar si makhluk katrok, bisa aja membuatku kaget. Pengen rasanya kutimpuk pakai sepuluh buku tebal ke kepalanya biar amnesia sekalian.

“Kamu ngapain di sini? Bukannya masuk kelas malah masih keluyuran. Nggak ngerti kalau sekolah di sini itu mahal, kasihan orang tua kamu yang banting tulang cari duit hanya untuk membiayai sekolah kamu di sekolah elit ini!”

“Ealah … Mas Darren ini laki-laki, to? Tapi, kok suka banget cerewet kayak emak-emak. Eh, serius. Mas Darren itu persis kayak Eyang Uti aku di kampung. Cerewetnya minta ampun, suka ngomel setiap hari.”

What? Aku disamain dengan neneknya? Dia pikir aku pakai kebaya apa? Terus kalau makan tembakau sampai merah giginya, gitu? Enak aja!

“Wes, nggak usah mbatin, Mas. Ngomel kok dalam hati, itu namanya ngedumel.”

“Serah, loe! Gue ogah ngelayani gadis kampung macam you!”

“Hahaha … Mas Marvel nggak konsisten.”

“Maksud kamu?”

“Iya. Sebentar pakai aku kamu, sebentar pakai loe gue, terus berubah lagi jadi you.”

Aargh!!!

Sumpah, nih, gadis bener-bener menguji kesabaran banget. Gadis begini yang hadir dalam mimpiku selama delapan tahun? Kok, nggak banget, ya?

“Yang nggak banget itu siapa? Memangnya aku minta dimimpiin Mas Darren? Eh, tapi beneran Mas Darren mimpiin aku sampai delapan tahun?” tanyanya sembari memicingkan mata.

Hah? Kok dia tahu aku ngomong apa dalam hati?

“Ka-kamu bisa denger suara hati aku?”

“Suara hati apa?”

“Yang barusan tadi kamu bilang ….”

“Mas Darren itu ngomong dari mulut, ya pasti aku dengar lah.”

“Tapi ….” Sesaat otakku stag, tak bisa berpikir karena seperti tak masuk akal.

Sadar betul bahwa aku hanya bicara dalam hati, tapi dia bisa mendengar. Jangan-jangan ... ah, apa mungkin Meisya ini makhluk gaib yang sedang menyamar? Segera kulihat kakinya, tapi keduanya menapak sempurna di lantai. Aneh.

“Kenapa, sih, Mas Darren lihatnya kok sampai begitu?”

“Nggak, aku nggak apa-apa.” Bulu kudukku tetiba meremang dan bergidik, segera aku berbalik badan dan hendak mengambil langkah seribu untuk kabur dari hadapan gadis aneh itu.

Tapi baru saja kaki ini ingin memutar, tangan Meisya mencegahku dan berbisik, “Tapi aku memang bisa denger suara hati, lho, Mas. Tuh, waktu nonton sinetron di chanel ikan terbang. Kalau nggak bisa denger, ntar nggak tahu ceritanya. Hahaha ….” Kembali ia tertawa ngakak.

kurasakan tawa itu penuh ejekan kemudian berlalu dari hadapanku, meninggalkan diri ini yang masih melongo karena mendengar ucapan dia yang nggak mutu itu. Dasar, makhluk aneh! Sepertinya tidak hanya aneh, tapi juga nggak waras.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misteri Gadis Lintas Waktu   Kemenangan

    Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.

  • Misteri Gadis Lintas Waktu   Peta Titik Terang

    Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t

  • Misteri Gadis Lintas Waktu   Penjaga Wasiat

    Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu

  • Misteri Gadis Lintas Waktu   Bayangan Terakhir

    "Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."

  • Misteri Gadis Lintas Waktu   Mantra Nyai Kambang

    Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu

  • Misteri Gadis Lintas Waktu   Lukisan Mengerikan

    Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status