Mata Fauzia dan Daffa terus melihat pada monitor di depan mereka? Keduanya telinga mereka terus mendengarkan apa yang dikatakan dokter kandungan. Upaya pasangan suami istri itu mengikuti program kehamilan membuahkan hasil. Sekarang Fauzia sedang mengandung buah hati pertamanya. Usia kehamilan Fauzia sekarang sudah memasuki usia lima bulan. "Sejauh ini kondisi janinnya sehat. Air ketubannya juga cukup. Pertumbuhan janinnya juga berjalan normal." Terang sang dokter kandungan setelah memeriksa kehamilan Fauzia menggunakan USG. Sekarang mereka sudah duduk berhadapan di meja kerja sang dokter. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya dok?" tanya Daffa. Pria itu sudah tidak sabar ingin mengetahui jenis kelamin anak pertamanya. Dokter wanita itu hanya mengulum senyum saja. Mengetahui jenis kelamin anak yang masih dalam kandungan memang sering ditanyakan pasangan yang kontrol kandungan padanya. "In Syaa Allah kalau tidak ada kesalahan, anak Bapak dan Ibu laki-laki." "Alhamdulillah." Kalima
"Ananda Muhammad Syahreza, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak saya, Keyla Salsabila dengan mas kawin sebuah vila senilai 1 milyar rupiah dibayar tunai!" "Saya terima nikah dan kawinnya Keyla Salsabila binti Egi Sudjana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" "Bagaimana saksi?" "Sah!" Baik Reza maupun Ayah dari Keyla sama-sama mengucap syukur. Ijab kabul berhasil dilakukan tanpa hambatan. Reza menolehkan kepalanya ketika mendengar suara langkah kaki. Keyla yang terbalut kebaya warna putih gading berjalan mendekatinya didampingi oleh Ibunda tercinta dan Murni. Kedua wanita itu mengantarkan Keyla sampai ke dekat meja akad. Reza bangun dari duduknya kemudian menyambut kedatangan wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Pria itu membantu Keyla duduk di sebelahnya. "Silakan dipasangkan cincin pernikahannya," ujar sang penghulu. Sebuah kotak beludru diberikan oleh Daffa. Di dalamnya terdapat sepasang cincin pernikahan. Kedua pengantin memasangkan cincin ke jari masing-mas
Usai menemui Imron, Salim tidak langsung pulang. Pria itu lebih dulu menemui Rafi yang juga ditahan di lapas yang sama. Walau Rafi sama sekali tidak ada hubungan darah dengan keluarganya, namun Salim merasa harus memberitahu kabar kematian Anita. Bagaimana pun juga Rafi pernah menjadi bagian keluarga mereka selama dua puluh tahun lebih. Mata Salim memandangi Rafi yang baru saja memasuki ruangan. Wajah pria itu nampak kuyu, tubuhnya juga lebih kurus dan rahangnya sudah ditumbuhi bulu-bulu yang cukup lebat. Dia menarik sebuah kursi di depan Salim. "Bagaimana kabar mu, Rafi?" "Seperti yang Papa lihat." Sebisa mungkin Rafi menghindari tatapan mata Salim, pria yang selama ini dipanggilnya dengan sebutan Papa. Namun belakangan dia baru tahu kalau dirinya adalah anak haram dari Imron dan Anita. "Bersabarlah Rafi, jalani hukuman mu dengan tenang. Bertobatlah. Papa harap kamu bisa menjadi pribadi yang lebih baik sekeluarnya dari sini." Kepala Rafi terangkat. Sungguh pria itu tidak
Di sebuah kamar sel lembaga pemasyarakatan, nampak Anita duduk di atas lantai dingin dengan punggung bersandar ke dinding di belakangnya.Wanita itu masih belum percaya kalau anak yang dikandungnya selama sembilan, ternyata bukanlah Rafi, melainkan Angga. Sungguh wanita itu tidak menyangka takdir akan mempermainkan dirinya sedemikian rupa. Siapa sangka Mita akan menukar bayinya demi membalaskan sakit hatinya.Airmata jatuh membasahi wajah Anita ketika mengingat semua perlakuan buruknya pada Angga hanya karena menganggap anak itu adalah buah hati dari Mita dan Salim.Sekali pun Anita tidak pernah menampilkan senyum di wajah untuk Angga. Yang ada hanya tatapan tajam dan penuh kebencian.Puncaknya ketika wanita itu memutuskan menghabisi nyawa Angga demi bisa mendapatkan harta Salim dan menyelamatkan posisi untuk Rafi. Bersama dengan Imron, keduanya merencanakan pembunuhan keji tanpa mereka tahu kalau orang yang hendak dihabisi adalah darah dagingnya sendiri.Anita memukuli dadanya bebe
"Selamat Om. Semoga rumah tangganya samawa dan pernikahan Om langgeng sampai maut memisahkan." Fauzia memeluk Pamannya. Wanita itu bahagia, akhirnya sang Paman mau mengakhiri masa lajangnya bersama sahabatnya. "Terima kasih, Uzi." "Selamat Teh, eh apa aku sekarang harus memanggil Tante?" goda Fauzia. Murni hanya mengulum senyum saja mendengar godaan Fauzia. Jika boleh, dia ingin tetap dipanggil dengan sebutan Teteh. Tapi mengingat statusnya sekarang, mungkin memang lebih cocok jika dipanggil dengan sebutan Tante. Daffa menghampiri Faisal kemudian memeluknya erat. Sejak kecil pria itu sudah mengenal Faisal. Pria yang selama ini selalu bertahan dalam kesendirian, akhirnya menemukan pelabuhan terakhirnya. "Cepat beri Zia adik sepupu," ujar Daffa sambil tersenyum. "Kamu saja dulu yang punya anak. Masa sudah beberapa bulan menikah, masih belum bisa membuat Uzi hamil." "Aku masih ingin menghabiskan waktu berdua dengan Zia." "Alasan." Daffa hanya tertawa kecil. Dia memang masih ing
Sepasang insan masih asik melampiaskan kerinduan dengan melakukan percintaan. Suara deru nafas mereka terdengar bersahutan memenuhi seisi kamar. Peluh juga sudah membasahi tubuh keduanya. Daffa mengerang panjang ketika akhirnya pria itu sampai ke puncaknya. Dia mengeluarkan cukup banyak cairan kental yang sudah ditabungnya selama berada di Sidney. Sebuah kecupan diberikan Daffa di kening istrinya. Fauzia mengangkat tangannya kemudian membelai pipi suaminya dengan lembut. Sebuah senyuman tercetak di wajahnya. Pelan-pelan Daffa menggulirkan tubuhnya ke samping. Ditariknya Fauzia ke dalam pelukannya. Beberapa kali kecupan didaratkan di bahu sang istri. "Bagaimana keadaan Reza?" "Bang Reza sepertinya masih belum menerima kalau dirinya anak Pak Salim. Pak Salim meminta Bang Reza tinggal di rumahnya dan membantu mengurus perusahaan. Tapi Bang Reza menolak." "Dia pasti masih terkejut dengan semua ini. Kita harus memberinya waktu." "Apa Mas mengijinkan kalau Bang Reza mau mengurus peru