Gedebug!
“Hwaaa, Bundaaa ....”Aku tersentak mendengar suara jatuh dan teriakan Maura. Kulempar ponsel itu begitu saja ke kasur Melody lalu berlari keluar menuju sumber suara.Maura terduduk di ambang pintu kamar mandi, aku langsung menghampirinya.“Kenapa, sayang?” Kuangkat tubuhnya, dia masih menangis sesegukan.“Sakit.” Dia meringis sambil memegangi kepala belakangnya.Kebiasaannya, keluar dan masuk kamar mandi sambil berlari, beginilah akibatnya. Memang anak-anak susah untuk dikasih tahu.Dengan lembut aku mengelus kepalanya sampai tangis Maura mereda.“Masih sakit?”“Sedikit,” cicitnya.“Ingat pesan Bunda, kalau masuk dan keluar kamar mandi tidak boleh sambil berlari. Ya?”Maura mengangguk kecil.Saking kagetnya aku sampai lupa soal tujuanku tadi ke kamar Melody. Rasanya aku masih tidak percaya, masalahnya Nino, kekasihku itu pamit untuk pemotretan ke Paris satu minggu yang lalu dan akan kembali minggu depan. Jangan sampai pikiran buruk ini membuat hubunganku dan Nino retak, lagi pula apa yang kulihat itu belum tentu pesan dari Nino. Daripada langsung menuduh, lebih baik aku mencari tahu dulu.Aku tidak bisa menuduh begitu saja apalagi Nino dan Melody tidak saling mengenal. Aku belum ada niat memperkenalkan Nino karena Melody itu paling anti kalau aku sudah membicarakan soal menikah lagi.Bisa saja tadi hanya foto yang dicomot dari internet bukan? Nino bukan orang biasa, dia seorang publik figur yang fotonya tersebar di internet jadi siapa pun bisa memakainya. Sialnya aku belum sempat melihat ke bagian atas percakapan tadi, hanya sempat melihat foto itu saja.Tidak ada yang tahu hubunganku dan Nino selain keluarganya dan orang tuaku.Setelah Maura tidur baru aku kembali ke kamar Melody untuk melanjutkan rencanaku tadi. Cukup lama aku menemani Maura karena dia sulit untuk tidur tidak seperti biasanya.Cklek!Keningku berkerut, pintunya terkunci dari dalam. Apa secepat itu reaksi obat tidurnya hilang? Ini baru satu jam lebih sepertinya. Aku memang tidak berani memberikan banyak karena takut Melody kenapa-kenapa. Aku sama sekali tidak tahu seperti apa kerja obat tidur sebenarnya, apakah bisa benar-benar membuat terlelap atau seperti apa, dosis yang kuberikan juga sangat sedikit tadi. Mungkin wajar Melody mudah terbangun lagi. Ah, entahlah. Aku tidak mengerti soal itu.Kunci cadangan yang tadi tergantung juga sudah tidak ada. Apa Melody membawanya masuk juga? Hanya ada dua kunci, kunci yang dipakai dan kunci cadangan jadi tidak ada kunci lain yang bisa kupakai.“Bi Asih!” Aku memanggil Bi Asih yang lewat sambil membawa setumpuk baju kotor.“Iya, Bu.”“Kita bicara. Simpan dulu itu baju kotornya.”“Baik, Bu.”Bi Asih berjalan cepat ke belakang untuk menaruh cucian kotor lalu kembali menghampiriku yang ada di meja makan.“Bi, Melody tidak pernah bawa laki-laki ke sini ‘kan?” tanyaku.“Setahu Bibi tidak, Bu.”“Bi, tolong jangan tutupi apa pun dari saya. Bibi jujur.”“Bibi benar-benar tidak tahu, Bu. Non Melody juga tidak pernah keluyuran, pulang sekolah di jam yang seharusnya.”“Tapi Bibi lihat Melody lehernya merah-merah dengan cara berjalan yang aneh?”Bi Asih mengangguk, “Iya, Bu. Kemarin pas Bibi tanya katanya alergi makanya merah-merah.”Sebelah alisku terangkat. Alergi? Sejak kapan Melody memiliki alergi.“Lalu soal cara jalannya Bibi tanya juga?”“Iya, Bu. Non Melody bilang slengkinya lecet karena pakai pembalut terlalu lama.”“Terima kasih, Bi. Bibi bisa kembali.”Semua yang kudengar itu terasa ganjil. Aku tahu betul jadwal bulanannya, masih seminggu lebih sampai ke hari biasa dia mendapat tamu bulanan, apa memang datang lebih cepat?Malam ini aku tidak akan bisa tidur nyenyak memikirkan ini. Bagaimana mungkin anak gadis yang kujaga melakukan sesuatu yang sangat kutakutkan.Masalah ini kutahan sendiri, kalau memberitahu ayahnya Melody takutnya malah semakin melebar masalah, aku juga tidak ingin Mas Tian mengambil anak-anak dariku. Dia mempercayakan Melody dan Maura padaku, tentu akan marah besar saat tahu aku tidak bisa menjaga anak-anak dengan baik.Aku harus menghubungi Nino, untuk memastikan jika memang benar-benar sedang ada di Paris.“Hai, sayang,” sapanya dengan suara parau, dia terlihat berantakan, masih berbaring di ranjang.“Aku mengganggumu?” tanyaku merasa tidak enak,Sengaja aku menghubungi lewat panggilan video untuk tahu di mana dia berada.“Tentu saja tidak. Aku baru saja selesai pemotretan.” Dia bergerak, sepertinya menuruni ranjang dan berjalan ke luar untuk duduk di balkon.“Berarti aku mengganggu istirahatmu?”“Sama sekali tidak, aku hanya sedang rebahan menunggu telponmu,” ujarnya sambil mengulum senyum.“Kamu di mana itu?”“Di rumah kakak sepupuku.” Dia memindahkan kamera menjadi kamera belakang.Rasanya lega karena dia benar-benar ada di Paris. Bisa kulihat dari plat nomor kendaraan yang jelas berbeda dengan di sini. Dia mengarahkan kamera ke halaman yang ada mobilnya.Kakak sepupunya memang tinggal di Paris, sedikit banyak aku tahu soal keluarganya. Tapi sebaliknya, dia belum tahu soal keluargaku karena aku sendiri yang belum ingin terbuka. Banyak ketakutan yang kurasakan apalagi jika anak-anak menolak kehadiran Nino.“Setelah kita menikah, aku ingin membawamu bulan madu ke sini.”“Aku bukan seorang gadis yang setelah menikah bisa bebas ikut kemanapun kamu pergi.”Dia terkekeh, “Aku juga akan membawa kedua anakmu, sayang. Tenang saja, mereka juga anakku juga. Tapi kapan kamu akan memperkenalkanku pada anak-anakmu?”“Nino! Bereskan kekacauan yang kau buat ini!”Nino tampak meringis mendengar teriakan itu, “Maaf, sayang. Tunggu sebentar ya.” Dia beranjak setelah menyandarkan ponselnya.Mataku menyipit saat melihat dengan jelas goresan di punggung telan jang Nino saat dia berjalan menjauh.Seperti bekas cakaran.Apa mungkin Nino bermain di belakangku? Apa iya dengan Melody? Tapi Nino ada di Paris.Kepalaku berdenyut memikirkan ini.Bersambung ....“Kenapa?”Aku memaksakan senyum agar papa tidak curiga.“Tidak apa-apa, Pa. Edwin bilang sebentar lagi sampai, papa pulang saja. Kasihan Bunda sendirian.”“Benar tidak apa-apa papa pulang?”“Iya, Pa. Zea juga sudah diberi obat, demamnya pasti sebentar lagi turun.”“Ya sudah. Kalau ada apa-apa langsung kabari papa ya?”“Eh, Papa pulang pakai apa?”Papa meringis, “Pinjam motornya Edwin. Besok dikembalikan.”Aku mengangguk, “Sebentar, aku ambil dulu jas hujannya.”Setelah Papa pulang pun Edwin tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya membuatku semakin gelisah.“Apa mungkin dia ….”Aku menggeleng, menepis semua pikiran buruk itu. Tidak akan mungkin Edwin melakukan itu, orang yang mengirimkan pesan pasti hanya orang iseng saja. Tapi Edwin pergi kemana sampai belum pulang, ini sudah sangat larut.Tidak ada yang bisa kutanyai teman kantornya karena memang tidak ada yang kukenal.Apa aku tanya saja pada wanita itu ya. Dia teman kerjanya Edwin. Tapi aku takut malah nanti Edwin malah dipanda
POV Melody“Kalau tidak tertukar di toko itu sendiri, berarti di kantor. Aku hanya ke dua tempat itu saja. Saat jam makan siang curi-curi waktu kesana untuk membelikan hadiah eh malah tertukar.”Edwin bicara dengan santai. Tidak terlihat mencurigakan.Aku percaya Edwin bukan lelaki seperti itu.“Sudah, tidak apa-apa. Kita lanjut makan ya, aku sudah lapar.” Senyumku masih tersungging.Tidak mau membuatnya malah tidak enak karena hadiah tertukar ini.Aku berpikir malah ada yang sengaja sudah menukarnya. Tapi tidak tahu orang itu siapa. Tidak seharusnya aku memikirkan masalah seperti ini, malah membuat pikiran buruk semakin berkembang.Selesai makan, kami kembali ke kamar. Duduk di sofa yang menghadap jendela, memandang rintik hujan yang belum ada tanda-tanda reda.Kusandarkan kepala di pundak Edwin.“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”“Lumayan melelahkan. Maaf ya, aku malah terlambat datang. Kamu sampai ketiduran tadi.”“Tak masalah, aku mengerti.”“Nanti tunggu libur panjang baru aku aka
“Anak-anak sudah tidur semua, Mas?”“Sudah. Sekarang giliran bundanya yang tidur.” Nino naik ke atas ranjang.Ia sudah memastikan jika anak-anaknya sudah tidur. Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk tidur sendiri tapi tetap saja mereka memantau menggunakan monitor.Sebagai pasangan tentu mereka harus memiliki waktu berkualitas untuk berduaan, untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.“Aku masih belum ngantuk, kamu tidur saja kalau sudah mengantuk. Besok kerja ‘kan?” Serra menarik selimut dan membaringkan tubuhnya tanpa ada niat untuk tidur karena memang matanya belum merasa berat.“Aku akan menemanimu. Mana mungkin wanita secantik ini kubiarkan begadang sendirian.” Nino tersenyum lebar, ia berbaring miring menghadap sang istri.“Kapan kemampuan merayumu itu hilang?” Serra mencibir.“Saat ada di hadapan wanita lain.”Laki-laki yang orang pikir tidak akan setia malah sebaliknya. Nino memiliki segalanya, harta, popularitas dan juga tampang. Tapi dalam benaknya sama sekali tidak terpikir
Melody menghela napas panjang, melempar begitu saja ponsel ke sofa.“Siapa lagi yang menginginkan keretakan hubunganku dan Edwin?” gumamnya.Ya, ia baru saja melihat foto Edwin yang dipeluk oleh Sarah. Nomor tidak dikenal mengirimkannya pada Melody namun hal itu sama sekali tidak membuat Melody hilang akal dan melabrak ke kantor. Ini masih jam kantor dan Edwin pasti masih sibuk bekerja.Melody itu mantan orang jahat, bilang saja begitu karena dulu ia sama sekali tidak pernah peduli pada siapapun. Jadi ia tahu jelas apa yang terjadi sebenarnya adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mungkin pernah dirugikan baik oleh Melody atau pun Edwin.Ia mengira jika sudah menikah dengan Edwin maka tidak akan ada lagi masalah yang datang tapi ternyata salah. Tetap saja ada masalah yang menghadang karena sangat mustahil kehidupan berjalan tanpa sebuah masalah. Bahkan Serra dan Nino sekalipun yang hidupnya tampak sempurna pasti memiliki masalah dalam kehidupan mereka.“Me
“Kalau kau sudah tidak ada rasa, kembalikan aku dengan baik-baik pada orang tuaku.”Perkataan Melody sukses membuat Edwin terbelalak, tangan lelaki itu terangkat menyentuh kening Melody, “Tidak panas.”Melody mencebik, “Kau kira kau mengigau apa? Aku serius, Ed.”“Jangan bicara sesuatu yang mustahil begitu, Mel. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu dalam situasi apapun, kita sudah sama-sama berjanji. Dulu kali pertama aku berjanji dan aku ingkar dan ini kali kedua aku tidak ingin mengingkari janjiku lagi.”Dulu Edwin memang berjanji untuk menjaga Melody dan juga mencintainya sepenuh hati namun karena keras hatinya wanita itu Edwin akhirnya harus mengalah dan melepaskannya meski akhirnya sekarang mereka kembali bersama.Edwin tidak sekedar berucap janji, tapi ia benar-benar akan membuktikannya. Sejauh ini Edwin memang sudah menjalankan perannya dengan baik, bukan hanya sekedar sebagai suami tapi juga ayah untuk Zea.“Isi hati orang tidak akan ada yang tahu, Ed. Aku hanya berpikir real
"Jangan, Ma. Mama di rumah, temani aku dan Zea di sini. Aku tidak akan membiarkan Mama pindah dari sini, aku tidak bisa tenang. Edwin juga pasti sama." Melody mencoba membujuk ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Sanjaya terlanjur malu makanya ia tidak enak tinggal bersama dengan Melody dan Edwin, bukannya benci atau tidak suka. Mengingat apa yang sudah dilakukannya dulu membuat Bu Sanjaya malu setiap bertemu dengan Melody dan Edwin, dan di sini mereka bersama setiap hari.Bu Sanjaya sudah mengakui kesalahannya, ia sadar perbuatannya tidak pantas dan ingin memperbaiki semuanya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik. Meski mereka tinggal satu atap dengan keyakinan berbeda tapi itu sama sekali tidak merubah apapun."Mama malu" aku Bu Sanjaya.Melody mengerti apa maksud ibu mertuanya itu."Sudah ya, Ma. Jangan bahas masa lalu, aku pun malu dengan masa laluku sendiri. Sekarang kita jalani saja kehidupan sekarang. Sama-sama memperbaiki diri, kita sudah saling memaafkan bukan."